Pelangi Tengah Malam

بواسطة naiqueen

428K 59.6K 6.8K

Annamaraluna Tejakusuma tidak pernah ingin menjadi penerus Tejan Investama, namun perusahaan rokok keluarga y... المزيد

1. Menjelang Ajal
2. Mimpi buruk
3. Pertemuan kembali
4. Saran
5. Sumber kebencian
6. Masa yang terlewati
7. Yang lebih baik
8. Serangan
9. Si Cantik
10. Presumption
11. Between Camouflage and Allegation
12. Miliknya
13. Confession
14. Hati ke hati
15. Bangga
17. Ice Cream Monsters
18. Wanita Ular
Duuuuuh!!!
19. Gosip
20. Ingin menyerah
21. Rahasia
22. Sesederhana itu
23. The Deal
24. Kegemparan (1)
25. Kegemparan (2)
26. Confrontation
27. Past and Future

16. Menyambut badai

13.4K 2.2K 229
بواسطة naiqueen

Luna menatap sepupunya yang sibuk menahan darah dari bibirnya yang pecah akibat tonjokan balasan El. Kemeja toska yang dikenakannya berantakan …beberapa kancing terlepas menyisakan akses bebas untuk mengintip selangka dan dada bidang yang tersembunyi dibaliknya.

“Aku nggak nyangka bahkan setelah puluhan tahun mengenal El kamu masih bisa di provokasi olehnya!” gerutu Luna sambil melirik kesal pria yang duduk di sebelahnya. Mereka berada dalam mobil yang sama yang langsung ke hotel tempat meeting diadakan. Sementara El, Vale dan Ikhsan di mobil lain yang menuju ke rumah keluarga Tejakusuma di kawasan Krembangan Utara.

Luna tidak senang dengan ini. Pertama, karena perbuatan dua lelaki itu berhasil membuat puterinya ketakutan dan menangis. Kedua, karena perbuatan itu juga dia terpaksa menunda meeting padahal setiap menit penundaan hanya akan membuang-buang waktunya untuk bersama Vale lebih lama, dan itu artinya entah kebohongan macam apa yang El suntikkan ke benak Valeraine.

“Jadi kamu pikir aku seharusnya menjabat tangannya sambil kasih selamat untuk semua kekurangajaran yang sudah dia bikin! Kamu nyadar apa nggak sih! Aku ini lagi belain kamu—sepupu aku—yang sudah dikurang ajarin sama manusia arogan yang satu itu.”

Luna hanya bisa menghela nafas panjang melihat reaksi Marshel yang menurutnya memalukan juga tidak pada tempatnya.

Marshel membabi buta memukuli El sambil berkali-kali meneriakkan kata bajingan. Terlebih saat Marshel menebak dengan lancang jika Vale tidak terlahir dari hubungan dalam pernikahan, untung saja saat itu Valeraine sudah diambil alih oleh Risa dan dibawa ke mobil sementara dirinya beserta Ikhsan dan Dery berusaha memisahkan pertarungan dua laki-laki dewasa yang jusru sedang bertindak sangat tidak dewasa itu. 

Marshel terus berteriak jika di akan melakukan apa saja untuk membuat El bertanggung jawab atas semuanya—apa yang malah membuat El tertawa puas alih-alih membalas.

Luna yakin sepenuhnya itulah yang dicari El dengan sengaja memprovokasi Marshel. Tanggung jawab! Andai saja Marshel tau kalau lelaki itu bahkan dengan lancang mengklaim dirinya sendiri sebagai ayah Valeraine, kedudukan yang membuat kepala Luna mau pecah rasanya jika memikirkan cara seperti apa yang akan dia tempuh untuk memberi pengertian pada Vale mengingat betapa lengketnya puterinya itu pada El.

“Tampaknya aku salah jika menilai hubungan kalian memburuk setelah apa yang dia lakukan dulu!” omel Marshel gusar. “Kalian bahkan punya anak bersama.”

Luna memejamkan matanya sambil mengusap dahi lelah.

“Aku baru nyadar kalau selama ini dia kuliah di Leiden, apa selama itu kalian juga sudah menjalin hubungan.”

“Aku bahkan baru tahu kalau dia di Leiden setelah pulang kembali ke Indonesia,” sahut Luna jujur.

“Oh! Jadi puterimu hasil cinta satu malam diantara pertemuan kalian.”

“Terserah kamulah mau berpikir gimana!” balas Luna, pada akhirnya mulai kesal dengan kepedulian Marshel yang kadang kelewat batas.

“Kenapa selama ini kamu nggak pernah bawa anakmu ke Indonesia? Bahkan kamu nggak biarin Om Handy tau kalau beliau sudah punya cucu.” Marshel bertanya kesal.

“Aku bahkan sama sekali nggak kepikiran untuk pulang kalau nggak karena papa sakit dan kemudian meninggal,” cetus Luna datar.

Marshel menoleh, ekspresi di wajah orientalnya yang tampan tampak kaget, “Jadi El tidak tahu kamu punya anak darimu?”

Luna menggeleng, “dia baru tahu dua hari yang lalu saat kami tidak sengaja bertemu di Bali.”

Marshel mengumpat pelan, “Benar-benar tidak bertanggung jawab. Ingatkan aku untuk menghajarnya lagi nanti.”

“Jangan gila kamu! Kelakuan barbar kamu cuma bikin Vale nangis.”

“Vale!?”

“Valeraine, nama anak aku.”

Marshel hendak tersenyum mendengarnya tapi kemudian meringis oleh sengatan nyeri di bibirnya yang terluka. Lelaki itu kemudian menoleh ke Luna yang sepenuhnya fokus pada berkas-berkas yang dibawakan oleh sekretaris Marshel.

“Ngomong-ngomong dia mirip sekali dengan El?”

Luna mengalihkan perhatiannya dari berkas untuk balas menatap Marshel dengan bagian diantara alis yang tertaut. “Apanya?”

“Matanya terutama, El itu kalau nggak sering berjemur kan kulitnya putih kayak londo kampung, untung saja rambut sama matanya gelap.”

Luna mendengus sambil geleng-geleng kepala, “saat pertama kali melihat Vale … El mengatakan hal yang sama,” katanya sambil membuka laporan keuangan perusaan paling mutakhir. “Hanya saja … dia mengatakan matanya mirip denganmu.”

“W-Whata …!?”

“Jadi jangan cepat menghakimi hanya karena provokasi atau penilaian sekali pandang,” sambung Luna tenang. “Karena kalian berdua nggak ada yang benar-benar tahu siapa ayah Vale yang sebenarnya kan,” bahkan termasuk juga aku, sambung Luna dalam hati.

Marshel tidak menyahut hanya saja dari kerutan di dahinya tampaknya lelaki itu sedang berpikir serius dan mendalam.

“Sudah! Tak perlu ikut campur urusan pribadiku, lebih baik laporkan perkembangan terbaru perusahaan dan kemungkinan bentuk serangan lain yang mungkin terjadi.”

“Apa itu masih relevan … satu-satunya orang yang mungkin menyerang TIV adalah ayah anakmu, bukankah itu artinya kita sudah aman?”

“Aman your ass!” ketus Luna dengan wajah masam. Klaim sepihak El atas Vale justru awal dari bencana, apalagi lelaki itu justru menerima tantangan darinya.

“Maksudnya apa sih? Apa aku salah kalau berpikir seperti itu!?”

“Orang yang kamu pikir adalah ayah dari anakku itu masih jadi satu-satunya ancaman terbesar untuk TIV, jadi jangan lengah sedikitpun dengan situasi yang tenang, bisa jadi itu tanda-tanda sebelum badai.”

“Ckk … tampaknya cocok di ranjang bukan berarti cocok saat berbisnis,” sindir Marshel berusaha tampak serius saat mengatakannya, akan tetapi pendar jahil di matanya membuat Luna memutar mata jengah.

“Ngomong-ngomong aku jadi teringat sesuatu!”

Luna menoleh menatap sepupunya.

“Aku nggak tahu ini bakal jadi badai untuk TIV apa nggak, tapi beberapa hari yang lalu sekretarisku menerima pengajuan janji temu dari seorang anggota sekretariat DPR-RI.”

“Menurutmu apa motif oknum itu? Kamu yakin selama ini perusahaan tidak berhubungan dengan birokrat rakus yang ingin mendulang emas dengan menjual kebijakan?”

Marshel menggeleng pelan, tetapi sedetik kemudian seakan tersadar akan satu hal. “Saat ini undang-undang kesehatan yang baru sudah selesai di godok di DPR … pengesahan oleh presiden akan dilakukan minggu-minggu ini juga.”

“Apa hal itu ada hubungannya dengan kita?”

“Ada satu pasal yang disebut sebagai ayat tentang tembakau, dan itu menyangkut pengamanan zat aditif dalam tembakau.”

“Jadi intinya itu pasal yang merugikan industri rokok?”

Marshel mengangguk pelan. Dan Luna tidak merasa heran, dari 14 macam undang -undang yang bersinggungan langsung dengan tembakau dan produk turunannya nyaris tidak ada yang memberikan keuntungan atau perlindungan. Tembakau secara keseluruhan adalah komoditas yang hanya dilihat secara negatif kandungannya tapi dibutuhkan sumbangsihnya untuk menyokong perekonomian.

“Tolak pertemuan. Selagi undang-undang itu belum disahkan kita tidak boleh lengah, siapa tahu ini jebakan. ”

“Kupikir justru sebaliknya,” Marshel tampak tidak setuju dengan pendapat Luna. “Kita perlu mencari tahu lebih dulu apa yang orang itu inginkan.”

“Terlalu beresiko, kita tidak tahu apa tujuan orang itu mendatangi kita.”

“Kita memang nggak tahu tapi mendiang Om Handy pasti tahu apa tujuan orang itu,” Marshel bertukar tatap dengan Luna yang tampak bingung. “Saat Om Handy dirawat di Singapura orang tersebut pernah mengunjunginya bersama seorang anggota dewan dari partai pendukung Orba, aku dengar mereka berbincang-bincang tentang RUU pertembakauan dan wacana besar menjadikan kretek sebagai warisan budaya Indonesia.”

“Lalu?”

“Aku tidak mendengar percakapan mereka sampai selesai karena disaat yang sama aku menerima panggilan dari distributor TIV untuk wilayah Eropa."

“Bagiku, itu terlihat seperti bukan sesuatu yang penting." Luna bersuara tenang.

“Tapi bagaimana jika yang akan mereka bahas justru tentang RUU Pertembakauan yang isinya akan sangat … sangat menguntungkan kita?”

"Menguntungkan industri rokok tapi memasung petani tembakau. Disaat ini yang paling dibutuhkan adalah peraturan tentang pembatasan import tembakau," Luna memejamkan mata dan menghela nafas panjang sesaat sebelum melanjutkan kalimatnya, “Dari apa yang aku pelajari selama ini … suatu rancangan perundang-undangan yang digodok di legislatif bisa jadi adalah produk hukum yang dirancang untuk menguntungkan satu partai tertentu dengan tujuan tertentu, jadi sebelum memutuskan untuk mendukung atau menolak, ada baiknya kita mencari tahu dulu apakah RUU tersebut produk hukum yang akan berlaku efektif di lapangan atau justru hanya akan jadi macan kertas.”

Marshel mengangguk paham dengan pernyataan yang Luna keluarkan karena bukan rahasia lagi kalau apapun menyangkut rokok dan tembakau sudah diatur dalam undang-undang lain yang bersinggungan langsung dengan itu.

Contoh nyatanya saja dampak zat aditif dalam tembakau bagi kesehatan diatur dalam undang-undang kesehatan yang akan segera disahkan oleh presiden. Sementara undang-undang yang mengatur tentang cukai karena dampak negatif tembakau bagi kesehatan diatur dalam undang-undang cukai tembakau.

Adanya undang-undang khusus pertembakauan hanya akan menimbulkan paradoks akibat adanya pertentangan antara berbagai pihak yang akan terseret di dalam upaya untuk melindungi industri rokok, tanaman tembakau lokal dan budaya kretek dengan dampak jangka panjangnya untuk kesehatan masyarakat.

Harus Marshel akui kalau kemampuan Luna dalam menganalisis masalah memang jauh berada diatas kemampuannya. Dan hanya El seorang yang bisa menyamai kemampuan sang pewaris TIV, sayangnya lelaki itu bekerja untuk saingan bisnis mereka.

“Jadi apa yang harus kita lakukan selanjutnya?”

“Hanya berdiam diri,” Luna menyahut santai. “Sambil mengumpulkan informasi tentang siapa saja yang berada dibalik wacana rancangan undang-undang  yang macet sejak bertahun-tahun lalu itu.”

*****

Rumah keluarga Tejakusuma di Surabaya adalah bagian dari sejarah kretek lagendaris di Indonesia. Di beli dari keturunan pemilik pabrik rokok pertama di Indonesia yang usahanya bangkrut akibat perebutan warisan antar anak keturunannya.

Oleh mendiang Kakek buyut Luna di tahun 1938 rumah itu dijadikan sebagai pusat kendali distribusi kretek Tejan di bawah naungan PT. Tejan Kendali Jaya yang mengkhususkan pada bidang distribusi semua produk rokok Tejan.

Pada Tahun 1990-an Handoko Tejakusuma memindahkan pusat kendali distribusi ke Kediri dengan membangun satu kawasan bisnis terpadu yang menyatukan pabrik, komplek perkantoran, berikut kompleks pergudangannya dalam satu kawasan. Sehingga rumah penuh sejarah itupun diubah fungsinya menjadi museum sejarah perjalanan bisnis kretek Tejan dan produk-produk TIV lainnya.

Tidak jauh dari tempat yang sama, hanya dibatasi dengan bangunan tembok tinggi Handoko Tejakusuma membangun rumah untuk keluarga kecilnya yang ditempatinya bersama istri dan anaknya sampai kematian sang istri membuatnya memutuskan untuk memindahkan Luna ke Jakarta, di bawah asuhan tim pengasuh dan pendidik terbaik yang dibayar untuk memenuhi keinginannya memiliki ahli waris yang tangguh.

El yang baru turun dari dalam Vellfire bersama Vale dan Ikhsan menatap rumah besar itu dengan tatapan yang sulit untuk dideskripsikan.

Dulu  dia pernah beberapa kali diajak ke tempat ini. Salah satunya adalah saat ulang tahun Luna ke tujuh belas tahun, yang dilakukan secara resmi dengan mengadakan pesta megah untuk sesama kalangan keluarga konglomerat Surabaya.

Di rumah ini pula El pertama kali melihat orang itu, Eloise Hariwangsa—bibi tiri Sagara Hariwangsa sekaligus Ibu tiri Luna.

“Ini rumah siapa, Dad?” tanya Vale seraya menatap skeptis sekelilingnya.

“Rumahnya Opa Handy, Mommy dulu saat masih seumur Vale tinggal di sini,” terang El seraya menatap bangunan bercat putih dengan jendela dan pintu berukuran masif yang menjadi ciri khas arsitektur kolonial. Seorang laki-laki paruh baya membukakan pintu untuk mereka, dibelakangnya ada tiga wanita paruh baya memakai seragam kebaya katun dan kain batik.

“Loh ini Mas El, kan!” lelaki yang membukakan pintu menegur setelah terpaku sejenak saat melihat wajah El.

“Pak de Danu, masih ingat saya?” El tersenyum lantas balas bertanya.

Pak de Danu adalah pengurus rumah yang sudah bekerja sejak jaman Kakek Luna, diantara ART yang bertanggung jawab atas rumah keluarga Tejakusuma Pak de Danu lah yang paling dihormati dan dituakan, bahkan oleh Handoko dan Luna.

“Oalah, ya inget toh Mas, aduh tadi Risa nggak bilang kalo suaminya Si Mbak yang mau datang itu ternyata Mas El.”

El mengernyit sekilas mendengar komentar salah paham itu tapi sama sekali dirinya tidak terlihat ingin mengoreksinya tentu saja.

“Masuk dulu Mas, ayo kita ke ruang tengah,” Pak de Danu mempersilahkan El dengan penuh rasa hormat bukan karena dia memang mengenal El sejak lama tapi karena status El yang sekarang sebagai pendamping Nona pemilik rumah membuat derajat El setara dengan sang Nona.

“Hloo … kalok yang cantik ini siapa to?” Pak de Danu tidak dapat menahan diri untuk tidak kembali antusias saat menyadari keberadaan si kecil di gendongan El.    

El menatap Vale sambil tersenyum, “Ini namanya Valeraine, anak saya dengan Luna.”

“Oalah … uayu tenan, mirip Si Mbak kecil dulu loh!”

Masih sambil tersenyum El mengajak bicara Vale, “Princess, ini namanya Mbah Danu, Mbah Danu yang ngurusin rumahnya Opa Handy sejak Mommy masih kecil … kamu kasih salam dulu dong sama Mbah Danu!” permintaan itu tanpa bantahan dituruti oleh Vale meski dengan malu-malu.

Tiga pelayan wanita yang ikut mendekat juga tampak antusias menyambut El dan Vale … mereka  para pekerja lama yang mengenal Luna dan Ibunya.

Salah satunya yang dipanggil sebagai Bulek Sum—adalah adik kandung Pak de Danu sekaligus mantan ART kepercayaan Kartika Sumoprasojo, Ibu kandung Luna.
Bulek Sum hampir menangis saat melihat Valeraine, tanpa sadar beliau pun menceritakan kemiripan antara Vale dengan mendiang neneknya.

“Mirip tenan sama mendiang Nyonya besar yo!” katanya takjub, menatap Vale dengan mata berkaca-kaca … dimatanya Vale lebih mirip mendiang Nyonya besarnya ketimbang mirip sang Nona, sebab meski keduanya memang serupa hanya saja bentuk wajah Luna yang menyerupai hati juga matanya yang menurut ahli pembaca raut wajah menyerupai mata phoenix jelas merupakan ciri yang diwarisi dari mendiang Tuan Handoko Tejakusuma.
   
Sementara Valeraine jelas memiliki wajah persegi warisan mendiang eyang putrinya, dengan kulit putih bersih, rambut coklat namun bermata lebar dengan manik gelap yang—menurut dugaan ART Tejakusuma—diwarisi dari sisi sang ayah.

Ruang duduk tengah adalah bagian terluas dari rumah keluarga Tejakusuma, yang disaat pesta biasa difungsikan sebagai aula dansa dan tepat berinteraksi antar keluarga konglomerat Surabaya saat pesta dan perjamuan diadakan.

Tidak banyak yang berubah dari rumah ini, El melirik sekilas pada sepasang saber yang di gantung menjadi hiasan dinding di atas perapian artifisial yang sepertinya adalah bagian baru dalam rumah keluarga Tejakusuma.

Saber—pedang anggar—itu adalah bagian dari olahraga favorit Luna yang dulu membuat El mati-matian berusaha ikut mempelajari. Luna mungkin terlatih untuk menguasai Taekwondo sebagai self defense-nya, tapi kemampuannya memainkan pedang anggar adalah yang terbaik

Tak lama pelayan lain datang membawakan kopi Ijen untuk El, sirup mawar untuk Vale beserta kue spikoe serta kue bikang yang seingat El adalah penganan kecil kesukaan Luna.

“Lama nggak lihat Mas El, kemana aja selama ini Mas … kok nggak pernah main-main ke sini lagi.”

El tersenyum mendengar pertanyaan Pak de Danu, dia tahu lelaki itu tulus tapi jelas muncul secara tiba-tiba di rumah keluarga Tejakusuma sedangkan dirinya sendiri dianggap sebagai sosok sudah yang mencoreng imej keluarga  tersebut  adalah dua hal yang saling bertentangan.

“Saya melanjutkan kuliah di Leiden Pak, habis itu lanjut kerja di London  sebelum akhirnya pulang ke Indonesia hampir dua tahun lalu.”

“Loh Mas El kuliah di Leiden toh!? Berarti sering ketemu Mbak Luna ya?” El menatap Pak Danu bingung  tapi lelaki itu seakan tidak menyadari hal itu tetap melanjutkan kata-katanya. “Si Mbak kan kuliah di Groningen Mas.”

Kenyataan itu bagai tamparan untuk El. Membuat tenggorokannya tercekat dan hilang kata-kata saat memikirkan betapa kejamnya takdir mempermainkan mereka.

Selama bertahun-tahun dirinya kadang merasa tersiksa saat memikirkan keberadaan Luna, tetapi dirinya tidak pernah menyangka jika Luna justru berada sedekat itu darinya.

“Saya hanya bertemu Luna sekali Pak,” dusta El dengan suara serak. “Itupun lima tahun lalu. Saya nggak tahu apa-apa tentang dia sampai dua hari lalu dia muncul bersama Vale di Bali.”

Pak Danu menatap El dan Vale bergantian, pemahaman yang muncul di wajahnya menunjukkan jika beliau menyadari situasinya, meski demikian tidak ada penghakiman yang ditunjukkannya.

“Si Mbak memang tertutup pada siapapun sejak dulu, saya nggak akan heran … tapi apa tindakan yang Mas El akan ambil setelah ini?”

“Tindakan yang seharusnya saya lakukan sejak dulu Pak,” sahut El mantap, seraya sekilas menatap pada Valeraine yang tampak asyik mengunyah spikoe. “Hanya saja untuk bikin Luna bilang setuju itu sulit sekali.”

Pak Danu tersenyum, ada binar puas yang berpendar dimatanya mendengar jawaban El. Meski hanya pelayan tapi dirinya adalah orang kepercayaan yang bekerja untuk tiga generasi rumah ini, baginya Luna sama seperti anaknya sendiri dan melihat laki-laki yang sangat peduli pada sang nona dirinya tentulah ikut bahagia.

“Saya doakan yang terbaik buat kalian bertiga, kapanpun Mas El butuh bantuan, saya akan membantu dengan senang hati … jangan sungkan-sungkan.”

El mengangguk dengan penuh rasa terimakasih atas penerimaan lelaki paruh baya yang selalu baik dan penuh perhatian padanya. Senang karena pendukungnya untuk merebut hati Luna sudah tentu bertambah satu lagi. 

Tbc

Part ini penuh dengan lobi2 antara El n Luna ... Sementara El sibuk melobi orang2 kepercayaan Luna untuk mendukungnya jadi babe Vale, Luna justru sibuk loba lobi  kerjaan ... Part yg ini berat yah tapi gak mungkin diabaikan penulisannya karena diperlukan untuk jd sumber masalah percintaan El  Luna kedepannya.

Selamat membaca readers, baik yg vote komen apa yg cuma siders. Ditambahin lagi dong komennya. yg semangat votenya juga kalau bisa biar bisa lanjut ke part mesra2 di bagian berikutnya dooong

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

16.3M 592K 34
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
553K 39.1K 61
Dokter Rony Mahendra Nainggolan tidak pernah tahu jalan hidupnya. Bisa saja hari ini ia punya kekasih kemudian besok ia menikah dengan yang lain. Set...
393K 37.9K 27
Lily, itu nama akrabnya. Lily Orelia Kenzie adalah seorang fashion designer muda yang sukses di negaranya. Hasil karyanya bahkan sudah menjadi langga...
5M 271K 54
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...