[✔] 1. DEAR J

By tx421cph

48.2M 4.2M 4.2M

[Telah Dibukukan, Tidak tersedia di Gramedia] ❝Untukmu, Na Jaemin. Laki-laki tak sempurna Sang pengagum hujan... More

00
Attention
01. Something Bad
02. I Called You, Nana
03. Friends?
04. Keychain
06. The Rain
07. I Told You
08. Fallin' to You
09. I'm Not
10. Between Rain and Rhyme
11. Close to You
12. No Longer
13. Getting You
14. November Rain
15. Who Are You
16. Unfathomable
17. Talking To The Moon
18. The Reason Why
19. The Truth Untold
20. Stay With Me
21. Through The Night
22. Love Bomb
23. Hello Stu P I D
24. Our Moment
25. My One And Only
26. Revealed
27. Will You Hold On?
28. Dear Mom
29. Dear God
30. End Of A Day
30.5 Dear J
How To Order?
What's Next?

05. I'll be Loving You (Forever)

1.4M 133K 126K
By tx421cph


Happy Reading



"Heh lo ngapain sih disini?!"

Jaemin terkesiap, tubuhnya terjungkal ke belakang di tengah tidurnya yang lumayan tak nyenyak karena posisi tidur yang terduduk. Laki-laki itu seketikan terbangun, kemudian mengucek kedua matanya dengan gerakan panik dan segera menatap siapa yang ada di depannya.

Itu saudaranya, yang sepertinya sama-sama bangun tidur dengan rambut yang seperti sarang burung. Dia berdiri, tubuhnya menjulang tinggi dihadapan Jaemin yang duduk di lantai.

Jeno baru saja menendangnya.

"Lo ngapain disini?!" ulang Jeno, kali ini nadanya lebih tinggi membuat Jaemin berdiri sambil merapikan buku matematika milik Jeno yang telah ia kerjakan semalam.

Anak itu menyodorkan buku di tangannya. Jeno mengangkat sebelah alis dengan sarkas.

"Kamu ketiduran, aku kerjakan ini. Tidak mau bangunkan"

Gerakan tangan Jaemin membuat Jeno frustasi, "Ngomong apaan sih gak jelas lo! keluar buruan!"

Jeno mendorong-dorong tubuh Jaemin, membuat anak itu tergopoh dan melangkah menjauhi Jeno. Masih dengan memegang buku tulis saudaranya, Jaemin membuka halaman paling akhir.

Kemudian menulis sesuatu disana, memberikannya cepat-cepat kepada Jeno.

"Lain kali jika kesulitan, bilang. Biar aku kerjakan"

Menatap catatan kecil itu, Jeno membuka-buka buku matematikanya. Kemudian melihat hasil pekerjaan Jaemin yang menjawab sepuluh soal matematikanya dalam diam.

Tulisan Jeno memang bagus, tapi tulisan Jaemin jauh lebih bagus dan rapi. Walaupun itu adalah deretan rumus matematika dan angka, melihatnya akan membuatmu nyaman.

Jeno kemudian membisu, lalu menatap pintu kamarnya yang baru saja di tutup oleh Jaemin.

~~~

Aku melangkahkan kakiku cepat-cepat setelah mengambil buku dari loker. Berusaha untuk tuli, menjauhi kerumunan yang cukup riuh di ujung koridor.

Mereka mulai lagi. Tapi aku bersyukur itu bukan Jaemin.

Sepertinya aku sudah mengingatkan kalian untuk tidak terkejut dengan sosialitas di sekolah ini. Selalu, selalu saja seperti itu setiap hari.

Dan yang paling sering melakukan hal tidak manusiawi itu adalah Felix, Lami, dan antek-anteknya.

Entahlah, mereka merasa berhak untuk melakukan hal keji itu karena status dan latar belakang mereka dari keluarga bangsawan atau berpikir jika murid-murid menengah ke bawah patut di singkirkan bagai hama.

Dan anehnya, para guru tidak memiliki respek yang baik terhadap kekerasan semacam ini.

Sekolah ini sungguh gila.

Aku mungkin cukup beruntung di lahirkan di dalam keluarga yang berada, ayah adalah seorang CEO, tapi tentu saja aku tidak pernah menyombongkan itu. Pun dengan Jeno yang papanya adalah seorang tokoh politik.

Terserah, yang jelas orang-orang yang berada di sekitar Jeno semuanya memiliki latar belakang bagus. Dan aku cukup sadar Jeno dan tim basketnya sangat berpengaruh di sekolah ini.

Sudah, lupakan tentang status sosial, karena hanya dengan mengingatnya aku merasa muak.

Terakhir kulihat yang di tindas di koridor tadi oleh Felix adalah Park Jisung.

Maaf Jisung, bukan aku pilih-pilih hanya mau membela Jaemin. Tapi...

"Jung!"

Kepalaku terangkat, kemudian mendapati seorang anak laki-laki tampan yang mendekat kearahku.

"I have my own name, Lee Minhyung" kataku, mendengus.

Dia tertawa, "Alright, Jung Jeha-ssi. But, just call me Mark"

Aku memutar bola mata, "terserah"

"Jeno mana?" tanyanya.

"Sejak kapan kamu pikun?" aku mengerutkan kening.

"What?"

"He's your classmate, god. Of course that boy not here"

Laki-laki berdarah Kanada itu mendecak, "I mean, dia belum datang tuh, maybe you know?"

"Nggak tau Mark, kenapa nggak kamu hubungin aja sih?" aku menggertakkan gigi gemas. Ini bukan pertama kalinya berbincang dengan Mark Lee bisa semenyebalkan ini.

"Udah di spam, nggak ada jawab"

"Yaudah tunggu aja, bentar lagi juga datang kan?"

"Urgent sih ini, tentang turnamen basketnya"

Aku mengulum bibir sejenak, berpikir. "Yaudah abis ini aku coba calling dia, mau masuk⎯oh? Nana!"

Kalimatku terputus dan secara refleks memanggil nama seseorang yang berjalan pada jarak 10 meter dari belakang Mark. Anak laki-laki itu mengangkat kepalanya, kemudian tersenyum lebar saat aku melambai.

"Who's Nana?" Mark mengerutkan kening.

"That boy"

Aku mengedikkan bahu, membuat Mark menoleh ke belakang mengikuti arah pandanganku.

Dan saat itu, aku tidak tahu jika Mark sedang memicing dan dia kemudian menatapku dengan aneh.

.
.
.

"Ke kantin yuk?" Yuqi menutup bukunya dengan semangat ketika bel istirahat berbuyi nyaring.

"Bentar" jawabku.

"Kamu belum selesai?" gadis yang duduk di depanku, membalikkan badan. Seo Herin.

"Uh, iya... Kurang setengah sih, habis banyak banget" jawabku kaku, sembari menggaruk kulit kepala.

"Aku udah nih, mau liat nggak?" anak perempuan berlesung pipi itu menyodorkan buku tulis bahasa inggrisnya padaku.

Ku gelengkan kepalaku cepat, "Nggak ah, nggak mau nyontek"

Yuqi yang mendengarnya, memutar bola mata sembari menghela "Plis deh, jangan sok alim"

"Iya tau yang lagi laper, jangan galak-galak" cibirku.

Herin tertawa, akhirnya menarik bukunya kembali. "Yaudah diterusin lagi nanti, kata Pak Jongdae juga deadline-nya lusa kok" kata-kata hangat Herin menetralisir hatiku.

"Iya, pak Jongdae tuh baik, nggak kaya pak Yixing" Yuqi sebal. Dia masih dendam dengan guru bahasa mandarin tersebut karena kemarin pak Yixing menyuruhnya membersihkan toilet. Salahkan Yuqi yang meninggalkan buku tugasnya.

"Eh tadi lo liat gak sih? Si Jisung"

Sayup-sayup, aku mulai mendengar perbincangan para murid laki-laki yang duduk di deretan samping jendela.

"Parah sih Felix, Jisung sampe nangis"

"Serius nangis? Kok cemen?"

"Tau, gue liat tadi dia di porotin duitnya, terus Felix marah gara-gara duitnya cuma dikit" suara Chenle, di selingi tawa kecil. Tawa yang remeh.

Donghyuck ikut tertawa, "Lagian juga orang miskin sekolah disini. Seru kayanya tuh, gue nggak liat tadi"

"Bukannya tadi yang ulah si Lami?"

"Iya, abis itu kan Felix dateng. Abis tuh si Jisung di hajar"

Aku hanya menghela napas pendek mendengar topik pembicaraan mereka yang sempat kulihat dengan mata kepalaku tadi pagi. Hanya saja aku tidak tahu bagian saat Felix yang katanya menghajar Park Jisung.

Jika itu benar, mereka benar-benar sangat keterlaluan.

Ah, bahkan mereka yang menggosipkan hal ini dengan tertawaan remehnya juga tidak berbeda jauh. Zhong Chenle, Lee Donghyuck, Park Woojin, Yang Jeongin.

Mereka anak-anak orang kaya hedon yang menyebalkan.

"Tolong kalau gosipin orang diluar aja, thanks"

Aku melihat Renjun berbicara dengan dingin kepada empat anak laki-laki yang rusuh sejak tadi. Kemudian dia kembali memfokuskan diri pada buku tugasnya sambil membenarkan kacamatanya sekali.

Sungguh ketua kelas kita.

"Apaan sih lo ngikut aja" Cibir Chenle, namun dengan suara yang cukup pelan.

"Udah ah yuk, jangan ikut-ikut, males banget"

Yuqi berdiri dan segera menarik tanganku yang sejak tadi terdiam memerhatikan para anak laki-laki tersebut. Aku tersentak kecil, kemudian mengangguk kecil ketika kedua temanku itu berdiri.

Sebelum pergi dari kelas, aku menyempatkan diri melirik ke sudut ruang. Melihat Na Jaemin yang sedang mendengarkan lagu dari iPod kecilnya.

Aku ingin mengajaknya makan bersama.

Sayangnya... aku lebih menghargai Jeno.

.
.
.

"Gimana persiapan turnamennya? Nanti latihan nggak?" tanyaku, yang tengah berjalan di samping Jeno sambil memegang satu cup bubble tea.

"Udah siap semua kok, tinggal pemantapan aja, iya nanti latihan" laki-laki itu menjawab sambil mengulum senyum. "Kamu pulang sama Kak Jaehyun?" dia mengelus belakang kepalaku.

"Belum ngomong sih sama dia" aku mengangkat bahu.

"Kalo gitu aku anter aja nanti,"

"Kan kamu ada latihan?"

"Nganter pulang bentar doang kan bisa, Jung" Lucas yang berjalan bersama Yuqi, Mark, dan Herin, menyahut seenaknya.

Sudah berapa kali ku bilang pada anak-anak ini untuk tidak memanggilku "Jung". Ya sudahlah.

"Ya tapi⎯"

"Udah nggak apa-apa, sekalian nanti mau nengok bunda bentar" Jeno kembali tersenyum manis, membentuk eye smile. Itu cukup membuatku untuk sulit bernapas ketika melihat wajah tersenyumnya.

Dia sangat manis.

"Kalian pulang latihan jam berapa?" Mark menyela.

"Nggak tau, bakal sore mungkin?" Jeno mengangkat bahunya.

"Kenapa bro?" tanya Lucas.

Mark mendecak, "Malem amat, mau ngajak nongkrong aja sih"

"Yeuu, makanya cari pacar"

Lucas menyenggol tubuh Mark dengan sikunya hingga laki-laki bule itu terhuyung. Jangan lupa sebongsor apa tubuh Lucas dan sekurus apa tubuh Mark Lee.

Herin yang ada disana, mendadak telinganya sensitif.

Aku terkekeh, sepertinya Mark perlu di kode keras karena anak itu sangat tidak peka, apalagi dalam hal percintaan seperti itu.

"Eh disana tuh tadi!"

"Ayo buruan liat!!"

"Minggir dong!"

Kami semua terkejut ketika mendadak banyak murid-murid sekolah yang berlarian di koridor. Sebagian ada yang menubruk Lucas dan Mark. Aku pun nyaris tertabrak, tapi beruntung Jeno dengan cepat menarikku menjauh dan membawaku ke belakang tubuhnya.

"Weh ada apaan sih?" Lucas mendecak kesal.

Mark yang ingin tahu pun menoleh kesana kemari, pandangannya mengikuti kemana murid-murid itu berlari dengan ribut.

"Hey, what's up?" ujarnya, setelah mencegat seorang murid laki-laki yang sedang berlari kecil.

"Katanya Felix mulai lagi"

"Felix? Ngapain sih?" Yuqi sepertinya sudah kesal hanya dengan mendengar nama Felix Lee.

"Dia ngehajar Si bisu habis-habisan! Ada Lai Guanlin juga!" anak itu panik.

Tapi mendengar apa yang di katakannya, aku lebih panik ribuan kali.

"Si bisu?" Mark mengerutkan kening.

"Maksud lu..."

"Na Jaemin" sahut anak laki-laki tersebut.

"God, what happen with Lai Guanlin?"

Aku sejak tadi membisu, berdiri dengan kaku dengan tatapan nanar. Kepalaku nyaris blank, dan mendengar nama Lai Guanlin disebutkan setelah Na Jaemin, membuat jantungku berdebar jutaan kali lebih cepat.

Sialan, aku tidak bisa membiarkan ini!

Kakiku berlari tanpa di perintah, pergi dari teman-temanku. Berlari bersama beberapa murid lain.

"Jeha! Tunggu!"

Aku tidak mau melihat Jeno, aku tidak mau mendengarkan larangan Jeno. Terserah, yang ada di pikiranku hanya Jaemin.

Aku takut saat mendengar nama Lai Guanlin. Aku takut Jaemin di sakiti olehnya. Kenapa harus Jaemin?! Kenapa harus seorang anak yang jelas  memiliki kekurangan seperti dia?!

Namun sayangnya, ketakutanku pun menjadi nyata.

Dari radius 5 meter, aku bisa melihat tubuh Jaemin terkapar di lantai. Meringkuk, dengan Lai Guanlin yang berdiri menjulang di depannya. Tangan laki-laki itu terkepal, menatap Jaemin penuh marah.

"Brengsek lo!"

Buagkhh!

Dugkh!!

Felix dan kawan-kawannya berdiri disana sambil tersenyum puas, dan aku pun bisa melihat Jisung, duduk di lantai sembari gemetaran dan menangis menyaksikan kekerasan yang terjadi di depan matanya.

Duagkhh!

Guanlin menendang Jaemin, memukulinya, hingga wajah anak laki-laki itu penuh dengan darah, lebam dimana-mana, dan kulihat...

..mulutnya berdarah.

"Stop Guanlin!!! Lo gila ya?!!"

Aku mendorong tubuh Guanlin kuat-kuat hingga dia mundur beberapa langkah. Dengan nafas memburu, berandal sekolah itu menatapku tajam.

"Lo?" dia tertawa sinis, "Jung Jeha? Pacar Lee Jeno? Ngapain lo?"

Bisa ku dengar suara bisik-bisik murid lainnya yang sejak tadi sibuk menonton, dan sesekali ku dengar suara Jaemin yang terbatuk.

"Lo lagi lo lagi" Felix melipat kedua tangannya, "lo siapanya si bisu ini sih?"

"Brengsek kalian" desisku, sebisa mungkin menahan tangis saat melihat sesekarat apa Jaemin saat itu.

"Mending lo minggir, gue mau beresin sampah ini dulu. Jijik gue liat manusia hina⎯"

PLAK!!!!

"Lo lebih sampah, Lai Guanlin"

Aku menampar Guanlin sekuat mungkin, membuat semua murid disana terkejut. Bahkan Guanlin yang wajahnya tertoleh ke samping dengan bekas yang memerah, tamoak tercekat.

Dia menoleh kearahku dengan perlahan, amarahnya tergambar sangat jelas.

"Bangsat!"

Guanlin menarik kerah seragamku dengan kasar, mengangkatku hingga kakiku berjinjit. Aku sama sekali tidak takut saat dia menatapku tajam, karena kemarahanku padanya pun begitu besar.

"Berani lo sama gue?" ucapnya sarkas.

Aku mendecih, "Lo nggak punya apapun buat gue takutin"

Brukkgh!!

"Akh!" aku meringis ketika Guanlin mendorongku hingga aku terjatuh di samping Jaemin. Sial, badanku sakit. Dia melemparku lebih tepatnya.

Guanlin sudah berancang-ancang hendak menendangku, dan disaat bersamaan dengan itu Jaemin yang tengah sekarat, mengambil jemariku.

"Lai Guanlin"

Suara seseorang di tengah kerumunan, mencegah gerakan Guanlin. Kami semua menoleh bersamaan.

Aku menghela napas lega ketika tahu bahwa orang yang datang menyelamatkanku saat itu adalah Xiaojun. Ketua Osis.

Dan guru konseling kami, Pak Dongho, di belakangnya.

Guanlin mendelik, kemudian menjauh dariku dan Jaemin.

"Lai Guanlin, Felix Lee, Hwang Hyunjin, Bangchan" suara berat Pak Dongho menginterupsi kami semua, bahkan aku. "Ikuti saya!"

Guanlin yang berdiri di tempatnya, mengepalkan tangan kuat-kuat ketika Pak Dongho berbalik dan mulai berjalan menjauh. Aku pun bisa mendengar keluhan maupun umpatan Felix dan teman-temannya.

"Urusan kita belum kelar, dasar cacat" maki Guanlin, menunjuk Jaemin dengan tajam. Melewatinya begitu saja.

Aku menghela napas panjang, pasrah. Kemudian bersimpuh di samping Jaemin yang berusaha untuk bergerak.

"Kamu nggak apa-apa?" tanyaku dengan mata yang basah, bodohnya aku menanyakan hal yang jelas-jelas sudah ada jawabannya.

Jaemin hanya tersenyum tipis, kemudian mengangguk. mata kanannya bengkak, kemejanya terkotori banyak noda darah, wajahnya benar-benar penuh dengan luka.

Anak itu terlihat memegangi perutnya, kemudian berusaha untuk duduk.

"Kak... maaf ini semua gara-gara aku"

Aku menoleh ketika melihat Jisung mendekat dengan suaranya yang gemetar. Dia terlihat memeluk tas sekolahnya. Mengerutkan kening heran, karena aku tidak tahu apa maksud anak ini.

"K-kenapa?"

"Aku... K-kak Guanlin..."

"Kalian nggak apa-apa kan?"

Perhatianku teralih ketika melihat seorang lelaki menghampiri kami, berjongkok di dekatku. Wajahnya terlihat sangat khawatir.

"Jaemin..." lirihku.

"Ayo aku bantu bawa ke UKS" Xiaojun mengambil tangan Jaemin, membantunya untuk berdiri, kemudian merangkulkan tangan Jaemin ke bahunya.

Aku melakukan hal yang sama pada tangan Jaemin yang lain. Kemudian kami berjalan dengan hati-hati ketika Jaemin merintih dalam diam, dan Park Jisung yang mengekor di belakang sambil terisak.





"Gapapa Jun, kamu balik aja, aku bisa obatin dia sendiri" aku tersenyum kearah ketua osis tersebut setelah dia membantu Jaemin berbaring di atas bangsal UKS.

Awalnya dia berniat untuk mengobati luka-luka Jaemin, namun aku mencegahnya. Dia ketua osis, dia orang yang sibuk.

"Beneran?"

"Iya, aku bisa kok"

Terlihat, anak laki-laki berwajah tampan dan termasuk salah satu idola di sekolah itu menghela. Ngomong-ngomong dia saingan Jeno.

Entah, mungkin karena sama-sama populer.

"Kamu sendiri nggak apa-apa?" tanyanya, "aku liat kamu di lempar sama Guanlin"

Aku menggeleng cepat, "beneran nggak apa-apa, nggak sakit sama sekali"

Tentu aku berdusta sedikit, sebenarnya tulang pinggulku sungguh ngilu.

"Yaudah kalo gitu, aku balik dulu. Ayo Jisung, kamu ikut aku ke ruang kepala sekolah,"

Jisung terlihat memandang Jaemin khawatir, kemudian beralih menatapku. "Tapi kak⎯"

Xiaojun tersenyum, kemudian menepuk kepala Jisung pelan "gapapa, dia udah ada yang ngurusin"

Jisung menghela kecewa, sepertinya dia masih merasa sangat bersalah terhadap Jaemin. Aku pun tidak tahu pasti apa prahara yang terjadi diantara Jisung, Jaemin, dan Guanlin tadi.

Biar nanti Jaemin yang menjelaskan padaku sendiri.

"Makasih ya, Dejun" aku tersenyum, sedikit dipaksakan. Aku lebih sering memanggilnya Dejun, karena namanya Xiao De Jun. Itu lebih simple.

Setelah menjawab kata-kataku dengan sebuah senyum tulusnya, ketua osis itu berbalik dan berjalan menuju pintu bersama Jisung yang masih berat untuk pergi.

Kemudian, sepuluh detik suasana menjadi senyap. Karena aku yang masih tidak bergerak, dan Jaemin yang hanya berbaring di tempatnya sambil menatapku.

Sampai akhirnya, tangan anak itu bergerak dengan sangat perlahan.

"Kamu disini lagi" katanya, syukurlah aku mulai menguasai bahasa isyarat. Lalu, Jaemin tertawa kecil dengan susah payah.

"Kamu ngapain sih..." ucapku, menatapnya nanar. Tak pernah habis pikir dengan laki-laki ini.

"Mereka ganggu, aku bantu Jisung"

Sudah kuduga. Padahal dia hanya diam saja ketika dirinya di tindas, tapi dia baru saja membela seseorang yang tertindas.

Menghela napas pasrah, ku langkahkan kakiku menjauhi bangsal. Mengumpulkan beberapa obat dan antiseptik untuk mengobati luka Jaemin.

"Lain kali jangan begini lagi" suaraku, sembari membasahi kapas dengan cairan alkohol.

"Mereka ambil uang sekolah Jisung, aku nggak bisa diam saja"

Aku terdiam ketika Jaemin menjelaskan. Memang tidak ada yang salah dengan apa yang Jaemin lakukan, tapi tetep saja Jaemin harus sadar posisinya di sekolah ini.

Apalagi jika Guanlin yang dia hadapi. Orang gila.

Saat aku hendak membersihkan beberapa darah kering di wajahnya, Jaemin tengah berusaha untuk duduk. Tak ada pilihan lain bagiku selain membantunya, kusuruh untuk berbaring dia tidak akan mau. Dia keras kepala.

"Na..." pelanku, mulai membersihkan darahnya. Anak itu mengangkat alis.

"Jangan terluka lagi, aku nggak suka" ujarku sembari menghela.

Jaemin hanya tersenyum, aku tidak tahu apa alasan di balik senyumannya. Yang jelas aku sangat menyukai garis simetris di wajah itu.

Dia terlihat seperti pelangi yang datang setelah turun hujan.

"Ng? Apa?"

Aku mengangkat alis ketika dia tiba-tiba menyerahkan iPod kesayangannya yang baru saja ia ambil dari saku celananya.

Jaemin mengangguk, menyuruhku mengambilnya, atau mendengarkannya. Mungkin.

"K-kenapa Na?"

Tidak sabar denganku yang terlalu banyak bertanya, Jaemin menarik tanganku. Dia membawaku mendekat kearahnya, kemudian menyumpalkan earphone putih tersebut ke telingaku. Membuatku tersentak kecil.

"Dengerin itu, kesukaanku" katanya, kemudian tersenyum. Lagi.

Aku mulai diam, kemudian mendengarkan lantunan lagu yang memutar disana.

Lagu ini sedikit tidak sinkron dengan telingaku, uh... sepertinya ini lagu kuno? telingaku sudah terbiasa dengan Pop dan musik-musik tahun 2000-an, jadi aku sedikit aneh saat mendengar lagu yang di berikan oleh Jaemin ini.

Aku menatap Jaemin, dia terkekeh.

"Itu lagu lama, tahun 1988"

Mataku melotot, ternyata memang benar lagu kuno. Astaga, ini bahkan lagu tahun 80-an. Bagaimana dia bisa tahu lagu seperti ini?

Sepersekian detik kemudian, aku mulai meresapi bait demi bait lirik lagu tersebut.

I count the blessings that keep our love new
There's one for me
And a million for you
There's just so much that I want to say
But when I look at you
All my thoughts get in the way

Mataku berotasi, menatap Jaemin yang saat itu ternyata juga tengah menatap lekat kearah kedua netra gelapku.

I'll be loving you forever
Just as long as you want me to be
I'll be loving you forever
All this love's for you and me, yeah

Perlahan namun pasti, laki-laki itu menggerakkan tangannya. Masih dengan senyuman itu, masih dengan tatapan itu.

"Sejak dulu aku ingin tahu bagaimana rasanya jatuh cinta, apa sekarang Tuhan akan mengijinkanku untuk mencintai orang yang ada di hadapanku saat ini?"

Bibirku terbuka perlahan, kemudian aku mematung setelah membaca bahasa isyarat Na Jaemin.





To be continued....

.
.
.

Dejunnn, ketua osis kita yang ganteng ♡

Continue Reading

You'll Also Like

38.2K 3.6K 7
Apa yang ditakdirkan untukmu, sejauh apapun akan selalu menemukan jalan untuk kembali kepadamu. - Dava Bahari
744 146 24
Ada tiga orang gadis yang hidup bersama dari kecil, mereka bernama Shaynala, Asa, dan Vyora. Hidup mereka berjalan dengan tentram dan damai, sampai s...
891K 82.2K 49
Romeo langsung membenci Estelle, gadis yang umurnya hanya berjarak dua tahun darinya. Begitu sang ayah memperkenalkan seorang gadis yang akan menjadi...
268K 36.8K 25
Sederhana saja. Hanya tentang kehidupan tiga bersaudara putra Pak Bratadikara yang akan membuatmu harus memutuskan antara dua pilihan, yakni mengingi...