My Dearest Widow(er)/Dearest...

By verlitaisme

1.1M 73.4K 3.5K

Book 1 : Dearest Series A Romance Comedy Memutuskan menikah di usia muda benar-benar sebuah bencana bagi Laya... More

Cerai
Jobless
Mantan Suami
Penasaran
Gengsi
Maaf
Peka
Dulu
Mangsa
Cemburu
Kontrak
Kangen
Janji
Cinta
Hilang
Mood
Debar
Sinting
EBook Ready

Kecewa

30.9K 3.8K 206
By verlitaisme

Langkahku lebar-lebar mengikuti Bram yang berjalan super cepat di depanku. Kardigan berwarna abu yang kupakai, kutarik rapat menutup dada karena udara yang cukup dingin.

Kami berjalan menyusuri taman di lingkungan apartemen yang--tumbennya--sepi malam ini, untuk mencapai menara apartemen Bram. Tadinya Ruri mau ikut, tapi kucegah. Berjaga-jaga kalau Aria muncul di unit apartemenku.

Mataku menatap sekeliling, mencari-cari siapa tahu Aria ada di suatu sudut. Tapi nihil.

"Cepat-cemat amat, sih!" keluhku lalu setengah berlari untuk meraih lengan Bram.

Bram sama sekali tidak menghentikan langkah. Dia terus berjalan dan aku terengah mengikuti langkahnya sambil mencengkram lengan.

"Sakit, Laya ...," gerutunya sembari menepis tanganku, lalu diraihnya lagi untuk kemudian di genggam.

Aku terhenyak, terus mengikuti langkah Bram sambil menatap tanganku yang digenggam.

Kalau kemarin dia aku tonjok, sekarang aku apakan enaknya?

Keningku berkerut, mataku tidak lepas dari genggaman, dan kakiku terseret-seret mengikuti langkah Bram.

Tepat ketika kami nyaris mencapai teras menara apartemen, mataku menangkap sesosok kecil yang berjongkok di sisi mini market, tempat biasa aku membeli kopi. Lokasinya memang tidak jauh dari menara apartemen di mana unit Bram berada.

Serta merta kuhentikan langkah. Bram menarik tanganku namun kutahan.

"Kenapa, sih?" sungutnya sambil menoleh ke arahku.

Aku menatap Bram sembari meletakkan telunjuk yang bebas ke atas bibir. Bram mengernyit. Tapi ketika aku menggunakan telunjuk yang sama untuk menunjuk sosok kecil yang berjongkok sambil memeluk kedua kaki, Bram menghela napas lega. Pandangan cemasnya segera mencair, berganti dengan pandangan penuh luka.

*******

Aku menatap Bram yang memeluk Aria dalam dekapan sepanjang jalan menuju unit apartemen mereka.

Bukan hanya Bram, akupun merasa terluka melihat Aria yang seperti tadi. Ketika kutanya kenapa dia meninggalkan apartemen, dia jawab, "nunggu Mami."

Nyesss rasanya. Siapa yang enggak sedih dengarnya?

Ketika aku mengalihkan pandangan ke arah Aria, dia sedang menatapku dengan pandangan sedih dan wajah muram, aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman yang kurasa terlihat aneh. Soalnya, aku enggak sanggup tersenyum lagi sejak dengar alasannya meninggalkan apartemen.

Lalu Aria menunduk, menyembunyikan wajahnya di balik bahu Bram.

Aku menghela napas. Sepertinya akan kupaksa Bram menceritakan kebenaran tentang Amira pada Aria supaya kejadian seperti ini tidak terus berulang.

*******

Aria berada di kamarnya dan tidak mengizinkan ayahnya maupun aku masuk. Memang tidak dikunci, tapi setiap kali aku dan Bram mencoba membujuknya dia akan membenamkan wajah ke dalam selimut dan mulai merengek.

Jadi, kami putuskan untuk tidak mengganggunya dulu.

Berdiam diri berdua di balkon apartemen Bram, aku mendudukan diri di sebuah kursi rotan nyaman yang berada di sana. Bram sendiri bersandar pada pagar pembatas dan sepertinya sedang menatapku dengan secangkir teh panas di tangannya. Tidak tahu juga, sih. Aku enggan menatap ke arahnya. Satu-satunya alasanku untuk tetap tinggal adalah Aria. Aku harus memastikan kalau dia sudah baik-baik saja.

"Kamu khawatir sama Aria?" Bram memecah keheningan, sementara aku yang sedang menghitung bintang, terpaksa menghentikan kegiatanku karena pertanyaannya membuatku lupa sudah berapa banyak yang kuhitung.

"Hm?" gumamnya bertanya karena aku tidak juga menjawab.

Aku tidak langsung menjawab karena harus berpikir sejenak, bisa jadi ini pertanyaan jebakan. Dia kan licik.

"Susah banget jawabnya?" Bram terdengar tidak sabar.

Aku mendongak, menatapnya yang saat ini mulai menyesap teh dari cangkir.

"Kalau khawatir emangnya salah?" tanyaku.

Bram mengangkat salah satu alis menatapku dari ujung cangkir. Menyesap sedikit lagi sebelum menjauhkannya dari mulut.

"Enggak," sahutnya.

Aku tersenyum tipis. Kayaknya bukan pertanyaan jebakan. Syukurlah.

"Kalau sama Bapaknya? Khawatir, enggak?" Lalu dia nyengir.

Aku menghela napas malas, lalu mulai menatap langit lagi dan kembali menghitung bintang dalam hati. Menghabiskan waktu sampai Aria mau menerimaku di kamarnya.

"Laya ...."

Lalu hitunganku berantakkan lagi.

"Ya?" sahutku dengan nada sedikit kesal.

"Aku serius loh kemarin minta kamu jadi maminya Aria," katanya yang membuatku mau tidak mau menghentikan kegiatan hitung-menghitungku.

Dia mulai lagi.

"Aku juga serius nolaknya," kataku, menghujam pandangan ke arahnya.

Bram menurunkan sudut-sudut bibirnya, terlihat sekali kalau dia kecewa.

"Lagian, bisa-bisanya kamu nyari mami baru buat Aria sementara kamu belum cerita ke Aria tentang kematian maminya," geramku.

Tiba-tiba Bram terbatuk, teh dalam mulutnya sampai tersembur. Susah payah dia menghentikan batuknya. Aku risih sendiri, karena teh dari mulutnya muncrat ke kardigan.

"Aduh, maaf Laya! Maaf!" paniknya, mengulurkan tangan ke arah kardigan tapi kutepis.

"Enggak usah dilap!" tolakku. Aku enggak mau tangannya menyentuh bagian dadaku. Kalau kena, bagaimana? Amit-amit!

Bram sepertinya sadar, dia langsung menarik tangannya dan tersenyum kikuk ke arahku.

Aku menghela napas. Lagi. Helaan napasku enggak habis-habis kalau berhadapan dengannya. Enggak tahu kenapa, bawaannya kesal terus.

"Maaf ...," lirihnya lagi.

"Dimaafkan," sahutku cepat.

"Makasih, Laya."

"Jadi masalah Amira ...."

"Dia hidup," potong Bram membuatku menatapnya dengan mata membulat.

"Tapi kamu bilang dia ... enam bulan lalu ... Amira ...." Astaga! Aku bahkan tidak dapat merangkai kalimat yang hendak kuucapkan dengan benar.

Amira hidup? Terus kalau dia hidup ... di mana?

"Enam bulan lalu dia pergi." Bram menundukkan kepala, cangkir teh sudah diletakkannya ke atas meja kaca kecil yang ada di balkon.

"Ke-ke mana?" gagapku saking tidak menyangka.

"Enggak tahu." Bram mengendikkan bahu. "Kalau tahu, sudah kuseret dia pulang."

Aku menelan ludah susah payah. Entah mengapa ada perasaan aneh bercampur lega yang menelusup ke dalam hati. Perasaan yang entah mengapa membuat hatiku sedikit nyeri.

"Aku pikir ... dia meninggal," pelanku.

Bram membungkuk, menatapku dengan lebih dekat. Keningnya mengernyit.

"Kamu kecewa?" tuduhnya yang membuatku segera memasang wajah garang.

"Kecewa kenapa?!" sengitku.

"Karena Amira masih hidup?" tebaknya tidak yakin.

"Mimpi!" Aku mendorong tubuhnya dan bangkit berdiri. Seenaknya saja dia menebak-nebak seperti itu. Kecewa untuk apa? Kenapa aku harus kecewa? Untuk apa aku kecewa?

Apa benar aku kecewa?

Kuhentak-hentak kaki dan berjalan ke kamar Aria. Aku bisa mendengar langkah Bram membuntuti dari belakang.

Sampai di depan kamar Aria, kudorong pintu perlahan hingga sedikit terbuka, mengintip dari celah dan menemukan bahwa Aria sudah terlelap.

Aku mendorong pintu hingga terbuka lebih lebar, berjalan perlahan ke sisi ranjang dan memperbaiki letak selimut yang tersingkap.

Anak itu tertidur dengan wajah sedih. Kesedihan yang tidak mampu melunturkan wajah malaikatnya. Entah apa yang ada dipikiran Amira sampai dia mampu meninggalkan Aria. Si kecil ini terlalu manis untuk bisa diabaikan.

Padahal ... dia ibunya.

"Terima kasih untuk peduli ...."

Tiba-tiba saja Bram sudah berdiri di sampingku. Sepertiku barusan, dia juga sedang menatap buah hatinya yang telah jatuh tertidur.

Melihatnya, membuat perasaan aneh itu menguar lagi. Nyeri ... tapi bisa kutahan. Bisa kuabaikan.

*******

Suara bel terdengar panjang tanpa putus pagi ini. Enggan rasanya bangun karena drama semalam membuatku sangat lelah. Belum lagi masalah packing yang belum kelar dan Ruri yang cerewet bertanya-tanya tentang Bram.

Aku berusaha mendorong bangun Ruri yang tertidur di sampingku, tapi gadis itu sama sekali tidak terbangun. Dia pasti sama lelahnya denganku.

Dengan malas akhirnya aku bangun juga. Menuju pintu depan sambil sesekali melompat untuk melewati kardus-kardus berisi barang yang akan kubawa pindah.

Lewat lubang intip aku melihat wajah Aria memenuhi seluruh pandanganku. Dia tersenyum, sepertinya sudah lupa dengan kejadian semalam.

Karena itu Aria, aku jadi bersemangat. Kubuka pintu hingga lebar, dan mendapati bahwa dia berpakaian renang di gendongan ayahnya.

"Belenang, Ante!" serunya mengajak.

Aku tersenyum serba salah. Nyawaku saja belum terkumpul, masih tersisa di atas ranjang.

"Ante! Ayo belenang!" ajaknya lagi.

*******

Karena tidak bisa menolak Aria, akhirnya aku ikut juga. Meski hanya bermain-main dengan pakaian lengkap di sisi kolam, karena enggan terjun ke dalam air.

Aria terlihat kegirangan mengenakan ban renang, sementara Bram berenang beputar-putar mengitarinya

Aku menggerak-gerakkan kaki di dalam air, tersenyum melihat pasangan ayah dan anak  yang terlihat bahagia, lupa akan kejadian semalam.

"Ante Laya!" Aria berseru dari tengah kolam, melambaikan tangan ke arahku, dan kubalas dengan lambaian yang sama.

Kulihat Bram berenang ke arahku, dia menarik Aria beserta pelampungnya juga. Tidak lama mereka sudah mencapai tempatku duduk. Bram mengangkat tubuhnta dan duduk di sampingku, sementara Aria tetap berenang berada dalam jarak yang dekat dengan kami.

"Kita kayak keluarga kecil bahagia, ya," ucap Bram asal sambil terkekeh pelan. Aku memutar bola mata, malas menanggapi lebih lanjut.

Bram mencibir. "Kamu sudah enggak lucu lagi, Lay. Enggak bisa diajak becanda," sindirnya.

"Whatever ...," sahutku sambil membalas lambaian tangan Aria ke arahku.

Aku bisa mendengar Bram terkekeh.

Dasar sinting.

"Kamu sadar enggak? Nama belakang kita bertiga sama." Bram tersenyum.

"Aku sudah bukan Herawan!" bantahku.

Cengirnya makin lebar, kemudian wajahnya mendekat.

"Bram Herawan, Aria Shem Herawan dan ...." Bram mengulum senyum yang semakin membuatku kesal.

"Dan ... Jandanya Bram Herawan!"

Lalu tawanya pecah.

"Trio Herawan!!" gelinya, membuatku naik darah.

Tanganku tidak bisa dicegah, bergerak menempeleng kepalanya dengan kesal.

Bukannya diam, tawanya malah semakin keras.

"Makanya ...," ucapnya ketika sudah mampu menanggulangi tawanya. "Balik lagi sama aku ... supaya gelar jandanya beralih ke gelar nyonya," lanjutnya asal, yang kali ini kuhadiahi dengan satu jitakkan.

Bram tergelak. Ketika mataku makin melebar saking marahnya, tawanya malah semakin menjadi-jadi.

"Bram."

Suara panggilan dari seseorang menghentikan tawanya. Bersamaan kami menoleh ke arah suara.

Seorang wanita berambut cokelat dengan gaun tanpa lengan berwarna putih terlihat berdiri di sana. Bibir merah, hidung bangir serta wajah berbingkai ovalnya, mengingatkanku akan seseorang.

Ingatan yang membuat kerja jantungku menjadi lebih keras.

Dengan cepat aku menoleh ke arah Aria, dia sedang bermain air, memunggungi kami. Setelahnya aku menoleh ke arah Bram yang terlihat sudah berdiri dari duduknya.

"Sudah pulang?" tanya Bram dingin ke arah si rambut cokelat.

Wanita itu mengangguk pelan.

"Aku mau jemput Aria. Boleh?"

TBC



Continue Reading

You'll Also Like

HAI By Aii

ChickLit

250K 25.7K 45
Berawal dari kata "Hai!", semua dipertemukan. Berawal dari kata "Hai!" pulalah,kenangan itu dikembalikan. Diandra dan Juna kembali dipertemukan setel...
22.4K 1.5K 74
menemukan keindahan dalam ketidaksempurnaan hidup
22.8K 1.9K 8
Pernahkah kalian mendengar tentang Kamigami? Ada yang percaya juga ada yang tidak Tapi bagaimana jika Naruto Uzumaki seorang warga biasa di pertemuka...
581K 51.7K 34
Bryna tidak ingin kembali ke rumah yang sudah ia tinggalkan selama 4 tahun belakangan. Dia tidak ingin kembali ke kota dimana semua harga dirinya sud...