SIGNAL: 86

By Arabicca69

109K 17.6K 2.4K

[Misteri/Thriller] Bercerita tentang petualangan dua orang detektif kepolisian dari masa yang berbeda. Kisa... More

PEMBUKA
[Case 1: Home Sweet Home (?)]
1. HT Tua
2. Rumah (?)
3. Informasi Sang Letnan
4. Cerita Masa Lalu
5. Disza Anszani
6. Lapor
7. Fakta
8. Olah TKP Lanjutan
9. Kronologi Tak Terduga
10. Juru Selamat
11. Mencari Sebuah Kepastian
12. Benarkah Yang Kita Lakukan Ini?
13. Jangan Kuatir
[Case 2: Sex Interest (?)]
15. Sign
16. No Angels
17. Letter to You
18. Does God Really Exist?
19. Graveyard (?)
20. Am I Just Dreaming?
21. Treasure
22. Chaos
23. It's Okay
24. To Pieces
25. The Dog Named Hachiko
26. Curious
27. If Only I Could
[[ Jalinan ]]
28. Hopeless and Happiness
29. Hiatus
30. Press Release
30.2. Press Release
31. Tragic
32. Regret
[Case 3: Dust & Gold]
33. Berita Buruk
34. A Thing To Remember
35. A Gift
36. Rahasia Gambar dalam Gambar
[[ Jalinan ]]
37. Seseorang dari Masa Lalu
38. Breath In
39. Kenangan Dalam Sebuah Foto
[[ Jalinan ]]
40. Transmisi Terakhir
41. Transmisi Terakhir II
[[ Jalinan ]]
42. Peti Mati Tanpa Isi
43. Pesan yang Tak Sampai
43.2. Pesan yang Tak Sampai
44. Babak Baru
45. Sebuah Firasat
46. Tensitas
47. Teror
48. Teror [2]
49. Sebuah Fakta
50. Titik Akhir
51. Titik Akhir [2]
52. Kekalutan
53. Kembali
54. Kehilangan
55. Menelisik
55.2 Menelisik Bagian II
56. Kejutan

14. Kabar

1.7K 335 55
By Arabicca69

Beberapa hari belakangan, radio, televisi, bahkan koran nasional yang banyak dijajakan di simpang lampu merah, masih membahas topik serupa; yakni seputar keberhasilan pihak kepolisian dalam menangani kasus pembunuhan satu keluarga di Karang Sari.

Pembunuhan itu ditenggarai oleh anak korban sendiri yang juga merupakan anak adopsi. Kakak. Perasaan iri yang telanjur menguasai diri membuatnya tak bisa lagi berpikir jernih. Hatinya lama-kelamaan termakan dendam ketika menyadari kedua orang tua yang mengasuh mereka lebih menyayangi kedua anak kembar itu ketimbang dirinya.

Banyak masyarakat percaya bahwa harapan menuju Polri yang mandiri dan profesional dapat terwujud beberapa tahun mendatang. Kasus-kasus yang melibatkan masyarakat memang tidak seharusnya dicampuradukkan dengan kepentingan militer. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat merupakan tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia. Demi terbinanya ketentraman di seluruh lapisan masyarakat, Polri--sebagai alat negara--harus tetap menjunjung tinggi hak azasi manusia dalam mengadili. Itulah mengapa praktik militerisme yang dulunya sangat melekat harus segera dihapuskan dari wajah baru kepolisian.

Letnan Samsuri mendapat banyak apresiasi. Pelaku berhasil ditangkap di tempat kejadian dalam keadaan hidup. Perintahnya untuk tidak melepas tembakan yang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa pelaku merupakan hal yang tepat. Pelaku memang sempat mencoba kabur saat itu, namun usahanya berhasil digagalkan oleh dia dan prajuritnya.

Keberhasilan yang telah mereka capai ini juga berkat informasi dari Inspektur Dimas. Sayang, berita baik ini tak bisa Letnan Samsuri sampaikan pada sang Inspektur secara langsung, lantaran HT yang sudah dia anggap seperti jimat tak kunjung menyala.

Hari berganti hari, bulan bertemu bertemu bulan. Banyak angka pada kalender yang sudah dia coreti hingga tanpa disadarinya tahun ini telah memasuki tahap penghujung. Transmisi itu rupanya benar-benar tidak pernah datang lagi. Meski puluhan kasus telah berhasil dia selesaikan, dan janji kenaikan jabatan sudah sejengkal di depan mata, hal tersebut pun tak lantas membuatnya merasa tenang. Letnan Samsuri justru merasakan kehilangan yang teramat sangat. Dunianya mendadak senyap dan hampa--entah sebab apa. Segenap perasaan itu kerap mengganjal hatinya, sampai-sampai Letnan Samsuri tidak mengerti bagaimana cara mengartikan.

Apa yang terjadi dengan Inspektur Dimas Armedy Chan di masanya?

Entahlah.

Pada akhirnya Letnan Samsuri hanya bisa membiarkan rasa penasarannya lenyap terbawa angin.

_________________

"Sidang tahunan MPR telah selesai dilaksanakan pada bulan Agustus kemarin. Berikut merupakan ulasan undang-undang hasil amandemen kedua ...."

Letnan Samsuri tidak benar-benar sedang mendengarkan informasi yang disampaikan oleh penyiar berita di televisi. Jam di dinding ruangan sudah menunjukkan pukul tiga belas kurang. Dia punya janji temu dengan seorang jurnalis, tetapi hingga jarum menit menyentuh angka dua belas, jurnalis itu belum juga menampakkan batang hidungnya.

Tidak sampai di menit kelima berikutnya, terdengar suara denting lonceng sesaat pintu dibuka dari luar. Manik hitam Letnan itu pun sesegera mungkin menyambar pintu masuk. Di ambang pintu, dia mendapati seorang pria berperawakan kurus sedang tersenyum canggung ke arahnya. Tipikal seseorang yang berpendidikan tinggi; mengenakan kemeja putih bersih, celana kain dan dasi berwarna senada--biru gelap, serta kacamata ber-frame bulat sewarna emas yang bertengger di hidungnya. Rambutnya disisir rapih ke belakang. Sepatu pantofel mengkilap yang dikenakannya menghentak lantai Warung Pertigaan penuh irama. Pria itu sempat jadi pusat perhatian. Tak lama, orang-orang yang sebelumnya disibukkan dengan urusan makanan di meja masing-masing, beralih menatap ke depan. Mengembalikan atensi mereka pada layar televisi yang volume-nya sengaja di-stel kuat-kuat oleh sang pemilik warung.

"Anda pasti Letnan Syahbana Samsuri," sapa pria itu ramah. "Dari jauh saja aura seorang pahlawan itu sudah menguar." Sembari tertawa, dia menunjukkan tanda pengenalnya; sebuah kartu emas yang hanya dimiliki oleh para jurnalis.

Basa-basi berlebihan itu Letnan Samsuri balas dengan senyuman.

"Maaf saya terlambat," ucap pria itu lagi.

Letnan Samsuri tidak mempermasalahkannya. Mereka kemudian duduk berhadapan.

Warung makan di pertigaan itu mendadak ramai. Beberapa orang ikut mengomentari kata demi kata dari penyiar berita, yang tengah membahas poin-poin peraturan pemerintah usai disahkannya UUD amandemen kedua dalam sidang MPR.

Tanpa memedulikan pro dan kontra yang keluar dari mulut orang-orang awam tersebut, mereka memulai sesi tanya jawab. Jurnalis itu mengeluarkan salinan daftar pertanyaan yang cukup panjang dari dalam tas kerjanya. Diawali dengan pertanyaan bagaimana mulanya Letnan Samsuri memutuskan untuk menjadi seorang polisi, pertanyaan kemudian berlanjut seputar pengalaman, serta pendidikan yang ditempuhnya di Akademi hingga bisa menjadi sosok seperti sekarang ini.

Letnan Samsuri menjawab dengan tenang semua pertanyaan tersebut. Sesekali dia berhenti untuk mengambil jeda, sekadar memastikan apakah jurnalis itu benar-benar mencatat apa yang disampaikannya atau tidak. Pertanyaan pun kian lama kian menjerumus. Jurnalis itu tampaknya berusaha mengulik kehidupan pribadi sang Letnan. Tak sedikit pun Letnan Samsuri merasa segan untuk bercerita. Benar, dia sudah menikah. "Kurang lebih empat tahun, tapi belum dikaruniai anak," ucapnya.

Merasa tidak enak, jurnalis itu akhirnya meminta maaf. Letnan Samsuri hanya terkekeh seraya berkata, "Tidak masalah." Lagipula dia pun sama sekali tidak merasa terganggu dengan hal-hal semacam itu.

"Kami ingin mengambil foto Anda beserta istri Anda kalau bisa, untuk portofolio. Apa Anda keberatan?"

"Boleh saja. Anda bisa mengatur kapan waktu yang tepat. Dan, saya akan membicarakannya dengan istri saya."

Letnan Samsuri menampilkan senyum miring. Sejujurnya Letnan itu pun masih tidak mengerti bagaimana prosesnya hingga dia bisa terpilih sebagai sosok inspiratif untuk tahun ini. Saat berbicara melalui telepon, jurnalis itu bilang bahwa Harian Warta Satu ingin meliput berita tentang dirinya. Mereka menyediakan satu kolom besar yang dikhususkan membahas perjalanan karir Letnan itu berikut segala prestasinya, yang rencananya akan dikeluarkan untuk edisi bulan depan. Mereka menginginkan sebuah wawancara eklusif. Seharunya wawancara ini dijadwalkan minggu lalu, tetapi tugas Letnan Samsuri di lapangan tidak bisa diganggu. Jadi, terpaksa diundur-undur.

"Em ..., pertanyaan selanjutnya ...."

Jurnalis itu kehilangan konsentrasinya. Sebenarnya sejak masuk tadi pun Letnan Samsuri sudah merasa ada yang aneh dengan jurnalis itu. Raganya memang ada di sini, tetapi jiwanya seakan melayang entah ke mana. Beberapa kali bolpen di tangannya terjatuh ke lantai. Meja penuh dengan serakan kertas yang dibongkar dari dalam tas, seolah pria itu sendiri tidak tahu di mana susunan materi berikutnya. Letnan Samsuri terus memerhatikan gerak-geriknya, sampai-sampai membatin, sebenarnya orang ini niat tidak sih melakukan wawancara?

"Anda terlihat sangat gelisah. Ada apa sebenarnya?"

Jurnalis itu terkesiap mendengar pertanyaan Letnan Samsuri. Kegiatannya memilah-milah kertas pun langsung terhenti. Dia terlihat ragu, antara harus bercerita atau tidak pada Letnan itu. Berulang kali dia menatap keluar jendela dengan raut cemas.

"Ada apa?" tanyanya lagi.

"Sebenarnya ... anak saya masih tinggal di dalam mobil, jadi--"

"Apa?" Letnan Samsuri terkejut bukan main. "Kenapa tidak dibawa masuk saja kemari?" Sembrono. Di luar sedang terik-teriknya. "Dia pasti merasa kepanasan." Letnan Samsuri pernah membaca berita tentang seorang anak yang mati lemas akibat terlalu lama berada di dalam mobil yang terpanggang matahari.

"Takutnya Anda keberatan--"

"Sudahlah. Cepat susul dia," potong Letnan Samsuri segera.

Jurnalis itu sempat terbengong beberapa saat sebelum akhirnya melesat keluar. Tidak sampai sepuluh menit, dia kembali masuk bersama seorang anak laki-laki yang sedang menggenggam erat jari kelingkingnya. Anak itu tampak malu-malu bersembunyi di belakang sosok ayahnya. Saat mata mereka saling bertemu, anak itu buru-buru memalingkan wajah, tampak sangat culas, tidak mirip dengan raut sang jurnalis yang ramah.

Jurnalis itu menuntun putranya duduk di meja yang sama. Letnan Samsuri berupaya untuk berbasa-basi pada anak itu, tetapi dia malah tidak diacuhkan sedikit pun.

"Sepertinya dia tidak suka pada orang asing," ucap Letnan Samsuri, merasa sedikit kecewa. Padahal, dia sangat suka pada anak-anak.

"Siapa namanya?"

"Dimas."

"Siapa?"

Mendengar nama itu disebut-sebut, jantung Letnan Samsuri memompa cepat, seakan hendak meledakkan dirinya dalam rongga dada.

"Dimas," ulang jurnalis itu mantab sembari mengelusi rambut putranya.

Letnan Samsuri makin terbelalak, tatkala mendapati tulisan pada sampul buku gambar yang ditarik keluar oleh anak itu dari dalam tas ranselnya. Nama lengkapnya tertulis jelas di sana.

Dimas Armedy Chan.

"Inspektur ...."

Tanpa memedulikan raut kebingunan di wajah Letnan Samsuri, Dimas kecil langsung membuka buku gambarnya. Sedetik kemudian dia telah tenggelam dalam aktivitasnya.

Dimas mewarnai matahari dengan krayon berwarna kuning. Tidak ada gradasi warna yang dipilihnya. Letnan Samsuri terenyak. Astaga. Dia masih tidak percaya ini. Lama tidak saling menghubungi satu sama lain, takdir malah mempertemukannya dengan inspektur itu. Inspektur itu berada persis di hadapannya dalam wujud seorang anak kecil. Tampak sangat sehat dan terurus. Letnan Samsuri berusaha meyakinkan hatinya yang bimbang selama ini. Melihatnya baik-baik saja di sini, dia yakin Inspektur itu juga pasti akan baik-baik saja di masanya.

"Kalau mataharinya sebesar itu bisa-bisa rumahnya terbakar semua nanti," celetuk Letnan Samsuri tiba-tiba.

"Iss ...!" Wajah kecilnya seketika dikuasai rengutan. Letnan Samsuri dibuat tergelak oleh tingkahnya. Anak itu segera menutupi seluruh buku gambarnya dengan tangan agar tak dilihat Letnan Samsuri.

"Maaf. Dimas memang begitu. Dia paling tidak suka kalau diperhatikan saat sedang mengerjakan sesuatu," sang jurnalis ikut tertawa menimpali.

Letnan Samsuri menatap wajah Dimas kecil dalam-dalam. Tanpa sadar tangannya bergerak sendiri, naik-turun di atas puncak kepala bocah itu.

Inspektur, ceritanya dalam hati. Lapor .... Pelakunya sudah berhasil ditangkap.

Letnan Samsuri tersenyum hangat.

Kami sudah mengonfirmasinya. Pelaku adalah anggota keluarga korban sendiri. Si Kakak, alias Haris Sandi, alias HS, umur enam belas tahun. Saat ini Haris Sandi telah meringkuk dalam tahanan khusus anak-anak. Dia masih di bawah umur. Putusan hakim mungkin akan berpihak padanya dalam sidang nanti.

"Kenapa kau meracuni orang tua juga adikmu?!"

Letnan Samsuri kembali mengingat sesi interogasinya bersama pelaku HS.

Kemudian, dia kembali bercerita dalam hati. Dimas kecil yang tidak tahu-menahu hanya menatap heran ke arahnya.

Jawaban yang keluar dari mulut pelaku sungguh membuat hati saya bergemuruh. Apa dia pantas mendapat pengampunan? Waktu itu saya memang sengaja tidak melepas tembakan sebab saya menyadari bahwa pelaku masih di bawah umur.

Haris Sandi mengaku merasa iri melihat Ayah dan Ibu lebih menyayangi adik-adiknya ketimbang dirinya. Hatinya gelap dan dipenuhi amarah. Malam itu dia mengambil racun pestisida dari dalam ruang penyimpanan, lalu dengan sadar mencampurkannya ke dalam sup panas saat Ibu sedang lengah.

Keluarga. Suatu hal yang telah lama dia idam-idamkan. Dia merasa sangat beruntung memiliki Ayah dan Ibu sebagai orang tua angkatnya. Mereka hidup tenang dan bahagia selama ini. Namun, tiba-tiba saja dua tikus kecil itu datang merebut semua darinya. Kasih sayang yang Ayah dan Ibu berikan pun terbagi. Dia merasa tersisihkan.

"Saya sangat menyesal," tawa Haris yang tadinya kian keras perlahan-lahan lenyap ditelan kesunyian.

Saat itu saya ... hanya mampu tercenung di kursi. Sesi interogasi selesai pada hari itu juga. Jadi, dengan terpaksa saya biarkan para prajurit membawa Haris keluar dari dalam ruang interogasi.

Wajahnya memelas, tetapi sinar di iris matanya masih menunjukkan--entahlah.

Merasa ragu, Letnan Samsuri lantas menggeleng pelan.

Haris Sandi memang terlihat sangat menyesal, Inspektur, ceritanya lagi. Itu yang bisa saya tangkap dari sorot matanya.

Selama hidupnya, mungkin, hal yang paling dia sesali adalah malam itu.

Ya, sebab malam itu, seharusnya Haris Sandi tidak boleh gagal menjalankan misinya. Rianda Bumi, si tikus kecil penganggu itu, harusnya ikut mati bersama Ayah, Ibu, dan adiknya, agar kasus pembunuhan di rumah besar itu, selamanya menjadi kasus bunuh diri satu keluarga, tanpa ada seorang pun yang mengetahui kebenarannya ....
_____________

Foto credit: Amer, AK

Continue Reading

You'll Also Like

Ranjang Tetangga By Ry

Mystery / Thriller

467K 38.8K 18
Bukan cantik, lebih ke menarik aja. Bukan ingin menjadikannya sosok istimewa, tapi akan menjadikannya sebagai wanita yang sangat berharga. Kriteriany...
4.2M 513K 80
Pembelian Novel Version bisa di shopee momentous.publisher❤ Elbiana Angelista Dewaga, siswi cantik SMA Cendrawasih yang terkenal bersikap dingin dan...
148K 18.1K 16
Book 2 Sekuel I'm not Stupid! "KAMI ADA DAN BERLIPAT GANDA!" __Basis New Generation. 3 tahun sudah kasus tenggelamnya Anarkali di danau Magnesium Hig...
50.3K 6.7K 38
Nera adalah anak yang tumbuh di lingkungan kriminal pinggiran kota. Keputusannya menyelamatkan seorang pria tua yang terkena luka tembak membawanya m...