Bae x Lee

By peachylight10

29K 2.9K 555

JINHWI SHORT STORY ONE SHOOT BxB Sider hargai aing pls :) More

Jin x Hwi
Paper Heart
Paper Heart (2)
Chatroom
HAPPY JINYOUNG DAY
소나기
Chatroom 2
HAPPY 1K+ READERS🎉
Chatroom 3
Chatroom 4
Paper Heart (3)
Chatroom 5
You And The Sandglass
Paper Heart (4)
CHATROOM CEK
KEPUTUSAN
Chatroom 6
Paper Heart (5)
PERHATIAN
Say Hello To You

Sayap Pelindung (다시만나)

1K 100 12
By peachylight10

Mari kita saling bertemu lagi
Saat langit megizinkan kita
Saat kita saling melihat satu sama lain,
Ada begitu banyak hal yang ingin ku katakan padamu
Bisakah kau menungguku?
Bisakah kau berjanji padaku?
Aku akan kembali lagi ke sisimu

.

Langit Seoul hampir tak pernah lagi cerah. Rintik-rintik hujan selalu berkunjung ke bumi. Membasahi tanah yang penuh dengan dedaunan gugur.

Bagi Lee Daehwi, tidak ada yang lebih indah dari hujan di musim gugur. Tidak ada yang lebih menakjubkan selain menyaksikan rintik hujan menyapa dedaunan kuning yang berhamburan ditanah. Aroma petrikor yang menenangkan membuat dirinya merasa lebih hidup.

Daehwi tak pernah mengalihkan fokusnya dari jendela kaca kafe. Memandang lurus kesebuah bangunan yang letaknya tepat didepan kafe tempat ia berdiri. Sebuah bangunan istimewa juga menjadi favoritnya beberapa bulan terakhir-selain hujan dimusim gugur.

Dari balik jendela kaca besar didepannya Daehwi bisa melihat banyak kerumunan berseragam keluar dari bangunan tersebut. Fokus Daehwi kini tertuju pada seseorang didepan pintu gerbang. Senyumnya mengembang. Lantas kakinya ikut terayun melangkah keluar kafe. Tak lupa sebuah payung bening ia bawa.

Daehwi menatap papan besar dengan tulisan balok di atas gerbang.

Hanam Special Middle School

Tersenyum miris, lantas menghampiri seseorang yang sedari tadi ia nanti. Namun seseorang itu nampak tak menyadari kedatangan Daehwi. Masih sibuk menggesek-gesekkan kedua tangannya yang tertangkup. Sesekali meniup-niup tangannya agar terasa hangat.

"Anyyeong." sapa Daehwi sembari mengarahkan payungnya kearah seseorang itu. Kini keduanya berada dibawah payung yang sama. Lawan bicaranya perlahan menoleh. Menatap terkejut kearah Daehwi. Sementara Daehwi menahan diri untuk tidak terkikik gemas melihat keterkejutan lawan bicaranya.

"Hyungie, kau disini." pekiknya senang.

Daehwi tersenyum begitu pula seseorang disampingnya.

"Ne, Jinyoung-ah."

Seseorang yang dipanggil Jinyoung lantas semakin mendekatkan dirinya kearah Daehwi. Payung ditangan Daehwi tak cukup mampu melindungi keduanya secara sempurna.

"Hyung, dingin."

Daehwi lagi-lagi tersenyum. Kemudian mengusak surai Jinyoung pelan. Keduanya berjalan menuju kafe dibawah lindungan payung berukuran sedang yang Daehwi bawa.

"Hyungggg mau es krim."

Daehwi lagi-lagi menahan dirinya untuk tidak memekik saat melihat wajah Jinyoung.

'Aaaa kyeopta >_<'

"Andwae! Diluar udaranya sedang dingin nanti kau sakit perut."

Mendengar penolakan Daehwi, Jinyoung lantas mencebikan bibirnya sambil melipat tangannya di dada. Merajuk.

"Aigoo, uri Jinyoungie neomu kyeopta. Hyung tak akan memberikan es krim padamu. Jadi bagaimana dengan susu coklat hangat?"

Jinyoung menggigit bibir bawahnya, nampak berpikir.

"Dengan biskuit?"

Daehwi tak lagi mampu menahan dirinya untuk tidak tertawa. Jinyoung benar-benar menggemaskan. Bahkan saat meminta biskuit.

"Arasseo. Tunggu sebentar ya. Hyung akan kembali. Jangan pergi keluar, mengerti?"

Jinyoung menganggukkan kepalanya. Sementara Daehwi tak bisa menghilangkan senyumnya sejak tadi.

.

Lain Daehwi lain pula orang-orang disekitarnya. Saat Daehwi tersenyum dan tertawa gemas akan tingkah lucu Jinyoung, orang-orang di dalam kafe justru menatap aneh keduanya, terutama Jinyoung.

"Yakk, bukankah namja itu lebih tua dari Daehwi? Kenapa dia memanggil Daehwi dengan sebutan 'Hyung'?"

"Dia bahkan memakai seragam sekolah. Bukankah seharusnya dia sudah bekerja?"

"Ku pikir dia mengalami gangguan kejiwaan. Dia bertingkah seperti anak kecil. Padahal fisiknya jelas lebih besar daripada Daehwi."

"Aku tidak mengerti mengapa beberapa waktu belakangan Daehwi begitu sering menemuinya. Bahkan membawanya kesini beberapa kali."

"Apa Daehwi menyukai namja itu? Heol."

"Michinde. Itu sangat tidak mungkin. Daehwi pasti menyukai tipe pria yang seperti Guanlin. Aku beberapa kali memergoki mereka mengobrol berdua. Ku rasa tidak mungkin jika Daehwi menyukai namja aneh itu."

"Aigoo, kita kan tidak pernah tahu."

Ketiga karyawan kafe yang sedari tadi asyik menggunjing itu tak pernah menyadari kehadiran Daehwi di samping mereka sejak tadi. Dengan tenang Daehwi membuatkan susu coklat dan menyiapkan biskuit untuk Jinyoung.

Daehwi sudah cukup biasa mendengar dirinya dipergunjingkan oleh karyawan kafe. Ia baik-baik saja ketika itu dirinya. Tetapi jika mereka membicarakan Jinyoung-yang tidak tahu apa-apa-Daehwi tidak bisa tinggal diam. Sengaja iya mendentingkan sendoknya setelah selesai mengaduk susu. Mengalihkan atensi ketiga makhluk disampingnya. Nampak jelas ketiganya begitu terkejut mendapati Daehwi yang tersenyum di samping mereka.

"A-annyeong Daehwi-ah."

"Sejak kapan kau disini?"

"Sejak kalian membicarakan Jinyoung."

Ketiganya terdiam. Merasa tertangkap basah.

"Mianhae. Kami tidak bermaksud..."

"Gwaenchanha. Hanya, lain kali tidak perlu melakukannya lagi. Kalian bahkan tidak mengenalnya." Daehwi mengangkat nampannya kemudian bergerak menjauh.

"Ah, satu lagi. Berhenti menyebut Jinyoung 'namja aneh'. Dia punya nama." lanjut Daehwi. Kemudian ia benar-benar pergi dari sana.

.

Jinyoung menatap canggung sekitarnya. Rasa gelisah dan takut menyelimutinya. Daehwi baru meninggalkannya kurang dari sepuluh menit. Tetapi Jinyoung sudah mati-matian menahan air matanya. Rasanya begitu menakutkan saat Daehwi tidak berada disisinya.

"Cha, uri Jinyoungie~"

"Hyung!" Jinyoung memekik senang begitu sosok manis Daehwi muncul dengan membawa nampan berisi susu coklat dan biskuit.

"Wae? Kau begitu senang saat aku datang. Ada apa hm?" tanya Daehwi. Suara Daehwi yang sangat lembut membuat Jinyoung merona. Belum pernah ia diperlakukan semanis ini kecuali saat bersama Daehwi.

"Ani, geunyeong.. Ah meolla." Jinyoung mengerucutkan bibirnya. Dirinya entah mengapa tidak bisa berkata-kata. Rasanya malu sekali jika harus mengatakan pada Daehwi bahwa dirinya merasa takut sepeninggalnya.

"Eiyy. Uri Jinyoung punya rahasia sekarang." goda Daehwi. Melihat Jinyoung mengerucutkan bibirnya membuat Daehwi tambah gemas ingin mengerjai anak itu habis-habisan.

"Hyung sebentar lagi aku ulang tahun."

Daehwi yang sejak tadi asyik memperhatikan Jinyoung yang sedang menikmati kudapannya terkejut.

"Kenapa tiba-tiba sekali?"

"Apanya?"

"Ah, lupakan saja. Memangnya tanggal berapa?"

Jinyoung merengut. Menunjukkan raut kesal-kecewa-nya. Ah, apakah Daehwi benar-benar tidak mengingatnya? Padahal Jinyoung selalu mengatakannya berulang-ulang tiap mereka bertemu.

"Hyung lupa?"

Daehwi tersentak. Gawat. Dirinya melakukan hal bodoh. Seharusnya dia lebih fokus saat Jinyoung bertanya. Daehwi bukannya tidak ingat, hanya saja ia terlalu sibuk memperhatikan Jinyoung. Pikirannya sedang berada di alam lain saat Jinyoung bertanya.

"A-aniyo. Tentu saja aku ingat. Hanya saja..."

"Ah, meolla. Hyung lupa. Aku tahu."

Jinyoung merajuk.

Daehwi meringis.

Kalau sudah seperti ini Daehwi harus bersikap super ekstra manis pada Jinyoung.

"Aigoo, mianhae. Maafkan hyung ya. Hyung benar-benar ingat, kok. Hanya saja tadi hyung sedang tidak fokus saat kau menanyakannya." Daehwi meminta maaf sambil menunjukkan wajah sedihnya.

"Hyung janji akan memberikan apapun yang kau inginkan. Apa kau ingin jalan-jalan?" tanya Daehwi.

Jinyoung menggeleng.

"Lalu, apa ada sesuatu yang kau inginkan?"

Daehwi mengerutkan keningnya begitu mendapati Jinyoung yang malah semakin menundukkan kepalanya. Raut wajah Jinyoung yang sebelumnya merajuk berubah menjadi murung. Daehwi jadi panik sendiri. Apakah dirinya melakukan kesalahan?

"Jinyoung-ah wae? Apa hyung menyakitimu?"

Jinyoung lagi-lagi menggeleng.








"Aku tak ingin apapun saat ulangtahunku nanti. Aku hanya tak ingin orang-orang pergi lagi. Aku hanya ingin hyung tetap tinggal. Bersamaku."

Suara lirih Jinyoung membuat Daehwi bungkam seketika. Dengan perasaan aneh yang menusuk menghampirinya.

.

Daehwi menatap sendu dua lembar kertas ditangannya. Rasa pilu menghampirinya. Kembali langkah kakinya terasa berat. Hingga seseorang datang menepuk pundaknya.

"Daehwi, kau sudah siap?"

Daehwi menoleh. Didapatinya seorang pria tinggi berkulit putih tersenyum padanya.

"Nde."

Sementara pria itu mengambil tempat duduk disamping Daehwi. Dirinya baru tiba ditempat ini beberapa menit yang lalu dan langsung memghampiri Daehwi. Di belakangnya sudah ada beberapa orang berbadan besar dengan seragam hitam putih.

'Apa ia harus selalu bersama para pengawalnya?'

Beberapa menit berlalu keduanya hanya terdiam. Terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Guanlin-ah." pria tinggi disampingnya menoleh.

"Ya?"

"Penerbangannya ditunda 2 jam lagi."

"Jinjja? Kenapa tidak bilang dari tadi?" Tak sesuai ekspektasinya, Guanlin nampak terkejut. Biasanya Guanlin tak begitu menunjukkan banyak ekspresi sekalipun ia harus menunggu disini selama tiga hari.

"Mianhae." lirih Daehwi.

"Apa kau membatalkan sesuatu yang penting?" tanya Daehwi.

"Aniya. Hanya saja tadinya aku ingin menemui ibu sebentar. Katanya beliau tidak bisa mengantarkan kita. Padahal rumah sakitnya tidak jauh dari sini." ungkap Guanlin.

"Ah, begitu."

Keduanya kembali diam.

"Apa tak sebaiknya kita menghampirinya terlebih dulu? Penerbangannya masih cukup lama. Dan rumah sakit ibu tidak jauh dari sini. Ku pikir akan sempat." usul Daehwi.

'Jebal.'

Guanlin nampak berpikir. Agak tertarik dengan usul Daehwi.

"Geurae. Ku rasa kita bisa."

Guanlin bangkit dari duduknya lantas berbicara dengan beberapa orang dibelakangnya untuk tetap tinggal sementara dirinya dan Daehwi pergi ke rumah sakit. Tak menyadari senyum Daehwi mengembang begitu lebar.

'Aku masih punya kesempatan.'

.

.

.

.

.

.

.

.

Daehwi melangkah memasuki area rumah sakit dengan tergesa-gesa. Menyisakan Guanlin yang menatapnya heran. Berkali-kali Guanlin memanggil namanya, namun Daehwi acuh. Seolah ia tak pernah datang bersama Guanlin.

Sedang Daehwi dengan perasaannya yang berkecamuk. Tujuannya saat ini hanya satu. Menemui orang yang paling berharga baginya. Tidak ada yang lebih penting dari itu. Karena bagi Daehwi, ini boleh jadi kesempatan terakhirnya.

Langkahnya terhenti begitu dirinya tiba disebuah ruang rawat. Perasaannya campur aduk. Antara siap dan tidak siap.

Pandangannya menyendu begitu dirinya mendapati sosok lemah terbaring di atas ranjang. Dengan berbagai macam benda asing menempel ditubuhnya.

"Jinyoung-ah..." lirihnya.

Hatinya begitu sakit melihat keadaan Jinyoung. Dirinya merasa begitu berdosa dan tak bertanggung jawab. Seolah dirinya adalah bajingan besar yang berkhianat.

Pikirnya, kemana janji-janji yang ia umbar pada Jinyoung? Kemana dirinya saat Jinyoung membutuhkannya? Apakah ia ada disamping Jinyoung saat anak itu menjerit kesakitan oleh jarum suntik? Apakah dirinya yang membujuk Jinyoung untuk meminum obat? Bagaimana Jinyoung menjalani hari tanpa dirinya?

Hati Daehwi mencelos. Seolah dirinya juga ikut merasakan sakit yang sama. Pikirannya melayang pada sebersit memori masa lalu.

FLASHBACK

"Dokter, apa yang terjadi padanya? Mengapa ia bisa kejang-kejang?" tanya Daehwi panik.

"Jinyoung alergi stroberi."

Daehwi terkejut. Bagaimana ia bisa tidak tahu soal ini?

"Tetapi bukan itu penyebab utamanya." kalimat dokter berikutnya sukses membuat hati Daehwi mencelos.

"Jinyoung pernah melakukan operasi pengangkatan tumor otak beberapa tahun lalu. Sayangnya operasinya tidak berjalan sempurna. Ada kerusakan sel saraf yang ditimbulkan akibat operasi tersebut dan menyebabkannya mengalami kelainan pola perilaku. Jinyoung tidak autis ataupun Syndrom Peter Pan." Daehwi masih tidak sanggup berkata-kata. Semua ini begitu mengejutkan baginya.

"Dampak lain dari operasi itu juga menyebabkan pembengkakan pada kepala bagian bawah, tepat dibagian pengangkatan. Sehingga menimbulkan penyakit baru. Alergi juga memperlemah daya tahan tubuhnya sehingga dirinya mengejang. Belum bisa dipastikan apakah akan diambil tindakan operasi atau tidak. Mengingat orangtuanya tidak dapat dihubungi hingga saat ini."

Daehwi tak dapat lagi menahan air matanya. Rasanya seperti dunia begitu jahat padanya. Pada Jinyoung.

"Orangtuanya tak akan datang, dok. Ibunya pergi bersama pria lain. Ayahnya juga enggan mengurusnya. Jika harus dilakukan operasi lakukan saja, asal Jinyoung selamat. Tak peduli berapapun biayanya, aku akan tanggung. Ku mohon padamu, dokter." ucapan kacau Daehwi membuat sang dokter menghela nafas berat.

"Masalahnya bukan pada biaya Tuan Lee. Tetapi persetujuan wali pasien. Ini menyangkut nyawa dan kredibilitas rumah sakit. Kami bertanggung jawab atas pasien."

"Aku walinya. Aku wali Bae Jinyoung. Lakukan tanggung jawab kalian."

Sang dokter mengusap wajah frustasi. Masalahnya ini bukan perkara mudah. Tapi Daehwi hanya ingin Jinyoung selamat.

Hari demi hari berlalu. Minggu berganti bulan. Operasi Jinyoung pun dilaksanakan. Menyisakan harapan-harapan semu. Tidak banyak yang berubah. Meski operasi berjalan lancar, kondisi fisik Jinyoung masih sama. Lemah dan rapuh. Setidaknya operasi berhasil memperpanjang nafas Jinyoung.

"Hyung, mengapa kepalaku selalu ditutupi perban? Dan kenapa kepalaku harus dibedah lagi seperti beberapa tahun yang lalu?" tanya Jinyoung dengan suara lemahnya. Membuat Daehwi didepannya merasa iba sekaligus terluka.

"Jinyoung-ah. Kau pasti akan baik-baik saja. Kepalamu baik-baik saja. Mereka hanya membersihkannya." suara Daehwi bergetar. Mati-matian ia menahan air matanya.

"Aku takut, Hyung. Kepalaku rasanya sakit sekali. Ku pikir ini tidak baik-baik saja. Aku takut setiap mereka menyentuh kepalaku. Aku takut, mereka membersihkan semua ingatanku. Aku takut mereka menghilangkan ingatanku tentangmu dan tentang kita."

Daehwi mencelos. Untuk kesekian kalinya hatinya menjerit. Mengapa manusia sebaik Jinyoung harus mengalami hal seberat ini? Sanggupkah dirinya jika suatu hari nanti Jinyoung melupakannya?

"Tapi jangan khawatir, Hyung. Aku berjanji tak akan melupakanmu. Semua tentang kita akan selalu ku ingat. Kau yang terbaik. Kau selalu ada untukku. Dan aku... Sangat menyayangimu, Hyung." kali ini air matanya tak mampu ia tahan. Daehwi menangis. Benar-benar menangis.

"Jinyoung-ah.."

"Uljima, Hyungie."

"Aku juga sangat... Sangat menyayangimu. Jadi kumohon, bertahanlah. Hiks.."

.

"Kondisi Jinyoung semakin memburuk. Jika melakukan operasi lagi pun, kemungkinannya sangat kecil."

"Lakukan apapun asal Jinyoung bisa bertahan."

"Kami akan berusaha semampu kami."

.

"Bulan depan kau dan Guanlin akan menikah. Jadi berhentilah mengurusi anak itu. Fokus saja pada kehidupanmu sendiri." Nyonya Lee membenarkan letak kacamatanya. Pandangannya tak luput dari majalah yang tengah ia pangku.

"Ibu... Aku tidak mencintainya." lirih Daehwi.

"Belum Daehwi. Atau mungkin sudah. Selama ini kau terlalu sibuk dengan anak autis itu hingga melupakan kehidupanmu." suara Nyonya Lee terdengar begitu tajam di telinga Daehwi.

"Jinyoung bukan autis!"

"Terserah apapun itu."

.

"Kami menyerah. Tidak ada lagi yang bisa kami lakukan. Melakukan terlalu banyak operasi hanya akan semakin menyakitinya." ungkap Dokter.

.

Daehwi melangkah gontai menuju ruang rawat Jinyoung. Senyum tipis mengembang di sudut bibirnya saat mendapati Jinyoung yang tengah tertawa menyaksikan tayangan televisi. Sepertinya kartun.

"Anyyeong.." sapa Daehwi.

"Hyung!" Jinyoung memekik senang.

"Apa aku harus berada disini lebih lama lagi Hyung? Disini benar-benar tidak menyenangkan."

Daehwi tersenyum kecut. Dirinya juga tak ingin Jinyoung terus-terusan berada disini. Tempat ini seperti neraka baginya.

"Hyung tadi malam aku bermimpi." Jinyoung bercerita.

"Mimpi apa?"

"Aku bermimpi kita berpisah. Untuk waktu yang lama. Rasanya sangat menyedihkan. Aku melihatmu menangis, tapi aku tak bisa meraihmu. Mimpi itu terasa sangat nyata."

Jinyoung bercerita dengan wajah polosnya. Membuat tangan Daehwi perlahan terulur untuk mengusap surai hitam Jinyoung yang mulai menipis. Hatinya begitu sakit saat mendengar Jinyoung bercerita.

"Hyung berjanjilah padaku. Berjanjilah untuk tidak pernah menangis apapun yang terjadi. Berjanjilah kau akan selalu bahagia." Daehwi meremat tangan Jinyoung. Tangisnya akan pecah jika kali ini Jinyoung mengucapkan hal yang sama menyakitkannya.

"Hiduplah dengan baik, Hyung. Di kehidupan selanjutnya, mari kita bertemu lagi. Saat kita bertemu lagi, aku berjanji. Aku lah yang akan menjadi malaikat pelindungmu. Aku lah yang akan menggantikan sayap-sayapmu. Maaf jika selama ini aku selalu membuatmu bersedih. Maaf jika selama ini aku membebanimu. Terimakasih karena selalu menjagaku dengan baik. Terimakasih telah menjadi sayap pelindungku. Membuatku yang tak mampu berdiri dapat terbang. Kau adalah hadiah terindah dari Tuhan untukku."

Air mata Daehwi mengalir deras. Dadanya terasa penuh dan sesak. Nafasnya tercekat.

"Apa yang kau bicarakan? Aku tidak mengerti. Istirahatlah Jinyoung. Kau pasti lelah."

"Nde, Hyung. Aku akan segera istirahat. Jangan tinggalkan aku ya. Tunggu sampai aku tertidur."

Ada sedikit lega saat Jinyoung memintanya untuk tetap tinggal sampai ia tertidur. Nada bicara Jinyoung yang kekanakan sudah kembali. Namun ada kegelisahan di hatinya saat Jinyoung mengatakan hal yang sama.

.

"Detak jantungnya normal. Tetapi sel saraf di kepalanya tidak merespon."

.

"Kau dan Guanlin akan segera pindah ke Taipei. Keberangkatanmu telah dijadwalkan."

Daehwi runtuh. Jiwanya seolah tak menyatu dengan raganya.

Bagaimana mungkin ia pergi begitu saja. Sementara Jinyoung menderita.

.

"Aku mendengar soal rencana kepindahanmu dan Guanlin. Aku juga mendengar rencana pernikahanmu yang akan digelar beberapa minggu lagi di Taipei."

"Siapa kau?" Daehwi menatap bingung wanita paruh baya dihadapannya.

"Aku ibu kandung Jinyoung."

"Mwo?"

"Aku akan merawat Jinyoung. Kau, berbahagialah bersama calon suamimu. Terimakasih atas kebaikanmu pada anakku selama ini. Kali ini aku akan menebus dosa-dosaku padanya."

"Apa ini? Bagaimana kau mengenalku? Dan kenapa.. Baru sekarang?"

"Aku tahu ini terlalu tiba-tiba bagimu. Tapi percayalah. Selama ini aku selalu memperhatikan kalian. Kali ini kau berhak bahagia, Daehwi-ssi."

'Bagaimana jika bahagiaku adalah bersamanya.'

.

FLASHBACK OFF

Guanlin memandang Daehwi dari balik kaca pintu. Bohong jika ia bilang hatinya baik-baik saja. Ia juga sakit saat Daehwi memilih untuk meninggalkan bandara demi melihat seseorang untuk terakhir kalinya. Tetapi hatinya jauh lebih terluka mendapati Daehwi yang menangisi seseorang itu untuk terakhir kalinya.

Perlahan ia melangkah masuk. Meraih pundak Daehwi lantas membawanya kedalam dekapan hangat.

"Kuatkan dirimu."

Daehwi menangis sejadi-jadinya. Ia tahu ia tak seharusnya menangis. Jinyoung telah melarangnya.

"Guan.. Mianhae.."

"Gwaenchanha.."

.

"Kami menyerah. Tak ada yang bisa kami lakukan lagi. Jantungnya memang masih berdetak tetapi sarafnya tidak merespon lagi. Kita hanya bisa menunggu."

"Apa maksudmu menunggu?! Harus berapa lama lagi?! Bukankah sudah ku bilang lakukan yang terbaik agar ia bisa bertahan?!"

"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tetapi ini sudah takdir Tuhan. Dia berhak bahagia disisi-Nya."

Daehwi hancur berkeping-keping. Begitu pula orang-orang disekitarnya. Daehwi merasa kosong seketika. Seolah separuh jiwanya telahnya tiada. Satu sayapnya yang patah telah lenyap. Luruh ke tanah bagaikan daun dimusim gugur. Menyisakan satu sayapnya yang rapuh. Sayap yang tak akan mampu lagi untuk terbang.

"Ikhlaskan dia. Dia berhak bahagia, Hwi-ya." Guanlin mengeratkan dekapannya. Dadanya terasa sesak mendapati air amta Daehwi yang telah menganak sungai.

'Berbahagialah malaikatku. Aku tak akan pernah melupakanmu.' Lee Daehwi

.

.

.

.

.

Dua tahun kemudian...

"Selamat Tuan Lai. Anak Anda laki-laki."

Guanlin dan Daehwi saling mengukir senyum. Saling berbahagia atas lahirnya darah daging mereka.

"Silahkan diberi nama, Tuan."

Guanlin yang mendekap bayi mungil itu langsung mendekat kearah Daehwi yang terbaring lemah pasca operasi.

"Kau yang beri nama." ujar Guanlin.

"Kau serius?" Daehwi meyakinkan.

"Tentu saja." Guanlin tersenyum.






"Namanya Jinyoung. Lai Jinyoung." Daehwi tersenyum pada Guanlin yang menatap hangat dirinya. Ayah baru itu tersenyum penuh arti.

"Kita akan mencintainya dengan segala cinta yang kita miliki." Daehwi tersenyum mendengar penuturan Guanlin.

.

The End

***

Anyyeong..

Setelah sekian lama.

Maapken acu eheh

Ada kah yang kangen daku?

Alasan klasik sih kalo rl faktor utama jarang update. Tapi ya mau gimana lagi. Kenyataannya begitu. Hehe.

Tapi..

Dibalik itu..

Jujur aja aku mulai kehilangan feel sih. Entah karena aku yang udah jarang banget nulis atau emang karena bentar lagi mereka akan berakhir.

Makanya aku berusaha ngumpulin mood buat nulis. Selama ini aku gak update bukan berarti gak aktif. Aku aktif kok. Tapi cuman buka notif sama baca doang eheh.

Maapin sabiel ya chingu😘😘

Btw, karakter baejin terinspirasi dari sebuah kejadian. I see an autism child. He's so young and really loveable. But he's so introvert and he never let anybody touch him. I was thinking how hard his life is. But then, every human being has their own life and fate. I guess he will deserve happiness more than we can think.

Dan terpikirlah untuk bikin Jinyoung seperti anak itu. Maksudnya kondisi psikisnya kayak anak-anak gitu. Lucu aja hehe. Awalnya emang mau bikin Jinyoung jadi autis. Tapi ga setega itu :(

Mungkin dilain kesempatan (:

Oke lah segitu aja bacotnya eheh.

Jangan lupa Vote and Comment wahai readers and siders-nim tersayang😘

Maaf kalo update kali ini ngebosenin

📌Park Sabiel

Continue Reading

You'll Also Like

254K 1.1K 3
21+ Kisah Anna dengan gairahnya. INI LAPAK DEWASA!!!
926K 59.7K 37
SLOW UPDATE Kisah tentang seorang bocah 4 tahun yang nampak seperti seorang bocah berumur 2 tahun dengan tubuh kecil, pipi chubby, bulu mata lentik...
180K 730 8
Area dewasa..
455K 5.2K 26
Hanya cerita hayalan🙏