White & Grey

Av RansPublisher

833 39 1

(Telah terbit dalam novel SWEET SUMMER) Penulis: Marcelyna Y. White Tangannya mengepal keras, rahangnya kaku... Mer

White & Grey #1
White & Grey #2
White & Grey #3

White & Grey #4

144 7 1
Av RansPublisher

Mia mengamati wanita paruh baya yang sedang duduk di kaki ranjangnya. Sibuk mengompres lututnya yang membengkak dengan cepat. Dahi wanita itu mengerut, tampak sangat terganggu.

Tadi, setelah para guru berdatangan karena mendengar kehebohan seluruh penghuni sekolah, Mia dan Grey dibawa ke rumah sakit berbeda sementara White berada di ruang kepala sekolah. Ibu Mia datang tergesa dari kantornya dan membuat Mia berpikir, ini pertama kalinya ia menang bersaing dengan tumpukan kertas di meja kerja ibunya. Semenjak ayah Mia meninggal sepuluh tahun yang lalu, otomatis ibunya menjadi satu-satunya orangtua baginya.

Mia memaksa ibunya untuk segera membawanya pulang ke rumah setelah dokter mengatakan bahwa berdasarkan foto rontgen, lutut Mia hanya mengalami trauma paska benturan. Ia memilih pergi alih-alih menunggu kedatangan orangtua Grey dan White untuk bertanggung jawab. Mia pikir, sudah cukup keributan yang ia buat. Ia tidak ingin masalah ini diperpanjang. Ia merasa, luka yang didapat Grey saat ini setimpal dengan apa yang Grey lakukan terhadapnya.

"Gimana bisa kamu diginiin sama temanmu itu?" celetuk ibunya sambil mengompres sekitar lutut Mia dengan es. "Habis ini Mama harus kembali ke sekolah buat ketemu sama orangtua mereka."

"Udahlah, Ma," Mia mencoba menenangkan sembari merengut nyeri. "Mama mau ngapain? Mau minta pertanggungjawaban sama orangtua mereka?"

"Jelas Mama bakal minta pertanggungjawaban. Bukan hanya menuntut pihak sekolah, tapi orangtua anak bandel yang udah gangguin kamu, Mia."

"Ma, yang gangguin Mia itu Grey dan yang nolongin Mia itu White. Kakaknya Grey. Ka-kak-nya!" ulang Mia menekankan. Kendati kenyataan bahwa Grey memiliki kakak masih mengejutkannya. Pikiran praktisnya adalah bahwa Grey memang memiliki kakak, namun kakaknya itu tinggal di Jakarta. Jadi ia baru mengetahuinya saat ini.

Ibu Mia mengernyit. "Grey bukannya teman SD-mu dulu yang bandelnya minta ampun itu?"

"Yap, Grey teman SD Mia dulu," jawabnya kecut. "Mia sekelas lagi sama dia."

Mata ibu Mia melebar tak percaya, "Tapi gimana bisa?" tanyanya lemah. Seolah putrinya bisa bertemu lagi dengan anak yang mengganggunya sejak SD adalah hal termustahil di dunia.

"Mia juga enggak tahu gimana bisa seperti itu. Tapi kita kan di Jakarta sekarang."

"Kenapa kamu enggak bilang Mama?"

"Mia kan bukan anak SD lagi, Ma. Dan..." Mia memandang ibunya serius, "Mia minta Mama enggak perlu memperpanjang masalah ini lagi. Please..."

Ibu Mia melihat pandangan memohon putrinya. "Tapi kenapa harus kayak gitu?" sahutnya tampak keberatan.

"Karena yang nolongin aku itu kakaknya Grey, namanya White," ulang Mia lagi. Kali ini pelan-pelan agar ibunya mengerti maksudnya. "White yang mukulin Grey sampai babak belur, dan Mia rasa itu balasan yang setimpal."

"White?" ulang ibunya.

"Ya White, namanya White. Dan dia ... sepertinya baik." Mia menambahkan hati-hati. Benarkah baik? Lalu ia teringat bagaimana brutalnya White menghajar adiknya. Mereka nyaris terlihat saling bunuh. Tapi Grey kan memang salah.

"Lagi pula Mama mau bilang apa ke orangtua mereka? Mau nyalah-nyalahin Grey terus berterima kasih karena White nolongin Mia? Itu kan aneh," lanjut Mia. "Malah malu-maluin kalau habis marah-marah malah bilang terima kasih banyak."

"Tapi ya enggak bisa dibiairin gitu aja dong. Paling enggak Mama harus bertemu kepala sekolah kamu," sambung ibunya lagi.

"Ketemu kepala sekolah aja ya? Enggak usah orangtua Grey dan White." Mia memastikan. "Mia enggak pengin ribut-ribut di sekolah baru. Mia juga enggak pengin jadi anak baru yang bermasalah di sekolah."

Ibu Mia terdiam sesaat. Mempertimbangkan. Melihat ekspresi memohon putrinya, ibunya mulai melunak.

"Kali ini Mama maafin," ujarnya akhirnya. Lalu kembali menekankan. "Tapi kalau nanti kejadian kayak gini terulang lagi, Mama pasti minta pertanggungjawaban mereka. Paham?"

Mia mengangguk mengerti.

XXX

Heri menatap garang kedua putranya. Selama bertahun-tahun ia memimpin sebuah perusahaan dengan ratusan karyawan, ia tak pernah merasa sepusing ini. Mendapat telepon dari sekolah, bahwa kedua anaknya berkelahi di sekolah. Salah satunya harus dibawa ke rumah sakit karena luka di kepalanya perlu dijahit, dan yang satunya utuh tak tergores sedikit pun. Namun bertingkah bisu. Tak menjawab sepatah kata pun saat ditanyai guru di sekolah.

Betapa memalukannya kelakuan dua putranya tersebut.

Putra sulungnya duduk di sofa di seberangnya. Tak bersuara bahkan tak bergerak. Pandangannya lenyap di karpet lantai. Tampak kosong dan bosan. White sedang mematung seperti biasanya. Ia memang selalu seperti itu. Sementara putra bungsunya, biang keladi dan tukang bikin onar sedang merosot dan bergelung seperti kucing di sebelah ibunya. Kepalanya diperban dan matanya setengah terpejam. Beruntung hidungnya tidak patah, hanya membiru dan membengkak namun tetap terlihat menyeramkan.

Lita, istrinya nyaris sebeku White. Bibirnya terkatup rapat, hanya manik matanya tampak hidup, bergerak bergantian ke arah White dan Heri. Sesekali ke Grey. Tangannya meremas-remas gaun rumahnya. Menyadari, bahwa kemarahan suaminya akan segera pecah secepat gelembung sabun.

"Haruskah Ayah membuat ring tinju khusus untuk kalian berdua di sekolah?" Heri memulai. Pandangannya jatuh bergantian kepada kedua putranya.

Grey menatap ayahnya tapi tidak menjawab, sementara White tidak merespons apa pun. Ia tetap mematung seakan pikiran dan raganya tidak sedang bersatu dengan tubuhnya. Lita semakin cemas.

"Menurut kalian, berkelahi, pukul-pukulan dan saling unjuk kekuatan di area sekolah itu benar? Keren begitu? Bisa membuat Ayah bangga jika melihat salah satu dari kalian berdua menang tak tergores sedikit pun, sementara yang satu babak belur seperti anak idiot di hadapanku ini?" Heri mencecar kedua putranya seperti petasan rantai yang sedang dinyalakan.

Grey menegakkan diri, membuka mulut untuk membela diri. Ia tidak suka dikatakan idiot oleh ayahnya sendiri, apalagi di depan White, namun tangan ibunya menghentikannya.

Dalam hati ia geram. White menghajarnya habis-habisan. Luka di kepala dan hidungnya berdenyut menyakitkan. Dan semakin ia dikuasi emosi, semakin mual rasa sakitnya. Ia melirik ganas ke arah White. Patung gips sialan, umpatnya dalam hati.

"Kalian tahu betapa pusingnya ayah dan bundamu memikirkan kalian? Satu enggak pernah pulang ke rumah dan yang satu selalu saja membuat onar." Heri menunjuk anak sulungnya. "Dan kamu White, kamu lebih tua daripada adikmu, Ayah berharap banyak ke kamu tapi kamu malah mengecewakan Ayah. Mulai saat ini kamu harus kembali tinggal di sini!"

"Saya enggak ingin tinggal di sini," sahut White cepat. Ia bisa tahan mendengar omelan ayahnya selama berjam-jam. Tapi jika ayahnya kembali mengungkit kepulangannya, ia tak bisa tinggal diam. "Saya kira Ayah sudah tahu kalau saya enggak akan tinggal lagi di sini. Saya kerasan di tempat tinggal saya sekarang."

Heri menegakkan posisinya setelah mendengar jawaban anak pertamanya.

"Oh, sudah bisa membiayai hidup sendiri kalau begitu?"

"Ayah akan berhenti membiayai hidup saya? Enggak apa-apa. Mungkin sekarang waktunya saya benar-benar pergi. Lagipula tahun depan saya sudah tidak lagi di Indonesia. Anggap saja saya sedang belajar mandiri, dan Ayah jangan pernah lagi menyuruh orang-orang bodoh berotot itu untuk menyeret paksa saya pulang."

"White," Lita berseru pelan. "Jangan bicara seperti itu."

"Kenapa?" White berpaling pada Lita. Grey sedikit menegakkan tubuhnya, melihat pandangan mata benci White kepada ibunya. "Sepertinya di sini saya yang paling disalahkan karena kelakuan idiot tukang bully yang menjijikkan di samping Anda itu."

"Lo enggak bisa jaga mulut?" sambar Grey. "Enggak bisa sopan dikit ya sama wanita?"

Untuk pertama kalinya White menyeringai mendengar ucapan Grey, "lihat siapa yang bicara? Saya kira kamu yang paling enggak tahu sopan santun. Barangkali pukulan saya di kepalamu kurang keras, atau otakmu itu memang bebal."

Grey mengertak geram, tangannya mengepal keras. "Berengsek mulut lo!"

"Diam!" teriak Heri marah. Matanya mendelik menatap kedua putranya. Wajahnya seperti tomat. Memerah menahan emosi.

"White, Ayah enggak mau tahu, kamu harus kembali ke rumah dan tinggal di sini mulai sekarang. Biar Jajang mindahin semua barangmu ke sini," lanjut Heri tegas.

Gusar, White beranjak berdiri, "Terserah Ayah mau apa. Terserah Ayah mau berhenti membiayai saya ataupun berhenti mengakui saya sebagai anak Ayah, atau mungkin mengirim berandalan tiap hari buat saya. Tapi Ayah enggak bisa maksa saya untuk kembali tinggal di rumah ini."

"White, cukup, jangan bicara seperti itu dengan ayahmu!" Lita kembali bersuara sambil meletakkan tangan di dadanya. Tampak sekali terguncang.

White kembali tersenyum sinis kepada Lita, lalu berpaling kembali pada ayahnya.

"Ayah, sekarang saya mau tanya, berapa banyak masalah yang saya perbuat selama ini? Berapa banyak waktu berharga Ayah yang terbuang buat menyelesaikan masalah saya?" White berhenti sebentar, menunggu jawaban. Namun, bibir ayahnya itu terkatup rapat. "Enggak pernah kan? Saya berusaha menjaga diri saya selama ini dan menghindari masalah apa pun agar Ayah enggak perlu repot ngurusi saya meskipun saya enggak tinggal lagi di rumah ini. Tapi apa yang saya dapat? Saya yang malah disalahkan gara-gara kelakuan bejat idiot itu!" White menunjuk kesal pada Grey.

"Makanya lo enggak usah ikut campur urusan gue," sambar Grey licik.

White memandangnya jijik.

"Ayah enggak mau dengar alasan apa pun. Pokoknya Ayah minta, kamu harus kembali dan tinggal di rumah ini sebelum kamu pindah ke luar negeri. Ayah ingin kamu tinggal, dan kamu harus tinggal," sahut Heri dengan nada otoritas seorang pemimpin perusahaan yang sedang penuh emosi.

White mendengus, menyesali celah yang ia buka agar ayahnya memiliki alasan untuk menyeretnya pulang. Ia sudah menahan diri selama ini agar tidak mendapatkan masalah yang akan melibatkan ayahnya. Dan sekarang semuanya sudah terlanjur.

"Saya enggak akan tinggal di sini lagi." White berkata pelan penuh penekanan lalu meninggalkan ruangan.

Lita yang membeku karena pertengkaran keluarga ini langsung bangkit berdiri ketika melihat White pergi dari hadapannya.

"White, tunggu White!" Lita menyusulnya, meninggalkan Grey hanya bersama Heri.

Menyadari posisinya yang tidak menyenangkan ini, Grey ikut bangkit untuk menyusul kepergian mereka.

"Siapa yang nyuruh kamu pergi?" Heri memandang tajam Grey. Ia memang sengaja menyisakan Grey untuk yang terakhir. Karena Heri tahu cara menghadapi Grey lebih mudah daripada menghadapi White. Heri menyadari bahwa putra bungsunya itu memang selalu bikin onar. Tapi pikiran Grey tidak serumit White. Ia bisa menekan Grey dengan mudah meskipun ia akan kembali membuat onar, tapi tentang White, tidak bisa sesederhana itu.

Grey kembali terhenyak di sofa.

"Berapa lama lukamu bisa sembuh total?"

"Kata dokter, semingguan lagi," jawab Grey asal.

"Bagus. Kamu tahu apa yang sudah kamu lakukan hari ini? Kamu jauh lebih memalukan daripada kakakmu. Dan Ayah merasa beruntung karena White memukulimu seperti itu untuk menghentikan kelakuanmu yang memalukan."

Tercengang, Grey tidak yakin dengan pendengarannya saat ini. Apa yang dikatakan pak tua di depannya ini sangat berbeda dengan apa yang baru saja ia katakan sesaat yang lalu. Saat White masih berada di sini.

"Ayah membela White?" Grey bertanya namun ia hanya mendapatkan tatapan tajam ayahnya sebagai jawaban. "Oh, aku mengerti, jadi barusan Ayah sengaja menyalahkan White hanya untuk menyeret dia kembali pulang ke rumah?"

Grey mendengus. Bisa-bisanya ia tertipu, bisa-bisanya ayahnya seperti itu. Oh benar, ia lupa bahwa ayahnya memang lebih bangga terhadap White daripada dirinya. Segalanya tentang White yang luar biasa ketimbang dirinya.

"Ayah sudah lelah dengan semua keonaran yang kamu buat. Ayah mau kamu enggak lagi mengganggu teman cewek sekelasmu itu. Kalau Ayah dengar kamu mengganggu anak orang lagi, Ayah enggak peduli kalau nanti ada orangtua yang nuntut kamu terus ngejeblosin kamu ke penjara. Ayah enggak perlu punya anak yang malu-maluin keluarga," ujar Heri dengan nada final.

"Ayah!" Grey terkejut dengan ucapan ayahnya. Betapa tega pria tua ini, batinnya.

"Sekarang sudah mengerti kamu, Grey? Kalau sudah ambilkan ponsel Ayah dan hubungkan Ayah dengan Sensei Murota."

"Sensei Murota?" ulang Grey. Dalam hati bertanya-tanya, kenapa ayahnya menghubungi guru kendo White.

XXX

"Kembalilah ke rumah White, tinggallah bersama kami seperti dulu, hanya beberapa bulan sebelum kamu kuliah. Aku mohon." Lita berkata seraya berlari kecil menyusul langkah cepat White.

"Saya enggak ingin bicara sama Anda. Pergilah!" White menjawab kaku.

Lita memang sudah terbiasa dengan perlakuan dingin White, namun tiap kali dirinya diusir pergi oleh White seperti ini, ia merasa ingin menangis keras-keras.

"White, tolong maafkan aku. Jangan pergi, Nak, aku selalu menyayangimu dan menganggapmu sebagai anakku sendiri."

White berhenti melangkah, tapi ia tidak memandang wanita yang kini merangkul lengannya sambil tersedu pelan.

"Ketika Anda menganggap saya sebagai anak Anda, apa pernah terlintas dalam pikiran Anda bagaimana perasaan ibu saya? Apa pernah Anda memikirkan bagaimana perasaan sahabat Anda sendiri?"

Lita memandang wajah White dari samping, ingin mengatakan betapa menyesal dirinya saat ini. Namun, ia kembali membenamkan wajahnya di lengan White sambil menangis tersedu-sedu.

"Anda tahu kan kenapa saya enggak ingin lagi tinggal di sini?" lanjut White.

"Aku tahu White, aku tahu."

"Kalau begitu lepaskan saya, saya sedang enggak ingin bicara dengan Anda."

XXX

Fortsätt läs

Du kommer också att gilla

1M 56.5K 36
Millie Ripley has only ever known one player next door. Luke Dawson. But with only a couple months left before he graduates and a blackmailer on th...
53.5K 1.6K 24
[ONGOING 🔞] #8 insanity :- Wed, May 15, 2024. #2 yanderefanfic :- Sat, May 18, 2024. After y/n became an orphan, she had to do everything by herself...
807K 70.8K 37
𝙏𝙪𝙣𝙚 𝙠𝙮𝙖 𝙠𝙖𝙧 𝙙𝙖𝙡𝙖 , 𝙈𝙖𝙧 𝙜𝙖𝙮𝙞 𝙢𝙖𝙞 𝙢𝙞𝙩 𝙜𝙖𝙮𝙞 𝙢𝙖𝙞 𝙃𝙤 𝙜𝙖𝙮𝙞 𝙢𝙖𝙞...... ♡ 𝙏𝙀𝙍𝙄 𝘿𝙀𝙀𝙒𝘼𝙉𝙄 ♡ Shashwat Rajva...
4.6M 136K 52
After her mother's death Lilith gets a new legal guardian, her older brother. With no knowledge of having four other older brothers, Lilith is send...