Mantan Rasa Pacar [END]

By Arinann_

1.3M 85K 1.3K

[NEW COVER] Kisah antara Arkano Alfarezi Prasaja, si anak badung yang menjadi juara Olimpiade Matematika deng... More

Arkano Alfarezi Prasaja
Naura Salsabila Azzahra
Chapter 1: Mantan
Chapter 2: Mie Ayam
Chapter 3: Wawancara
Chapter 4: Pacar Baru Arka?
Chapter 5: Kesialan dan Kesalahpahaman
Chapter 6: Toko Buku
Chapter 7: Razia Dadakan
Chapter 8: Arka yang Sebenarnya
Chapter 9: Berantem
Chapter 10: Kejutan
Chapter 11: Minta Bantuan
Chapter 12: Tragedi Foto
Chapter 13: Bertemu di Taman
Chapter 14: Keputusan
Chapter 15: Toko Buku 2
Chapter 16: Arka-Naura-Fiko
Chapter 18: Fakta yang Belum Terungkap
Chapter 19: Kejujuran
Chapter 20: Before-After UAS
Chapter 21: Class Meeting
Chapter 22: Keributan
Chapter 23: Flashback
Chapter 24: Membaik
Chapter 25: Kepastian
Chapter 26: Papa
Chapter 27: Gramedia Date
Chapter 28: Rapot
END: Jawaban Pertidaksamaan
Extra Chapter
APA KATA WATTPADERS?

Chapter 17: Kerja Bakti

22K 2.2K 31
By Arinann_

Hari Selasa, Naura masih tak mendapatkan balasan pesan dari Arka. Bahkan, saat posisi Arka online pun, laki-laki itu tidak membuka pesannya.

Naura merasa penasaran mengapa laki-laki itu cuek kepadanya. Benaknya dirundung perasaan tak nyaman. Pikirannya tidak bisa tenang memikirkan kesalahan apa yang telah ia perbuat pada Arka.

"Ra, masih sibuk?"

Naura mengangkat wajahnya. Fiko tampak sudah siap dengan kameranya. Naura yang sedari awal sibuk menatap layar ponsel pun segera meletakkan benda canggih berbentuk pipih itu ke atas meja.

"Ah, enggak kok," ucapnya kepada Fiko.

"Oke. Kita mulai sekarang aja, ya," ajak Fiko. Naura pun mengangguk.

Istirahat ini, Fiko mengajak Naura untuk menyelesaikan tugas ekskulnya. Kemarin, mereka sama-sama memiliki jadwal yang sibuk. Naura harus menyelesaikan madingnya.

Setelah mendengar para guru akan mengadakan rapat dadakan untuk membahas agenda sekolah yang akan datang, Fiko langsung menghubungi Naura dan meminta gadis itu untuk pergi ke perpustakaan.

Ngomong-ngomong perpustakaan hari ini sedikit sepi. Hanya ada beberapa anak yang datang. Karena sebagian besar murid-murid lebih memilih untuk tetap di kelas atau pergi ke kantin sekolah. Anak laki-laki pergi ke lapangan untuk bermain futsal. Jika ada rapat dadakan seperti ini pasti identik dengan jam kosong. Itu artinya, mereka tidak akan menyia-nyiakan waktu yang jarang terjadi seperti ini sebelum penilaian akhir semester dimulai.

***

Kegiatan penilaian akhir semester, akreditasi sekolah, dan penilaian sistem sekolah adiwiyata akan dilaksanakan secara hampir bersamaan.

Untuk itu, sesuai dengan hasil keputusan rapat guru beserta karyawan, semua warga sekolah diharapkan ikut berpartisipasi. Murid-murid akan tetap mengikuti kegiatan belajar mengajar untuk persiapan Penilaian Akhir Semester seperti biasanya. Kegiatan belajar mengajar dilaksanakan, dari pukul 07.00-10.00 WIB. Setelah itu akan dilaksanakan kerja bakti di seluruh lingkungan sekolah.

Agar persiapan mereka terasa menyenangkan dan tidak membosankan, pihak sekolah juga telah memutuskan sesuatu hal yang unik yaitu, membuat kelompok-kelompok kerja bakti. Setiap perkelompok akan memiliki tugas khusus dan diisi oleh siswa siswi dari berbagai kelas.

Namun, anggota tidak diambil dari semua murid SMA Nuri. Hanya anak-anak yang mengikuti organisasi seperti OSIS, kepramukaan, dan PMR. Nantinya anggota juga akan ditambah dari beberapa murid yang tertarik untuk bergabung.

Nantinya, anggota OSIS yang akan bertanggung jawab mengatur tugas dan membuat kelompok para murid yang ingin bergabung.

Naura awalnya tidak mau. Ia lebih memilih untuk ikut kelompok anak kelas saja. Tapi, karena bujukan dan paksaan Lala, mau tidak mau Naura ikut mendaftar. Bukan Lala jika gadis itu tidak melakukan hal yang menurut Naura dirasa lebay. Hanya karena Galuh ikut ke dalam daftar kelompok khusus tersebut, Lala dengan rela mendaftarkan diri untuk ikut.

Keesokan harinya, anak-anak yang berpartisipasi diperintahkan untuk berkumpul di gedung aula. Naura dan Lala duduk di bangku yang telah dipersiapkan. Barisan terakhir paling ujung. Naura memilih untuk duduk tepat di dekat jendela sedangkan Lala di sebelahnya. Satu persatu bangku mulai terisi hingga gedung aula menjadi penuh.

"Ra, sepanjang aku sekolah di sini, aku baru tau kalau anak-anak yang ikut kegiatan OSIS sebanyak ini," ucap Lala.

"Enggak juga. Sekarang kelihatan banyak karena anggota OSIS tahun lalu juga ikutan gabung," ucap Naura.

"Kok kamu bisa tau?"

Naura menunjuk ke arah depan. Di sana terdapat meja yang biasanya ditempati oleh para pemimpin organisasi atau pun guru pembimbing organisasi duduk.

"Tuh, ada Kak Latif, mantan ketua OSIS tahun lalu. Banyak wajah kakel juga di sini."

"Oh. Pantesan. Aku enggak terlalu merhatiin tadi."

"Ya iyalah enggak merhatiin. Fokusnya ke Galuh terus," cibir Naura.

Lala meringis memperlihatkan struktur giginya yang rapi.

Terdengar derit kursi yang ditarik dari sebelah Lala. Seseorang lalu duduk di sana.

"Gue duduk di sini, ya?"

Naura dan Lala kompak menoleh. Mereka sedikit terkejut melihat Fiko, kemudian dua siswa yang Naura ketahui teman Fiko pun ikut duduk di samping laki-laki itu.

"Hai, Ibu Bos," sapa salah satu temannya.

Naura dan Lala saling melirik.

"Kalian ikut juga ternyata," ucap Fiko.

"Iya, nih." Naura dan Lala memaksakan senyuman.

Suara mikrofon yang diketuk terdengar memenuhi ruang aula. Menarik atensi para murid untuk melihat ke depan. Di sana ada Pak Hery, Bu Hesti, Kak Latif, Kak Dino sebagai ketua OSIS tahun ini, dan Kak Fatma si wakil ketua OSIS, Kak Rasya si ketua PMR, juga Kak Sigit ketua organisasi kepramukaan.

Pak Hery membuka pertemuan tersebut. Setelah kira-kira sepuluh menit lamanya, Pak Hery memerintahkan anggota OSIS untuk membagikan kertas berisikan data kelompok yang telah dibuat.

"Loh! Aku kira kita bikin sendiri kelompoknya," ucap Lala berbisik.

Lala yang awalnya merasa antusias menjadi lesu. Ia pikir, mereka bisa memilih dengan bebas bergabung dengan kelompok siapa saja. Namun, kegalauannya itu tak berlangsung lama karena ternyata dirinya berada satu kelompok dengan Galuh.

"Nauraaa, aku seneng banget. Aaa...Yes yes yes yes yes!"

Naura menghela nafas panjang. Keberuntungan sedang tidak berpihak pada Naura. Nasib sialnya mungkin juga berada di hari Rabu. Sekarang, Naura hanya bisa pasrah karena tergabung di kelompok yang sama dengan Fiko dan Disa.

"Lala," ujarnya lesu.

"Why?"

"Tukaran, yuk."

"Enggak! Meskipun aku juga kasihan sama kamu, tapi aku enggak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Maaf Naura sayang."

"Lala, please..."

Lala menggelengkan kepalanya. Gadis itu memegang pundak Naura dan menatap sahabatnya lekat.

"Naura. Fighting!

***

Setelah keluar dari ruang aula, setiap anggota berkumpul pada kelompoknya masing-masing.

Lala sudah pergi bersama Galuh untuk berkumpul pada kelompok mereka. Kini, Naura dan Fiko melangkah ke koridor depan gedung aula untuk berkumpul bersama anggota kelompok mereka yang lain. Terlihat Disa, Farih, Danis, Henry Kak Ratih, Kak Edo, dan Kak Wisnu sebagai ketua kelompok di sana.

Naura sempat bersitatap dengan Disa yang sedetik kemudian langsung mengalihkan pandangannya. Gadis itu terlihat mendegus sebal mengetahui dirinya berkelompok dengan Naura. Naura mencoba tak peduli. Dirinya memilih duduk di antara Farih dan Kak Ratih yang posisinya berada jauh dari Disa.

"Oke, semua sudah kumpul, kan?"

Kak Wisnu berucap. Setelah mengabsen satu-persatu anggota yang datang, akhirnya Kak Wisnu memulai diskusi mereka

"Kalian sudah tau, kan, kelompok kita dapat tugas di greenhouse?" ucap Kak Wisnu.

Naura dan yang lainnya mengangguk.

"Nah, gue senang banget kita dapat tugas di sana. Tugas kita enggak terlalu berat. Untuk beberapa hari ini, tugas kita adalah bantuin Pak Suranto buat ngurusin dan rawat tanaman-tanaman yang ada di greenhouse. Nyiram tanaman, motongin daun layu, kasih obat tanaman, ngisi angket, dan lain-lain."

Kak Wisnu melihat satu per satu anggotanya. "Nah, untuk itu, gue ada rencana buat bagi kelompok lagi di sini. Kita bagi-bagi tugas. Tapi sistemnya bergilir. Jadi, tugas kelompok yang sekarang beda sama tugas yang besok," jelas Kak Wisnu.

Farih mengangkat tangannya. "Sorry, maksudnya gimana, ya, kak?" tanya cowok itu belum sepenuhnya paham.

"Jadi, gini. Misal, lo satu kelompok sama Edo dan tugas kalian itu menyiram tanaman. Nah, besoknya gantian sama kelompok yang lain. Lo sama Edo tugasnya jadi ngasih obat tanaman atau motongin daun layu atau apa kek. Jadi, tugas kalian enggak melulu nyirem tanaman. Paham?"

"Oh. Paham-paham." Farih mengacungkan jempolnya.

Kak Wisnu menjentikkan jari. "Sip!"

"Untuk kelompoknya, kita mau bagi gimana?" tanya Kak Edo.

"Karena kita ada sembilan orang, kita bagi jadi tiga tim. Gimana?"

"Setuju aja, sih, kalau gue," ucap Henry.

"Gue sama Naura."

Semua arah pandang tertuju pada Fiko. Tak terkecuali dengan Naura.

"Sorry, Fik. Gue enggak bisa mastiin lo satu kelompok sama Naura atau enggak. Di sini gue ingin semuanya adil. Enggak pilih kasih. Kita akan bagi kelompoknya dengan acak. Kalau lo enggak setuju, lo bisa enggak ikut."

Semua terdiam mendengar ucapan Kak Wisnu. Terdengar tegas dan tidak takut walaupun yang ia ajak bicara itu adalah anak dari kepala sekolah. Dari kalangan kakak kelas, yang Naura tau Kak Wisnu termasuk salah satu orang yang tidak suka dengan Fiko. Naura dulu pernah mendengar desas desus sepele itu dari Lala. Melihat Kak Wisnu juga populer karena pernah menang di olimpiade sains bidang biologi.

Fiko hanya melirik ke arah Kak Wisnu. Mungkin kesal dengan Kak Wisnu.

Kak Wisnu mengalihkan pandangannya. Ia mengambil sebuah kertas lalu menyobeknya menjadi sembilan bagian. Kak Wisnu menuliskan angka 1, 2, dan 3 di setiap sobekan tersebut kemudian menggulungnya. Setelah semua kertas tergulung, Kak Wisnu menggenggamnya dan mengacak gulungan-gulungan kertas itu

"Masing-masing ambil satu kertas. Jangan dibuka sebelum semuanya dapat." Kak Wisnu menyodorkan tangannya. Satu per satu pun mulai mengambil

Saat giliran Naura, gadis itu benar-benar berharap untuk mendapatkan nomor yang sama dengan Kak Wisnu atau siapa pun kecuali Disa dan Fiko.

Semua anggota sudah mendapat gulungan kertas. Setelah menerima instruksi dari Kak Wisnu, mereka pun membuka kertasnya.

Angka dua tertulis di kertas Naura. Itu artinya, ia menjadi anggota pada tim dua.

"Yang dapat nomor satu angkat tangan."

Henry dan Danis mengangkat tangannya. Kak Wisnu menatap mereka sesaat. "Oke, lo berdua satu kelompok sama gue."

"Yes!" sorak Henry dan Danis bersamaan. Mereka berdua lalu ber-tos-ria

"Nomor dua?"

Farih mengangkat tangannya. Diikuti Naura lalu Disa.

Mata Naura sedikit membelalak. Naura dan Disa saling bertukar pandang. Mereka sama-sama terkejut mengetahui jika mereka ada di dalam kelompok yang sama.

"Oke. Kalau begitu berarti Ratih, Edo, sama Fiko kelompok tiga. Oh, iya, peringatan! Kelompok ini udah fiks, ya. Enggak bisa diubah. Seperti awal tadi, gue enggak mau ada yang pilih kasih. Enggak ada yang membeda-bedakan satu sama lain. Pokoknya harus kompak. Paham?"

Naura menghela napasnya. Saat ia bebas dari Fiko, ia malah dihadapkan dengan Disa.

***

Kamis pagi. Kerja bakti akan dilaksanakan setelah jam kegiatan belajar mengajar selesai dilaksanakan. Rencana awal yang akan dilaksanakan mulai hari Rabu diubah menjadi hari Kamis karena keterbatasan waktu dan alat-alat kebersihan.

Setelah diadakannya musyawarah di gedung aula kemarin, pihak guru dan karyawan kembali mengadakan rapat. Bu Hesti, sebagai guru BK mengajukan sebuah kegiatan yang akan menambah semangat siswa untuk melaksanakan kegiatan kerja bakti ini. Yaitu, mengadakan lomba antar kelas. Lomba itu adalah kegiatan membuat taman kecil di setiap masing-masing halaman kelas. Kriteria yang nantinya dinilai adalah kebersihan, keasrian, dan keindahan taman.

Maka dari itu, sebagian besar siswa membawa alat-alat kebersihan dari rumah. Entah itu kemoceng, kain lap, dan lainnya. Bahkan, beberapa murid ada yang membawa tanaman hias.

Mereka terlihat sangat bersemangat. Saking semangatnya, seseorang sampai membawa empat tanaman sekaligus.

"Woy! Bantuin! Malah pada asik selonjoran di depan kelas. Nih, udah gue bawain empat pot!"

Laki-laki itu berteriak di koridor kelas. Berjalan lambat hampir sampai di depan kelasnya.

"Oy, Reza!"

"Gil, Agil! Doni! Heh, Sal! Woy. Edgar. Pada budeg apa, ya?"

"Mami Yeniii, lo sini bantuin."

Namun, teman-temannya terlihat tak ada yang memedulikannya.

"Ah, elah. Pada enggak punya hati emang. Din, Udin!"

Laki-laki bernama Udin itu hanya diam. Terlihat malas untuk menanggapi.

"Oh! Gitu, ya, sekarang. Besok ujian, gue enggak akan kasih contekan lagi ke kalian!"

Mendengar penuturan itu, Udin cepat-cepat berdiri. Disusul Reza, Edgar, dan Doni. Mereka masih sayang nilai rapot mereka. Maka dari itu, tanpa basa-basi mereka menghampiri cowok itu dan berebut membantu membawa tanaman yang dibawanya.

"Sini, bos, gue bantu!" ucap Reza.

"Ijinkan hamba membantumu, Baginda!" ucap Edgar.

"Kene, kene, kene. Tak rewangi, Den Bagus," ucap Doni dengan bahasa Jawa.

(Sini, sini, sini. Tak bantuin, tuan muda yang ganteng).

Satu persatu mengambil satu kantong plastik transparan berisi pot tanaman itu.

"Makhluk-makhluk bangsat kalian. Mau bantu karena ada maunya. Dari tadi, kek. Pegal, nih, tangan gue."

Udin menatap kantong plastik itu. "Seminggu diskors tambah goblok, ya, lo, Bos." Udin menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Eh, jangan sembarangan, ya, kalau ngomong. Harusnya kalian senang udah dibawain banyak juga."

"Banyak, sih, banyak. Tapi, ya, enggak tanaman kecil juga kali, Bos! Apaan nih, kaktus kecil kaya gini doang," kesal Udin mewakili teman-teman kelasnya.

Arka berdecak. "Enggak bersyukur lo, ya. Mahal itu! Satu potnya 30 ribu. Gue beli empat jadi 120 ribu. Belum lagi gue beli pot bunga lima. Satunya 20 ribu jadi 100 ribu. Totalnya udah 220 ribu. Si goblok, bukannya bilang makasih malah bacot."

Udin mendesah. "Huh, iye iye. Makasih!"

Arka memasukkan kedua tangannya di saku jaket. Ia pun melangkahkan kakinya terlebih dahulu sedangkan Udin ngomel-ngomel sendiri di belakang. Reza, Edgar, dan Doni meletakkan kaktus-kaktus kecil itu di halaman kelas.

Kedatangan Arka di sekolah disambut dengan baik oleh teman-temannya. Mereka saling bersalaman dan bertos ria seperti yang biasa mereka lakukan.

"Apa kabar lo, Ka?"

"Alhamdulillah baik. Masih diberikan kesehatan oleh Allah subhanahu wata'ala."

"Enak lo, ya, bisa nyantai di rumah. Boro-boro ngerjain tugas. Buka buku aja paling enggak."

Arka dengan dramatis menggeleng. "Enggak tau aja lo, Gil. Gue stres enggak bisa masuk sekolah. Serasa di penjara gue."

"Gaya lo! Sok-sokan stres enggak bisa sekolah." Edgar tertawa. Anak-anak lainnya pun ikut tertawa.

Arka hanya tersenyum. Mereka tidak tau saja jika Arka berkata jujur

"Nauraaa!"

Suara nyaring itu memenuhi koridor kelas. Membuat sebagian siswa menolehkan kepalanya melihat ke arah koridor kelas MIPA 1. Tak terkecuali dengan Arka.

Gadis bernama Lala itu terlihat menghampiri Naura. Ia tersenyum lebar memamerkan tanaman bunga mawar yang dibawanya.

"Gila tuh anak suaranya. Kaya toa di masjid kampung gue," cibir Udin.

Edgar tergelak. "Enggak takut pita suaranya putus kayaknya."

Anak-anak yang lain tertawa.

Di sisi lain, Lala tersenyum senang memamerkan bunga mawar yang dibawanya. Bunga itu adalah tanaman yang ia rawat sendiri di rumah. Dulu, Naura sempat meragukan Lala yang ingin merawat bunga berwarna merah tersebut. Namun, Lala membuktikan kepada sahabatnya itu bahwa dia bisa.

"Gimana? Cantik, kan? Oh, iya jelas. Kaya yang punya bunga," ucap Lala dengan percara diri.

Naura menggeleng-gelengkan kepalanya. "Pede banget kamu, La."

"Biarin. Udah sini bunganya, mau aku taruh di taman dulu."

Lala mengambil pot bunganya lalu meletakkannya di taman depan kelas. Naura hari ini membawa bunga kertas dan sudah ia letakkan di sana.

Sementara Lala sibuk mengurus bunganya, Naura mengedarkan pandangannya. Gadis itu menoleh ke arah koridor kelas MIPA 2. Dalam sekejap, matanya menangkap sosok Arka. Laki-laki itu tengah berbincang dengan teman-teman kelasnya. Tidak lama kemudian, Arka terlihat pergi dari sana.

Naura menoleh ke arah Lala. "La, aku pergi bentar, ya."

Tidak menunggu jawaban Lala, Naura lantas segera melangkahkan kakinya menyusul Arka.

"Arka!"

Panggilan itu membuat langkah Arka terhenti. Pemuda berperawakan tinggi itu menoleh bersamaan dengan Naura yang mendekati Arka. Naura berdiri di samping Arka.

"Apa?" tanya Arka.

"Kamu marah sama aku?" tanya balik Naura.

Arka mengerutkan dahinya. "Maksud lo?"

"Kenapa enggak balas pesan-pesanku? Aku telpon juga enggak kamu angkat. Kamu kenapa?"

"Gue dari kemarin enggak pegang HP, Ra."

"Masa, sih? Bohong. Orang jelas-jelas aku chat kamu, kamunya lagi online."

"Apaan? Akhir-akhir ini gue enggak pegang HP."

Naura mengambil ponselnya. Ia membuka aplikasi tukar pesan dan membuka kontak Arka. "Nih, lihat. Beberapa menit yang lalu kamu online."

Arka mengerutkan dahinya. Ponselnya masih disita oleh papanya. Sejak Naura mengatakan jika gadis itu mengirim pesan kepadanya, Arka sudah berpikir yang tidak-tidak. Tidak mungkin Pak Prasaja membuka ponselnya. Kata kunci yang dibuat Arka sangat rumit. Tidak mungkin, papanya itu bisa mengaksesnya.

"Emangnya lo chat apaan?"

Naura menurunkan tangannya. "Ya, bukan apa-apa, sih. Aku cuma mau bilang makasih sama kamu udah bantuin ngerjain tugas biografinya. Aku juga mau minta maaf udah ngerepotin kamu. Aku jadi enggak enak, Ka. Itu kan tugas aku. Harusnya aku yang ngerjain, tapi malah kamu yang selesain semuanya."

"Ya udah, sama-sama. Tapi, gue juga agak nyesel, sih, bantuin lo ngerjain semuanya."

Kedua alis Naura terangkat. "Kenapa?"

Arka melirik ke arah Naura. "Kemarin, hari Minggu. Ngapain lo di mal?"

Bola mata Naura berputar ke atas. Gadis itu mengingat-ingat dirinya saat di hari Minggu. Saat teringat, tiba-tiba saja Naura terkejut. "Kok kamu bisa tau kalau aku pergi ke sana?"

Arka berdecak. "Gue juga tau lo pergi sama siapa aja."

Naura mengatupkan bibirnya. Laki-laki itu telah mengetahui semuanya.

Arka menghela napasnya. "Lo tuh emang ngeyel kalau dibilangin, Ra. Gue juga ada di gramed kemarin. Tapi lo lagi makan. Waktu gue samperin, lo udah enggak ada. Pulangnya sama siapa lo? Jangan-jangan dianterin sama si bajingan itu."

"Enggak. Aku pulang sama Lala."

Mata Arka menyipit. Menyiratkan jika cowok itu tak percaya.

"Kalau enggak percaya, tanya aja sama Lala. Aku enggak bohong."

"Bisa aja, kan, lo bohong. Gue udah enggak percaya sama orang yang namanya Naura Salsabila Azzahra."

Naura berdecak. "Emang kenapa, sih, kalau aku dekat-dekat sama Fiko. Orang aku juga udah bilang kalau aku cuma bantuin dia. Aku tuh sampai bosan tau enggak bilang ini ke kamu, Ka."

"Jangan cuma memandang dia minta bantuan aja. Bisa jadi dia mau modus ke lo, Ra. Lo enggak tau dia orangnya kaya gimana. Enggak banyak yang tau kalau dia itu sebenarnya playboy, Ra."

"Tau dari mana kamu kalau dia itu playboy? Kamu temannya Fiko? Kamu aja enggak dekat sama dia."

Arka mengepalkan tangannya. Mencoba menahan emosinya, Arka mengacak rambut Naura dengan gemas. "Dibilangin juga."

"Arka!"

Naura merapikan tatanan rambutnya. "Lagian tugas dia udah selesai. Jadi, aku udah enggak berurusan lagi sama dia."

Belum sempat Arka berucap, seseorang memanggil Naura. Arka dan Naura menoleh. Tatapan mereka tertuju pada Fiko yang berjalan mendekat ke arah mereka.

Arka menatap Naura. "Apa? Katanya udah enggak ada urusan lagi. Mana buktinya?"

Fiko telah sampai di hadapan Naura. "Kita disuruh kumpul di greenhouse sama Kak Wisnu," ucap Fiko setelah sekilas menatap Arka.

Naura menghela napasnya.

"Dasar pembohong," gumam Arka sembari berlalu pergi dari sana.

Naura mati-matian menahan kekesalannya. Tidak ingin mengejar Arka lagi, Naura pun pergi ke greenhouse diikuti Fiko di belakangnya.

"Arka ngeselin."

***

"Semangat! Semangat! Semangat! Yang dapet tugas buang sampah, jangan lupa dipilah dulu, ya," suara Yeni, ketua kelas MIPA 2 terdengar dari koridor depan kelas Naura.

Naura yang tengah bersiap menuju greenhouse refleks menoleh. Arka, Reza, dan Doni terlihat mengeluh. Mereka mendapat tugas untuk mengurus sampah-sampah di depan kelas.

"Ra, permisi, dong," ucap Putra, si ketua kelas yang membawa dua buah pot bunga.

"Oh, maaf-maaf." Naura agak menyingkir dari depan pintu kelas. Memberi jalan untuk Putra membawa pot-pot itu ke taman.

Anak-anak sibuk hilir mudik di koridor. Membuat keadaan terlihat ramai. Beberapa anak sibuk membuat taman, menata tanaman hias sedemikian rupa agar nantinya terlihat cantik dan menarik. Sebagian lagi ditugaskan di dalam kelas. Menyapu, menata meja, membersihkan kaca, dan lain-lain. Anak-anak yang mengikuti kelompok khusus diperintah untuk berkumpul ke tempat kelompok mereka ditugaskan. Maka dari itu, Naura pun bersiap-siap menuju greenhouse sekolah.

"Ra, aku ke aula dulu, ya," ucap Lala kepada Naura.

Naura mengangguk. "Iya."

Lala melambaikan tangannya. Ia pun pergi ke aula bersama Galuh. Kelompok mereka ditugaskan membuat papan nama untuk pohon-pohon dan tanaman yang ada di area sekolah. Terdengar mudah, tapi mereka harus membuat sekitar 120 sampai 150 buah papan nama. Sedangkan waktu yang mereka punya hanya beberapa hari saja.

"Ra, ke GH sekarang, yuk," ajak Farih kepada Naura.

Naura mengangguk. "Yuk, Disa mana?"

Farih menunjuk ke kelas sebelah dengan dagunya. "Tuh, lagi sama mantan lo."

Naura menoleh. Matanya bersitatap dengan Disa. Arka sepertinya tengah berbicara sesuatu kepada gadis itu.

"Oh, kalau gitu kita duluan aja, yuk, Rih. Takut kelamaan," ucap Naura kepada Farih.

"Oke."

Mereka pun beranjak dari posisi mereka menuju greenhouse.

***

Tugas tim satu yang beranggotakan Kak Wisnu, Henry, dan Danis adalah menata ulang tanaman agar terlihat rapi. Penataan tanaman yang baru juga dilakukan karena akan ditambah beberapa bibit baru. Tim tiga yang beranggotakan Kak Ratih, Kak Edo, dan Fiko sedang pergi membelinya bibit baru itu.

Tugas tim dua adalah memotong daun-daun layu. Sudah hampir sebagian tanaman Naura selesaikan bersama Disa sedangkan Farih hanya mengerjakan sedikit setelahnya pergi entah kabur kemana. Membuat Naura dan Disa merasa kesal.

Cuaca saat itu sangat panas. Naura merasa gerah. Keringat sudah mulai bercucuran di dahi dan pelipisnya.

Tiga puluh menit berlalu. Tugas Naura dan Disa pun hampir selesai. Beberapa tanaman sudah bersih dari daun layu dan tata letak tanaman terlihat lebih rapi karena sudah di tata ulang

Naura selesai mengurus bagian tanaman hias. Melihat Disa belum selesai pada bagiannya, Naura pun bergeser ke tanaman jenis sayuran. Ia berinisiatif untuk membantu gadis itu agar tugas mereka cepat selesai.

Naura mengusap pelipisnya. Rasa panasnya tidak kunjung hilang.

"Aak!"

Terdengar suara pekikan. Naura praktis menoleh ke arah Disa. Naura terkejut saat Disa menghampiri dirinya dan bersembunyi di belakang punggungnya.

"Ra, tolongin, Ra. Ada ulat besar banget," ucap Disa dengan mimik wajah ketakutan.

Naura tersentak. Gadis itu sontak melempar alat potongnya kemudian mencengkeram tangan Disa.

"Di mana?"

Naura ikut merasa takut. Kedua gadis itu saling berpegangan dan menjauh dari tempat mereka berdiri.

"Ulat bulu?" tanya Naura.

Disa mengangguk.

Naura semakin tidak berani untuk menyingkirkan hewan itu. "Kak Wisnu sama yang lain ke mana, sih?" Naura mengedarkan pandangannya. Hanya ada mereka berdua di sana. Naura dan Disa benar-benar membutuhkan pertolongan.

"Ra, berani, enggak? Aku takut banget!" Disa sedikit mendorong Naura untuk mengatasi ulat itu.

"Aku juga!"

Disa mengambil sapu lidi yang ada di sana. Ia segera menyerahkan benda itu kepada Naura. "Pakai ini. Aku jagain di belakang."

"Kamu aja! Aku enggak berani."

"Please, Ra. Aku udah ngerasa gatal."

Naura menelan salivanya. Gadis itu pun mengambil sapu lidi dari tangan Disa.

Disa dengan takut-takut menunjuk. Setelah menemukan keberadaan ulat tersebut, Naura pun mengambil hewan berbulu tajam itu. Diiringi teriakan, Naura berhasil. Naura tidak membunuhnya. Gadis itu segera berlari keluar greenhouse. Disa senantiasa di belakangnya. Ulat itu segera dibuang ke saluran air oleh Naura.

Naura melempar sapu lidinya. Naura dan Disa saling tatap. Mereka sangat lega bisa menyingkirkan si ulat.

Sadar saling berpegangan, Naura dan Disa sontak menjauh. Seketika, kecanggungan menyergap keduanya. Hening sesaat.

"Thanks, Ra," ujar Disa.

Naura mengangguk.

Lantas, keduanya pergi ke greenhouse kembali.

***

Continue Reading

You'll Also Like

262K 14.8K 27
Orang gila mana sih yang gak pengen punya pacar yang perfect? Kalo kalian gak merasa, mending periksain diri ke dokter jiwa! Dia, si cowok paling per...
3M 155K 55
"Mau apa kamu?" "Kamu hanya anak pembawa sial, jangan coba-coba cari perhatian di depan saya, karena saya tidak peduli" "APA KAMU BELUM CUKUP MERENGG...
1.3M 97.3K 43
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
1.3M 118K 60
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...