My Annoying Bae || Bae Jinyou...

By baehwinoona

31.3K 3.6K 331

Bae Jinyoung x Lee Daehwi DeepHwi Lee Daehwi, 18 tahun, berstatus sebagai siswa tahun terakhir di SHS 101, ne... More

Awal Mula
First
Second
Third
Fourth
Fifth
sixth
seventh
eighth
ninth
tenth
eleventh
twelfth
thirteenth
fourteenth
fifteenth
seventeenth
eighteenth
UP

sixteenth

1.3K 157 24
By baehwinoona

(Kebahagiaan hanyalah sebuah kata yang setiap orang inginkan)

.

Malam yang ditunggu pun tiba. Jinyoung dan Daehwi dalam perjalanan menuju restoran ―tempat yang sudah di janjikan untuk pertemuan keluarga― yang terletak di kawasan Cheongdam. Jinyoung tampil casual, dengan potongan kemeja lengan panjang berwarna biru—yang digulung sampai sebatas siku, dipadu bawahan jeans warna hitam lalu sepatu dengan warna senada. Di tangannya melingkar sebuah jam rolex yang membuat penampilannya terlihat elegan.

Sedangkan Daehwi, ia mengenakan kemeja putih kebesaran dengan kaus berkerah yang menutupi leher senada dengan warna kemeja sebagai dalaman.  Ia juga mengenakan kacamata bulat berwarna gold yang kini sedang menjadi trend fashion di kalangan anak muda membuat penampilan Daehwi terlihat manis. Belum lagi  wajahnya yang dipoles dengan make up natural.

Ketika masuk ke dalam restoran, mereka mendapati Ibunya sedang berbicara dengan sepasang suami istri. Sempat Jinyoung tertegun dengan wanita yang duduk di depan Ibunya yang berwajah cantik. Dan itu sempat membuatnya ingin menukar posisi Daehwi dengan wanita itu—ini bercanda, sungguh.

Jinyoung menggandeng Daehwi dengan lembut dan menuntunnya menuju ke tempat di mana Ibunya berada. Sedangkan Daehwi hanya mengekori kemanapun Jinyoung pergi.

“Daehwi?”

“APPA?”

Ekspresi Daehwi berubah horor. Ia tak menyangka jika ia akan bertemu dengan kedua orang tuanya di acara makan malam yang di adakan Ibu Jinyoung. Apakah ini yang di maksud dengan surprise yang di katakan oleh Ibu Jinyoung itu?

Jinyoung berdiri dengan kaku. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia mengamati Daehwi—yang badannya sudah kaku dan lebih pucat daripada biasanya. Ingin hatinya menyeret Daehwi pergi, tapi itu bukan sesuatu yang sopan atau bahkan cenderung lancang. Tapi sebenarnya, jujur, dia ingin menyelamatkan Daehwi. Mengingat bagaimana cerita Daehwi beberapa hari sebelumnya membuat Jinyoung takut jika Ayah Daehwi berbuat yang lebih buruk lagi.

Dia, Jinyoung, sebenarnya tidak ingin mencampuri urusan keluarga Daehwi. Tapi, melihat Daehwi yang juga pucat seperti itu membuat Jinyoung tahu jika keadaan itu sedang tidak baik. Semua orang—Daehwi dan Ayahnya terutama—masih berdiri dengan mata yang saling terpaut. Mungkin mereka masih belum percaya jika harus bertemu disaat yang tidak tepat begini. Ayolah, sebagai Ayah dan anak yang hubungan yang sedang tidak baik, tentu dengan berhadapan secara tiba-tiba suasananya akan aneh.

“Appa...”

Daehwi menggantungkan kepalanya dan menatap ke arah kakinya. Dia benar-benar tidak berani menatap Ayahnya yang sekarang alisnya berkerut. Entah, jika Jinyoung bisa membaca ekspresinya, Ayah Daehwi tidak marah. Hanya saja terkejut karena bertemu anaknya yang tiba-tiba itu. Bahkan Jinyoung bisa menggolongkan wajah Ayah Daehwi itu konyol.

“AH!” semua mengalihkan perhatiannya pada Ibu Jinyoung, “Jadi dia anakmu? Anak yang kau ceritakan dulu? Ah—aku baru tahu.”

“Tapi—tunggu,” Ayah Daehwi menarik tangan anaknya, “Ikut dengan Appa.”

“Daehwi-ya,” Daehwi menatap Ayahnya dengan mata yang memelas, “Bagaimana kau bisa mengenal mereka?” tanya Ayahnya dengan mata yang setengah mendelik.

“Appa—itu panjang ceritanya. Dan... aku yakin aku akan mengecewakan Appa lagi jika aku menceritakannya,” dia memegang tangan kiri Ayahnya, “Appa, maafkan aku.”

“Kekacauan apalagi yang kau lakukan? Hm?” tanya Ayahnya geram.

“Aku... aku—aku akan menceritakan nanti padamu, Appa. Sekarang―” dia menarik Ayahnya kembali ke dalam gedung, “Kita kesana lagi. Kasihan nanti Nyonya Bae menunggu kita.”

Daehwi mengikuti ayahnya tanpa berkomentar. Dia ingin segera bertemu dengan Jinyoung—entah mengapa. Dia sadar jika hanya Jinyoung yang tahu ceritanya dengan lengkap. Dan dia tahu jika hanya Jinyoung yang bisa dia ajak berdiskusi sekarang. Setelah menemukan Jinyoung, Daehwi duduk di samping lelaki tersebut dengan tangan yang menarik lengan kemejanya.

“Kenapa?” ucap Jinyoung yang setengah terkejut.

“Aku takut―”

Lelaki itu mendekatkan jaraknya dan memegang pundak Daehwi, “Ayahmu memarahimu lagi?”

Daehwi menggeleng, “Hampir. Jika aku tidak segera mengalihkan perhatian Appa.”

Jinyoung tertawa kecil, “Aku yakin kau akan mengatasi semuanya dengan baik,” dia menepuk-nepuk pundak Daehwi, “Tenang saja. Lagipula... aku baru tahu jika sebenarnya orang tuaku dan orang tuamu berteman baik.”

“Oh? Benarkah?” dia mulai panik, “Tapi... bukannya seharusnya Eommamu tahu siapa aku?”

“Seharusnya. Tapi sepertinya Eommaku tak begitu tertarik untuk menebak hal-hal yang seperti itu.”

Daehwi mengangguk sekali lagi. Dia berusaha menormalkan suasana hatinya yang sedang ketakutan. Sempat dia melirik Ayahnya—yang juga melirik ke arah Daehwi. Dia ingin berbicara dengan Ayahnya, tapi dia tidak berani sendirian.

“Jinyoung-ah, bukannya kau dulu mengatakan akan melamar kekasihmu? Berarti kau akan melamar Daehwi, 'kan?” Tanya Ibu Jinyoung tiba-tiba.

“HUK! Eomma―”

Daehwi yang melihat Jinyoung tersedak langsung menepuk-nepuk punggung lelaki tersebut. Di pelipisnya sudah merembes keringat dingin. Dia tidak menyangka Ibu Jinyoung akan mengatakan hal seperti itu. Seketika Ibunya itu menjadi perusak suasana yang semula masih tenang—karena orang tua dari keduanya membicarakan bisnis sebelumnya. Sungguh bertolak belakang dengan sifat angkuh dan culasnya yang selama ini ia tunjukan.

“Oh, iya, Eomma. Dulu… aku berpikiran seperti itu.” Ucap Jinyoung setelah lebih tenang.

“Apa kau yakin dengan Daehwi?” Tanya Ayah Daehwi.

“Oh, itu. Hmm… begitulah, Tuan Lee.”

Di bawah meja, kaki Daehwi menginjak kaki Jinyoung. Ketika Jinyoung menoleh, dia mendapati Daehwi tersenyum paksa, tapi dengan mata yang menyipit. Dan seketika itu juga, Jinyoung tahu bahwa  kekasihnya itu sudah siap menerkamnya. Jinyoung menggenggam tangan Daehwi yang sedari tadi meremas celananya seraya bergumam 'sorry'.

“Daehwi-ya,” Ibu Daehwi angkat suara, “Kau terlihat menawan hari ini. Apa semua ini karena Jinyoung?”

SKAK MAT!

Daehwi diserang pertanyaan yang tidak pernah terduga untuk yang kesekian kalinya. Dia tidak menyangka Ibunya akan ikut campur disini. Dia curiga jika sebelum mereka berdua datang, ketiga orang itu sudah merencanakan sesuatu.

“Begitulah, Eomma.” Jawab Daehwi dengan tawa yang terpaksa.

“Kalian sudah tinggal bersama?” Tanya Ibunya lagi.

Daehwi mengangguk kecil. Dia tidak tahu mengapa semua yang ditanyakan serba kebetulan. Lagipula bukankah ia sudah memberitahu ibunya lewat telepon waktu itu jika ia tinggal bersama Jinyoung?

“Jinyoung-ah, apa kau akan melamar Daehwi dalam waktu dekat?”

“Aku belum tahu, Eomma. Aku akan memikirkan itu.”

“Ah…” Ibu Jinyoung mengangguk, “Akan lebih bagus lagi kalau kau segera melamar dan kalian cepat menikah.”

Daehwi menatap Ibu Jinyoung dengan mata yang terbelalak seperti baru saja melihat hantu. Iya, Ibu Jinyoung menakutkan. Bahkan sekarang dia lebih takut dengan Ibu Jinyoung daripada dengan Ayahnya sendiri.

EHEM!

Suara deheman Ayah Daehwi mengalihkan perhatian semua orang yang ada di meja itu. entah kenapa perasaan Daehwi tidak enak saat menangkap tatapan Ayahnya yang seperti... Entahlah. Ia pun tak bisa menajabarkannya.

“Maaf. Tapi aku rasa aku tidak bisa menikahkan anakku dengan anakmu. Daehwi sudah mempunyai tunangan. Walaupun waktu itu ia sempat melarikan diri bukan berarti pertunangan itu akan dibatalkan.” Ujar Ayah Daehwi datar.

Daehwi menatap Ayahnya dengan mata membelalak. Ia tak percaya jika Ayahnya tetap pada pendiriannya untuk menunangkannya dengan lelaki yang tak dikenal. Rasanya ia telah melakukan hal yang sia-sia selama ini. Harusnya ia tidak kabur saat itu. Iya, benar. Harusnya ia melompat saja dari atas jembatan sungai Han lalu hanyut terbawa arus agar Ayahnya tak menemukan mayatnya sekalipun.

Tak jauh berbeda dengan Daehwi, Jinyoung pun terlihat seperti mendapat serangan jantung. Ia benar-benar syok dengan perkataan yang dilontarkan Ayah Daehwi. Ia tak percaya jika ia sudah di tolak bahkan sebelum ia mengatakan akan melamar Daehwi. Lalu sekarang ia harus bagaimana? Haruskah ia kembali merasakan kehilangan sosok  yang ia cintai? Sungguh, ia belum siap kehilangan untuk yang kedua kalinya.

Baik Ibu Jinyoung maupun Ibu Daehwi sama-sama melakukan aksi diam. Suasana tegang dan mencekam mendominasi di sekitar mereka. Tak ada yang berani membuka suara. Bahkan semut pun ikut menahan napas melihat situasi seperti itu.

“Kau bisa mengemaskan barang-barangmu yang ada di rumah Jinyoung-ssi. Besok kita akan berangkat ke Jepang. Minggu depan acara pertunanganmu akan di langsungkan.”

“Tapi Appa―”

“Appa tidak menerima bantahan. Jika kau masih ingin di anggap sebagai anak, turuti apa yang Appa katakan.” Ucap Ayah Daehwi final.

Daehwi menundukan kepalanya. Wajahnya kini sudah di banjiri oleh air mata yang keluar dengan derasnya. Jinyoung yang duduk di sebelahnya hanya mengelus bahunya lembut agar ia tenang. Ibu Daehwi hanya menatap anaknya dengan sendu. Ia tidak tega melihat anaknya menangis seperti ini. Tapi Ibunya itu juga tidak bisa melawan kata-kata suaminya. Bagaimana pun ia hanya seorang istri.

.

Keheningan menyelimuti susana saat itu. Mereka berdua ―Jinyoung dan Daehwi― tidak beranjak dari tempat mereka. Bahkan hingga acara makan malam itu selesai. Orang tua mereka juga sudah meninggalkan restoran sekitar tiga puluh menit yang lalu.  Daehwi mengalihkan matanya tepat ke mata Jinyoung yang menatapnya khawatir. Ia sempat melihat lelaki itu menelan ludahnya kuat-kuat. Daehwi tersenyum kaku seakan-akan meminta Jinyoung untuk mencairkan suasana karena ia menyerah dengan itu. tetapi lelaki itu hanya menggaruk tengkuknya.

“Maafkan... Appaku,” ucapnya lemah. Benar-benar lemah. Hingga rasanya ia seperti tidak memiliki nyawa lagi. Baru kali ini ia kecewa dengan Ayahnya. Padahal jika Ayahnya meminta ia menikah dengan Jinyoung saat itu juga, mungkin ia akan  meng’iya’kan. Ia berpikir mungkin Ayahnya memang ingin melihat anaknya menikah. Tapi jika itu harus bersama orang lain, ia tak tahu harus bagaimana. Terlebih dengan orang yang tak di kenal, yang belum tahu sifat baik buruknya. Ah, membayangkannya saja membuatnya pusing seketika. Tentu ia akan menikah. Tapi jika itu bersama Jinyoung.

Jinyoung tertawa kikuk, “Tidak apa. aku mengerti itu,” ia menghela nafas, “Kau... sebaiknya kita pulang ke rumah dulu. Acara makan malam sudah berakhir sejak tadi.”

Percakapan itu selesai dan meninggalkan rasa canggung. Tidak ada suara yang muncul dari keduanya hingga sampai di rumah Jinyoung.

Daehwi masih terdiam ketika turun dari mobil. Wajahnya datar; tidak memunculkan ekspresi apapun. Dia berjalan dengan bertelanjang kaki sedangkan sepatunya sudah tak terlihat lagi di kakinya―mungkin tertinggal di mobil Jinyoung. Mata Daehwi terlihat membengkak akibat banyak menangis tadi.

Ketika sampai di rumah, Daehwi langsung masuk ke kamarnya. Dia membereskan apa yang sekiranya bisa dibawa pulang. Barang-barang yang dibelikan oleh Jinyoung sengaja dia tinggalkan. Toh itu tidak akan terpakai olehnya.

Daehwi kembali ke ruang tengah dengan koper besar yang penuh. Rasa kantuk dan laparnya menguap seketika. Iya, dia lapar. Di acara makan malam tadi ia sama sekali tidak menyentuh makanan yang telah di pesankan oleh Ibu Jinyoung. Ahh... mengingat wanita itu membuat ia ingin menangis di pelukan Ibu Jinyoung. Ibu Jinyoung orang yang sangat baik, walau pertemuan awalnya dengan Ibu Jinyoung terbilang kaku. Jujur, jika dia bisa mengatakan, dia sangat kecewa. Dia tidak marah pada Ayahnya, karena pada awalnya semua dimulai dari sebuah kebohongan hingga kini ia terjebak oleh permainannya sendiri.

Dia mungkin kecewa dengan dirinya sendiri karena membawa perasaannya hingga membuatnya benar-benar jatuh cinta pada lelaki  penolongnya; Bae Jinyoung. Tetapi, haruskah ia mengalah di saat-saat ia sudah menemukan belahan jiwanya? Bukankah ini tidak adil?

“Kau mengemas semuanya sekarang?” tanya Jinyoung dengan alis yang berkerut.

“Iya. Sepertinya lebih baik jika aku cepat-cepat kembali sebelum Appa menyeretku paksa dan membuatku tak lagi bisa bertemu denganmu.”

“Kau tidak pergi sekarang, 'kan?”

Daehwi tersenyum kaku, “Apa aku salah jika aku pergi sekarang?”

“Aku—aku sudah meminta Bibi song menyiapkan makanan untuk kita. Kau tadi sama sekali tak menyentuh makanan mu.”

“Ah… baiklah, aku pergi setelah makanan siap.”

Jinyoung mengamati semua pergerakan Daehwi. Bahkan dia melihat ketika Daehwi mencari-cari tempat minum kesayangannya diantara semua gelas yang ada di dapur. Dia merasa marah, marah kepada dirinya sendiri. Ia tak bisa mempertahankan miliknya dengan sekuat-kuatnya.

Ketika makanan siap, mereka juga makan dengan suasana yang awkward. Padahal tadi mereka melewati hari dengan penuh senyuman dan tawa bahagia, sekarang mereka hanya diam. Di dalam hatinya Daehwi merasa ingin membatalkan keinginannya untuk pergi, tapi jika dia mengingat ucapan Ayahnya mungkin akan berdampak yang lebih fatal jika ia membantah sekali lagi. Bisa saja ia di larang bertemu lagi dengan Jinyoung, kekasihnya itu seperti yang ada di drama yang biasa ia tonton. Kehidupannya sudah seperti drama saja.

Ah..kekasih, ya? Apa masih bisa di katakan sebagai kekasih jika dalam waktu seminggu kedepan ia akan di tunangkan dengan orang lain? Memikirkan itu membuat Daehwi memikir ulang tentang melompat dari jembatan sungai Han. Tapi, jika ia melakukan itu Ibunya akan bersedih melihat anak kesayangannya harus meninggal tidak wajar. Tidak, Daehwi tak ingin menyakiti hati seorang wanita yang sudah bersusah payah melahirkannya itu. Jadi mungkin satu-satunya jalan adalah mematuhi apa kata Ayahnya itu. Ia ingin menghadapi Ayahnya itu dengan cara yang benar, dengan pemikiran yang dewasa. Semoga masih ada jalan untuk membatalkan pertunangan itu. Masih ada waktu seminggu bukan?

Jinyoung duduk di sebelah Daehwi yang sedang menggigit makanan dengan tatapan kosong itu. Daehwi memperhatikan sesuatu yang entah, tidak fokus sama sekali. Mereka sangat dekat, tapi tidak sedekat seperti biasanya. Sejenak dia merutuki dirinya yang pengecut begini. Dan setelah membiarkan otaknya berkecamuk, dia membuka mulutnya.

“Daehwi…” ucap Jinyoung lirih.

“Hm?” dia mendapati Jinyoung yang menatapnya, “Kenapa Hyung memandangku begitu?”

Lelaki itu menggelengkan kepalanya, “Tidak.”

“Lalu? Kenapa memanggilku?”

“Hmm…” dia berpikir sejenak, “Kau yakin kau benar-benar pergi?” tanyanya ragu-ragu.

“Iya, memangnya ada apa?”

“Ah… tidak. Apa perlu aku berbicara dengan Appamu untuk membatalkan pertunanganmu? Bagaimanapun kau itu kekasihku. Aku berhak untuk mempertahankanmu. Maafkan aku yang bersikap seperti pengecut tadi. Aku bahkan tak sedikitpun membelamu.”

“Kau tidak perlu melakukan itu, Hyung. Aku mengerti bagaimana perasaanmu, karena aku pun juga begitu. Meskipun aku ini kekasihmu, tapi tetap aku ini anak kedua orang tuaku. Dan sebagai anak aku tak ingin di cap durhaka karena tak menuruti kata mereka. Lagipula aku tak ingin terjadi apa-apa denganmu jika Hyung ikut campur. Maaf kan aku soal yang memintamu untuk membantu menyelesaikan masalah ini.”

Jinyoung hanya menanggapi ucapan Daehwi dengan senyuman lemah, “Baiklah, kalau begitu, aku akan mengantarmu.” Ucap Jinyoung yang dijawab anggukan dari Daehwi.

.

Daehwi merebahkan dirinya di ranjang miliknya sendiri. Ah, kenapa terasa aneh? Seperti terasa hampa. Walaupun di rumah Jinyoung ia tidur sendiri, tapi tak begini rasanya. Tadi, setelah mengantarkan Daehwi, Jinyoung pergi begitu saja setelah mendaratkan ciuman di keningnya. Perasaannya berkecamuk; tidak karuan. Jika mengingat ciuman di kening tadi membuat dirinya senang bukan main. Setidaknya lelaki itu tak melupakan kebiasaan. Berkali-kali Jinyoung melakukan itu padanya, membuatnya terbiasa. Sekarang ia jadi kepikiran kapan lagi ia akan mendapatkan ciuman itu dari Jinyoung, sedang kan besok ia akan berangkat ke Jepang. Sepertinya ini akan menjadi kebiasaan mereka yang terakhir.

Daehwi meraih ponsel yang dibelikan oleh Jinyoung. Pada latar belakangnya terpasang gambar Jinyoung yang sedang menggendong Chaeyoung. Gambar itu di ambilnya ketika sedang jalan-jalan bersama beberapa waktu yang lalu. Melihat potret kebersamaan mereka membuatnya tersenyum. Terlebih teringat perkataan orang-orang yang melihat mereka seperti sebuah keluarga.

“Huah.” Dia menggulingkan badannya sembari meneliti semua kontak yang ada disana. Ah, dia merasa bosan. Jika biasanya dia akan menonton film di ruang tengah —rumah Jinyoung— maka sekarang dia tidak tahu harus melakukan apa. Kalau saja ada Jinyoung, mungkin mereka akan mendebatkan hal sekecil bakteri. Tapi sekarang, dia tidak punya teman untuk berdebat. Hyungseob? Kalau dengan Hyungseob mungkin tidak akan sama. Dengan Hyungseob hanya akan membuatnya emosinya naik dengan cepat. Dengan Jinyoung? Ah… ada perasaan lain di setiap sumpah serapah yang dia keluarkan.

Matanya mulai terpejam setelah meletakkan ponselnya di samping lampu tidur. Tanpa sadar dia juga merindukan kebiasaan Jinyoung yang selalu mematikan lampu kamar dan menggantinya dengan lampu tidur. Bahkan terkadang jika Daehwi tertidur setelah mengerjakan tugas, Jinyoung yang akan merapikan buku-bukunya jika sudah pulang bekerja.
Ah, dia akan merindukan Jinyoung. Begitu kesimpulannya.

.

“Hmm, sudah. Tenang saja.”
Daehwi mengapit ponsel di telinga dan pundak kanannya. Tangannya sibuk memasukkan barang-barang di tas ranselnya. Pesawatnya berangkat pukul tiga dan sekarang masih pukul setengah satu siang. Barang-barang untuk untuk di bawa ke Jepang sudah dia masukkan semuanya. Mungkin tinggal hal-hal kecil seperti charger ponsel atau earphone maupun kacang almond saja. Badannya lelah karena kurang tidur, karena harus terbangun pada subuh hari untuk mengemas barangnya. Sebenarnya ia bisa saja mengemaskan barang-barangnya pada pagi hari, toh ia juga berangkat sore harinya. Tapi, berhubung ia sangat tidak menyukai sesuatu hal yang terburu-buru, makanya ia memilih mengemas pada subuh hari. Masalah tidur bisa ia lakukan seharian nanti setelah ia tiba di rumahnya di Jepang sana.

Ngomong-ngomong, orang tua Daehwi sudah berangkat pagi-pagi sekali tadi. Dan Jinyoung sendiri sepertinya tak bisa mengantarkan Daehwi ke bandara karena ada kondisi darurat di rumah sakit.

Sekarang ia sedang terhubung dengan lelaki tersebut. Jinyoung bilang dia sedang istirahat sebentar. Dan mungkin akan kembali bekerja jika jam menunjukan pukul satu tiba nanti. Jadi…Daehwi akan berangkat dengan Hyungseob yang tadi sudah menyanggupi untuk mengantarkannya.

“Tidak apa-apa.” Daehwi mendudukkan dirinya di sofa setelah selesai memasukkan semua barangnya, “Semangat bekerja, Hyung. Aku akan menghubungimu jika sudah sampai disana nanti.”

Daehwi menutup teleponnya dengan wajah yang cemberut. Pasti. Bagaimana tidak, dia akan pergi tak tahu berapa lama, tetapi orang terakhir yang dia harapkan untuk mengantar ternyata sibuk. Dia tidak menyalahkan Jinyoung karena itu sudah kewajibannya. Tapi… tetap saja. Rasa kecewa itu tidak lepas dari benaknya.

From Hyungseob :
Aku sudah di depan apartemenmu. Ayo berangkat!

Daehwi menyeret kakinya. Kemeja yang dikenakannya kini sedikit lusuh karena dia berguling-guling di ranjang tadi. Sempat dia berhenti di ruang tamu, dan mengedarkan pandangannya disana. Ah, dia benar-benar akan merindukan apartemennya ini. Tapi lebih merindukan rumah Jinyoung sebenarnya. Tempat dimana ia menghabiskan waktu bersama Jinyoung.

“Hai.” sapa Daehwi pada Hyungseob  yang berdiri di depan pintu.

“Sudah siap?” Daehwi mengangguk, “Ada apa? Kenapa wajahmu cemberut begitu?”

Daehwi menggelengkan kepalanya, “Tidak. Kenapa aku malas berangkat, Hyungseob-ah?”

“Ah… aku mengerti. Semua akan baik-baik saja selama kau menjadi anak baik di hadapan orang tuamu. Tenang saja.” Hyungseob  mulai menjalankan mobilnya. “Seonho akan menyusul di bandara nanti setelah menyelesaikan urusannya dengan guru Kim selesai.”

Daehwi mengangguk. Ah dia bahkan lupa jika ia akan membolos sekolah. Untungnya dia itu siswa tingkat akhir, tidak banyak kegiatan belajar dan hanya tinggal menunggu waktu menghadapi ujian akhir sekolah. Sekali lagi Daehwi menoleh ke arah rumahnya. entah mengapa Daehwi merasa berat meninggalkan rumah itu. Tapi lebih berat lagi ketika kemarin ia harus meninggalkan rumah Jinyoung. Karena sudah terbiasa? Mungkin. Tapi Jinyoung yang membuatnya berat untuk pergi, sebenarnya.

Di dalam mobil, Daehwi hanya diam. Dia mengamati jalanan dan memilih untuk memainkan jendela yang ada di samping kanannya itu. Hyungseob  berusaha mengajaknya bicara, tapi Daehwi hanya akan menjawab seadanya.

“Daehwi-ya?”

“Hmm, apa?”

“Apa karena Jinyoung tidak bisa mengantarkanmu kau jadi begini?”

“Begitukah? Apa aku terlihat begitu kecewa?”

Hyungseob  mengangguk, “Hei, dia tidak bermaksud begitu. Dia juga meneleponmu 'kan tadi? Dia hanya sibuk—kau bisa menghubunginya jika sudah disana nanti.”

“Aku benci kenapa aku bisa bergantung dengannya begini. Apa karena aku serumah dengannya? Tapi… tidak begitu juga. Ah, entahlah.”

Sesampainya di bandara, Daehwi hanya menenteng tas ranselnya karena Hyungseob  yang membawa kopernya. Wajah kecut Daehwi setidaknya sudah sedikit luntur karena Hyungseob  mengajaknya bercanda sedari tadi.

DRRT...DRRT...

“Hyung?”

“Sudah di bandara?”

“Sudah. Ada apa?”

“Bisa ke tempat parkir sebentar?”

Daehwi menutup teleponnya tanpa berkata apa-apa lagi. Senyum mengembang di bibirnya setelah tahu jika Jinyoung ada disana. Meskipun dia tidak mengerti mengapa Jinyoung memintanya untuk pergi ke tempat parkir, tapi yang jelas, dia tahu lelaki itu ada disana.

“Daehwi? Hei!” Jinyoung berlari mendekat ke arah Daehwi, “Aku disini!” ucapnya tanpa merasa bersalah. Secara tiba-tiba, Daehwi tenggelam di pelukan Jinyoung, “Hati-hati. Jaga dirimu baik-baik, Dae. Jaga kesehatanmu juga, hm? Aku tak mau jika suatu saat mendengar kabarmu jatuh sakit.”

“Hyung…” Suara Daehwi melemah. Jujur dia ingin menangis sekarang. Daehwi menganggukkan kepalanya, “Maafkan aku, Hyung…” ucapnya sembari melepaskan pelukan itu.

It's okay. Aku akan menunggumu pulang. Ini hanya sebuah pertunangan, bukan pernikahan, sayang. Jangan cengeng begitu. Aku akan mencoba mencari jalan keluarnya. Tapi aku mohon, selama disana kau tidak membuat hal-hal aneh yang nantinya akan menyebabkan kegagalan pada misiku”

“Aku menangis bukan karena itu.” Rengek Daehwi yang sekarang menatap Jinyoung dengan mata yang sembab.

“Iya aku tahu—“ Jinyoung mengacak-acak rambut Daehwi, “Aigoo… anak cengeng.” Ejeknya.

“Menyebalkan! Kau menyebalkan!”

Dengan tertawa, Jinyoung memeluknya. Lelaki itu tidak peduli jika mereka masih ada di tempat parkir mobil yang super luas itu. Bahkan dia tidak peduli dengan orang-orang yang melewatinya. Mungkin mereka pikir pemandangan itu lucu, apalagi dengan Daehwi yang sekarang menangis sejadi-jadinya.

Surprise! Aku benar-benar sibuk, sayang. Bahkan aku sempat memaksa Woojin menggantikan pekerjaanku setelah ini demi dirimu. Apa kau tidak berterima kasih padaku?”

“Memangnya apa yang sudah Hyung lakukan? Apa saja hal yang aku tidak tahu? Beraninya kau―”

Jinyoung tertawa ketika mendengar rengekan dari gadisnya itu, “Ayo kita ke dalam lagi. Akan kujelaskan padamu.”

Mereka berjalan menuju ke ruang tunggu setelah membeli dua burger dan soda. Sesekali Daehwi menghentikan langkahnya dan membuat Jinyoung berhenti juga untuk sekadar membujuknya. Daehwi merasa dia dianggap seperti anak kecil oleh Jinyoung, dan Jinyoung sendiri suka memperlakukan Daehwi begitu. Maka dari itu perubahan dari diri Daehwi terlihat sedikit demi sedikit tanpa dia sadari.

“Aku harus berangkat.” Rengek Daehwi yang tahu jika dia harus segera masuk.

“Hati-hati. Jaga diri baik-baik. Dan jangan cari perkara.” Ucap Jinyoung.
Lelaki itu memeluk Daehwi lagi. Dengan super erat dan senyum yang tidak meninggalkan wajahnya. Sesekali dia mengusap rambut Daehwi. Dia juga menepuk-nepuk punggung Daehwi seakan meyakinkan Daehwi bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Daehwi sendiri enggan untuk meninggalkan Jinyoung, apalagi ketika sudah menyadari bahwa mereka bergantung satu sama lain. Karena disana, mau tak mau dia akan hidup sendirian. Tapi hey, bukannya sebelum bertemu lelaki itu Daehwi tinggal sendirian? Iya sih, tapi entah mengapa hidupnya serasa bergantung setelah bertemu dengan Jinyoung. Menjadi tidak mandiri, eh? Yup, benar.








Tbc...

.
.
Daehwi nya pergi yeorobun. Mau tunangan katanya. Trus gimana uri Jinyoung? Sama aku aja kali ya? Kkkk

Ini sebenarnya berkali-kali aku hapus, tulis lagi, hapustulis lagi. Bingung bikin konflik yg bagus gimana.. Dan ternyata aku tidak berbakat bikin konflik :( maapkeun 🙏🙏🙏

Continue Reading

You'll Also Like

74.3K 9.7K 103
This is just fanfiction, don't hate me! This is short story! Happy reading๐Ÿ’œ
80.7K 12K 28
Renjun mengalami sebuah insiden kecelakaan yang membawa raganya terjebak di dalam mobil, terjun bebas ke dalam laut karena kehilangan kendali. Sialny...
752K 75.5K 53
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...
58.4K 9.6K 14
Yang publik ketahui, kedua pemimpin perusahaan ini sudah menjadi musuh bebuyutan selama bertahun-tahun lamanya, bahkan sebelum orang tua mereka pensi...