Pelangi Tengah Malam

By naiqueen

428K 59.6K 6.8K

Annamaraluna Tejakusuma tidak pernah ingin menjadi penerus Tejan Investama, namun perusahaan rokok keluarga y... More

1. Menjelang Ajal
2. Mimpi buruk
3. Pertemuan kembali
4. Saran
5. Sumber kebencian
6. Masa yang terlewati
7. Yang lebih baik
8. Serangan
9. Si Cantik
10. Presumption
11. Between Camouflage and Allegation
12. Miliknya
14. Hati ke hati
15. Bangga
16. Menyambut badai
17. Ice Cream Monsters
18. Wanita Ular
Duuuuuh!!!
19. Gosip
20. Ingin menyerah
21. Rahasia
22. Sesederhana itu
23. The Deal
24. Kegemparan (1)
25. Kegemparan (2)
26. Confrontation
27. Past and Future

13. Confession

14.7K 2.2K 290
By naiqueen


“Mommy, aku mau itu,” Vale menarik-narik tangan Luna seraya menunjuk kearah penjual gula kapas diseberang tempat mereka berdiri.

Hari ini jadwal pertandingan Khem dan timnya, Gwen ikut menyaksikan di stadion sementara Luna dan Vale memilih menghabiskan waktu bersama setelah Dery dan Ikhsan memastikan jika tidak ada bahaya nyata maupun tak nyata yang mengancam mereka berdua.

“Vale mau itu?” Luna yang tidak sepenuhnya menaruh kosentrasi pada apa yang dia lakukan mengulang pertanyaan. “Ayo kita beli,” sambungnya saat melihat anggukan penuh semangat Valeraine.

Selama berhari-hari Luna memimpikan hari ini, hari dimana dirinya bisa memeluk Vale lagi dan menghabiskan waktu bersama. Siapa sangka suasana hatinya justru kacau balau setelah bertemu Vale.

Bukan. Bukan Valeraine yang membuat kacau tapi kehadiran sosok lain yang menyaksikan pertemuannya dengan Vale lah yang membuatnya merasa cemas.

Jika saja Luna bisa memaki, ingin rasanya dia melakukannya … bagaimana tidak, dunia terasa benar-benar sempit baginya hanya dengan kemunculan satu orang saja.

Luna memang sengaja melakukan janji temu dengan Gwen di hari kerja demi menghindari kecurigaan dan melindungi kehadiran Vale dari kemungkinan dimata-matai lawan bisnis. Bagaimanapun Vale adalah titik kelemahan Luna saat ini. Tapi sekarang, setelah pertemuan tidak disengaja dengan El kemarin, rasa-rasanya menyembunyikan Vale sungguh tidak berguna.

“Mommy ... kenapa kita stop disini?” si kecil yang lebih fasih berbahasa Inggris ketimbang Belanda itu bertanya, tampak keheranan karena mommynya menghentikan langkah mereka yang semula ingin menyeberang jalan. Matanya yang jernih dan lebar menatap Luna penasaran.

“Baby … apa kamu mau tinggal di sini sama Mommy?” Luna menyesal. Kenapa dia tidak pernah menanyakan ini pada Vale sebelumnya.

“Disini!?”

“Mommy punya rumah … tidak di sini, kita bisa tinggal dulu di Jakarta, nanti kalau pekerjaan Mommy sudah selesai kita bisa pindah ke Bali. Kamu mau?”

Vale tersenyum sampai matanya menyipit, “Oke.”

Luna tersenyum seraya membelai puncak kepala puterinya dengan sayang. “Jadi malam ini Vale mau kan kalau Mommy ajak nonton culture show?” entah apa yang ada di pikiran Risa saat memilih Devdan show sebagai cara untuk menyenangkan Valeraine. Bagaimanapun bagusnya pertunjukan itu, Luna tahu putrinya bukan tipe yang betah duduk berlama-lama menonton sesuatu, sebaliknya dengan kepribadiannya yang dominan Vale adalah jenis anak yang sangat aktif baik secara fisik maupun mental. 

Meski berpikir pilihan hiburan yang dipilihkan oleh Risa tidak akan cukup memuaskan bocah usia empat tahunnya, tapi Luna benar-benar tidak tahu mau membawa Vale kemana mengingat Bali tidak terasa familiar lagi untuknya saat ini.

Bahkan sejak dulupun jika disuruh memilih destinasi liburannya di Bali, Luna lebih suka menghabiskan waktu di vila pribadinya di Karangasem ketimbang tempat-tempat populer lainnya.

“Mau, tapi mau itu juga,” lagi-lagi Vale menunjuk penjual gula kapas. Luna tersenyum dan baru saja hendak melangkah turun dari  pedestrian saat tarikan kuat pada bahunya yang tiba-tiba membuat Luna berpaling kaget, matanya melebar tidak percaya saat menyadari dirinya sudah tidak lagi berdiri menghadap jalanan melainkan terlindung aman pada dada bidang seseorang yang memiliki aroma familiar di penciumannya.

Samar-samar terdengar suara lain menjauh. Suara sepeda motor yang rupa-rupanya tadi hampir saja menyambar dirinya dan Vale saat hendak menyeberang.

“Motherf****r, dat smeerlap* wanna die!!” Makian kasar dalam bahasa Belanda dan Inggris yang masuk ketelinganya membuat Luna menahan nafas saking kagetnya. Tapi tak cukup sampai disitu, kalimat makian lain diberondongkan lelaki itu padanya.

“Dan kamu! Kenapa nggak lihat kanan kiri dulu sebelum menyeberang jalan!Je bent Kaaskop!*

Rasanya sudah lama sekali tidak mendengar serapah El, anehnya meski sebagian luapan emosi itu ditujukan padanya Luna sama sekali tidak bisa merasa kesal. Untuk beberapa detik lamanya Luna justru hanya mampu tertegun memandangi lelaki yang masih merengkuhnya erat itu.

Suara tawa kecil terdengar. Luna menunduk dan mendapati Vale terhimpit diantara dirinya dan El. Kepalanya mendongak dan menatap bergantian pada mommy dan sang penolong.

“Mommy, Om ini lucu!” Mata lebar Vale berbinar-binar saat menatap El yang balas menatapnya dari balik kacamata hitam yang lelaki itu pakai.

Mendengar komentar puterinya Luna mau tak mau ikut memperhatikan penampilan El, dalam balutan t-shirt kelabu dan celana jeans selutut juga rambut yang dibiarkan berantakan, El terlihat kasual dan jauh dari kesan mengintimidasi layaknya yang biasa dia perlihatkan sehari-hari sat tampil dalam setelan kerja yang rapi.

Tapi sama sama sekali nggak ada kesan lucu dalam penampilannya seperti yang dikatakan oleh Vale.

Kecuali jika yang Valeraine maksud adalah kalimat makian El tadi, dan itu membuat Luna merasa kesal hingga langsung memelototi El. Jelas Luna tidak senang mendengar makian El lolos ke telinga puterinya.

Sadar akan kesalahannya El hanya mengedigkan bahu tak acuh, “Kalau kamu nggak membahayakan diri kamu sampai aku harus turun tangan menyelamatkan, aku nggak harus memaki.”

Luna mengabaikan El dan menundukkan punggung tepat di depan Vale, “Kamu nggak boleh meniru apa yang Om itu katakan ya sayang,”

“Kenapa Mommy?”

“Karena itu bukan kata-kata yang baik.”

Vale menatap El dan tampak berpikir serius, “Jadi Om ini bukan orang baik, Mom?”

Luna baru saja hendak mengiyakan saat dilihatnya El berlutut di depan puterinya sambil tersenyum tipis.

“Yang tadi itu memang bukan kata-kata baik,” jelas El sambil tersenyum tipis, “apalagi kalau diucapkan oleh anak-anak.”

“Jadi kalau Vale sudah besar, boleh?”

El menggeleng tegas.

“Oh!” seru Vale tampak sedikit kecewa.

“Tapi jika orang lain berbuat jahat padamu kamu nggak boleh ragu untuk mengatakannya.”

What! Luna merasa blank dengan situasinya … apa yang dilakukan El sungguh diluar dugaan. Penjelasannya yang diawal terdengar sempurna kenapa malah jadi belok arah. Bahkan sekarang Valeraine tampak mengiyakan dengan penuh semangat sebelum menyambut ajakan El untuk melakukan tos.

Luna menatap tajam El yang sudah berdiri kembali.

“Kalian mau kemana?” sungguh pertanyaan yang terdengar ramah, akan tetapi melihat apa yang terjadi sebelumnya … dengan deretan panjang ancaman dan ultimatum yang lelaki itu berikan, Luna sungguh tidak bisa meninggalkan kewaspadaannya sedikitpun.

“Vale mau gula kapas itu!” tanpa segan sedikitpun, seakan sudah mengenal lama El, Valeraine mengatakan keinginannya.

Dahi El berkerut saat dia tampaknya tengah berpikir serius atau mengingat-ingat sesuatu. “Itu gula kapasnya jelek.”

“Jelek!” Ulang Vale heran.

“Om punya kenalan yang bisa membuat gula kapas dengan bentuk minions, bunga dan Hello Kitty, kamu mau kalau om ajak kesana?”

“Terima kasih, tapi kami tidak,”

“Vale mau!” kalimat Luna dipotong seruan antusias puterinya.

“Valeraine!” Luna memanggil nama itu dengan penuh peringatan. “Kita masih punya hal lain yang harus dilakukan.”

Vale menggeleng dengan keras kepala, “Tapi Vale mau gula kapas hello kitty Mommy, kita ikut Om ini ya!”

El hanya tersenyum tipis sebagai balasan, jelas merasa senang dengan tatapan dingin yang Luna lontarkan padanya seakan mengatakan jika kehadiran lelaki itu sudah membawa masalah besar untuknya.

“Vale kalau kita ikut Om ini kita nggak bisa nonton Devdan!”

“Mom, Vale nggak mau nonton itu … Vale mau gula kapas Hello Kitty,” gadis kecil yang biasanya selalu bersikap manis itu mulai merengek dengan wajah cemberut dan mata yang memerah.

Hanya dengan melihat itu saja Luna merasa luar biasa bersalah terlebih dirinya benar-benar bingung apakah harus menuruti kehendak Valeraine yang bisa saja akan membawa mereka berdua dalam situasi bahaya mengingat baru kemarin malam lelaki yang hari ini menawari kebaikan pada Vale justru meminta Luna menyingkirkan darah dagingnya sendiri.

Dalam semalam mana mungkin seseorang bisa berubah secara drastis tanpa memiliki agenda tersembunyi. Itu yang Luna pelajari sejak dulu. Dan perubahan mendadak sikap El mungkin saja menyembunyikan niat busuk lelaki itu.

“Mommyyyy ….” Valeraine mulai merengek lagi, dan cukup rengekan manja begitu saja untuk membuat sang iblis langsung menundukkan tubuh untuk mengangkatnya ke dalam gendongan.

“Anak cantik, Om akan kasih apa yang kamu mau, tapi jangan nangis Oke!” bujuk El tanpa benar-benar menyadari apa yang sudah dilakukannya. Valeraine memeluk leher El sambil menatapnya dengan matanya yang sedikit berkaca-kaca.

“Vale jangan nakal! Nanti Mommy belikan gula kapas yang kamu mau, tapi sore ini kita sudah bikin rencana untuk nonton,”

Suara tawa cemooh keluar dari bibir El menyela apapun yang hendak Luna katakana. “Culture show! Siapa yang cukup gila mau melakukan ini sambil membawa balita, huh?”

“Jangan ikut campur!” tegur Luna menatap penuh peringatan.

“Serius kamu mau nonton itu? Ckk … boleh juga sih, tapi kemungkinan gadis kecilmu ini nggak akan menikmati”

“Bukan urusanmu!” Luna memelototi El garang.

“Oh ayolah … pemaksaan kehendak itu termasuk kekerasan terhadap anak-anak dan jadi urusan banyak pihak, kalau nggak mana mungkin ada iklan himbauannya di televisi,” lalu El berbalik meninggalkan Luna dengan Valeraine digendongannya. Luna marah, tapi dia tidak punya pilihan selain mengekor di belakang lelaki itu.

“Siapa nama kamu?” Luna bisa mendengar El bertanya pada puterinya.

“Vale-raine Tara-marh Teja-kusuma,” Vale menyebutkan namanya lambat-lambat tanpa menyadari jika hati pria yang menggendongnya mendadak merasakan tusukan sensasi dingin mengilukan di hati hanya karena mendengar nama lengkapnya.

“Nama yang cantik,” suara El terdengar parau saat  mengatakannya.

Vale hanya menjawabnya dengan pamer senyum imutnya yang menggemaskan. Terlalu mirip dengan Luna, benak El mengakui itu dalam kepahitan yang dia paksa telan demi terlihat kuat dan tidak terpengaruh oleh kenyataan yang dilihatnya.

“Kamu tahu bajak laut?”

Valeraine mengangguk antusias. “Uhum!”

“Apa kamu mau makan malam di kapal bajak laut?”

Vale menoleh kearah Luna yang wajahnya berubah jadi gelap sedari tadi. “Mau. Tapi sama Mommy,”

“Oke … kalau begitu kita akan berlayar bersama para bajak laut.”

“El!” Luna yang sedari tadi mengekor di belakang memberi peringatan hanya dengan memanggil namanya.

El menoleh kebelakang sekilas, “Ada yang salah dengan makan malam di kapal bajak laut?”

“Kamu nggak bertanya dulu apa aku bersedia kamu bawa anak aku seenaknya?” Luna bersuara sebagai bentuk protesnya atas sikap El yang seenaknya.

“Kupikir kamu tipe ibu yang akan selalu mementingkan apa yang jadi keinginan anakmu,” balas El jelas tidak ingin mengalah.

“Tapi kalau kamu memang menginginkannya baiklah,” El menghentikan langkahnya dan berbalik kearah Luna. “Nyonya Luv, saya ingin mengundang Anda dan puteri Anda untuk makan malam bersama, mau kan!?”

Valeraine terkikik geli mendengar suara El yang terdengar bosan saat berbicara pada mommynya.

El masih menatap Luna dengan sebelah alis terangkat seakan menunggu jawaban sementara Luna benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukannya … saat ini bukan hanya ada dirinya, tapi juga Vale yang entah kenapa sejak bertemu dengan El berubah jadi pembangkang setiap kali dia menolak permintaannya.

Luna menarik nafas panjang sejenak sebelum memberikan persetujuan. “Aku akan hubungi Risa, Dery dan Ikhsan dulu,” katanya seraya mencari-cari ponsel di tas kanvas yang dia bawa.

“Siapa mereka?”

“Pengawal dan PA-ku.”

El tersenyum sinis, “Ah! Jadi kamu nggak cukup percaya untuk pergi bertiga saja dengan aku dan Vale.”

Luna mengangkat tatapannya dari layar ponsel yang sudah menampilkan kontak terpilihnya. “Apa ada jaminannya kamu bisa kupercaya? Apa kamu tidak akan melakukan sesuatu yang bisa mengancam keselamatan kami berdua?” balasnya datar.

“Sejak kapan kamu berubah jadi paranoid!” cetus El denga bibir mengembangkan senyum separuhnya yang jelas mengandung ejekan. “Lagi pula ini tanggal dua satu September.”

Luna hanya bisa menatap bingung pada lelaki dihadapannya. “Apa hubungannya?”
El tidak mengatakan apapun lagi, hanya merebut ponsel pintar di tangan luna dan berpindah ke search engine sebelum mengetikkan sesuatu dan mengembalikannya kembali ke tangan Luna, sebelum melangkah meninggalkannya begitu saja.

Sementara Luna yang bingung menatap layar ponselnya untuk melihat apa yang dilakukan oleh El barusan.

21 September, Hari perdamaian Internasional.

Dia tertegun sedetik sebelum menertawakan dirinya sendiri karena tanpa sadar sudah masuk dalam jebakan El tanpa punya pilihan untuk melarikan diri.

*****

El jelas tahu dengan baik cara mencuri impresi positif dimata Vale dengan menepati janji membawa mereka ke kafe yang terkenal dengan tema cotton candy art yang merupakan bagian dari konsep mereka dalam menjual produk makanan hasil olahan atau produk yang dihiasi dengan gula kapas aneka warna dan rupa.

“Mommy lihat!” kurang dari setegah jam menunggu Valeraine berlari ke arahnya dengan setangkai gula-gula kapas yang dibentuk menyerupai karakter Hello Kitty. Dibelakangnya El melangkah santai dengan dua gula kapas lain berbentuk buket bunga dan panda yang dikemas dalam dengan kantung plastik khusus transparan.
  
“Banyak banget sayang!” seru Luna mau tak mau merasa takjub dengan apa yang sudah El lakukan untuk puterinya. Jika dibandingkan dengan gula kapas yang dijual dipinggir jalan, gula kapas yang ini jelas-jelas merupakan karya seni.

El menarik kursi tepat disebelah Luna, mengangkat Vale kepangkuannya kemudian dengan telaten memotongkan cotton candy berwarna biru yang digulung menyerupai burritos dan di dalamnya ternyata terdapat es krim vanilla dan potongan buah-buahan segar. Luna merasa aneh saat melihat lelaki itu menyuapi Vale yang terus mengoceh—memberi perintah tentang buah yang boleh El sendok untuk dia makan--dengan sabar.

“Jadi kenapa kamu nggak mau makan buah naga?” El bertanya penasaran.

“Jijik, ada bintik-bintiknya.”

El yang sudah membuka kacamata hitamnya menatap serius buah naga yang dimaksud oleh Vale, “iya sih,” gumamnya setuju, “tapi bintik-bintiknya itu bagus buat pencernaan.”

“Gitu ya!” Valeraine ikut-ikutan manatap buah itu sama seriusnya. “Ya udah deh, sini aku suapin buat Om aja!” sebelum El sadar sendok ditangannya sudah direbut oleh Vale dan dia pakai untuk menyuapkan buah yang diributkannya tadi ke dalam mulut El yang mau tidak mau terpaksa menelannya.

Luna menumpu dahinya dengan tapak tangan kiri, diam-diam menyembunyikan tawanya karena ulah puterinya yang mampu membuat lelaki macam iblis di sebelahnya tak berdaya.

Juga membuatnya memikirkan sesuatu yang sama sekali tidak pernah menyentuh benaknya selama ini, mungkin menyenangkan jika melihat puterinya memiliki ayah, dalam sedetik Luna segera menghapus pikiran aneh itu.

Mereka berpindah ke shuttle bus yang mengantar mereka dari Kuta ke Benoa untuk ikut Pirates Cruise yang tidak mampu ditolak oleh Luna terlebih saat melihat kilau ceria di mata Valeraine saat melihat kapal phinisi yang membawa mereka berlayar dan atraksi sirkus awak kapal yang berkostum ala bajak laut disekitarnya.

Luna tengah memperhatikan Valeraine yang membaur bersama anak-anak sebayanya sambil menikmati belajar tap dance yang diajarkan oleh salah satu awak saat El datang dengan dua piring berisi salad dan buah-buahan.

“Makan!” katanya seraya menyodorkan piring itu ke hadapan Luna.

“Thanks,” sahut Luna pelan. Dia benar-benar menghargai apa yang sudah El lakukan itu karena kebetulan dia mulai merasa lapar tetapi enggan untuk mengambil makanan ke meja prasmanan.

“Dia anak yang bersemangat,” suara El terdengar mengambang, seakan dikatakan dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar. “Sangat berbeda denganmu.”

Luna menghentikan suapannya, dan ikut memperhatikan apa yang sedang El pandangi, puteri kecilnya yang cantik.  “Kamu benar, karakter Vale berbeda jauh dengan diriku diusia yang sama.”

“Karena itu kamu memilih membesarkannya di luar negeri dan nggak membiarkan satupun anggota keluarga—bahkan Papimu sendiri mengetahuinya?”

Luna mengangguk, “aku hanya ingin Valeraine tumbuh normal seperti anak yang lain.”

“Ada yang salah dengan menjadi Tejakusuma? Bukankah dengan itu dia bisa mendapatkan segalanya.”

Mata Luna meredup mendengar kata-kata El, ya semuanya bisa dia dapatkan sebagai seorang Tejakusuma, kecuali kebebasannya dalam menentukan pilihan untuk apa yang paling dia inginkan tentu saja. Seumur hidupnya Luna tidak mendapatkan itu, sampai ketika Vale menjadi pilihan yang dia buat sendiri, Valeraine adalah lambang kebebasannya.

Melihat sikap Luna yang sepertinya menolak berbicara lebih jauh El memutuskan untuk semakin nekad, “kalau bukan Marshell … jadi siapa ayahnya?”

Luna menatap lurus ke mata El, “Kenapa kamu sangat ingin tahu?”

“Kenapa aku tidak boleh tahu?”

Senyuman tipis Luna mengembang meski demikian El bisa merasakan pancaran dingin pada matanya yang kontras dengan suasana malam yang hangat.

“Kamu bukan orang yang memiliki hak untuk mempertanyakan hal-hal dalam hidupku Ciel Alfero.”

“Kalau kamu lupa, aku orang yang beberapa bulan lalu kamu inginkan untuk jadi calon suamimu.”

“Dan kamu sudah menolak kesempatan itu.”

El tertegun sejenak dengan pernyataan itu, akan tetapi tak lama dirinya mengulas satu senyum datar, “Sebenarnya tawaranmu nggak benar-benar bisa aku lepas dari pikiranku.”

“….”

“Hanya saja, itu bukan jenis tawaran yang aku bisa terima,” El menghela nafas sesat “kamu dengan dinginnya hanya memikirkan cara untuk kembali memperalatku bukan! Tidakkah kamu terlalu kejam?”

“Aku memberimu akses untuk memiliki salah satu perusahaan terbesar di Indonesia tidakkah itu cukup?”

“Tidakkah kamu sadar kalau aku memiliki kemampuanku sendiri untuk meraih apapun yang aku inginkan!” Desis El tak bisa menyembunyikan kemarahannya. “Hanya satu hal yang tidak bisa aku miliki, dan itu adalah keluarga … tawaranmu waktu itu tidak memberiku apapun Luv, sebaliknya … kamu justru merebut hakku untuk memiliki apa yang paling aku inginkan.”

Yang El katakan sungguh di luar perkiraan Luna. Membuatnya benar-benar merasa bersalah, Luna terhenyak tanpa bisa berkata-kata hanya mampu menatap lelaki itu dengan mata yang mulai terasa panas saat menyadari apa yang sudah dia lakukan dampaknya untuk lelaki itu.   

“Kamu sadar kalau kamu sekejam itu, Luv?”

“El,”

“Kamu sejak dulu tahu perasaanku, sampai sekarang itu nggak berubah … tapi bagaimana bisa kamu memberiku pilihan yang justru menghina seluruh usaha yang aku lakukan untuk bisa berdiri setara denganmu,” El tertawa pedih, “Disaat kamu memiliki Valeraine … kamu justru ingin memasungku dengan TIV!” tatapan pedih El menusuk tajam ke ulu hati Luna, memberinya rasa sakit yang tak dapat ditolak sama seperti sembilan tahun yang lalu, saat dirinya dipaksa meninggalkan lelaki itu.

“Jadi apa yang kamu inginkan sekarang El?” mengeraskan hatinya Luna balas bertanya datar. “Kamu ingin aku minta maaf?”

Rahang El mengeras mendengar nada dingin dalam suara Luna, tapi dia memilih diam karena pada akhirnya tahu kalau memaksa Luna hanya akan membuatnya semakin defensif. Apalagi saat dilihatnya Valeraine berlari mendekat kearah mereka dengan wajah sumringah.

“Om, aku suka banget deh!” katanya sambil merangsek naik ke pangkuan El tanpa kesan canggung sedikitpun, seakan interaksi mereka adalah hal yang sangat biasa.

El tersenyum tipis, telapak tangan kanannya terangkat membelai kepala Valeraine sementara pikirannya mengambang pada harapannya yang mati.

“Kamu suka naik kapal?”

“Uhum!” Vale mengangguk.

“Kalau naik gajah?”

“Memang ada?”

El mengangguk, “ada safari park yang punya gajah untuk ditunggangi dan bawa Vale berkeliling selama satu jam.”

“Vale mau naik gajah.”

“Tanya Mommy kamu dulu ya, kalau sama mommy boleh … besok Om antar kalian ikut safari gajah.”

Vale langsung mengalihkan tatapan kearah Luna yang tatapannya terlihat kosong. Tangannya terulur ke lengan baju sang ibu, mengguncangnya pelan, membuat perhatian Luna sepenuhnya tertuju padanya.

“Ya, baby.”

“Mommy, Vale mau naik gajah.”

“Heh!”

“Om El bilang ada safari naik gajah … Vale mau,”

“Kapan-kapan saja ya sayang … besok, pagi-pagi Mommy harus terbang ke Surabaya, kemungkinan sore baru pulang ke sini lagi.”

El mengerutkan dahi mendengar penolakan halus Luna. “Serius kamu masih harus kerja disaat harusnya kamu menikmati libur sama Vale?”

“Ada meeting yang nggak bisa ditinggal,” jelasnya singkat sambil menatap El sekilas. “Setidaknya aku harus hadir di rapat pembuka sampai lepas makan siang.”

“Kalau begitu bawa Vale … biarkan dia kenal kampung halaman leluhurnya.”

Luna mendengus geli mendengar ide itu, “kasihan Vale kalau sampai bosan menungguiku.”

Mata Vale berubah jadi merah dan tampak berkaca-kaca mendengar penolakan mommynya, semuanya tak lepas dari perhatian El yang memandanginya sejak tadi. Diam-diam laki-laki itu tidak bisa menahan rasa ibanya, melihat reaksi Vale yang tampak sedih tetapi sepertinya tidak ingin mengeluh.

“Kalau begitu ijinkan aku yang membawa Valeraine safari,” pada akhirnya rasa tak tega membuat El melakukan penawaran tanpa berpikir panjang. Tatapan skeptis Luna membuatnya meringis saat menyadari hubungan mereka yang selama ini tak harmonis.

El tersenyum maklum, “kamu bisa biarkan pengawalmu ikut bersama kami kalau perlu.”

“Uhm! Sori El sejujurnya dua pengawalku yang sekarang nggak lebih terlatih darimu.” Melihat  ekspresi bingung El mau tak mau Luna tersenyum. “Mereka anak dan keponakan Pak Lukman, jadi jelas kemampuan apapun yang mereka miliki kamu juga memilikinya mengingat kamu murid pertama beliau.”

“Oh! Apa kabarnya Pak Lukman sekarang?”

“Baik, sekarang beliau mengelola fight club yang cukup punya nama di Bandung.”

“Hmm … kapan-kapan mungkin kami harus bertemu langsung.”

Luna mengangguk setuju.

“Jadi soal Vale?” El melirik pada gadis kecil yang bersandar di dadanya dengan mata yang mulai mengecil.

Luna menghela nafas panjang, “mungkin lebih baik aku membawanya bersamaku ke Surabaya.”

“Nggak mau Mommy!” Vale  menggelengkan kepalanya. “Vale disini saja sama Om.”

Luna dan El bertukar tatap.

“Kenapa kamu nggak mau ikut Mommy?”

“Nanti Mommy sibuk … Vale sendirian.”

“Kan ada Tante Risa, Sayang.”

Vale menyuarakan penolakannya dengan gelengan kepala sementara wajahnya dia sembunyikan ke dada El. Yang mengelus punggung kecil itu dengan sayang.

Sulit untuk mengakui, hanya saja El tidak bisa terus membohongi diri jika kepeduliannya pada anak Luna hanya sebatas kepura-puraan semata. Interaksi mereka yang terbatas nyatanya mampu membuatnya menyadari jika Valeraine sama terabaikan seperti dirinya sewaktu kanak-kanak.

Mengangkat wajahnya untuk menatap Luna yang tampak putus asa dengan reaksi sang puteri, El tiba-tiba mampu merasakan apa yang kedua perempuan Ibu dan anak ini butuhkan.

“Biarkan aku ikut denganmu besok,” pintanya pada Luna yang membuatnya dihadiahi tatapan kaget perempuan kecintaannya itu. “Saat kamu rapat, biarkan aku yang jaga Valeraine.”

“Tapi,”

“Sepertinya sekarang pilihannya cuma itu, Luv.” Tegas El lugas seraya kembali menatap gadis kecil dalam pelukannya.

Tarikan tajam nafas Luna terdengar sebelum akhirnya dia mengangguk setuju.

Saat kapal bersandar di dermaga, Valeraine sudah sepenuhnya tertidur dalam gendongan El yang membawanya turun.

“Kamu menginap di mana?” tanya El pada Luna. Meski sama-sama bintang lima El yakin kalau resort tempatnya menginap jelas bukan tipe yang akan dipilih Luna untuk bermalam.

“Bulgari Resort.”

“Nggak terlalu jauh dari tempatku berarti, biar aku antar kalian dulu.”

“Kita nggak ikut shuttle lagi?” tanya Luna keheranan.

El menggeleng, lalu menunjuk pada Vellfire putih yang sudah menanti mereka di parkiran, “aku minta jemputan pribadi, karena ini sudah malam.”

“Oh!” Luna menurut saat El menyuruhnya masuk lebih dulu sebelum menyusul bersama Vale. Tatapan Luna melembut saat dilihatnya El mengatur posisi tidur Vale agar lebih nyaman. Andai saja … Luna memejamkan matanya untuk mengusir rasa pedih yang muncul tiba-tiba. Tidak … dia tidak berhak menginginkan apapun lagi. Kesempatan untuknya bisa memiliki kehidupan normal sudah hilang bersama dengan vonis infertilitas akibat efek kemoterapi.

Disepanjang perjalanan kembali ke resort yang terhitung singkat mereka tidak saling berbicara. Hanya saja karena El menganggap Vale cukup berat untuk anak seumurnya dia tidak membiarkan Luna membawanya sendiri ke dalam.

Bungalow yang di sewa Luna terdiri dari lima kamar yang ditempati bersama-sama dengan PA dan pengawalnya. Satu kamar disiapkan untuk pasangan Khemkhaeng dan yang lain dibiarkan kosong.

“Besok jam berapa kamu berangkat?” suara El mengalihkan Luna dari pikirannya yang terdistraksi entah oleh apa. Luna membantu membukakan pintu kamar dan membiarkan El menidurkan Vale di ranjang.

“Jam tujuh sudah di bandara,” sahut Luna sambil melempar tasnya ke sofa yang ada di kamar.

“Baiklah, aku akan kembali selepas Shubuh, selamat malam.”

“El!” lelaki itu sudah melangkah menuju pintu saat Luna memanggilnya pelan. “Kamu bertanya padaku siapa Ayah Valeraine …maaf, aku tapi aku tidak bisa memberitahumu.”

Tangan El terkepal, meski demikian di hatinya sudah tidak tersisa lagi kemarahan. Tidak tersisa apapun di sana, karena faktanya hatinya sudah dihancurkan oleh wanita yang untuknya dia rela menjungkir balikkan dunia.

“A-aku,” Luna tergagap, “aku sendiripun nggak tahu siapa ayah kandung Valeraine.”

El berbalik, gerakannya nyaris secepat kilat, matanya nanar saat menatap Luna. “Apa maksud kamu?”

Luna menundukkan kepalanya, berusaha menyembunyikan emosinya saat mengatakan kejujuran yang tidak pernah dia akui pada siapapun kecuali Gwen dan Khem. “Lima tahun lalu, untuk mencegahku bunuh diri karena depresi akibat kanker … Gwen memberiku alasan untuk hidup dengan mengandung Valeraine.”

“….”

“Vale anak hasil invitro, dengan sel telur milikku dan sperma donor … dan Gwen adalah ibu yang menggantikanku mengandungnya karena pada dasarnya aku tidak mungkin bisa mengandung anakku sendiri,” air mata Luna mulai jatuh satu persatu di pipinya.

“Luv,”

“Aku mandul … karena itu aku bersyukur kamu sudah menolak menikah denganku.”

El mendekat dalam langkah-langkah tegas, dan begitu saja dia menarik Luna ke dalam pelukannya, membiarkan wanita tercintanya menangis disaat dia sendiri tidak mampu menahan airmatanya untuk tidak ikut terjatuh.

El tidak pernah menyangka jika kehidupan Luna tidak lebih baik dari hidupnya. Bahkan lebih buruk. dan membayangkan Luna pernah berusaha untuk menghilangkan nyawa sendiri membuat hatinya ikut nyeri.

El mengecup puncak kepala Luna dan mengencangkan dekapannya. Saat tatapannya teralih pada sosok mungil yang sudah hanyut dalam mimpinya sendiri El tersenyum lega. Jika bukan karena Valeraine. Saat ini dia tidak akan bisa memeluk wanitanya lagi. 

Untuk kali pertama sejak dia menyadari kehadiran Valeraine, hati El tidak lagi diisi oleh sesaknya kemarahan juga cemburu, sepenuhnya El sadar jika pilihan Luna untuk memiliki Vale adalah keputusan yang tepat.

Note :
1. Dat Smeerlap : Kantung sampah itu
2. Je bent kaaskop! : Apa kamu idiot! Kaaskop, secara harfiah artinya kepala keju.

Hai hai hai ... Emak balik lagi bawa Bang El sama Mbak Luna 😊😊

Jd yg bertanya2 Vale anak siapa udah terjawab ya.

Kalo ada yg bertanya-tanya kok Bang Bret bisa jadi selumer Mozarella jawabannya ada di ending part sebelum ini. Dia patah hati sampe ngerasa nggak punya alasan lagi buat berjuang.

Di part habis ini calon papanya Vale bakalan ketemu langsung dengan yang tertuduh sebelumnya sebagai papa, Marshel. Bakal seseru apa ya kira pertemuan mantan sahabat itu 😃😃😃

Kalo typo masih bertebaran maklumi yaaah ... Editnya sambil ngantuk2 sih.

Continue Reading

You'll Also Like

936K 46.1K 47
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
296K 12.2K 32
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
2.3M 253K 45
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
16.3M 593K 34
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...