My Dearest Widow(er)/Dearest...

By verlitaisme

1.1M 73.5K 3.5K

Book 1 : Dearest Series A Romance Comedy Memutuskan menikah di usia muda benar-benar sebuah bencana bagi Laya... More

Cerai
Jobless
Mantan Suami
Penasaran
Gengsi
Maaf
Peka
Dulu
Mangsa
Cemburu
Kontrak
Janji
Cinta
Hilang
Kecewa
Mood
Debar
Sinting
EBook Ready

Kangen

31.4K 3.5K 165
By verlitaisme

"Ante, Aiya enggak ica bobo." Aria merajuk sambil menendang-nendang selimut yang tadinya sudah kutarik hingga sebatas lehernya.

Aku memiringkan tubuh untuk berbaring menghadapnya.

"Kenapa Aria enggak bisa bobo?" tanyaku sambil membelai rambutnya yang tebal.

Mata kecil itu mengerjap. "Kanen Mami," bisiknya serak, tercekat ditenggorokannya. "Mami enggak puyang-puyang. Aiya kanen," bisiknya lagi, kali ini dengan mata berkaca-kaca.

Hatiku terluka seketika. Siapa yang tidak terluka mendengar suara Aria yang terdengar hampir menangis dengan mata berkaca-kaca.

Ah! Mengapa Bram tidak menceritakan yang sebenarnya kepada Aria. Takut Aria sedih hati? Atau lebih karena dia khawatir Aira tidak akan paham?

Tanganku bergerak untuk mendekap si kecil. Merapatkanya pada tubuhku untuk kemudian membelai-belai kepala dan punggungnya.

"Kan ada Tante," bisikku di puncak kepalanya.

"Aiya suka kok sama Tante," katanya. "Tapi Ante bukan Mami Aiya. Ante enggak bobo cama Aiya tiap hayi. Aiya kanen Mami Aiya, Ante."

Kemudian aku bisa merasakan piama di bagian dadaku basah.

"Aria nangis?" tanyaku terkejut sambil menyentuh pundaknya dan mendorongnya sedikit mundur untuk bisa melihat wajahnya.

Benar saja, mata Aria basah. Bibirnya menukik ke bawah.

Aduh ... bagaimana ini?

"Aria, Aria jangan nangis. Kan biar enggak ada Mami, ada Tante di sini. Sama aja, kan?"

Apanya yang sama? Ya sudahlah, enggak apa-apa, demi menenangkan si imut ini.

"Aria bisa bobo sama Tante, kan?" lanjutku lagi.

Aria menatapku. Bocah kecil itu sepertinya sedang mencerna kata-kataku. Tapi sahutannya malah membuatku mati kutu.

"Ante mau bobo cama Aiya? Di lumah Aiya? Sama Papi Aiya?" Polos. Tapi bikin aku yang sudah enggak polos malah mati kutu.

Seharusnya aku memang tidak perlu menawari tentang bobo bersama. Sekarang seperti senjata makan tuan. Bagaimana mungkin aku tidur di tempat Aria? Sama Bram lagi!

Ihhh ... amit-amit.

"Uhm, bukan begitu," sahutku ragu. Semakin ragu ketika matanya yang tadi sempat berbinar kembali redup seakan aku patahkan harapannya.

Bibirnya kembali menukik tajam. Sekarang malah mulai bergetar-getar seakan hendak meledak.

"Iya-iya," sebutku akhirnya sambil menariknya kembali dalam dekapan. Suara isakan mulai terdengar.

Ya ampun, Laya. Kamu memang selalu payah dalam hal berkata-kata. Seharusnya tadi tutup mulut saja tanpa menjanjikan apapun. Sekarang, pikirkan plan b!

"Aria bisa sering nginap di tempat Tante. Kita bisa bobo setiap kali Aria nginap, ya."

Bukannya tenang, tangis Aria malah pecah.

Aku nyerah! Nyerah!

Kuputuskan untuk membungkam mulut dari pada bikin masalah lagi. Senjataku hanya satu, elus-elus Aria sampai tenang. Hingga bobo sampai pagi.

*******

Aku mengendap bangun dari tempat tidur. Takut kalau Aria yang sudah tertidur karena lelah menangis, bakal terbangun.

Dengan langkah berjinjit-jinjit aku ke luar dari kamar. Membuka dan menutup pintu kembali dengan perlahan dan menemukan kekacauan dari ruang depan sampai dapur.

Aku menghela napas. Bukan napas lelah, tapi napas lega karena ternyata mengurus anak bukan hal mudah.

Aku mulai memunguti krayon dan buku mewarnai yang berserakan di ruang depan. Kumasukan semuanya ke dalam ransel milik Aria. Siang tadi, kami mewarnai sambil menonton film kartun.

Selanjutnya, aku memunguti bungkus cokelat dan wadah es krim yang kami kunyah sebagai camilan sore hari sambil duduk di balkon.

Kemudian, aku memasukkan kotak-kotak pembungkus makanan cepat saji -ayam goreng yang tersohor itu-, ke dalam keranjang sampah di dapur.

Terakhir ... aku duduk di atas sofa, meluruskan kaki ke atas meja, ditemani secangkir teh hangat dan televisi yang menayangkan acara reality show yang jelas-jelas penuh dengan rekayasa.

Tiba-tiba ponselku di atas meja berdering. Kulirik. Panggilan video dari Bram. Uhm, kami memang sempat bertukar nomor telepon tadi sebelum dia berangkat dan meninggalkan Aria denganku. Katanya biar gampang kalau harus kordinasi mengenai anaknya.

Ya sudah, aku kasih saja. Ini kan demi Aria. Bukan demi bapaknya.

Nah, yang jadi masalah, sekarang Bram melakukan panggilan video padahal Aria sudah tidur.

Please deh, Bram. Sekarang sudah jam 10 malam.

Dengan enggan, kuangkat juga panggilan dari Bram. Suara Bram langsung terdengar berlebihan di seberang sana.

"Ariaaaa, Papi kangennnnn!!!"

Aku menjauhkan ponsel dari hadapanku karena Bram benar-benar berisik.

"Arianya udah ridur, woi!" sentakku.

Bram langsung menutup mulutnya. Dari video yang terlihat di layar ponsel, dia terlihat kecewa.

"Padahal udah buru-buru banget balik ke kamar dari meeting. Eh, si ganteng udah bobo," Bram menggerutu.

Aku bisa melihatnya menuang air dari teko kaca ke dalam gelas beling. Pakaiannya masih sama dengan yang di kenakannya pagi tadi. Berarti seharian ini dia benar-benar belum kembali ke kamar hotelnya. Benar-benar meeting sebagaimana yang dia bilang.

"Haus banget," katanya setelah meneguk air hingga tandas dalam sekali teguk. "Capek, Lay," tambahnya.

Aku bisa melihat wajah lelahnya. Wajahnya tidak sesegar tadi waktu dia meninggalkan apartemen. Rambutnya juga tidak lagi serapi pagi tadi.

"Terus? Kalau capek kenapa?" tanyaku asal.

Bram tertawa di ujung sana, sepertinya geli dengan pertanyaanku. Entah geli kenapa. Apa coba yang lucu?

"Mau dipijit. Disayang-sayang ...," kekehnya bikinku mendengus.

Videonya bergerak. Dia sedang berjalan ke suatu tempat. Tiba-tiba video di layar berganti dengan video langit-langit yang dipenuhi dengan cahaya lampu.

"Sebentar, ya," katanya yang tidak kujawab sama sekali.

Beberapa saat. Menunggu.

Satu menit.
Dua menit.
.
.
Lima menit ...
.
.
Sepuluh menit ...

Lalu layar ponsel kembali bergerak. Wajah Bram kembali muncul. Kali ini terlihat lebih segar dengan rambut yang agak basah. Aku rasa dia habis cuci muka dan berganti pakaian, karena sekarang dia mengenakan kaos, bukan lagi jas seperti tadi.

"Aku sambil boboan, ya. Besok first flight," izinnya, yang kujawab dengan anggukan.

Aku bisa melihatnya merangkak ke atas ranjang. Menarik selimut sebatas pinggang, dan kembali membetulkan letak ponselnya sehingga aku bisa melihat wajahnya dengan lebih jelas.

"Aria bagaimana hari ini? Bandel?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Enggak. Dia manis banget. Cuma tadi agak susah tidur," laporku.

"Aku lupa kasi tahu kamu. Dia kalau bobo harus di peluk-peluk. Maminya biasa gituin dia sampai bobo," Bram menjelaskan. "Terus akhirnya kok bisa bobo juga dia?"

"Aku peluk-peluk dan elus-elus. Sama capek nangis juga dia," jawabku.

Kening Bram berkerut. "Nangis? Kenapa?"

"Kangen bobo sama Mami katanya," kataku sambil membetulkan letak duduk.

Bram menghela napas mendengar ucapanku. Dia menarik bantalnya naik sehingga posisi tidurnya setengah duduk sekarang.

"Kamu kenapa enggak jujur sama Aria mengenai ibunya?" tanyaku.

Bram menggeleng. "Anak sekecil dia enggak akan ngerti, Laya," katanya pelan.

Aku mendengus tidak setuju. Masalahnya kalau enggak dikasi tahu, dia bakal nungguin ibunya terus. Kasihan.

"Daripada dia nungguin maminya terus," kataku. "Mana bisa orang yang sudah enggak ada, meninggal, balik lagi?" lanjutku.

Bram terlihat kembali mengernyitkan kening.

"Siapa yang meninggal?" tanyanya seakan tidak paham dengan ucapanku.

"Ya Amira. Maminya Aria. Istri kamu!" tegasku. Masa gitu aja enggak ngerti?

"Siapa yang bilang Amira meninggal?"

Loh? Hening. Aku salah tanggapkah dengan omongannya dulu? Masa sih?

"By the way ...," ucapan Bram menyadarkanku yang tanpa sadar melongo kebingungan. "Kamu manis banget malam ini. Mau nemenin aku ngobrol." Dia tersenyum. Senyum yang bikin aku serasa dihantam batu besar.

Tapi hantamannya bukan bikin mata melek, malah bikin mata terpejam erat karena malu.

Bagaimana enggak malu kalau Bram bikin aku ngeh kalau dari tadi aku nemenin dia ngobrol, dengar keluh kesah, curhat tentang Aria, dan nungguin dia ganti baju dan cuci muka tanpa protes.

Kok aku bisa tahan, ya?

"Laya ... kangen Bram?"

Ya Gustiiiii ....

Verlita's note

Continue Reading

You'll Also Like

HAI By Aii

ChickLit

251K 25.8K 45
Berawal dari kata "Hai!", semua dipertemukan. Berawal dari kata "Hai!" pulalah,kenangan itu dikembalikan. Diandra dan Juna kembali dipertemukan setel...
448K 59.8K 34
Gimana rasanya kalau ada orang yang ngikutin gaya kita? Dari fashion, potongan rambut, sampai gaya bicara, diikuti juga! Kesal, nggak, sih? Itulah ya...
14.8K 1K 39
Nichi hidup sesukanya. Orang tua tidak pernah melarangnya melakukan apa yang disukainya. Kebebasan adalah hak patennya. Selama Nichi bahagia, orang t...
817K 95.5K 42
[Cerita Pilihan Editor / Favorit Wattpad HQ list September 2021] Hidup seorang Sonya Sekardewi yang tenang dan selalu berjalan normal, berubah seratu...