Pelangi Tengah Malam

By naiqueen

428K 59.6K 6.8K

Annamaraluna Tejakusuma tidak pernah ingin menjadi penerus Tejan Investama, namun perusahaan rokok keluarga y... More

1. Menjelang Ajal
2. Mimpi buruk
3. Pertemuan kembali
4. Saran
5. Sumber kebencian
6. Masa yang terlewati
7. Yang lebih baik
8. Serangan
9. Si Cantik
10. Presumption
11. Between Camouflage and Allegation
13. Confession
14. Hati ke hati
15. Bangga
16. Menyambut badai
17. Ice Cream Monsters
18. Wanita Ular
Duuuuuh!!!
19. Gosip
20. Ingin menyerah
21. Rahasia
22. Sesederhana itu
23. The Deal
24. Kegemparan (1)
25. Kegemparan (2)
26. Confrontation
27. Past and Future

12. Miliknya

12.9K 2.1K 227
By naiqueen


Bagaimana bisa Luna melakukan ini padanya! Pertanyaan itulah yang berkali-kali menggema dalam kepala El sejak Luna meninggalkannya sendiri di restoran.

El tidak langsung pulang, melainkan memacu Harleynya memilih menenangkan diri dengan berkendara tanpa tujuan sebelum memilih pulang ke resort tempatnya menginap, namun alih-alih langsung ke vila El memilih memarkir kendaraannya di bar eklusif dalam kompleks resort yang sama.

Dengan sebotol bir ditangan El berusaha keras mendinginkan isi kepalanya, akan tetapi nyatanya amarah dalam dadanya telah membakar dirinya sampai habis tak bersisa.

Apa yang Luna lakukan terlampau menyakitkan untuk bisa dia terima, bahkan lebih menyakitkan dari semua yang pernah Luna lakukan sebelumnya.

Meski secara tidak langsung Luna mengelak untuk mengakui kalau puterinya bukan darah daging Marshell, tapi bagaimana dirinya bisa percaya karena faktanya bukan sekali ini saja Luna mencurangi dan mempermainkannya.

El hanya bisa tersenyum pahit saat ingatan tentang  betapa manipulatifnya Luna menyelinap masuk dalam pikirannya semudah dan secepat lembaran buku yang disibak dengan jari jemari.

Saat itu sebulan sudah ruang gerak El berada dalam kuasa Luna, harga dirinya terluka, tapi bisa selalu berada di dekat gadis itu walau dengan cara dikekang kebebasan, El pada akhirnya bisa menerima.

El ingat hari itu Luna kembali mengajaknya berbelanja. Alih-alih outfit kasual, Luna justru memilihkan tiga setelan jas, empat blazer dan dua jaket dengan beragam variasi gaya dan warna yang sesuai untuk usia mereka.

“Pakai ini,” Luna menjejalkan paksa, kemeja putih dengan variasi garis warna navy blue, celana bahan warna kelabu es dan single button blazer semi kasual warna biru gelap, ke tangan El.

“Untuk apa?” tanya El bingung.

“Malam ini aku mau ajak kamu belajar kelompok,” tanpa menoleh Luna menjawab, sementara beberapa pramuniaga lain datang membawa beberapa kotak jam tangan dan saputangan branded untuk menjadi padanan aksesoris yang akan El pakai.

Bagian diantara sepasang alis tebal el berkerut bingung. Belajar kelompok macam apa yang membuatnya harus mengubah penampilan dulu sebelumnya.

Lagipula El merasa tidak ada tugas sekolah yang sedang menanti untuk dikerjakan. Meski bertanya-tanya sendiri El terlalu malas untuk bertanya langsung pada Luna.

Dan akhirnya El tahu apa yang Luna maksudkan dengan belajar kelompok saat melangkah memasuki ruangan khusus di sebuah gedung yang menjadi pusat hiburan dan rekreasi yang tidak akan bisa dimasuki orang biasa.

El sudah pernah mendengar selentingan tentang tentang High Society Club sebelumnya dari Marshell. Akan tetapi tidak pernah tahu dimana tempat yang sebenarnya berada, dan malam ini rasa penasaran yang diperolehnya dari cerita-cerita Marshell akhirnya terjawab sudah.

Setiap sisi bangunan bergaya renaisans itu dibangun untuk memenuhi standar kemewahan ala kaum the have Indonesia. Dari patung-patung malaikat bergaya Itali yang menghiasi pilar-pilarnya hingga mozaik penghias mezzanine berasal dari bahan-bahan mahal kualitas pilihan yang dengan briliant menghasilkan arsitektur dan interior yang mampu mengintimidasi rakyat jelata seperti El.

El menatap ke depan, pada Luna yang melangkah penuh percaya diri dengan pandangan lurus. Dalam balutan gaun Dior motif tartan tanpa lengan bergaya konvensional, Luna tidak kehilangan kesan wanita muda yang energik dan tahu dengan pasti apa yang diinginkannya.

Sehingga sekalipun setiap energi intimidasi yang terpancar dari ruangan super luas di High Society Club begitu kuat, aura gadis itu jelas bukan tandingan.

Dua petugas yang menjaga pintu menyapa Luna dengan penuh rasa hormat sebelum membukakan sepasang daun pintu lebar yang menghubungkan foyer dengan ruangan utama.

Begitu pintu terbuka pemandangan yang El lihat pertama kali hanyalah aula super luas yang lengang. Mereka tidak lama berada di sana karena Luna terus melangkah menaiki tangga menuju ke lantai atas ke tempat yang sudah diberitahukan sebelumnya oleh resepsionis, ruangan baca.

Berbeda dari foyer dan aula, ruangan baca klub mewah itu di desain dengan gaya mediteranian yang didominasi elemen dan warna-warna khas kayu yang lebih nyaman untuk mata. Jajaran buku tersusun rapi hingga ke langit-langit dan jendela utama yang lebar mengakomodir cahaya dengan baik untuk memberi penerangan alami dalam ruangan.

Aroma khas lilin lebah yang kompleks namun manis padu dengan kelembutan aroma mirip bunga melati namun terasa lebih segar dan mampu menghadirkan nuansa jejak musim semi yang basah, menyambut mereka. Bertahun-tahun kemudian—setelah dirinya berhasil masuk ke dalam klub sebagai individu mandiri—El baru tahu kalau itu aroma milik bunga lily lembah.

Di dalam ruangan tiga pemuda berkumpul mengelilingi sebuah meja kayu bundar. Di tangan mereka masing-masing terdapat kartu bridge dan hanya dengan sekali pandang El bisa membaca karakter ketiganya dari cara duduk mereka.

“Yo Luna,” pemuda yang duduk menghadap langsung kearah pintu jadi orang pertama yang menyadari kehadiran Luna dan El, usianya tampak lebih tua beberapa tahun dari yang lain, terlihat seperti mahasiswa tahun akhir yang pemalas dan sengaja memperlambat mengerjakan skripsi. Di bibirnya terselip rokok yang tidak dinyalakan, rambutnya dipotong rapi disisi kanan dan kiri akan tetapi bagian tengahnya dibiarkan memanjang dan disisir rapi kebelakang sebelum dikuncir dengan model top knot.

“Om Alam,” Luna balik menyapa pria itu.

“Tumben lama,” tegurnya lagi. “Dan tumben bawa teman.”

Luna tersenyum dan melihat sekilas pada El. “Aku nggak mau main sendiri, jadi malam ini aku bawa temen.”

“Dan temanmu itu … Ciel Alferro?” suara datar tanpa riak emosi dari sisi kanan laki-laki yang dipanggil Luna dengan nama Om Alam itu membuat El sedikit kaget. Tapi kekagetannya tidak berlangsung lama saat dia mengetahui siapa orang yang memanggil namanya.

Wajah tampan namun dingin seakan nyaris tak beremosi itu adalah milik Rhapsody Raja Rembaka, putera sulung pemilik bank swasta terbesar di Indonesia yang keluarganya di dapuk sebagai orang terkaya di Indonesia selama dua belas tahun berturut-turut. Raja setahun lebih tua dari El dan Luna dan sudah menyelesaikan sekolahnya tahun lalu. 

“Menarik,” tanpa menunggu jawaban Luna, Raja memberi pendapatnya sendiri.

“Jadi apa yang bisa kami bantu?” kali ini pemuda ketiga—yang wajah serta penampilannya menunjukkan karakternya yang positif dan ceria—bertanya.

Luna mendekat dan duduk di satu-satunya kursi kosong yang tersisa di sana. “Aku ingin kalian menantang El memainkan ini.”

Alam mengangkat kepalanya menatap skeptis pada El, “Apa dia bisa?”

“Sebatas tekhnik dasar saja,” El manjawab datar.

“Tapi dia seorang fast learner yang baik,” Luna melakukan pembelaan yang disetujui anggukan Raja Rembaka yang memang tahu sepak terjang El di sekolah mereka.

“Ohke … baiklah, tapi aku nggak akan membuat ini jadi permainan lembut sekalipun untuk pemula, itu membosankan, sedikitpun aku nggak akan memberi belas kasihan pada siapapun,” terang Alam santai.

“Setuju,” sahut Luna.

“Jadi kali ini apa yang akan kita pertaruhkan?” si pemuda ceria bertanya pada teman-temannya.

“Harley baruku,” Alam dengan cepat merespon, keyakinannya tidak terkalahkan membuatnya berani mempertaruhkan hal tersebut.

“Aku akan mentransfer langsung uang sebanyak 5 ribu dollar pada siapapun yang menjadi pemenang  mayoritas dalam lima set pertarungan,” Raja balas menimpali.

“Dan aku,” pemuda yang akhirnya El tahu bernama Tenggara Hariwangsa setelah memenangi permainan pertamanya. “Mempertaruhkan uang senilai dengan seratus gram emas  untuk permainan ini.”

El menelan ludahnya kelu, disaat dirinya hanya karena menjambret beberapa gram emas saja harus berakhir di bawah kuasa Luna, anak-anak keturunan uang lama ini malah bisa melakukan apa saja sesuka hati mereka.

“Bagaimana denganmu?” Alam bertanya seraya menatap El sambil tersenyum lebar.

“Aku yang mewakili pertaruhan untuk El,” potong Luna setelah dilihatnya El hanya terdiam di belakangnya.

“Dan apa yang kamu pertaruhkan Luna?”

“Keperawananku.”

Di detik yang sama usai Luna mengatakannya tarikan keras di tangannya membuatnya terseret keluar dari ruangan perpustakaan.

“Apa kamu sudah gila!?” begitu mereka tiba di luar, El meneriakkan kata-kata itu dalam satu tarikan nafas. “Kamu tahu apa yang kamu katakan?”

Tahu,” Luna menjawab datar. Ketenangannya membuat El tak habis pikir, seakan baginya mempertaruhkan hal itu sudah biasa.

“Kita pulang saja,” El kembali menyeret Luna bersamanya.

“Bukankah kamu suka melakukannya?”

“Apa?”

“Hal-hal illegal seperti merampas emas orang lain!”

El berbalik dan menatap Luna dingin. “Aku melakukannya karena nggak punya pilihan lain untuk hidup, tapi kamu melakukannya untuk permainan konyol.”

“No. Aku sedang memberimu kesempatan untuk merampas milik orang lain tanpa merusak reputasimu.”

“Kalau kamu lupa kamulah yang akan rusak reputasinya karena mempertaruhkan keperawananmu,” tuding El sengit.

“Kalau begitu lindungi aku, lindungi dengan kenekatan seperti yang kau lakukan saat merampas kalung Mbak Sarti demi adik-adikmu di panti.”

El menggeleng bimbang. “Aku nggak bisa … aku nggak bisa melakukannya. Terlalu beresiko keahlianku nggak sebanding dengan mereka, kalau aku kalah ….”

“Kamu hanya boleh kalah dalam dua set pertama … pakai kekalahanmu untuk mempelajari taktik yang mereka pakai dan tiga set setelahnya kuasai keadaan.”

“Aku nggak mau.”

Luna menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis, “ kalau kamu nggak bersedia turun dan bermain itu sama dengan kekalahan total 5 set berturut-turut, dan pemenangnya akan mengklaimku.''

El mencengkram rambutnya frustasi.

"Disini bukan kamu yang membuat pilihan El,” bisiknya seraya melangkah kembali ke dalam ruangan perpustakaan.

Di belakang punggungnya Luna mendengar El menggeram murka, tapi kemudian terdengar langkah mengekor di belakang Luna.

Dan seperti yang Luna katakan, El hanya kalah dalam dua set pertama dan memenangkan seluruh set yang tersisa. Memenangkan semua pertaruhan besar yang dilakukan Alam, Raja dan Gara dalam semalam. Juga berhasil mempertahankan kehormatan Luna.

“Aku membencimu untuk apa yang kamu lakukan malam ini!” di dalam mobil, El meneriakkan itu pada Luna yang hanya menarik sudut bibirnya sekilas seraya tetap duduk tenang disebelah El yang terus terusan memakinya dalam rentetan kata-kata kotor tiga bahasa.

Begitu tiba di depan tangga rumah keluarga Tejakusuma, El menahan Luna yang hendak berlalu begitu saja.

“Jangan pernah lakukan ini lagi padaku!!” tatapan El, juga suaranya jelas memberi Luna peringatan yang tidak main-main.

“Oke!” sahut Luna singkat kemudian kembali hendak berbalik.

Sekali lagi El menahan gerakannya.

“Dan karena aku yang memenangkannya … kau tidak boleh memberikannya untuk siapapun tanpa seijinku.”

Luna menatap El bingung, “Apa?”

“Apa yang kau pertaruhkan malam ini!” bentaknya kesal.

“Oh!”

“Apa kau paham!”

“Oke!”

El memelototi Luna sekali lagi, “Apa tidak ada kata-kata lain yang bisa kamu katakan selain, ‘apa’, ‘oh’, dan ‘oke’!?” sinisnya kesal.

Luna tersenyum lebar, menampilkan satu lekukan dalam yang di dekat tulang pipi kanan bagian atas. “Selamat malam!” katanya seraya berlalu dari hadapan El yang terpaku bagai orang tolol hanya karena melihat lesung pipinya.

“Cewek yang satu itu,” gerutunya . “Aku benar-benar membencinya!”

Bagaimana Luna bisa melupakan hal itu, disaat dirinya justru selalu mengingatnya. Padahal hal itu hanya satu bagian kecil yang pernah dia lakukan untuk Luna, bahkan ada malam lain yang tidak pernah bisa dilupakannya karena memberinya kebahagiaan seluas jagad raya dan setinggi angkasa … malam yang dibayarnya dengan fitnah, rasa sakit dan hinaan.

Semua itu tidak ada apa-apanya sampai ketika dia mendengar seorang bocah memanggil wanita yang untuknya El rela memberikan segalanya. Memanggil dengan panggilan yang sebenarnya adalah hak dari anak-anaknya kelak.

“Sama sekali nggak lucu,” El tertawa pedih saat berulang kali mengatakan hal yang sama di sepanjang jalan pulang ke resort. Dirinya mengabaikan ajakan Tygo untuk turun menikmati pesta di pantai yang pagi tadi mereka kunjungi.

El hanya ingin mengurung diri, berusaha meredakan rasa sakit pada jiwanya … namun dalam keheningan saat dia mulai tersiksa sendiri oleh pikiran yang mengatakan jika betapa sia-sianya yang sudah dia lakukan dalam hidup, air matanya mulai jatuh tanpa bisa ditahan lagi.

tbc

Lah lah lah ... Jadi gini toh ceritanya.
Ini baru bagian pertama dari part ini ya, bagian dimana El ngegalau bebas.

Pinter banget cara Luna mendidik El buat pinter ngambil peluang dan jadi tangguh. Meski  cara Luna manipulatif tapi  dititik ini El nggak punya pilihan apapun selain berjuang.

El juga pinter deh ... Suka banget cara dia mengklaim Luna 😂😂😂--jd pengen deh.

Luna sama Vale belum muncul . Mungkin di part depan ... Siap2 aja Luna disiksa El lagi.🤣🤣🤣🤣🤣

Continue Reading

You'll Also Like

6.1M 316K 73
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
16.3M 593K 34
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
3.1M 173K 38
Siapa yang tak mengenal Gideon Leviero. Pengusaha sukses dengan beribu pencapaiannya. Jangan ditanyakan berapa jumlah kekayaannya. Nyatanya banyak pe...
396K 38K 27
Lily, itu nama akrabnya. Lily Orelia Kenzie adalah seorang fashion designer muda yang sukses di negaranya. Hasil karyanya bahkan sudah menjadi langga...