My Dearest Widow(er)/Dearest...

By verlitaisme

1.1M 73.5K 3.5K

Book 1 : Dearest Series A Romance Comedy Memutuskan menikah di usia muda benar-benar sebuah bencana bagi Laya... More

Cerai
Jobless
Mantan Suami
Penasaran
Gengsi
Maaf
Peka
Dulu
Mangsa
Kontrak
Kangen
Janji
Cinta
Hilang
Kecewa
Mood
Debar
Sinting
EBook Ready

Cemburu

31.6K 4K 155
By verlitaisme

Setelah mendengkus, tanpa aba-aba Bram menyerahkan Aria padaku. Untungnya aku sigap, jadi Aria langsung aman dalam dekapan.

Belum lagi aku sempat protes, mantan suamiku itu tiba-tiba saja melayangkan satu jotosan ke wajah Ryan.

Ryan terpukul mundur, tapi hanya terhuyung sebentar dan langsung kembali maju untuk membalas. Tidak terhindari lagi, mereka benar-benar saling adu jotos di hadapanku dan Aria.

Aku segera menyembunyikan wajah Aria di pundak. Dia sudah menangis keras, terkejut dan ketakutan dengan adegan baku hantam.

Panik dan paham kalau Aria tidak boleh melihat adegan kekerasan lebih lama lagi, aku segera membawanya masuk ke dalam unit apartemen dan menutup pintu.

Aria masih menangis dan aku kebingungan, mondar-mandir sambil menggendong Aria, mencoba menenangkannya. Tadinya mau telepon petugas keamanan, tapi urung kulakukan. Jika tetangga kanan kiri merasa terganggu, biar mereka yang menelepon petugas. Dan aku rasa mereka juga enggak akan bergelut sampai mati, kan?

Aku melihat pergerakan jarum panjang pada jam di dinding, sudah lima belas menit berlalu dan aku enggan untuk mengintip dari lubang intip pintu. Aria sampai sudah kelelahan menangis dan tertidur di pelukanku.

Dengan perlahan aku menuju kamar, meletakkan Aria di atas ranjangku dan kemudian berlarian kembali ke depan karena suara bel terdengar di pintu depan.

Wajah Bram dengan ujung-ujung bibir yang berdarah dan lebam di pelipis menatapku begitu pintu terbuka.

Mataku mengerjap. Waktu seakan berhenti untuk beberapa saat. Mataku memindai wajah Bram yang terluka.

Kalau bentuk Bram saja seperti ini, bagaimana dengan Ryan?

"Sakit, Lay." Bram meringis sambil merengut ketika aku masih diam tanpa melakukan tindakan apa pun.

Aku menghela napas. "Biar kapok!" sahutku sambil berbalik masuk dan membiarkan Bram mengikutiku dari belakang.

Aku pikir dia akan berhenti sampai sebatas sofa untuk duduk dan duduk manis menungguku di sana. Tapi ternyata dia malah mengikuti sampai aku masuk ke dalam kamar di mana kotak p3k kusimpan.

Itu juga aku baru sadar setelah mengambil alkohol, obat merah, serta kapas dan meletakkan kotak itu kembali ke dalam nakas, aku nyaris bertubrukan dengan Bram yang sedang berdiri tepat di belakangku menunduk sembari mengamati.

"Astaga!" seruku terkejut.

Bram mundur selangkah. Dia terkekeh tanpa rasa bersalah.

"Sorry," katanya yang terlihat tidak bersungguh-sungguh.

"Ngapain masuk kamar? Sapa yang ngijinin?!" hardikku yang dibalas Bram dengan menempelkan jari telunjuk ke bibirnya.

"Nanti Aria bangun, Laya ...," bisiknya, dan kemudian menujuk Aria yang tertidur di atas ranjangku dengan telunjuk yang sama.

Aku menggertakkan geligi dengan sebal. Lalu melewati Bram untuk kembali ke ruang depan dengan obat-obatan di tangan. Dan Bram kembali mengekoriku sampai ke ruang depan.

Bram segera mengambil posisi di atas sofa. Dia sudah mencondongkan wajah ke arahku yang masih berdiri di hadapannya.

Apa dia pikir aku bakal obatin lukanya? Mimpi!

"Nih!" Aku mengulurkan obat-obatan di tanganku.

Bram menarik wajahnya dan menerima obat-obatan itu dengan bingung.

"Obatin sendiri," kataku sambil mengangkat salah satu alis dan menarik salah satu ujung bibir naik.

Bram meringis. "Kan susah, Laya," ucapnya memelas. "Ini sakit banget, loh ...."

"Sebentar!" kataku sambil berlari ke arah kamar mencari cermin kecil lipat yang memiliki penyangga dibagian belakangnya.

Dengan senyum jahat dan penuh dendam aku kembali ke hadapan Bram. Meletakkan cermin di atas meja di hadapannya dengan wajah tanpa dosa yang kubuat-buat.

"Supaya kamu enggak salah naro obat di muka kamu," kataku. "Keliatan kan lukanya?" ucapku datar yang disambut Bram dengan terbatuk. Batuk tidak percaya yang dibuat-buat.

Biarin!

***

Bram berulang kali menjulurkan kepalanya ke dalam kamar. Dan ketika melihat Aria yang masih belum juga bangun, dia kembali lagi ke ruang depan dan duduk di atas sofa. Di sebelahku yang sedang asyik menonton gosip artis sambil ngemil kacang.

"Aria lama amat ya bobonya?" keluhnya dan kemudian meringis. Aku menoleh, rupanya dia sedang menyentuh luka di ujung bibir.

"Dia syok liat bapaknya jadi jagoan," sahutku asal sambil memasukan kacang ke dalam mulut dan kembali menatap ke arah layar teve.

"Ck!" Bram berdecak. "Keburu kesel liat muka Ryan," gerutunya. "Udah gitu sok cool. Kayak kegantengan aja!" tambahnya jengkel.

"Emang ganteng," sahutku yang disambut dengan jitakan di kepala.

Dengan sangar aku menoleh ke arah Bram. "Kok dijitak?" tanyaku tidak terima.

"Mata kamu kelilipan. Kayak Ryan apanya yang ganteng? Ampun deh!" Bram menatapku dengan pandangan aneh.

"Loh, emang dia ganteng!" balasku tidak terima.

Hah! Bram ternganga seakan tidak percaya dengan apa yang kukatakan. Aku jadi kesal. Enggak terima kalau calon ladang uangku dihina-dina.

"Sinting kamu!" sinis Bram.

"Kamu yang sinting!" sewotku enggak terima dibilang sinting.

Aku jadi kepikiran. Bagaimana kalau Ryan juga babak belur dan tahu bahwa Bram adalah mantan suamiku? Bisa-bisa dia batalin aku jadi modelnya karena kesal. Terus aku enggak jadi punya uang besok. Dan tabunganku semakin hari semakin menipis, sedangkan belum ada lagi panggilan wawancara kerja. Bencana dong buat aku?

"Pokoknya dia enggak ganteng!" sentak Bram lagi.

Sebenarnya apa sih masalah di antara mereka sehingga Bram begitu antipati pada Ryan?

"Dia bakal kasi aku kerjaan! Aku butuh kerja, Brammmm!! Jadi dia ganteng!!" Gemas aku jadinya.

Bram terdiam. Menatap lekat wajahku seakan sedang mereka-reka sesuatu.

"Aku sudah kasi kamu kerjaan, tapi kamu nolak." Dia terdengar kecewa. "Tapi kamu terima kerjaan dari Ryan. Kok aku kecewa, ya?"

Bukannya iba dengan wajah Bram yang nampak terluka karena aku menolak pekerjaan darinya, aku malah merasa kembali dipermainkan karena Bram tidak juga peka soal apa dan kenapa yang terjadi di antara kami.

"Kamu enggak juga menjadi seorang yang peka meski kamu sudah menjadi manusia yang lebih sukses," kataku pelan sambil bangkit dari duduk. Aku enggak tahan lagi duduk berdampingan sambil adu pendapat mengenai hal-hal yang seharusnya sudah dia tahu tanpa harus bertanya.

"Pokoknya aku enggak mau kamu kerja sama dia, Laya!" seru Bram seakan memberi ultimatum padaku.

Aku yang baru saja berdiri, urung melangkah dan malah berbalik untuk menatapnya yang masih duduk menatapku dengan wajah sengit.

Dengan sebal aku menowel pelipisnya yang sekarang penuh dengan obat merah. Bram segera meringis, mungkin nyeri karena aku menowel lebamnya dengan sedikit keras. Memang sengaja. Lalu aku juga menowel ujung-ujung bibirnya. Aku melakukannya berkali-kali karena kesal. Dan Bram, seberusaha apa pun dia menjauhkan wajahnya aku selalu berhasil menyentuhnya dengan towelan penuh siksaku.

Ini hukuman untuk mulutnya dan egonya yang tidak bisa dijaga. Siapa dia bisa seenaknya menentukan apa yang boleh dan tidak untukku?

"Cukup!" sentaknya kemudian membuat aksi towel kesalku terhenti. "Jangan kayak anak kecil!" dia memperingati sementara aku menarik tangan dan meletakkannya di belakang tubuh.

"Kamu yang kayak anak kecil," sanggahku. "Lupa ya, Bram? Kamu udah enggak punya hak atur-atur aku. Hak kamu udah gugur sejak sepuluh tahun yang lalu," ucapku membuat mulutnya bungkam seketika.

"Jangan pernah lupa," ujarku lagi memperingatkan. "Kalau sikap kamu kayak gitu, bisa-bisa aku mikirnya kamu lagi cemburu!"

"Emang!!"

Eh?

Lagi. Waktu seakan berhenti dengan aku yang terbelalak dan Bram yang membekap mulutnya sendiri dengan telapak tangan.

Syukurnya, tangisan Aria dari dalam kamar membuyarkan semuanya.

Saved by the cry.

Tbc

Hai! Follow IG dan FB aku, ya!
Idnya : verlitaisme

Jangan lupa juga untuk vote, comment and shares kalau kamu suka sama cerita ini.

Thank you!
Verlitaisme. 😘

Continue Reading

You'll Also Like

789K 74.6K 49
Patah hati karena sang mantan kekasih membuat Eleena harus melakukan trip ke Phuket seorang diri. Tapi takdir memang tidak dapat ditebak. Di sana, El...
HAI By Aii

ChickLit

251K 25.8K 45
Berawal dari kata "Hai!", semua dipertemukan. Berawal dari kata "Hai!" pulalah,kenangan itu dikembalikan. Diandra dan Juna kembali dipertemukan setel...
474K 50.7K 43
Kecelakaan yang dialami Fanny membuatnya harus menerima kenyataan jika dirinya kemungkinan akan lumpuh permanen. Dunia Fanny seolah runtuh. Selain ke...
124K 16.5K 36
Kesalahan terbesar Kallenya Sashmita Wangsa (Alena) di masa lalu adalah, membuang anaknya sendiri. Tahun-tahun berlalu, Alena pikir bisa melupakannya...