Adore You, Doctor!

By Junieloo

1.6M 17.8K 613

SUDAH DITERBITKAN. TERSEDIA DI GRAMEDIA TERDEKAT Daisy El Vanisha, designer mungil yang boleh dikatakan buta... More

Part One
Part Three
Part Four
Part Five
Part Six
Single Daddy's Karma

Part Two

112K 3.5K 154
By Junieloo

Dani mendapatkan ucapan selamat dari beberapa dokter lainnya ketika berhasil menyelesaikan tugasnya. Dokter muda itu terlihat bangga dengan senyuman menawannya.

"Ah, anakku sudah besar rupanya."

"Pa..." rajuk Dani dengan mendengus pelan, namun tak urung tersenyum hangat pada Hardi, ayahnya.

"Yasudah, kembali ke ruanganmu dan beristirahatlah, akan ada beberapa dokter yang menangani pasien itu setelah ini. Kau hanya perlu duduk manis, Boy." Ia menepuk bahu Dani pelan dan terkekeh geli begitu mendengar decakan Dani.

Dani tersenyum mengamati punggungnya yang berlalu. Kini ia benar-benar berada di posisi ayahnya dulu, ia dapat mengatur semuanya sesuka hati. Namun tentu saja, ia akan tetap menghargai pendapat Hardi.

Tepukan di bahunya membuatnya menoleh.

"Kantin?" ajak seorang dokter yang tidak kalah tampan dengannya. Arnando. Atau yang biasa di sebut Ando.

Tidak, Ando bukanlah teman baru untuk Dani. Mereka sudah bersahabat sejak SMP, namun karena keinginan Dani yang tak ingin dikalahkan kecerdasannya oleh Ando, maka ia meninggalkan Ando dengan kegilaan keduanya yang sering mereka lakukan bersama, dengan melanjutkan study ke luar negeri.

Ando sempat terkekeh mendengar penjelasan alasan sahabatnya itu ke luar negeri, ia tidak menyangka dirinya akan menjadi alasan atau sebuah motivasi untuk Dani sendiri, sehingga menjadi lebih hebat darinya.

Dani hanya mengangguk menanggapi Ando. Mereka jalan berdampingan, membuat semua orang, baik pekerja maupun para pasien menatap kearahnya. Dani yang lebih tinggi dari Ando, lebih menjadi pusat perhatian dengan sikap cueknya. Sedangkan Ando terlihat lebih ramah pada semua orang yang tidak malu-malu menyapa keduanya.

"Ando..."

Panggilan lembut dari seseorang membuat mereka menoleh.

"Hai, Karin."

Ando tersenyum dan menghampiri wanita itu, meninggalkan Dani yang menatap mereka datar. Namun jujur saja, Dani sempat terpana melihat kecantikan dokter itu. Ya, terlihat dari jas putih yang dikenakannya. Menambah kesan elegan pada sosok lembut nan anggun wanita itu.

Apa mungkin wanita itulah yang tengah dicarinya?

Ia menggeleng samar, menepis pikiran tersebut. Tidak. Tidak boleh terjadi. Melihat binar mata Ando juga Karin sendiri saat mereka berpandangan. Pasti terdapat sesuatu dibaliknya. Dan ia tidak mungkin sudi menjadi penghancur hubungan orang! Apalagi Ando adalah sahabatnya, Karin juga terlihat wanita baik-baik.

Dani berdeham, membuat keduanya menoleh. Karin menunduk karena malu, sedangkan Ando menyengir tak karuan.

"Oh iya, Karin. Kenalin ini Dani dan Dani, kenalin ini Karin." Ando mengucapkan nama Karin ketika menatapnya dengan senyuman seraya mengedip sebelah mata.

Dani mengangguk, ia memahami kode yang diberikan Ando. Benar dugaannya. Mereka adalah sepasang kekasih.

Dani mengulurkan tangannya, hal serupa dilakukan Karin.

"Dani."

"Karin."

Dani tersenyum tipis membalas senyum ramah yang dilemparkan untuknya dari wanita itu. Ia melepaskan tangan lembut tersebut dari genggamannya. Bukan, ia hanya mengaguminya. Terbukti dari detak jantungnya yang normal saat kedua mata itu menatapnya bersahabat, seperti halnya Ando.

"Oke, kita ke kantin bareng."

Mereka berjalan bersisian. Karin di sebelah kiri, Ando berada di tengah, dan Dani di sebelah kanan. Dapat di bayangkan? Dani menjadi obat nyamuk karena Ando yang selalu menoleh kearah kiri. Ia memutar mata dan memijit pelipisnya pelan.

BUGH!

Ia segera menangkap pinggang itu. Begitu mungil dalam pelukannya. Astaga bagaimana bisa ia tidak fokus sehingga menabrak anak kecil?!

Tunggu. Gadis itu mendongak, dalam posisi lelaki itu yang masih merengkuh erat pinggang gadis yang nyaris terjungkal karenanya, ia dapat melihat wajah gadis itu. Ah benar, ternyata bukan anak kecil. Dia adalah seorang gadis biasa.

Gadis itu masih menatap Dani dengan mengerjap-ngerjapkan matanya dan mulut sedikit terbuka.

Seharusnya, seperti biasa Dani pasti akan mendengus dan memutar matanya bila melihat perempuan yang selalu seperti ini tiap kali berdekatan dengannya. Tapi lain hal dengan gadis dalam pelukannya saat ini.

Pelukan?!

Dani langsung memperbaiki posisi mereka, tak lupa membantu gadis itu berdiri. Namun yang keduanya lakukan adalah tetap saling menatap satu sama lain. Mereka tidak sadar menjadi tontonan bagi para pasien maupun perawat yang berlalu lalang.

Tidak, Dani bukan terpesona akan gadis "biasa" itu dihadapannya. Namun ia menunggu sesuatu yang keluar dari mulut tipis nan mungil di hadapannya. Sepertinya gadis itu akan mengucapkan sesuatu, dan ini membuatnya gemas!

Gadis itu tersadar dari lamunannya akan Pangeran tampan disetiap mimpinya sekarang hadir di hadapannya. Oh demi Tuhan, ini bukan mimpi. This is real!

Tidak. Dia seorang dokter. Siapa tahu umur mereka terpaut jauh? Atau bahkan telah memiliki cicit? Gadis itu langsung menggeleng kuat, seketika ia mengubah ekspresi kekagumannya pada Dani, menjadi raut kesal seraya berkacak pinggang.

"Duh Om, kalau jalan hati-hati kenapa!" Bentaknya kecil seraya berdecak.

Gadis itu berlalu dengan hentakan kecil mengiringi langkahnya. Ia meninggalkan Dani yang menjatuhkan rahangnya seketika mendengar sebutan gadis itu yang diajukan olehnya. Sementara Ando dan Karin berusaha keras menahan tawanya. Namun sepertinya Ando tidak kuasa, sehingga bahunya ikut berguncang terpingkal-pingkal.

"Damn it. Apa maksudnya?!" umpat Dani seraya menatap tajam Ando yang tengah terbahak seraya memegangi perutnya.

Karin yang melihat raut wajah Dani begitu mengerikan, meringis sambil membujuk Ando menghentikan tawanya.

"Ando udah, kasian tuh Dani." Mau tak mau Karin ikut tersenyum geli melihat Dani yang berlalu meninggalkan keduanya dengan gusar.

"Biarin aja, berilah waktu pada 'Om' itu, Honey." Ando menegaskan sebutan itu. Lelaki itu merangkul Karin, mereka tertawa bersama melihat tingkah dokter hebat yang tidak sanggup melawan seorang gadis.

Oh, atau hanya gadis itu?

Ando menoleh dan menatap Karin. "Dia pasien kamu kan, Hun?"

***

"Gimana, Dok?"

Daisy mengusap kedua telapak tangannya, menunggu jawaban Karin dengan antusias.

"Hebat. Sudah ada kemajuan." Dengan jari-jari lentiknya, sekali lagi ia membuka mata bundar di hadapannya hanya untuk memastikan. "Nah, mulai sekarang dengan tanpa kacamata, kamu akan tetap melihat dengan jelas."

"Wohooo! Akhirnya aku terbebas dari kacamata itu! Yeay!"

Karin menggeleng-geleng melihat tingkah Daisy yang berumur tidak jauh berbeda darinya, namun masih terlihat seperti baru lulus SD.

"Emangnya kenapa kamu nggak suka mengenakan kacamata? Bukankah itu terlihat lebih dewasa?" tanya Karin.

Daisy menggeleng kuat. "Aku kan designer, Dok. Punya butik sendiri pula. Jadi dengan atau tanpa kacamata nantinya aku bisa menggambar design terbaru dan mengamati para pekerjaku dari jauh. Gitu," jelasnya seraya menjentikan jari.

Karin terkekeh pelan. "Okay, setelah ini kamu mau kemana?"

"Ke tukang majalah di dekat koperasi disana, Dok. Mau ikut?"

***

Dani tersenyum tipis menanggapi beberapa pasien yang menyapanya. Mau tidak mau ia harus terlihat ramah, bukan? Ia tidak dapat membayangkan bagaimana para pasiennya nanti kabur terbirit-birit bila di beritahukan bahwa dirinyalah yang menangani pasien tersebut.

Ia melangkah lebar dan berhenti pada tukang majalah di dekat koperasi. Lelaki itu bahkan lupa kapan terakhir ia membaca Koran.

Ah, yang benar saja. Jaman sekarang sudah canggih akan teknologi yang berisi tentang berita-berita terkini bukan? Namun setelah dipikir kembali, tidak ada salahnya ia membeli sebuah Koran atau majalah kesehatan untuk mengisi jam kosong yang membosankan.

"Mas, ada majalah tentang kesehatan, gaya hidup atau semacamnya?" tanyanya pada tukang majalah tersebut.

Tukang majalah tersebut melihatnya dan mengangguk paham. Seorang Dokter, pikirnya. Ia memberikan beberapa contoh majalah yang tidak tersegel dan mengandung unsur apa yang dikatakan Dani beberapa saat lalu.

Sedang membolak-balikan lembaran-lembaran majalah tersebut, suara cempreng yang pernah didengarnya beberapa jam yang lalu menghancurkan konsentrasinya seketika.

"Baaang! Ada majalah baru yang HOT?" Gadis itu mengembangkan senyuman paling lebar yang pernah dilihat Dani selama ini. Lelaki itu menggeleng samar, dan kembali melanjutkan aktivitasnya membaca majalah di tangannya.

"Woalah, ada Neng Daisy. Mau nyang mane, emang?" balas tukang majalah itu, tidak kalah gila-nya.

Daisy... Namanya tidak buruk, gumam batinnya.

Astaga, bagaimana ia bisa fokus dengan tulisan-tulisan normal sebelum kedatangan gadis itu? Dan kini terlihat seperti huruf pada bahasa sansekerta yang tidak dimengertinya.

"Wah, emang ada banyak, yah? Ya ampun, si Abang kenapa nggak calling-calling dulu gitu, sih? Biar bawa duit banyak!"

Mata yang tengah terfokus pada majalah di tangannya, terbelalak menyadari kalimat gadis itu. Calling-calling? Demi Tuhan, ia tidak menyangka selera gadis itu jauh di luar dugaannya. Tidak perlu di bandingkan. Jelas Dani lebih unggul di banding tukang majalah di hadapannya tersebut.

Eh, mengapa jadi membandingkan dirinya dengan tukang majalah itu?!

Gadis itu berdecak pelan seraya menjinjit meraih majalah-majalah yang ditunjukan tukang majalah itu. Astaga, berapa sebenarnya tinggi gadis itu?!

Liliput.

"Yee, nanti di omelin sama isteri saya," ujar tukang majalah tersebut.

Dani yang mendengar kata "isteri" itu berdecak keras karena mengingat kesendirian dirinya. Seriously? Bahkan soal ini, ia dikalahkan oleh Tukang Majalah beruntung di hadapannya.

Sementara Daisy berdecak keras karena sebal dengan keberuntungannya di kalahkan oleh isteri Abang-Abang di hadapannya, wanita itu saja bisa menikah walau dengan abang gila di hadapannya? Mengapa ia tidak ada satupun yang melirik?!

Tukang majalah tersebut mendengar decakan keras yang nyaris bersamaan dari kedua orang itu, menatap mereka geli dengan cengiran lebar. Saat itulah Daisy baru menyadari kehadiran dokter tampan yang sempat bertubrukan dengannya, juga berada di sana.

"Eh si Om. Beli majalah juga, yah?" Daisy berjinjit seraya mengintip-intip apa yang sedang di baca oleh Dani.

Dengan mudah lelaki itu menjauhkan tubuhnya seraya menutup-nutupi majalah itu. Daisy yang tengah berjinjit tinggi dengan tubuh menyandar pada sisi tubuh tegap Dani-pun limbung dan nyaris terjatuh saat Dani bergeser kalau saja ia tidak menangkap –lagi-lagi– tubuh mungil dalam rengkuhannya itu.

"Aduh duh! Si Om sih, ish!" Daisy berdiri memperbaiki posisinya dan segera merapihkan blouse merah yang di pakainya.

Dani yang gemas dengannya segera menarik tubuh itu kembali menghapus jarak antara keduanya. Lelaki itu mendekatkan bibirnya pada telinga Daisy dan menajamkan apa yang diucapkannya.

"Sekali lagi kamu memanggil saya dengan sebutan seperti itu, saya akan—"

"APA?!"

Daisy yang merasa dirinya terancam merasa harus melawan dengan nada tinggi, membuat siapapun yang berlalu lalang menoleh kearah mereka. Dani kaget bukan main dengan perlawanan gadis mungil di hadapannya itu.

"Mau ngancem saya, Om? Ya ampun, inget umur kenapa sih! Macem bapak-bapak segala pengen nakut-nakutin saya. Eh Om, denger ya, saya ini sudah besar. Badan saya aja yang mini, umur saya udah twenty two." Daisy mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya tepat di depan hidung lelaki itu. "Dan kalau Om berpikir untuk nyulik saya, jangan harap ya. Fasilitas untuk menculik saya haruslah diatas rata-rata! Kalau nggak sanggup, silahkan cari bayi yang cuman butuh susu dan popok! Dasar, Pedophile! Huh.

"Udah ya Bang, saya pulang dulu. Eneg disini." Pamitnya pada tukang majalah yang tertegun dengan adegan di hadapannya barusan.

Daisy menghentakan kaki seraya berlalu dengan umpatan-umpatan kecil di bibir mungilnya. Sementara Dani menjatuhkan rahangnya melihat punggung itu semakin menjauh. Ia terperangah dengan apa yang diucapkan gadis itu beberapa menit lalu, sebelum kesadarannya pulih.

"Dua puluh dua tahun berani manggil gue yang baru 27 tahun dengan sebutan Om?!" Gumamnya gemas dengan menekan kata '22'. Ia mengumpat kecil, mengembalikan majalah di tangannya dengan asal dan kemudian berlalu dengan langkah panjang.

Tukang majalah tersebut hanya menggeleng-geleng kepala, "Yah nasib, rejeki nggak dapet, di acak-acak dagangan gue. BAH!"

***

"Duh, kamu kenapa sih, Sha?"

Yuna, ibunda Daisy berdecak gemas melihat tingkah anaknya perempuan satu-satunya itu. Pulang ke rumah tanpa melepaskan alas kaki langsung masuk ke dalam kamarnya dan merebahkan diri begitu saja.

"Lepas itu sepatu kamu, aduh. Mama capek membersihkan rumah ini, eh kamu malah asik bersantai. Dasar, gimana nanti kalau punya Suami?!" Omelnya panjang lebar.

"Iiih, tuh kan Mama selalu ngomong gitu. Apapun yang Nisha lakukan pasti kalimat terakhir Mama selalu di sangkut pautkan sama topik itu!" Daisy merengut, memeluk gulingnya. Ia masih terbayang akan lelaki tampan itu, tanpa menghiraukan pekikan Yuna, melihat anaknya mengotori seprai dengan sepatu yang dikenakannya.

"Duh, kamu itu! Bangun. Vanisha, bangun!" Seru wanita itu dengan menarik guling dalam dekapan Daisy.

"Nisha bakal bangun kalau Mama berhenti manggil dengan nama belakang Nisha!"

"Oh tidak bisa, Sayang. Itu adalah nama yang di berikan oleh Mama. Biarlah hanya Papa-mu dan teman-temanmu sekarang yang memanggilmu Daisy. Ayo, wake up Honey!"

Mau tak mau Daisy bangun, "Ugh, Mama! Nisha itu nama masa lalu, masa kecil yang masih ingusan. Sekarang aku sudah dewasa, Mommy...!" Ujarnya merajuk.

Yuna bersidekap seraya menggeleng, "No no no! Kamu tetap gadis kecil Mama. Okay, Honey? Bangun, hup-hup!"

"Iya, iyaaaa..." Daisy mendengus sebal.

Tidak. Bukannya ia tidak menyukai nama terakhirnya, hanya saja ia sudah bosan. Entahlah, ia ingin di panggil Daisy, nama depannya yang di berikan oleh sang Ayah. Terdengar lebih manis dan dewasa.

Oke. Untuk kata yang kedua, perlu diragukan untuknya.

***

"Lho, lho... Dani? Heh, sejak kapan kamu begitu? Ada orang tua disini bukannya salim, malah melengos gitu aja!" Maretha menggeleng-gelengkan kepala. "Lihat anakmu itu, Pa," ujarnya pada Hardi yang tersenyum karena isterinya.

Dani yang sadar kini ia tidak lagi tinggal seorang diri pun menoleh dan meringis kecil melihat kedua orang tuanya yang tengah menatapnya. Ia menghampiri Maretha juga Hardi dan menyalami dengan hormat keduanya.

"Maaf, Ma. Pa. Dani mau istirahat dulu."

Terserah apa tanggapan kedua orangtuanya begitu ia langsung saja berlalu tanpa mengubris panggilan Mamanya yang terdapat nada khawatir dalamnya. Pikirannya sibuk dipenuhi gadis itu. Astaga, bahkan mereka baru bertemu hari ini! Dengan seenaknya mengutus sebutan untuk dirinya sebagai "Om"?!

Katakan, dosa apa yang telah ia perbuat?!

Dani memijit pelipisnya. Seharusnya ia tidak perlu memusingkan hal kecil seperti ini, bukan? Namun entah mengapa, hal-hal kecil yang dilakukan gadis itu malah berpengaruh besar untuknya. Seperti halnya ini. Apa pengaruh gadis itu sebenarnya? Mengapa susah sekali di enyahkan dalam pikirannya!

Oh tidak, Dani. Kau gila!

Ia merebahkan tubuhnya, hampir memejamkan mata dan terlelap kalau saja teguran Maretha dari balik pintu menyadarkan kelalaiannya.

"Lepas sepatumu! Hargai Mama yang sudah lelah bekerja, Pratama Dani Rahardian!"

###

[RE-POST]

Untuk part kedepannya akan diprivasikan, dibaca khusus untuk followers.

Junieloo




Continue Reading

You'll Also Like

2.2K 332 11
Didedikasikan untuk mengapresiasi orang-orang yang masih bertahan dengan skripsinya!
39.8K 387 151
Pengen bikin aja sih,sekalian memorize cerita2 yg menurut aku bagus,bikin baper dan susah move on . 🌞🌞NOTE🌞🌞 Aku suka cerita ringan yg m...
2.2M 5.8K 5
Benarkah hidup bisa berjalan sesuai ekspektasi kita? Layaknya plot twist, tiba-tiba Desya dijodohkan dengan Deon, sahabatnya dari kandungan. Bukanny...
608K 40.5K 52
[BUKU KEDUA DWILOGI TENTANG DAVIN] Karena sejatinya, setiap dari kita akan kembali memulai kisah cinta--dengan orang, tempat, dan waktu yang tidak te...