Been Through

Af precious_unicorn91

1.2M 73.1K 8.8K

The couples that are meant to be, are the ones who go through everything that is meant to tear them apart, an... Mere

PROLOG
1. The Boss and The Lover
2. The Problem of Couples
3. Make Up Sex
4. Hotheaded Boy
6. Be Friend
7. 10 Years
8. When the Past Comes Back
9. Break Up
10. I Just Can't Stop Thinking About You
11. Shit!
12. Slow but Sure
13. Forgiveness
14. Happy Birthday to Me
15. Meet You Again
16. It's Always Been You

5. Mother

37.7K 3.9K 367
Af precious_unicorn91

Sejak Kavin dan Khiya berbaikan, hubungan keduanya pun sedikit membaik. Ya, cuma sedikit, karena pada kenyataan mereka tetap sering bertengkar. Di kelas, saat tutor, bahkan saat keduanya sedang pergi berdua. Tidak ada hari yang berlalu tanpa keduanya berdebat. Meskipun begitu, hubungan keduanya menjadi semakin dekat saat ini. Kavin bukan lagi sekedar ketua kelas atau tutor pelajaran Khiya saja. Bagi Khiya, Kavin sudah seperti temannya sendiri. 

Teman yang sangat menyebalkan dengan mulutnya yang tajam.

"Lo kalau sekolah otak jangan ditinggal di tempat tidur," cibir Kavin kejam seperti biasa. "Sejam gue koar-koar sejak tadi, lo masih kagak ngerti juga?"

Khiya mengerucutkan bibirnya, di saat pemuda itu balas menatap datar.

"Ngerti. Dikit." Khiya meringis. 

Kavin memutar bola mata, jengkel.

Selama istirahat siang ini, Kavin sengaja membawa laptop dari rumah untuk mengajari Khiya program Adobe Photoshop. Minggu sebelumnya, gadis itu merengek pada Kavin agar mengajarkannya karena dia sama sekali tidak paham saat mendapatkan materi tersebut di tempat lesnya. Padahal, Kavin sendiri hanya mengetahui fungsi dasar program itu, saat mendapatkan pelajaran komputer di kelas 1.

Namun, demi Khiya, selama beberapa hari ini Kavin berusaha mempelajarinya. Dari video-video di youtube hingga manual yang dia temukan di internet. Kavin melakukannya, karena tahu, Khiya tidak punya komputer sama sekali di rumah, apalagi jaringan internet. Meskipun Khiya mengikuti les menggambar dua kali seminggu, tetapi karena minimnya waktu pertemuan, Khiya tidak bisa belajar dengan maksimal. Mengingat daya tangkapnya yang memang lambat. 

Kavin selalu menyindir Khiya dengan mengatakan percuma dirinya menambah jam kerja agar mendapatkan uang lebih untuk membayar les menggambar kalau pada akhirnya gadis itu tidak mampu mengikuti pelajarannya juga. Namun, Khiya selalu menyanggah dengan mengatakan bahwa setidaknya itu lebih baik daripada hanya bengong saja di rumah. 

Dan, pada akhirnya, tetap Kavinlah yang harus mengajari Khiya.

"Makanya lo ngajarinnya pelan-pelan lah! Udah tahu gue lemot."

"Kurang pelan apa gue ngajarin lo? Kalau yang lain, udah kelar tiga bab, Ky. Lo satu bab aja baru awalnya doang dari tadi," omel Kavin.

"Lebay lo!" sungut Khiya.

Kavin mengembuskan napas kasar. "Dari penjelasan gue sejak tadi, bagian mana yang lo nggak paham?"

Khiya berpikir sejenak, sebelum akhirnya menyengir. "Dari awal?" 

Kavin mengembuskan napasnya lelah. "Lo belajar sendiri aja sana. Nyerah gue," gerutu Kavin sambil membereskan laptop di atas mejanya. Mukanya kelihatan masam saat memasukkan laptop ke dalam tas sekolahnya.

"Jangan ngambek, ish. Lanjut pulang sekolah aja ya? Nanti gue traktir kaepci deh," bujuk Khiya sambil memelas. Namun, Kavin tetap tidak mau menatap wajah gadis itu.

"Nggak usah! Terima kasih!"

"Yakin? Gue lagi dapat kupon ayam satu bucket loh. Beneran nggak mau?" tawar Khiya lagi sambil menaikturunkan kedua alis matanya.

Kavin pada akhirnya menolehkan kepalanya, menatap Khiya yang menyengir. "Oke. Tapi, lo harus sebutin dulu nama-nama ibukota negara yang gue sebut."

"What?"

"Itu PR lo kemarin kan? Udah lo kerjain belum?" tanya Kavin menatap tajam.

Khiya pun langsung mencibirkan bibirnya pada Kavin. "Nggak asik lo."

"Mau gue ajarin Photoshop nggak?"

"Iye. Iye." 

"Ibukota Yunani?"

"Buset, baru soal satu udah langsung susah. Yang gampang dulu gitu. Kayak ibukota Indonesia." Kavin hanya menatap datar. "Athena. See? Gue nggak bego-bego amat."

"Gue nggak pernah bilang lo bego. Cuma pemalas aja. Bulgaria?"

Khiya mencibir sebelum menjawab. "Sofia! Nah, pinter kan gue?"

Kavin tersenyum kecil. "Afganistan?"

"Kabul! Apalagi ha? Zimbabwe?"

"Apa emang ibukotanya?" tantang Kavin.

"Ah, gancil itu mah!" seru Khiya penuh kepercayaan diri. "Ibukotanya Wewe Gombel"

Kavin mendecakkan lidahnya. "Seriusan, Ky."

"Serius gue. Serius kagak tahu maksudnya," jawab Khiya sambil meringis. "Yaelah, kasih dispensasi kek sama gue. Gue kan semalam kerja. Nyampe rumah udah tepar. Itu aja gue ngapalin sambil ngitungin ayam goreng."

Kavin pun tersenyum mendengar pembelaan Khiya. Gadis itu selalu punya seribu alasan setiap dimarahi. "Minggu depan kita lanjut lagi Geografinya. Besok gue mau ngejelasin lo soal Alkohol, Eter, Aldehid dan yang lain. Soalnya dua hari lagi kita mau ulangan."

"Alkohol? Lo mau ngajakin gue clubbing nih. Asiik." Khiya menyengir lebar.

"Belum pernah?" tanya Kavin menaikkan satu alis matanya.

"Emang lo udah pernah?" tanya Khiya terkejut. Awalnya dia cuma bercanda. Khiya tahu benar Alkohol yang dimaksud Kavin adalah mengenai gugus fungsi, materi pelajaran Kimia yang sedang mereka pelajari minggu ini. Namun, saat Kavin menanggapi dengan serius, Khiya pun jadi penasaran. Tidak terbayang di kepalanya, murid teladan seperti Kavin pernah ke tempat seperti klub.

"Kalau lagi suntuk," jawab Kavin sekenanya. "Lo masih kecil, nggak usah ikut-ikutan," ledek Kavin, menyeringai.

Khiya menatap Kavin sebal. "Gue sama lo cuma beda 9 bulan ya! Belagu banget!" seru Khiya. Meskipun sebenarnya Khiya tidak ingin bertanya lagi, tapi rasa penasaran mengalahkan rasa gengsinya itu. "Seru ya di klub? Banyak orang mabok nggak? Lo kalau di sana minum-minum juga, Vin? Atau lo malah ikutan joget-joget? Ih, pengin lihat lo joget! Pasti kocak."

Kavin mendelik pada Khiya. "Lo nggak akan kuat ke tempat begitu. Ngehirup asap rokok dikit aja lo langsung bengek."

Tanpa aba-aba, Khiya tiba-tiba saja menoyor kepala Kavin dengan gemas. "Songong bat lo!"

"Jangan noyor kepala gue! Nggak sopan banget lo jadi cewek!" protes Kavin sambil menjauhkan kepalanya dari jangkauan Khiya.

Namun, gadis itu masih berusaha untuk menoyor kepala Kavin kembali. "Gue toyor biar otak lo lengser. Mana tahu lo jadi bego kayak gue."

Kavin pun berusaha menghindari toyoran Khiya. Namun, gadis itu malah semakin bernafsu melakukannya. "Stop!" seru Kavin kesal sambil memegang kedua tangan gadis itu untuk menghentikan perbuatannya.

Saat akhirnya Khiya berhenti memberontak, Kavin pun menatap Khiya tajam. "Berhenti bersikap bar-bar. Percuma lo cantik kalau kelakuan lo kayak preman."

"Jadi, menurut lo gue cantik?" tanya Khiya sambil tersenyum senang. Kavin langsung terdiam menatap wajah Khiya yang sumringah. "Kok diam? Bener berarti ya?" Khiya semakin tersenyum kesenangan. Sedangkan, Kavin merasakan wajahnya memanas tiba-tiba.

"Udah, Bor, sosor aja langsung. Sikaaatttt!!!" seru Adipa yang tiba-tiba muncul di belakang Khiya.

Kavin pun melepaskan cengkeramannya di pergelangan tangan Khiya. Dia langsung memasang wajah tanpa ekspresinya kembali. Melihat itu, Khiya pun mendelik sebal pada Adipa yang merusak momen lucunya bersama Kavin. Kapan lagi dia bisa melihat wajah malu ketua kelas mereka yang galak itu?

"Ganggu lo!" seru Khiya pada Adipa yang berdiri di sebelahnya.

"Dih, lo beneran ngarep disosor Kavin? Jablay lo!" Adipa gantian menoyor kepala Khiya.

"Jangan kasar sama cewek!" tegur Kavin dengan tegas. Khiya menatap Kavin sambil menahan senyumnya. Senang karena Kavin membelanya. "Gue nggak suka lihat cewek kasar, tapi gue lebih jijik lagi sama cowok yang ngasarin cewek."

"Yaelah, selaw aja kali. Khiya udah biasa diginiin," balas Adipa sambil kembali menoyor Khiya yang membuat gadis itu mengaduh kesakitan.

Dan, secepat kilat, tangan Adipa pun dipelintir oleh Kavin yang sudah berdiri dari kursinya. "Gue bilang jangan gituin Khiya!" ucap Kavin penuh penekanan dan tatapan tajam pada Adipa.

"Aduh. Aduh. Iya. Iya. Kagak lagi-lagi," seru Adipa yang kesakitan. Murid-murid yang ada di kelas dan melihat kejadian itu, bukannya membantu Adipa malah menertawainya. Selain karena lucu, mereka juga pikir Adipa perlu dibegitukan sesekali. Karena dia memang ringan tangan ke orang-orang.

Kavin pun melepaskan pelintirannya di tangan Adipa. Adipa mengusap-usap tangannya sambil menatap Kavin kesal. "Bangsat lo, Vin. Untung tangan gue kagak patah."

"Mau gue patahin sekalian?" tanya Kavin serius.

Adipa pun langsung mingkem. Dia tidak berani menjawab karena tahu Kavin itu pemegang sabuk hitam Taekwondo. Macam-macam dengannya, bisa-bisa Adipa tinggal nama saja. 

"Yaelah, gue bercanda kali," canda Adipa. Dia mungkin terlihat seperti preman, tapi sebenarnya mentalnya itu tempe. Digertak sedikit sudah kabur terkaing-kaing. Kalau kata Khiya, Adipa itu besar di bacotnya saja, tapi nyali nol besar. "Lo naksir ya sama Khiya. Belain segitunya." Melihat kesempatan emas, Adipa pun balik meledek Kavin. "Cie ... cie ... udah sampai tahap mana nih? Pantesan berduaan mulu."

Namun, bukan Kavin namanya kalau dia tidak menanggapi semua itu dengan dingin. Melihat reaksi Kavin itu, Khiya pun mencubit perut Adipa yang gembul.

"Kayak anak SD lo, mainnya ledek-ledekan begitu," cibir Khiya. "Nggak sekalian lo manggil nama bapaknya si Kavin?"

"Gue mau makan. Lo mau ikut?" tawar Kavin yang tiba-tiba saja sudah beranjak dari kursinya.

Khiya ikut berdiri sambil meraih bungkusan di atas meja. "Minggir lo!" ketus Khiya, mendorong pelan badan Adipa yang menghalangi jalan.

Adipa memberi jalan pada Khiya, meskipun masih terus menggodanya. Sampai akhirnya Khiya keluar dari kelas, dia masih bisa mendengar suara Adipa yang menyorakinya. Namun, Khiya tidak memedulikannya dan memilih berjalan di sisi Kavin yang berjalan cepat.

"Lapar banget ya lo? Ngebut banget jalannya."

Kavin melirik wajah Khiya, lalu bungkusan di tangannya. "Bawa bekal lagi?"

Khiya mengangguk cepat. "Lumayan ngehemat, daripada gue jajan." Khiya meringis lebar. "Mau coba?"

"Lo yang masak?"

Khiya mendengus. "Lo pikir gue bisa masak?"

Kavin memutar bola matanya. "Gue lupa kalau lo itu emang payah."

Bukannya tersinggung, Khiya malah tertawa geli mendengar cibiran Kavin. Dua bulan mengenalnya, Khiya mulai paham seperti apa Kavin itu. Ucapannya memang suka pedas dan kejam, tapi dibalik itu semua dia adalah lelaki yang baik. Hanya saja, dia kurang bisa menunjukkan hal tersebut. 

"Kalau gue masak, emang lo mau nyobain?"

Kavin diam beberapa saat. "Lo nggak akan sengaja naruh racun di dalamnya, kan? Lo kan dendam kesumat sama gue dari awal."

Khiya tergelak, lalu mencubit lengan Kavin dengan gemas. "Mending gue kasih pelet biar lo jatuh cinta sama gue." 

Khiya tertawa geli sendiri, meskipun Kavin tidak menanggapi.

"Nyokap lo emang nggak pernah bekalin? Gue dari masih TK udah dibiasain bawa bekal soalnya. Selain ngehemat juga makanan rumah kan lebih bersih dan sehat daripada jajan. Dan, gue perhatiin lo tuh makannya mie instan terus. Nggak bagus tahu. Gue heran kenapa lo masih pinter aja udah makan MSG sebanyak itu."

"Nyokap gue sibuk kerja. Nggak sempat masak," jawab Kavin dengan wajah tanpa ekspresi.

Khiya terdiam menyadari perubahan suasana hati Kavin itu. Selama ini, Kavin memang jarang membicarakan orang tuanya. Hanya adiknya, Karina, yang sering Kavin sebut-sebut. Khiya tidak pernah bertanya lebih jauh soal keluarganya karena merasa tidak enak. Namun, Khiya sadar bahwa Kavin tidak terlalu dekat dengan kedua orang tuanya itu.

"Besok gue bawain bekal deh buat lo."

Kavin menatap Khiya bingung. "Buat apa?"

"Lo cobain dulu deh baru komentar. Masakan nyokap gue itu top markotop!"

"Nggak perlu. Buat jajan aja lo nggak punya duit, nggak usah sok-sokan bawain gue makan. Nanti lo puasa seminggu," cibir Kavin.

Khiya pun mencubit lengan Kavin jengkel. Kalau saja Khiya tidak hapal benar sifat Kavin yang suka berkata pedas dibalik maksud baiknya itu, pasti dirinya sudah menghajar Kavin sekarang. 

"Gue kagak semiskin itu! Udah pokoknya besok gue bawain bekal. Jadi, lo nggak makan mie mulu. Oke?"

"Terserah."

***

"Lo yakin nggak apa-apa belajarnya di rumah lo gini?" tanya Khiya pelan saat berjalan memasuki rumah Kavin.

Matanya menatap ke sepenjuru rumah Kavin. Merasa terpukau melihat betapa luasnya rumah pemuda itu. Berkali-kali lipat lebih besar dari rumah mungil Mamanya.

"Rumah lo gede banget, Vin. Pernah nyasar nggak di sini?" tanya Khiya sambil berjalan mengikuti Kavin yang memasuki ruang tengah di mana terdapat sofa besar yang tampak nyaman dan TV LED yang besarnya seperti papan tulis. "Gile, lo punya bioskop di rumah?"

"Rumah gue nggak sebesar rumah presiden, Ky," jawab Kavin santai.

Khiya mendecakkan lidahnya, lalu memukul lengan Kavin. "Iyalah. Presiden tinggalnya di istana."  Khiya kembali melihat ke sana sini. "By the way, rumah lo sunyi amat kayak kuburan. Emak lo mana?"

"Kerja."

"Bokap?"

"Kerja."

"Pembantu lo?"

"Kerja."

Khiya sudah ingin menabok Kavin saat Karina terlihat berjalan turun di tangga. "Siapa, Mas?"

"Ini Khiya. Teman Mas."

Karina yang tadinya bingung, langsung tersenyum cerah. "Oh, teman Mas yang 'itu'?"

"Itu?" tanya Khiya bingung.

"Yang ditutorin Mas Kavin maksudnya." Karina menyeringai lebar. "Kok bisa tahan si Kak? Aku aja kalau diajarin Mas pengin nangis rasanya. Galak bener kayak herder tetangga."

Khiya tertawa puas menatap Kavin yang berwajah datar. "Galak-galak begini tapi aslinya manis kok. Asal pinter aja ngelusnya. Sama tahu mau ngelus di mana," jawab Khiya yang membuat Kavin melotot.

"Nggak usah ngomong aneh-aneh!" ketus Kavin. "Kita belajar di sini aja. Kamu masuk kamar sana, Rin!" ucap Kavin sambil duduk bersila di karpet yang berada di depan sofa. 

"Nggak ah. Mau di sini aja ngelihat Mas." Karina menjatuhkan dirinya di sofa.

"Jangan berisik kalau mau di sini!"

"Mas kali yang berisik. Suka marah-marah," balas Karina santai.

Khiya pun tertawa geli melihat interaksi kedua saudara itu. Khiya lalu duduk di sebelah Kavin dan mulai mendengarkan pemuda itu menjelaskan mengenai bahan ulangan mereka besok.

Sejam berlalu, Khiya pun mulai bosan. Dia tidak lagi memerhatikan ucapan Kavin dengan benar. Berulang kali gadis itu mengembuskan napasnya atau bergerak-gerak gelisah. Dan, Kavin melihat itu semua.

"Udah bosan?" tanya Kavin yang langsung menghentikan penjelasannya. Khiya menyengir lebar sebagai jawaban. 

Kavin kemudian meletakkan pulpennya di atas buku dan bangkit dari duduknya. Khiya menatap Kavin merasa tidak enak. Mengira, lelaki itu marah padanya. Khiya sudah mau bertanya, tetapi Kavin melangkah ke bagian dalam rumah dengan cepat. Meninggalkan Khiya bersama Karina yang sibuk bermain ponsel.

"Karin!" panggil Khiya pelan. Karina menjawab dengan berdeham. "Masmu itu pernah punya cewek nggak sih?"

Karina pun tersenyum lebar. "Kenapa? Kakak naksir?"

Khiya menatap Karina ngeri. "Kagaklah!"

Mendapatkan reaksi seperti itu, Karina pun terkekeh geli. "Suka juga nggak apa-apa. Jomlo ini si Mas Kavin. Kakak juga, kan?"

"Ish, gue nanya bukan karena itu. Cuma penasaran aja, cowok kayak Kavin itu pernah suka cewek nggak," jawab Khiya sewot. "Soalnya setiap gue tanya, dia nggak pernah mau jawab."

"Mas Kavin kelihatannya aja nggak suka cewek. Tapi, dia mah pacaran mulu kerjaannya. Image anak baik-baik dan pelajar teladan itu cuma kamuflase aja."

Khiya menatap tidak percaya pada Karina. "Serius lo?"

Karina mengangguk yakin. "Terakhir pacaran itu enam bulan yang lalu. Sama teman SMP-nya. Lumayan lama juga pacarannya, dari kelas 1 SMA. Tapi, putus gara-gara si Mas sibuk OSIS."

Khiya menganggukkan kepalanya. "Ceweknya bukan di sekolah gue ya?"

"Bukan. Makanya mereka jadi jarang ketemu sejak Mas punya jabatan. Akhirnya sering berantem dan putus deh." Karina mengendikkan bahunya.

"Oh, gitu."

"Pas di SMP aja dia pacaran tiga kali. Cuma sebentar-sebentar soalnya si Mas bosen dan nggak suka kalau ceweknya mulai posesif. Bahkan, kelas 6 SD aja si Mas punya cewek. Yah, pacaran cuma sebulan sih. Tapi, tetap aja kan?"

"Buset, yang bener?" seru Khiya terkejut. 

"Iyaaa. Ngapain sih aku bohong?"

"Gue pikir dia nggak demen cewek. Cuma demen belajar aja. Ternyata ... ck ck ck. Boys will be boys, ya."

Beberapa saat kemudian, Kavin muncul sambil membawa nampan di tangannya. Di dalam nampan terdapat tiga gelas minuman berisi sirup berwarna merah, juga piring berisi gorengan. Ternyata Kavin pergi ke dapur tadi untuk mengambil semua itu.

"Kenapa?" tanya Kavin bingung, saat dia duduk kembali di sebelah Khiya yang menatapnya tidak berhenti. "Gue ganteng banget sampai lo nggak kedip gitu?"

Ekspresi kaget Khiya pun berubah menjadi ekspresi jengkel. "Kalau nggak ingat ini rumah lo, udah gue siram pakai sirup lo, Vin!"

"Tuh, lo isi perut dulu. Biar penjelasan gue bisa masuk otak lo abis ini," tawar Kavin, dengan tidak lupa sambil mencibir Khiya.

"Lo nggak kasih racun, kan?"

"Nggak. Sayang racunnya buat lo. Mending buat bunuh tikus."

Khiya pun menarik lengan kanan Kavin dan menggigitnya kuat.

"Aduh! Khiya!!!" teriak Kavin kesakitan. "Apa-apaan sih lo?"

"Siapa suruh ngeselin!" Khiya menjulurkan lidahnya, sebelum mengambil gelas berisi sirup dan menghabiskannya setengah. "Duh, gorengan. Tahu aja lo kesukaan gue."

Kavin mengusap lengannya yang digigit Khiya, sambil menatap gadis yang lahap makan gorengan itu dengan jengkel.

"Oia, Vin. Gue hampir lupa. Kan, gue bawain makanan buat lo!" seru Khiya sambil membuka tasnya dan kemudian mengeluarkan tempat makan berwarna pink. "Tadi pas istirahat kan lo dipanggil guru, gue jadi lupa deh kasih ini."

Khiya kemudian membuka tutup tempat makannya dan memperlihatkan isinya. Nasi goreng dengan telor ceplok. Terdapat potongan sosis dan udang juga meskipun kecil-kecil.

"Udah dingin tapinya." Khiya mengerucutkan bibirnya. "Tapi, gue yakin masih enak kok."

"Buatan ibu lo?"

Khiya lalu menggeleng sambil tersenyum lebar. "Buatan gue ini. Lo harus coba pokoknya!"

"Lo bukannya nggak bisa masak?"

"Tapi, bisa belajar kan?" Khiya menyeringai. "Cobain nih. Mau gue suapin?"

"Nggak usah." Kavin mengambil sendok yang disodorkan Khiya, lalu menyendok nasi goreng itu. Tanpa berpikir panjang, Kavin pun memasukkan nasi goreng itu ke dalam mulutnya.

Khiya menunggu reaksi Kavin dengan tidak sabar. Ekspresi pemuda itu, perlahan berubah. Kavin kemudian mengambil gelasnya dan menenggak seluruh isinya dengan cepat.

"Kok pedas banget?"

"Ah, masa sih?" Khiya mengambil sendok dari tangan Kavin dan menyendokkan nasi goreng tersebut untuknya. Sambil mengunyah, Khiya berkata dengan santai. "Biasa aja."

"Gila lo! Ini bukan nasi goreng, tapi nasi cabe!" keluh Kavin sambil mendesis kepedasan. "Pedas banget, Ky." Kavin kemudian mengambil gelas Khiya dan menghabiskan isinya tanpa permisi. 

"Pedesan juga mulut lo," cibir Khiya. "Jadi, nggak mau nih?"

"Kagaklah! Bisa masuk rumah sakit gue," sungut Kavin. "Berapa cabe sih lo masukin?"

"Dikit. Cuma lima belas," jawab Khiya enteng.

Kavin melotot menatap gadis itu, kemudian menarik hidung mancungnya dengan gemas. Khiya meringis sambil menepis tangan Kavin. Setelah itu, keduanya pun mulai adu mulut seperti biasanya. Melihat pertengkaran kedua manusia itu, Karina hanya tertawa geli. 

"Loh, Mama?" ucap Karina tiba-tiba yang membuat perdebatan Khiya dan Kavin terhenti.

Perhatian ketiganya langsung beralih pada seorang wanita cantik dengan dandanan modisnya yang memasuki ruang tengah. Meskipun sudah kepala empat, wanita itu masih terlihat sangat menawan. Membuat Khiya menatapnya takjub hingga lupa menutup mulutnya.

"Tumben kalian di sini," ucapnya sambil melihat ketiganya dengan tatapan datar. "Tidak ada les hari ini?" lanjutnya dengan intonasi yang terdengar begitu dingin.

Tatapan wanita itu kemudian beralih pada Khiya yang masih duduk di sebelah Kavin. Saat tersadar sedang diperhatikan, Khiya langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri ibu Kavin dan Karina itu.

"Sore, Tante. Saya Khiya." Khiya menjulurkan tangannya bermaksud untuk mencium tangan wanita itu, tapi ibu Kavin malah memandangi Khiya dari atas hingga bawah dengan pandangan meremehkan. "Ehm, maaf Tante karena numpang belajar di sini."

Wanita itu menatapi Khiya dengan dingin, sebelum beralih kepada anak lelakinya. "Ada tugas sekolah?"

Kavin kemudian berdiri dan menghampiri Khiya yang terlihat kebingungan. "Aku tutorin Khiya."

"Tutorin?" ucap wanita itu tampak tidak senang. "Sejak kapan?"

"Sudah dua bulan ini."

"Siapa yang suruh kamu?"

"Bu Indah ..."

"Nanti Mama bicara sama wali kelas kamu itu. Bisa-bisanya dia menyuruh kamu tutorin murid tanpa bertanya pada Mama dulu. Kamu itu sudah kelas 3. Seharusnya fokus untuk ujian masuk universitas. Bukan lagi mengurusi orang lain," ucapnya dengan begitu ketus. "Dan, kamu? Apa pekerjaan orang tua kamu? Di mana kamu tinggal?"

"Mama!" seru Kavin tampak kesal. "Berhenti bersikap menyebalkan! Dia teman Kavin."

Khiya hanya tersenyum masam mendapati pertanyaan itu. Dibandingkan merasa tersinggung, Khiya lebih merasa kasihan pada Kavin. Khiya akhirnya paham kenapa suasana hati Kavin selalu berubah suram saat membicarakan orang tuanya.

"Teman? Dari penampilannya saja sudah jelas dia tidak selevel dengan kita. Sudah begitu bodoh lagi hingga perlu diajari. Ngapain kamu berteman dengan orang yang tidak punya nilai lebih seperti dia?" hina ibu Kavin lagi.

"Udah, Ma. Jangan kayak gitu," ucap Karina yang sudah berada di sebelah Khiya. Gadis SMP itu memegang lengan Khiya, merasa tidak enak dengan teman kakaknya.

"Kamu juga, Karina. Kata guru les pianomu, nilai ujian kemarin hanya B. Bagaimana bisa? Memangnya kamu tidak latihan selama ini? Mulai sekarang, sepulang sekolah kamu langsung pulang dan latihan. Tidak ada main-main lagi."

"Tapi, Ma!"

"Berhenti menjawab dan lakukan perintah Mama. Kalian berdua ini semakin besar semakin sulit diatur. Bikin pusing kepala Mama saja. Sudahlah!" Ibu Kavin kemudian berjalan meninggalkan ketiganya yang terdiam.

Khiya melirik Kavin yang rahangnya mengeras. Dia tampak begitu marah saat ini. Namun, Kavin menahan emosinya itu. Memilih untuk menarik napas dan mengembuskannya berkali-kali.

"Gue..."

"Santai aja. Gue nggak apa-apa kok." Khiya tersenyum, mencoba meyakinkan Kavin. 

"I'm really sorry, Ky." Kavin menatap Khiya dengan penuh rasa bersalah.

Khiya kemudian tertawa kecil. "Udah biasa gue. Kan lo tiap hari ngomel-ngomel mulu ke gue. Udah kebal."

Meskipun ingin, Kavin tidak mampu tersenyum akan candaan Khiya itu. Karena dia merasa sangat malu dan bersalah pada Khiya yang mendapatkan perlakuan tidak baik dari ibunya.

"Vin, gue balik ya. Jam lima kan gue kerja."

"Gue antar."

"Nggak usah, Vin. Gue bisa kok ..."

"Gue antar," tegas Kavin sekali lagi yang membuat Khiya akhirnya menyerah.

Titah tuan besar tidak bisa diganggu gugat.

Diperjalanan, Kavin tidak bersuara, tidak seperti biasanya. Khiya tahu lelaki itu pasti sedang memikirkan kejadian tadi. Tidak ingin mengganggu, Khiya pun memilih untuk diam. Membiarkan lelaki itu tenggelam dalam pikirannya. Kavin butuh waktu untuk menenangkan pikiran dan hatinya. 

"Ucapan Mama tadi jangan lo pikirin," ucap Kavin saat Khiya memberikan helm yang dia pakai pada Kavin sesampainya mereka di tempat kerja Khiya. Seperti dugaan Khiya, Kavin masih memikirkan hal tersebut.

"Yang mikirin kan elo. Gue biasa aja kok." Khiya tersenyum lebar. "Omongan seperti itu, biasanya cuma masuk telinga kanan dan keluar di telinga kiri gue. Makanya gue bisa betah temanan sama lo, kan?"

Kavin akhirnya tersenyum meskipun sangat tipis. "Gue benar-benar minta maaf, Ky. Nggak seharusnya lo menerima perlakuan seperti itu."

"Nggak perlu minta maaf. Itu semua bukan salah lo."

"Salah gue karena nggak bisa membalas ucapan nyokap gue."

Khiya tiba-tiba memukul lengan Kavin dan menatap laki-laki itu tajam. "Nggak boleh ngelawan orang tua. Dosa tahu!"

"Meskipun orang tua gue sangat menyebalkan dan nggak sopan seperti itu? Dia udah nyakitin hati lo dengan kata-kata kejamnya."

"Tetap saja dia orang tua. Orang yang harus kita hormati. Kita nggak boleh melawan mereka."

"Tunggu sampai lo ngerasain jadi anak nyokap gue."

Khiya hanya tersenyum simpul. "Sekeras apapun orang tua, mereka tetap sayang anak-anak mereka. Mereka pasti ingin yang terbaik buat buah hati mereka. Jadi, gue maklum kalau mama lo bersikap kayak tadi. Karena dia cuma mau melindungi lo."

Kavin mendengus skeptis. "Seandainya gue bisa seoptimis lo."

"Untung gue nggak sepesimis lo," balas Khiya.

Kavin pada akhirnya tersenyum, sebelum kembali lagi pada wajah seriusnya. "Besok kita lanjut lagi belajarnya di perpus. Jangan lupa dipelajari di rumah."

"Loh? Bukannya lo nggak tutorin gue lagi? Gue pikir udah terbebas dari lo," ujar Khiya pura-pura kaget.

Kavin mendesis sebelum berkata, "You wish," yang membuat Khiya tertawa geli.

***

"Jihan Sakhiya tidak masuk?" tanya Pak Heri saat mengabsen murid-murid pagi ini. "Ada yang tahu alasannya tidak masuk?"

Tidak ada yang menjawab. Adipa dan Amri yang teman terdekat Khiya sekalipun tidak tahu kenapa gadis itu absen sekolah. Begitupula Kavin yang sejak pagi tadi mencoba menghubungi ponsel Khiya, tapi tidak pernah tersambung. Khiya mungkin pemalas, tapi selama ini dia tidak pernah absen sekolah kecuali saat sakit. Itu pun sangat jarang sekali, karena gadis itu selalu sehat bugar. Dan, setiap tidak masuk, Khiya pasti akan memberitahukan teman sekelasnya. Namun, kali ini tidak ada kabar sama sekali darinya.

Tidak mendapatkan jawaban, Pak Heri pun menuliskan huruf A di daftar hadir kelas. Setelah itu, dia melanjutkan pelajaran hari ini seperti biasanya. Tidak ada yang merasa cemas terhadap absennya Khiya. Semua hanya menduga Khiya sedang sakit saja. Kavin pun tidak terlalu memikirkan hal tersebut.

Namun, saat dua hari berikutnya Khiya masih tidak masuk sekolah dan tidak juga ada kabar  darinya, Kavin pun mulai merasa cemas. Kavin takut sesuatu terjadi pada gadis itu. Akhirnya, Kavin memutuskan untuk mendatangi rumah Khiya. Kebetulan juga, hari itu Kavin tidak ada kegiatan lain sepulangnya dari sekolah. Sehingga dia bisa mampir. 

Saat Kavin sampai di depan rumah Khiya, kondisi rumah mungil itu sangat sepi. Pintu depan tertutup dan pagar pun terkunci. Kavin mencoba mengetok-ngetok pagar, berharap ada orang di dalam rumah yang akan keluar. Namun, sudah sepuluh menit berlalu, tidak ada siapa pun yang muncul. Rumah itu benar-benar kosong.

"Temannya Khiya yang suka nganterin itu ya?" Sapaan seorang ibu paruh baya itu membuat Kavin menoleh. Kavin tersenyum samar, mengenali wanita itu sebagai tetangga depan rumah Khiya. Wanita itu selalu duduk di teras rumahnya saat dia mengantarkan Khiya. Kata Khiya, ibu itu selalu ingin tahu kehidupan tetangga-tetangganya. Karena itu, dia selalu duduk di depan rumah, mengintai sekitarnya.

"Iya, Bu. Khiya kemana ya?"

"Loh, memangnya kamu nggak dikasih tahu? Kan Bu Vita masuk rumah sakit. Kena serangan jantung ringan katanya. Sudah tiga hari ini dirawat."

Mata Kavin melebar mendengar kabar itu. Tidak menyangka kalau Ibu Khiya mendapatkan musibah. Setelah mendapatkan informasi rumah sakit dan kamar tempat ibu Khiya dirawat, Kavin pun bergegas ke sana.

Ibu Khiya dirawat di rumah sakit umum daerah. Saat Kavin sampai di sana, rumah sakit itu sangat penuh dengan pengunjung, seperti rumah sakit pemerintah pada umumnya. Setelah mendapatkan arahan dari satpam mengenai ruang rawat ibu Khiya, Kavin pun sampai di depan pintu ruang rawat. Ruangan besar di mana terdapat enam tempat tidur berhadapan yang semuanya terdapat pasien. Dan, ibu Khiya berada di pojok kanan ruangan, dekat jendela yang menghadap ke jalan raya.

Saat Kavin berjalan mendekat, Khiya yang duduk di bangku yang berada di sisi kiri brangkar ibunya tidak menyadari kehadiran Kavin karena membelakanginya. Gadis itu menatap wajah ibunya yang sedang tertidur tanpa bergerak sedikit pun. Punggung mungilnya terlihat begitu rapuh. Punggung mungil yang selama ini menopang beban berat kehidupan.

"Khiya." Panggilan Kavin membuat Khiya tersentak.

Saat Khiya menoleh menatap Kavin yang berdiri tidak jauh darinya, jantung Kavin serasa diremas melihat mata sayu dan wajah sembab gadis itu. Khiya tampak menyedihkan. Membuat Kavin ingin memeluknya.

"Kavin? Kok bisa di sini?" tanya Khiya bingung.

"Kenapa nggak ngasih tahu gue kalau mama lo sakit?" tanya Kavin dengan suara pelan, berusaha agar ibu Khiya tidak terbangun. 

Khiya beranjak dari bangku, lalu menarik lengan Kavin. "Ngomongnya di luar aja."

Khiya mengajak Kavin ke taman yang berada di luar rumah sakit. Untung hari sudah sore sehingga cuaca tidak terlalu panas. Mereka pun memilih duduk di kursi taman yang kosong. Kavin kembali memerhatikan wajah Khiya dan baru tersadar akan bekas memar di sudut bibir dan juga pipi kiri Khiya. Di dalam ruangan tadi Kavin tidak melihatnya. Namun, di luar ruangan yang jauh lebih terang, Kavin bisa melihat luka-luka itu dengan sangat jelas.

Kavin menyentuh dagu Khiya dan mengarahkan wajah Khiya padanya. "Kenapa muka lo?"

Khiya menolehkan kepalanya, agar Kavin tidak menatap wajahnya lagi. "Nggak apa-apa."

"Siapa yang mukul lo, Khiya?" tanya Kavin. Nada suaranya jelas-jelas memperlihatkan betapa kesalnya dia saat ini. 

"Gue nggak apa-apa, Kavin!" seru Khiya ikutan emosi. "Mending lo pulang aja! Gue lagi malas diomelin lo," seru Khiya.

Kavin menarik napasnya dalam. Sadar sikapnya tadi salah dan hanya membuat Khiya semakin menghindari dirinya. Setelah berhasil menenangkan dirinya, Kavin kembali berkata, kali ini dengan lebih lembut.

"Seandainya ada yang bisa gue bantu, tolong kasih tahu gue. Gue teman lo kan, Ky?"

Kavin terlihat bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Pemuda itu terlihat cemas akan Khiya. Dan, Khiya pun merasakan kehangatan di dadanya melihat sikap Kavin itu. Khiya kemudian mengembuskan napasnya panjang, sebelum mulai berbicara. "Nyokap gue serangan jantung gara-gara abang gue," lirih Khiya.

"Abang lo juga yang mukul lo?" 

Khiya mengangguk pelan. "Tiga hari yang lalu, Bang Juno datang ke rumah minta duit sama Mama. Mama nggak kasih, karena tahu Abang pakai uang itu buat judi. Tapi, Abang tetap maksa sampai akhirnya Abang dorong Mama. Gue yang lihat itu pun nerjang Abang gue. Tapi, Bang Juno yang badannya lebih gede langsung mukul gue. Mama pun langsung histeris dan tiba-tiba kena serangan jantung."

Khiya terdiam, menarik napasnya dalam.

"Dan, di saat gue panik karena Mama kesakitan, Abang gue itu malah pergi begitu aja. Nggak peduli sekalipun Mama dalam kondisi gawat." Khiya terisak pelan yang membuat Kavin mengusap punggungnya lembut. "Sejak Ayah meninggal, semua abang gue nggak ada yang bisa diharapkan. Bang Jerry, kakak pertama gue, begitu tamat SMA langsung pergi dan nggak pernah lagi kembali. Sekalinya menghubungi Mama, dia malah mau minjam duit buat bayar utangnya. Terus, Bang Johny, dari SMP selalu ikut tawuran. Dia bahkan nggak pernah lulus SMP. Kabar terakhir yang gue dengar, dia jadi preman di pasar. Dan, Bang Juno, menghabiskan waktunya dengan berjudi dan mabuk-mabukkan. Selalu meminta uang ke Mama tanpa peduli hidup gue dan Mama udah sangat pas-pasan. Kenapa mereka nggak pernah peduli sama gue dan Mama?"

Khiya menghapus air mata yang membasahi wajahnya. Isakan terdengar dari bibirnya.

"Sejak Ayah meninggal, Mama sibuk bekerja. Mama jadi nggak punya waktu untuk mengurus kami berempat. Nggak jarang, Mama juga melampiaskan kekesalannya di tempat kerja kepada kami saat masih kecil. Dicambuk, dijewer, dicubit, sudah jadi makanan sehari-hari kami dulu. Meskipun begitu, Mama berusaha sekuat tenaganya untuk membesarkan kami. Mama mungkin keras, tapi dia menyayangi kami. Kenapa abang-abang gue nggak bisa melihat itu semua?"

Kavin tidak menyangka, ibu yang Khiya banggakan selama ini pernah bersikap seperti itu pada anak-anaknya. Kavin pikir, ibu Khiya adalah orang tua yang sempurna. Ibu yang mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya kepada anak-anaknya. Ibu yang selalu bersikap baik.

Ibu yang berkebalikan dengan mamanya.

Namun, manusia memang tidak ada yang sempurna. Karena ibu Khiya pun memiliki kekurangan.

"Seandainya aja mereka melihat bagaimana Mama selalu menangis di malam hari karena mengingat mereka. Seandainya saja mereka sadar betapa besar sayang Mama kepada mereka. Tapi, mereka nggak melihat semua itu. Mereka terlalu dibutakan rasa benci karena perlakuan Mama dulu. Padahal, Mama sudah berubah. Beliau nggak seperti itu lagi."

Kavin kembali mengusap punggung Khiya yang bergetar akibat tangisannya. 

"Bagaimana caranya lo bisa maafin ibu lo?" tanya Kavin dengan suara pelan beberapa saat kemudian.

"Gimana caranya gue bisa benci Mama?" Khiya tersenyum kecil, tampak geli. "Dia orang tua gue. Dia yang membawa gue ke dunia ini. Tangannya yang merawat gue sampai gue sebesar ini. Tanpa dia, gue nggak akan ada, Vin. Jadi, bagaimana mungkin gue nggak maafin beliau? Apalagi gue tahu, Mama selalu menyayangi gue dengan caranya sendiri. Gue sayang Mama, seperti apapun dia."

Kavin terdiam, mendengar Khiya menunjukkan rasa bahagia, hormat, dan syukurnya terhadap ibunya itu.  Tidak terlihat amarah ataupun kekecewaan dari Khiya, meskipun ibunya itu pernah menyakitinya. Khiya tetap bisa menyayangi orang tua satu-satunya itu. Hal yang tidak bisa dirasakan Kavin selama ini. Dan, Kavin iri akan hal tersebut.

"Seperti yang pernah gue bilang, dibalik kerasnya sikap orang tua, ada cinta mereka untuk kita di sana. Asal kita mau membuka mata dan hati kita untuk melihatnya."

Kavin tidak menanggapi, memilih untuk menatap jauh ke depan sana. Khiya tersenyum kecil, menyadari ucapannya belum mampu merubah cara pandang Kavin terhadap ibunya. Khiya semakin penasaran, sedalam apa ibu Kavin menyakitinya hingga pemuda itu tampak begitu membenci wanita yang sudah melahirkannya. 

"Terus kenapa lo nggak ngabari siapa pun di sekolah?" tanya Kavin, berusaha mengalihkan pembicaraan dari topik yang sangat sensitif baginya. "Gue kira lo diculik terus dijadiin pembantu di luar negri."

"Doa lo jelek banget, Kampret!" seru Khiya sambil mendorong tubuh Kavin. "Hape gue dan Mama diambil Bang Juno. Gue mau ngabarin lo, tapi gue nggak hapal nomor hape lo. Nomor si Adipa sama Amri juga."

"Sasha?" Ya, Kavin tentu tahu sahabat Khiya yang satu itu. Meskipun belum pernah mengobrol dengan gadis itu, tapi Kavin cukup mengenalnya berdasarkan cerita Khiya selama ini.

"Gue nggak mau ngerepotin dia terus. Sejak dulu, dia selalu bantuin ini itu. Gue nggak enak."

"Dalam persahabatan, nggak perlu ada rasa sungkan. Dia malah akan ngerasa sedih karena lo nggak mau jujur sama dia. Sama kayak yang gue rasakan beberapa menit lalu."

Khiya menatap tidak enak pada Kavin, merasa bersalah. "Gue pikir kita bukan teman sedekat itu, Vin. Karena itu, gue nggak mau ngerepotin lo." Namun, setelah itu Khiya tersenyum lebar. "Sampai beberapa saat lalu, gue ngerasa terpuruk banget. Tapi, sekarang gue udah merasa lebih baik. Makasih ya, Vin."

"Gue nggak bantu apa-apa."

"Nope. Lo sangat membantu gue. Dengan lo mau mendengar cerita gue, itu udah menghilangkan tiga perempat dari beban gue. Sekarang gue ngerasa lebih plong. Semangat gue muncul lagi. Thanks for listening, Kavin. You are my very good friend."

Kavin lagi-lagi terdiam menatap Khiya yang tersenyum tulus padanya. Di matanya, gadis itu selalu terlihat cantik saat memberikannya sebuah senyuman. Kavin menyukai senyuman itu. Dia ingin selalu melihatnya.

Dia ingin memilikinya.

"Lo mau jadi cewek gue?" tanya Kavin begitu saja. Kavin bahkan terkejut dengan ucapannya sendiri. Namun, apa yang sudah terucap tidak akan bisa ditarik lagi. Karena itu, Kavin pun melanjutkan kembali. "Perasaan gue saat ini mungkin belum bisa dibilang cinta atau suka. Tapi, yang pasti, gue ngerasa nyaman sama lo. Gue senang saat bersama lo. Karena itu, lo mau jadi cewek gue?"

Kavin pun tidak menduga akan merasakan hal ini terhadap gadis yang awalnya tidak dia sukai. Namun, menghabiskan waktu selama beberapa bulan ini bersama Khiya, Kavin sadar gadis itu adalah gadis yang baik. Di tengah kesulitannya, Khiya masih bisa membuat dirinya tertawa. Meskipun hidup serba pas-pasan, tapi Khiya tidak pernah ragu untuk berbagi dengannya. Dan, yang terpenting, meskipun dirinya menyebalkan, tetapi Khiya mampu menghadapinya. 

Gadis itu sanggup menerima dirinya. Dan, hanya itu yang Kavin butuhkan.

Khiya tampak salah tingkah di depannya. Pipinya bersemu dan matanya tidak berani membalas tatapan Kavin. Dalam hatinya, Kavin yakin, Khiya akan menerima permintaannya itu. Kavin sangat yakin, Khiya pun menyukai dirinya. Karena itu juga, gadis itu selalu bersamanya. 

Namun, sayang, Khiya malah menjawab,

"Maaf gue nggak bisa."


TBC

Btw, kenapa pada minta konfliknya jangan berat-berat yak? Emangnya selama ini aku ngasih konflik kejam banget ya? wkwkwkwk.

Tenang, aku udah ada bayangan konfliknya apa dan kayaknya nggak separah LOTB atau LMR. Tapi, aku belum tahu nanti jadinya gimana. Semoga aja nggak sampai bikin kericuhan di kolom komen XP

Btw, masih ada satu bab lagi buat flashback jaman SMA mereka. Ditunggu juseyoooo.



Fortsæt med at læse

You'll Also Like

720K 69.3K 32
Lily, itu nama akrabnya. Lily Orelia Kenzie adalah seorang fashion designer muda yang sukses di negaranya. Hasil karyanya bahkan sudah menjadi langga...
1.6M 22.6K 25
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
503K 34.8K 32
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...
16.7M 724K 42
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...