PARADISE

By mtch_n

33.2K 3.7K 282

Published in ffn at Sept 8, 2016. Yifan dan Chanyeol adalah sebuah kekacauan. Sanggupkah mereka menyelamatkan... More

FALLEN LEAVES
Lighter
The Dusk
Hazy
Fuzzy
High
Home
A Sky Full of Stars
Tremble
Stay With Me
Your Eyes
Solace
Let Me Love You
Cold Water
What is Love?
Freal Luv
If I Have
Cave Me In
Love Me Right
Paradise
Love is a Dog from Hell
The Night in Questions
Yang Fana adalah Waktu
Kotonoha no Niwa (Garden of Words)
One More Time, One More Chance
Sometimes, Somewhere
Cinta Tak Pernah Tepat Waktu
Si Me Amas, Serva Me
Sebuah Akhir

Surefire

762 104 3
By mtch_n

Sesuai dengan diskusi yang melibatkan pengacara pihak Mrs. Park dan tim dokter yang merawat pemulihan kejiwaan Chanyeol, mereka sepakat untuk tidak melakukan terapi rangsangan pada pemuda itu untuk mengembalikan ingatan masa lalunya. Mereka akan lebih fokus untuk menstabilkan emosi pemuda itu sebelum mengembalikannya ke dunia luar dan menjalani kehidupan seperti orang normal lainnya.

Baekhyun sesekali akan menahan nafasnya ketika ia membaca rekam medis Chanyeol yang diserahkan oleh tim pengacara beberapa hari yang lalu. Dokter Kim memberinya tugas untuk mempelajarinya dan membuat laporan mengenai hal itu di akhir hari. Skandal dengan seorang guru magang, penyalahgunaan obat penghilang rasa sakit dan bullying. Kehidupan seperti apa yang Chanyeol jalani sebelumnya.

Pada setiap sesi yang dilakukan selama beberapa hari sekali, Baekhyun bisa melihat perkembangan signifikan yang ditunjukkan Chanyeol. Tidak ada tatapan kosong atau respons lambat dalam interaksi yang mereka lakukan, tetapi ketika Chanyeol memalingkan wajahnya, Baekhyun tahu masih ada luka di sana.

"Knock. Knock." Baekhyun memutar kenop pintu ruang perawatan Chanyeol dan melongok ke dalamnya.

Calon dokter itu mengira Chanyeol sedang di toilet ketika ia mendapati tempat tidurnya kosong. Namun tubuh Baekhyun seketika itu mematung ketika pandangannya jatuh pada seorang pemuda yang duduk di ujung ruangan sambil memeluk lututnya yang ditekuk.

Baekhyun memberanikan diri untuk berjalan mendekat pada sosok itu.

"Chanyeol?"

Pemuda yang semula menundukkan kepalanya itu mendongak dan menatap Baekhyun dengan tatapan yang sama persis ketika Baekhyun pertama kali menemuinya.

"Hey..." Chanyeol berjengit ketika Baekhyun semakin mendekat padanya.

Baekhyun melangkah mundur ketika mendapatkan reaksi itu. Ia menunggu hingga Chanyeol melakukan –atau mengatakan sesuatu. Namun hasil yang ia dapatkan adalah nihil ketika Chanyeol masih tetap termangu di tempatnya.

Waktu terus berjalan dan masa koas Baekhyun akan berakhir dalam beberapa minggu. Ia sudah optimis bahwa Chanyeol sudah siap keluar dari rumah sakit itu bersamaan dengan akhir masa koasnya ketika hari ini ia menyaksikan sebuah kemunduran dalam perkembangan pemuda itu.

Namun Baekhyun tidak akan mengeluh mengenai hal itu. Calon psikiater itu justru meletakkan jurnalnya di lantai sebelum membuat dirinya duduk bersila di hadapan Chanyeol dalam jarak satu meter. Ia tidak mengatakan apapun ketika Chanyeol memperhatikan setiap gerak-geriknya.

"Aku tidak akan bertanya apa yang terjadi hari ini atau apa yang kau rasakan sekarang. Aku hanya akan duduk di sini dan tidak melakukan apapun." Kata Baekhyun.

Chanyeol tidak bergeming dan justru semakin mengeratkan pelukannya pada lututnya sendiri. Ia kemudian meletakkan kepalanya di atas lututnya dalam posisi miring, mengarahkannya pada jendela kamar yang menampakkan pemandangan langit sore dan bunga sedap malam yang bergantung terbalik di luar.

Sudah hampir setengah jam ruangan itu diisi kesunyian hingga akhirnya Chanyeol mendongakkan kepalanya kembali dan menatap Baekhyun.

"Kenapa Ayahku begitu membenciku?" Tanya Chanyeol dengan ekspresi wajah datar.

Baekhyun membuka jurnalnya dan membuat beberapa catatan. Hal itu bahkan masih menjadi misteri ketika Chanyeol mengutarakan pertanyaan mengenai Ibu kandungnya yang meninggal bunuh diri pada kunjungan terakhir Bibi Vic dan tim pengacara. Dan sekarang pemuda itu kembali membuat pertanyaan yang Baekhyun tidak tahu jawabannya.

.

.

.

Yifan mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali untuk membiasakan diri ketika sinar matahari menerpa wajahnya. Pemuda itu kemudian melihat ke sekeliling dan menyadari bahwa ia tengah berbaring di sebuah tempat. Tempat yang tidak asing baginya –lapangan basket yang terletak di pinggiran taman kota di Seoul. Sebuah bayangan di atas kepalanya membuat wajah Yifan sedikit teduh dan tidak lagi terpapar sinar matahari secara langsung. Yifan mendongak dan mendapati sebuah wajah yang begitu ia rindukan.

Chanyeol tersenyum lebar menampakkan deretan gigi rapinya dan lesung pipit mencekung di pipinya. Yifan tanpa sadar ikut menarik kedua sudut bibirnya melihat pemandangan itu. Ia sudah akan bangkit ketika tangan Chanyeol menahan dadanya agar tidak bergerak.

Chanyeol merubah posisinya hingga ia berada di atas tubuh Yifan. Kedua tangannya ia jadikan penyangga agar tubuhnya tidak menghimpit tubuh Yifan. Sinar matahari lagi-lagi membuat kedua mata Yifan menyipit. Chanyeol tersenyum melihatnya dan membuat wajahnya sejajar dengan wajah Yifan sekaligus melindungi wajah itu dari terpaan sinar matahari.

"Ini mimpi, kan?" Kata Yifan yang akhirnya menemukan kembali suaranya.

Chanyeol tidak menjawab dan justru semakin melebarkan senyumannya. Yifan berusaha mencari jawaban pada kedua mata cemerlang di atasnya.

"Apa kau sudah mati dan sekarang sedang menghantui aku?" Ucap Yifan lagi. Ia begitu putus asa untuk mendengar jawaban Chanyeol.

Tawa renyah Chanyeol dari suaranya yang dalam menggema di telinga Yifan. Pemuda itu kemudian menundukkan kepalanya sedikit dan mengecup ujung hidung Yifan.

Kali ini Yifan memejamkan matanya ketika Chanyeol menundukkan kepalanya lagi dan mengecup bibirnya. Namun ketika Yifan membuka matanya, mata Chanyeol sudah basah dan memerah ketika cairan asin itu berjatuhan pada pipi Yifan di bawahnya.

Tubuh Yifan terguncang ketika pemuda itu membuka matanya dan wajahnya sudah basah oleh air matanya sendiri. Nafas pemuda itu memburu ketika ia melihat ke sekeliling kamarnya sendiri. Yifan jatuh tertidur di samping komputernya dan untuk ke sekian kali memimpikan Chanyeol.

Pemuda yang kini berusia 21 tahun itu mengepalkan kedua tangannya sebelum menyeka wajahnya menggunakan lengan kaosnya. Yifan meraih kotak rokok di sampingnya dan menyalakan sebatang. Keadaan kamar sempitnya itu gelap dan hanya cahaya dari layar komputernya yang menjadi satu-satunya penerangan. Entah sudah berapa jam Yifan tertidur dalam posisi itu namun bahunya yang kaku menjadi pertanda bahwa hal itu tidak sebentar.

Yifan menghisap ujung rokok yang terselip di antara jemarinya sebelum menghembuskan asapnya ke udara. Asap berwarna putih itu mengepul sebelum berpendar dan menghilang.

Saat ini tidur sudah bukan lagi kebutuhan utama bagi Yifan. Pemuda itu hanya akan menghabiskan waktu selama dua atau tiga jam setiap malamnya untuk memejamkan mata. Selebihnya ia habiskan untuk bekerja, membaca buku atau hanya sekadar memandangi dinding kamarnya sambil menikmati beberapa batang rokok. Yifan tidak butuh tidur –menghindarinya lebih tepatnya. Karena pada saat pemuda itu memejamkan matanya, Yifan akan jatuh pada mimpi, sebuah keadaan yang tidak bisa ia kendalikan. Tidak seperti ketika ia terjaga dan pemuda itu bisa melakukan banyak hal untuk mengalihkan pikirannya dari perasaan menyakitkan itu. Perasaan yang muncul setiap kali bayangan tentang Chanyeol mengisi pikirannya.

Yifan kadang merasa bahwa sebenarnya ia hanya memanfaatkan Chanyeol. Iya, memanfaatkan kesedihannya atas kehilangan pemuda itu untuk mengelak dari realita yang kini dihadapinya. Yifan keluar dari rumah, meninggalkan Ibunya, tidak melanjutkan pendidikannya, dan hidup tanpa tujuan di sebuah kamar sempit ini. Yifan merasa bahwa ia tidak berguna –bahkan pada dirinya sendiri. Mungkin Yifan bersedih karena menyesali hidupnya yang menyedihkan, tetapi ia menggunakan Chanyeol sebagai alasan setiap kali tenggorokannya tercekat atau dadanya yang sesak karena perasaan nyeri itu.

Maka Yifan mematikan nyala rokok yang sudah tinggal puntungnya itu di atas asbak sebelum menempatkan diri di hadapan komputer. Ia membuka sebuah folder yang ia simpan rapi di dalam kumpulan folder lainnya. Barisan file yang berisi hasil ketikannya itu berderet rapi dengan judul yang berurutan.

Pada bagian terakhir ini, Yifan ingin melakukannya untuk dirinya sendiri. Ia mengetikkan tentang bagaimana perjuangan si heroine menata kehidupannya kembali satu per satu dimulai dari hal yang paling kecil dan yang paling dalam –perasaannya. Karakter yang Yifan tuliskan di bagian terakhir novelnya itu memutuskan untuk memulai segalanya dari hal itu. Meskipun pilihan yang tersedia adalah bagaimana ia akan menggunakan perasaannya atau justru membuangnya jauh-jauh hingga kemudian tidak merasakan sama sekali. Yifan dan karakter di dalam novelnya tidak bisa memilih di antara kedua pilihan itu.

Tetapi semuanya tidak berjalan dengan semudah itu ketika jemari Yifan menari di atas keyboard komputernya, ia justru merasakan lembutnya surai hitam milik Chanyeol. Atau ketika matanya fokus pada layar komputer, ia akan merasa kedua mata Chanyeol berbalik menatapnya. Dan ketika Yifan akhirnya menyelesaikan baris terakhirnya, ia harus menyerah pada rasa kantuk yang enggan ia lawan.

Kali ini Yifan membuka matanya dan mendapati kepalanya bersandar pada sebuah bahu dengan leher kokoh di sampingnya. Lengan itu melingkar pada bahu Yifan, melindunginya dari terpaan angin yang terasa lebih kencang di atas atap seperti ini. Mereka berada di atap sekolah mereka di Seoul.

Yifan sudah akan mendongakkan kepalanya ketika lengan –yang ia duga adalah milik Chanyeol, menahannya agar tidak melakukan hal itu. Pagar kawat yang melingkari tempat itu bergoyang di terpa angin sementara langit terhuyung mendung.

"Apa kau bahagia?" Lagi-lagi Yifan lah yang membuka suara.

Namun Chanyeol tidak juga menjawab dan Yifan tidak bisa melihat ekspresi wajahnya. Yifan menunggu jawaban itu.

Karena jika saja jawaban Chanyeol adalah 'Ya, aku bahagia sekarang', mungkin Yifan sanggup melepaskannya. *)

.

.

.

Baekhyun mengernyit ketika ia melihat pintu ruang perawatan Chanyeol terbuka siang itu. Ia menyandarkan barang bawaannya di sisi pintu bagian luar sebelum melongok ke dalam. Senyuman Bibi Victoria adalah hal pertama yang menyapanya. Baekhyun mengulum bibir tipisnya dan membungkukkan badannya di hadapan wanita itu.

Chanyeol mendongak dari Kimchi Jiggae yang sedang dinikmatinya dan ikut tersenyum ketika melihat Baekhyun. Bibi Vic menawarinya untuk ikut bergabung makan siang bersama Chanyeol yang segera Baekhyun tolak karena ia tidak bisa berlama-lama.

Hari ini adalah hari terakhir Baekhyun menjalani masa Koasnya di rumah sakit itu sekaligus sesi terakhirnya bersama Chanyeol. Pemuda itu ikut duduk di sebuah sofa yang berada di ruangan itu dan menunggu hingga Chanyeol menyelesaikan makan siangnya sebelum mengutarakan hal itu.

Grafik perkembangan mental Chanyeol masih belum stabil. Ada kalanya pemuda itu bersikap seolah-olah keadaan mentalnya sudah bisa berfungsi seperti orang normal lainnya, namun sering kali pula Chanyeol akan kembali pada titik awal pemulihannya. Bibi Vic yang berkunjung hampir setiap hari cukup membantu perkembangan Chanyeol. Setidaknya Baekhyun berharap Chanyeol tidak berpikir bahwa ia benar-benar sendirian di dunia ini dan tidak memiliki siapa pun dengan kehadiran Bibi Vic di sampingnya.

Ketika Bibi Vic membereskan makan siang Chanyeol, Baekhyun berjalan keluar dan mengambil barang bawaannya tadi. Chanyeol memperhatikan setiap gerak-geriknya dengan seksama.

"Ini untukmu. Hadiah dariku. Hari ini adalah hari terakhirku bekerja di sini." Kata Baekhyun.

Chanyeol menerima hadiah dari Baekhyun dan membukanya.

"Jadi Dokter sudah tidak akan merawat Chanyeol lagi?" Tanya Bibi Vic sambil mengemasi barangnya. Jam besuk sudah hampir berakhir.

Ini mungkin hanya perasaan Baekhyun saja, tetapi pemuda itu bersumpah ia bisa melihat perubahan ekspresi pada wajah Chanyeol.

Baekhyun mengangguk untuk menjawab pertanyaan Bibi Vic. "Tapi masih ada Dokter Kim dan yang lainnya yang akan merawat Chanyeol. Bibi Vic tidak perlu khawatir."

Wanita itu tersenyum sebelum berpamitan pada kedua pemuda itu.

Setelah Bibi Vic meninggalkan ruangan itu, Baekhyun membuka jurnal yang sudah menemaninya sejak ia kuliah hingga menjalani Koas di mana jurnal itu berisi catatan-catatan yang ia buat dari pengalaman yang ia peroleh selama ini.

Chanyeol akhirnya berhasil membuka tas hitam yang menjadi bungkus hadiah itu. Sebuah gitar akustik berwarna cokelat berada di tangan Chanyeol.

"Kau suka?" Tanya Baekhyun. Ia membaca dari data diri Chanyeol yang ia dapat dari sekolah bahwa pemuda itu menyukai alat musik.

Chanyeol tersenyum ke arahnya. Lesung pipit di pipinya mencekung dan membuat Baekhyun ikut menarik bibirnya ke atas.

"Kau bisa memainkannya kalau kau mau. Aku akan mendengarkan." Kata Baekhyun seraya melipat kedua tangannya di dada.

Chanyeol mendengus ketika pada akhirnya ia memangku gitar itu dan memetikkan senar pada jemarinya. Chanyeol tidak pernah ingat bahwa ia bisa bermain gitar. Tetapi begitu jemarinya menyentuh benda itu, sebuah melodi terngiang di kepalanya.

"Cause you're sky, cause you're a sky full of star. I'm gonna give you my heart..." Chanyeol mulai memainkan gitarnya sambil menyanyikan sebuah lagu dengan suara lirih. Jari jemari pucatnya tampak dengan lincah memetik senar gitar dan membuatnya mengalunkan nada yang meneduhkan.

"...I don't care go on and tear me apart. I don't care if you do." Yifan dengan canggung hanya duduk mematung sementara Chanyeol terus memainkan gitarnya. Namun satu hal yang tidak mereka sadari adalah bagaimana mata keduanya saling terpaut sementara melodi-melodi itu mengisi setiap sudut kamar itu. **)

Chanyeol tiba-tiba menghentikan permainan gitarnya dan membeku. Baekhyun menunggu sebelum Chanyeol menatapnya dengan pandangan kebingungan.

"Kau baik-baik saja?" Tanya Baekhyun.

Chanyeol termangu selama beberapa menit, tenggelam dalam pikirannya sendiri sebelum akhirnya mengangguk. Pemuda itu meletakkan gitar di sampingnya sebelum memandang ke arah jendela yang menampakkan bunga sedap malam yang sudah layu dan kering.

"Jadi Dokter akan pergi dari tempat ini?" Tanya Chanyeol tanpa mengalihkan pandangannya pada pemandangan di luar kamarnya.

"Apa aku juga bisa melakukan hal yang sama?" Tanya Chanyeol lagi ketika Baekhyun belum sempat menjawab pertanyaan sebelumnya.

"Kau ingin keluar dari tempat ini?" Tanya Baekhyun.

Chanyeol menoleh dan menatap Baekhyun yang menyilangkan kakinya.

"Apa bisa?"

Baekhyun berusaha menawarkan senyuman sebelum ia bangkit dari sofa yang ia duduki dan menarik sebuah kursi di hadapan Chanyeol.

"Kau akan keluar dari tempat ini setelah kau sembuh." Kata Baekhyun.

"Memangnya aku sakit apa? Kapan aku sembuh?" Tanya Chanyeol. Mata besarnya menatap Baekhyun dengan penuh harap.

Pemuda yang kini berusia 25 tahun itu terlihat kesulitan untuk menjawab pertanyaan Chanyeol.

"Chanyeol, dengarkan aku... aku tidak akan menjelaskan kau sakit apa atau memastikan kapan kau sembuh dan keluar dari tempat ini, tapi aku ingin kau tahu..." Baekhyun menutup jurnalnya sementara Chanyeol memusatkan perhatian pada dokter muda di hadapannya.

"Di luar sana, orang-orang tidak menyukai rasa sedih yang berlebihan atau cara berpikir yang berbeda dengan mereka. Maka tidak peduli apapun yang mereka rasakan, hanya agar diterima di luar sana, orang-orang lebih memilih untuk menyembunyikan perasaan mereka yang sebenarnya, terutama kesedihan itu."

Chanyeol tertegun. Ia tidak mengerti. Namun apakah dengan tidak bersedih lagi maka ia bisa keluar dari tempat ini?

Dokter Byun Baekhyun merogoh saku jas putihnya dan mengeluarkan sebuah kotak berisi resep obat Chanyeol yang pada hari itu secara pribadi ia bawakan sendiri.

"Ini adalah resep terakhir dariku. Minumlah agar kau tidak bersedih lagi."

Chanyeol menatap kedua manik cokelat milik dokter di hadapannya sebelum meraih racikan beberapa pil itu. Telapak tangan dokter itu terasa dingin dan berkeringat ketika tangan Chanyeol bersentuhan dengannya ketika meraih obat itu. Chanyeol menenggak beberapa pil itu sekaligus tanpa melepaskan kontak matanya dengan Baekhyun.

.

.

.

"Ini kau?"

Yifan mengernyit ketika Luhan menyodorkan sebuah buku di hadapannya. Pemuda itu meraihnya sebelum membolak-baliknya sebentar dan meletakkannya kembali. Luhan mendengus melihat tingkah sahabatnya itu.

Setelah kesalahpahaman yang terjadi di antara mereka, Yifan memutuskan untuk meminta maaf pada Luhan beberapa minggu setelahnya. Sejak saat itu, Luhan lebih memilih untuk diam dan tidak mengomentari atau berusaha membujuk Yifan untuk mengubah kehidupan yang dijalaninya. Dan hingga saat ini, Luhan yang sudah hampir menyelesaikan kuliahnya hanya bisa mendukung kehidupan yang Yifan pilih.

Siang itu, Luhan dikejutkan oleh telepon dari Yifan yang memberitahukan bahwa saat ini ia sedang berada di Beijing. Sudah beberapa bulan ini Luhan tidak bisa mengunjungi Yifan di Nanjing karena kesibukannya sebagai mahasiswa semester akhir. Mereka bertemu di sebuah restoran di dekat tempat Luhan kuliah untuk makan siang bersama.

Dan menggunakan kesempatan itu, Luhan mengeluarkan sebuah novel yang tanpa sengaja ia temukan di antara rak buku bagian fiksi di sebuah toko buku ketika ia sedang mencari bahan untuk skripsinya. Entah karena penasaran atau memang Luhan merasa ada yang aneh dengan buku itu, ia memutuskan untuk membelinya dan bukannya membeli buku bisnis yang sesuai dengan jurusannya.

"Kenapa kau tidak memberitahu aku kalau kau sekarang juga menulis buku?" Tanya Luhan sambil memasukkan makanan ke dalam mulutnya.

Yifan menghela nafas. Tangannya memainkan kotak rokoknya dengan gelisah. Ia kurang beruntung karena area yang mereka tempati saat itu harus bebas dari asap rokok.

Setelah menghabiskan waktu selama hampir satu tahun untuk mengirimkan naskah ke beberapa penerbit, mengeditnya dan bernegosiasi dengan editor, Yifan berhasil menerbitkan sebuah novel yang ia tulis sendiri. Novel itu baru beredar beberapa bulan ini di beberapa toko buku dan penerbit sudah bersiap untuk menerbitkan cetakan kedua serta mengedarkannya ke seluruh toko buku di pelosok China.

"Kenapa aku harus memberitahumu?" Kata Yifan sambil meminum es Americano yang ia pesan.

Luhan mendecak kesal. Yifan menggunakan sebuah nama pena dan bukannya nama aslinya untuk menerbitkan buku itu. Namun Luhan sudah terlalu lama mengenal pemuda itu untuk tidak mengenali gaya bahasa dan isi cerita di novel itu. Luhan belum pernah membaca tulisan Yifan sebelumnya, tetapi ia tahu bahwa novel ini adalah milik sahabatnya itu.

"Aku senang melihatmu melakukan sesuatu." Kata Luhan –yang segera ia sesali saat itu juga.

"Kau mulai lagi." Desah Yifan. Pemuda itu menggerakkan kakinya di bawah meja sementara tangannya masih belum berhenti memainkan kotak rokok itu.

"Kau sebaiknya merokok di luar sebelum kau menghancurkan meja ini." Luhan yang mengetahui kegelisahan pemuda di hadapannya itu akhirnya tidak tahan lagi.

Yifan segera bangkit dari tempat duduknya untuk berjalan ke luar dan menyalakan rokoknya. Yifan bisa bernafas lega ketika kepulan asap itu bergumul di sekitar kepalanya.

Begitu Yifan kembali ke meja di mana ia duduk sebelumnya, sebuah undangan terpampang di atasnya. Luhan memberikan gestur agar pemuda itu membukanya.

"Ibumu akan menikah minggu depan. Ia ingin kau datang sebelum mereka pindah ke Shanghai."

Yifan membuka lipatan kertas itu dan membaca isinya. Ibunya sudah tidak akan menyandang marga yang sama dengannya.

"Aku akan mempertimbangkannya." Kata Yifan.

.

.

.

Yifan mematut pantulan dirinya di depan cermin sebelum memastikan penampilannya sudah cukup rapi. Ia sengaja membeli sebuah setelan jas baru dari uang yang ia terima dari royalti penjualan bukunya. Hari ini adalah hari pernikahan Ibunya. Yifan mengumpulkan tekad yang ada di dalam dirinya dan memberanikan diri untuk datang.

Sudah hampir 3 tahun sejak ia meninggalkan rumah dan Yifan belum pernah sekali pun menghubungi Ibunya. Pemuda itu sibuk mencari alasan agar ia tidak perlu memberitahukan keadaannya pada wanita itu. Namun hari ini, Yifan seolah ingin menegaskan sesuatu pada Ibunya. Ia ingin menunjukkan bahwa pilihan hidup yang Yifan jalani tidak salah.

Proses pemberkatan akan dimulai 30 menit lagi. Mrs. Wu sudah akan berangkat ke gereja ketika salah seorang temannya yang membantu jalannya acara hari itu memberitahukan bahwa ia kedatangan seorang tamu.

Mrs. Wu terlihat membeku ketika melihat sosok Yifan yang berdiri di hadapannya. Setelan jas berwarna hitam membalut tubuh pemuda itu. Namun bahkan tinggi tubuh Yifan tidak mampu menutupi pipinya yang semakin tirus dan lengannya yang mengecil.

"Yifan." Mrs. Wu berusaha menawarkan sebuah senyuman. Wanita itu menggigit pipi bagian dalamnya untuk menahan lelehan panas yang menggenang di pelupuk matanya.

Putra semata wayang yang ia besarkan seorang diri itu memandangnya dengan teduh sebelum membalas senyumannya. Mrs. Wu yang sudah tidak bisa berpura-pura lagi kemudian menghamburkan diri dan memeluk putranya.

"Mama akan merusak make upnya." Ujar Yifan dengan nada datar ketika Mrs. Wu sesenggukan di dadanya.

Bagaimana Mrs. Wu bisa menahan tangisannya ketika ia akhirnya bertemu dengan orang yang hari ini ia paling tunggu kedatangannya.

"Maafkan Mama, Yifan." Kata Mrs. Wu –entah untuk apa.

Yifan juga tidak bisa membalasnya dan ia hanya bisa mengeratkan pelukannya pada tubuh Ibunya itu.

Ketika acara pemberkatan di gereja selesai, acara dilanjutkan dengan resepsi yang diadakan di sebuah gedung di pusat kota Nanjing. Yifan tidak berniat untuk mengikuti acara resepsi itu dan memilih untuk berpamitan pulang ketika Mrs. Wu menahannya.

Mrs. Wu mengamati baik-baik putranya yang sudah tumbuh menjadi laki-laki dewasa itu.

"Mama mendengar dari Luhan kalau kau sudah bekerja sekarang." Kata Mrs. Wu sambil meraih kedua tangan Yifan, meremasnya pelan.

Yifan mengangguk dan tidak ingin menjelaskan lebih lanjut.

"Mama senang dan bangga mendengarnya." Mrs. Wu melepaskan salah satu tangannya dari tangan Yifan untuk menyeka air mata yang berjatuhan di wajahnya.

"Yifan ikut bahagia atas pernikahan Mama." Ucap Yifan sebelum Mrs. Wu memeluknya.

"Maafkan Mama, Yifan."

Yifan terdiam. Ia tidak datang untuk menerima permintaan maaf.

.

.

.

Ketukan pintu di ruangannya membuat Chanyeol terlonjak dari tempatnya duduk. Hari ini pengacara Kangin berjanji untuk mengajaknya makan siang di luar dan berkeliling ke beberapa tempat. Chanyeol sudah dipindahkan dari Poli Kejiwaan ke sebuah tempat rehabilitasi mental sejak satu tahun yang lalu. Pemuda itu mengalami perkembangan pesat dan bahkan membuat para dokter seratus persen yakin bahwa Chanyeol sudah siap untuk menjalani kehidupan normal di luar sana.

"Kau sudah siap?" Pengacara Kangin yang selama ini mengurusi berbagai urusannya bersama Bibi Vic hari itu memakai pakaian yang lebih kausal dibanding dengan penampilan sehari-harinya yang selalu memakai jas.

Chanyeol tersenyum lebar dan mengangguk antusias. Ia sudah menantikan hari ini dari seminggu yang lalu. Bibi Vic bahkan ikut antusias dan membawakannya pakaian baru.

Setelah mengendarai mobil selama hampir lima belas menit, mereka akhirnya tiba di sebuah toko buku yang cukup luas dan bahkan ada beberapa restoran yang tersedia di lantai bawah.

"Kau suka membaca buku?" Tanya Kangin pada Chanyeol yang mengedarkan pandangannya begitu mereka memasuki toko buku itu.

Chanyeol menggeleng cepat. Kangin tertawa melihatnya.

"Ini adalah salah satu jaringan toko buku yang menjadi bagian dari perusahaan milik Ibumu." Jelas Kangin memulai penjelasannya.

"Mungkin kita sebaiknya berbicara sambil makan siang. Kau mau makan apa?" Tanya Kangin.

Chanyeol menunjuk sebuah restoran yang menjual Ayam cepat saji. Kangin mengangguk dan mengikuti Chanyeol yang sudah berjalan mendahuluinya.

"Apa kau sudah berpikir untuk mempelajari sesuatu kalau kau keluar dari tempat rehabilitasi?" Tanya Kangin sambil menunggu pesanan mereka datang.

Chanyeol terlihat berpikir sebentar sebelum menggeleng.

"Kalau kau bersedia, aku sudah menyiapkan beberapa hal untukmu."

Chanyeol mendengarkan dengan seksama.

"Kau bisa mengambil program homeschooling untuk menyelesaikan pendidikan SMA-mu. Lalu kau bisa kuliah di kampus swasta dan... melanjutkan bisnis Ibumu." Lanjut Kangin.

Chanyeol menggigit bibir bawahnya. Ia kemudian tersenyum pada Kangin yang memperhatikan setiap gerak geriknya.

"Aku bersedia. Aku akan senang melakukannya." Kata Chanyeol dengan antusiasme di wajahnya.

Kangin ikut tersenyum dan mempersilahkan Chanyeol untuk menikmati makanannya.

Salah satu cara agar bisa keluar dari tempat rehabilitasi adalah dengan tidak bersedih. Dan Chanyeol sudah belajar dengan cukup agar tidak bersedih. Agar ia diterima orang lain. Dokter Baekhyun mengajarinya seperti itu kan?

.

.

I know that we're surefire

.


*) bagian dari mimpi Yifan
**) flashback

Continue Reading

You'll Also Like

232K 34.9K 63
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
79.3K 6.7K 15
Sehun tak pernah menyangka karena kecelakaan yang ia alami bersama dengan Kim Shixun, istri dari Kim Jongin, membuat dirinya terjebak menjadi istri p...
128K 10K 87
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
1M 84.2K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...