PARADISE

By mtch_n

33.2K 3.7K 282

Published in ffn at Sept 8, 2016. Yifan dan Chanyeol adalah sebuah kekacauan. Sanggupkah mereka menyelamatkan... More

FALLEN LEAVES
Lighter
The Dusk
Hazy
Fuzzy
High
Home
A Sky Full of Stars
Tremble
Stay With Me
Your Eyes
Solace
Let Me Love You
Cold Water
What is Love?
Freal Luv
If I Have
Cave Me In
Love Me Right
Paradise
Love is a Dog from Hell
The Night in Questions
Surefire
Kotonoha no Niwa (Garden of Words)
One More Time, One More Chance
Sometimes, Somewhere
Cinta Tak Pernah Tepat Waktu
Si Me Amas, Serva Me
Sebuah Akhir

Yang Fana adalah Waktu

816 110 7
By mtch_n

Yang fana adalah waktu. Kita abadi.

Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari

Kita lupa untuk apa

.

.

Bukankah lebih menyenangkan ketika kita bisa menyalahkan keadaan –dan waktu, atas apa yang terjadi daripada mengakui bahwa semuanya terjadi karena memang seperti itulah harusnya. Bukankah semua terasa lebih baik ketika ada yang bisa disalahkan, daripada harus mengatakan itu karena ya itulah takdir.

Wu Yifan menenggak secangkir kopi yang sudah dingin di mejanya sebelum kembali fokus pada layar komputer di hadapannya. Selain rokok dan alkohol, kafein juga sudah menjadi bagian dari pemuda yang kini berusia 19 tahun itu. Ketiga benda itu seperti sudah tidak bisa terpisahkan darinya dan Yifan seperti tidak bisa hidup tanpanya. Setelah diberhentikan dari pekerjaannya sebagai seorang pelayan di sebuah Cafe, kali ini Yifan resmi menjadi seorang penulis penuh waktu. Tidak ada spesifikasi tulisan apa yang ia hasilkan, ia bisa menulis apapun yang orang lain minta asalkan mereka bisa membeli tulisannya dengan layak. Meskipun pemuda itu tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, tetapi berkat hobinya yang suka membaca, tidak ada kesulitan baginya untuk menghasilkan sebuah tulisan –baik artikel biasa maupun opini.

Salah satu alasan yang membuat Yifan berhenti –atau diberhentikan dari pekerjaannya sebelum ini bukan karena ketidakmampuannya mengantarkan makanan dari dapur kepada pelanggan yang sudah menunggu dengan perut lapar, tetapi karena pengendalian emosinya yang kurang. Ketika pekerjaan mengharuskannya untuk bersikap ramah pada pelanggan, ia justru bersikap dingin dan lebih banyak bekerja dalam diam. Ia juga tidak tahan ketika manajer atau pelanggan membuatnya melakukan berbagai hal. Itulah sebabnya pemuda itu sedikit bersyukur ketika mereka memutuskan untuk memecatnya. Toh ia juga sudah mempunyai pekerjaan lain yang lebih cocok untuknya.

Dengan menulis, Yifan sudah berhasil mengumpulkan uang dan mengganti macbook usangnya dengan sebuah komputer yang mendukungnya dalam bekerja. Pekerjaan itu juga tidak menuntut Yifan untuk datang ke kantor dan sebagainya, ia bisa menyelesaikannya di rumah –atau kamar sempit yang ia sewa. Semakin sedikit berkontak dengan orang lain, semakin tenang Yifan dibuatnya.

Malam itu Yifan baru saja menyelesaikan deadlinenya ketika ia mendengar sebuah ketukan di pintu. Yifan awalnya berniat untuk mengabaikannya –bisa jadi hanya orang salah kamar atau apa, ini sudah jam 2 pagi dan ia tidak mengharapkan siapa pun menjadi tamunya, namun ketukan di pintu justru semakin keras. Dengan enggan Yifan akhirnya bangkit dan membuka kuncian pada kenopnya.

Xiao Lu atau yang biasa dipanggil Luhan hanya bisa meringis ketika Yifan memandangnya dengan alis bertaut. Pemuda itu harus menyelesaikan kelasnya hingga sore hari sebelum mengambil penerbangan terakhir dari Beijing menuju Nanjing untuk menemui sahabatnya yang keras kepala itu.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Yifan dengan kantung mata terlihat jelas di wajahnya.

Luhan mengangkat bahunya dan tanpa menunggu dipersilahkan melepas sepatunya dan masuk ke dalam tempat tinggal Yifan.

"Aku ingin menghabiskan akhir pekan di sini." Kata Luhan sambil meletakkan tas ranselnya.

Yifan hanya bisa menghela nafas dan mengunci kembali pintu kamarnya sebelum menyusul Luhan. Sahabatnya yang kini sedang berkuliah di sebuah universitas di Beijing itu memang sering mengunjunginya ketika akhir pekan atau ketika ia mempunyai waktu luang. Yifan tidak meragukan ketulusan pemuda itu, namun melihat usaha yang Luhan lakukan justru membuatnya sering kesal. Ia tidak ingin dikasihani karena dengan sikap Luhan yang seperti ini justru membuatnya merasa menyedihkan. Tetapi Yifan tidak mengutarakan pemikirannya, karena ia benar-benar tidak ingin berdebat dengan pemuda itu.

"Jadi apa kesibukanmu sekarang?" Tanya Luhan sembari menyapukan matanya untuk melihat bentuk tempat tinggal sahabatnya.

Yifan sudah lelah dan ia sedang tidak mood untuk berbasa-basi. Pemuda itu menata kantung tidur yang biasa ia lipat dan keluarkan ketika akan tidur saja sebelum membaringkan tubuh di atasnya. Kening Luhan berkerut karena ia sudah datang jauh-jauh dari Beijing dan hanya diabaikan.

"Aku menulis sekarang." Jawab Yifan pada akhirnya.

Luhan menganggukkan kepalanya. Ia sedikit bernafas lega Yifan tidak memutuskan untuk bekerja sebagai pengedar narkoba atau sejenisnya.

"Baguslah. Kau menulis fiksi atau..."

Yifan melemparkan sebuah kantung tidur pada Luhan, secara isyarat menyuruhnya agar segera tidur juga.

"Aku hanya menulis artikel biasa." Jawab Yifan lagi. Ia benar-benar sudah ingin tidur sekarang.

"Kau yakin tidak mau ikut aku ke Beijing saja? Kau bisa mencari pekerjaan di sana." Kata Luhan untuk kesekian kali.

"Night, Luhan." Yifan memiringkan tubuhnya dan memunggungi Luhan yang mengerucutkan bibirnya.

.

.

.

Keesokan harinya, setelah mendapatkan tidurnya, Yifan tersadar dan mendapati kamarnya itu dalam keadaan jauh lebih bersih dan rapi dari sebelumnya. Yifan melirik ke arah jarum jam yang menunjukkan pukul 11 siang. Tempat yang Yifan sewa itu hanya terdiri dari ruang utama –yakni ruang tidur sekaligus ruang kerjanya, dapur kecil yang hanya bisa dimasuki satu orang, dan sebuah toilet sekaligus tempat mandi. Pemuda itu tidak menemukan Luhan di salah satunya. Yifan menghampiri kulkas mininya untuk mengambil sekaleng bir ketika tempat pendingin itu sudah penuh dengan bahan makanan sehat dan tidak instan seperti yang Yifan konsumsi.

Tak berapa lama kemudian Luhan masuk kembali ke apartemen sambil menenteng dua kantung plastik berisi makan siang dan beberapa kebutuhan yang mungkin Yifan bisa gunakan. Yifan memandanginya dengan kedua alis saling bertaut.

"Apa Mama yang menyuruhmu melakukan semua ini?" Tanya Yifan yang sudah tidak tahan dengan sikap Luhan.

Pemuda yang diajak bicara itu mendengus dan mengeluarkan makanan yang baru saja ia beli.

"Kau meragukan aku? Mrs. Wu tidak mengatakan apapun. Kau sebaiknya meneleponnya sesekali."

Luhan menyodorkan semangkuk pho pada Yifan yang menyesap birnya.

"Dan berhenti minum bir setelah bangun tidur seperti ini. Kau terlihat seperti Pak Tua yang menyedihkan." Ujar Luhan tanpa memandang Yifan.

"Kau mungkin juga ingin bersiap untuk nanti malam." Tambahnya.

Yifan meletakkan birnya dan meraih hidangan mie kuah itu. "Nanti malam?"

Luhan mengangguk seraya memasukkan makanan ke dalam mulutnya.

.

.

.

Malam itu, Luhan melarang Yifan untuk bekerja dan sesekali pergi keluar dari kamar sempitnya itu. Ia mengajak Yifan ke sebuah klub malam yang berada di tengah kota Nanjing. Yifan yang tidak terlalu suka keramaian akan mengeraskan rahangnya setiap kali beberapa orang tanpa sengaja menabraknya atau bersenggolan dengannya. Suara bising yang keluar dari musik yang diputar oleh seorang DJ sungguh memekakkan telinga. Namun salah satu hal yang membuat Yifan tinggal adalah ia bisa meminum alkohol dengan varian berbeda dari yang ia beli di rumahnya. Yifan mendengus pada dirinya sendiri setiap kali menyebut kamar sempitnya itu rumah.

Mereka berdua duduk di tepi bar ketika seorang bartender menawari pesanan mereka. Yifan memesan tequila sebagai pemanasan sementara Luhan hanya memesan bir.

"Bagaimana kuliahmu?" Tanya Yifan ketika minuman itu membakar tenggorokannya.

Luhan sedikit terkesiap ketika Yifan menanyakan keadaannya. Ia pikir sahabatnya itu sudah tidak peduli lagi padanya. Sejak kepindahannya dari Korea, Luhan merasa bahwa sikap Yifan berubah drastis. Memang sejak awal pemuda itu pendiam dan cenderung tertutup, namun ia bisa bersikap terbuka di hadapan Luhan. Tetapi sejak Yifan datang ke Nanjing, ia menjadi lebih dingin dan hingga saat ini, Luhan hanya bisa mendengar cerita dari Mrs. Wu.

"Kau mau mendengar versi bahagia atau versi sedihnya?" Kata Luhan memainkan gelas birnya.

Yifan mendengus dan memesan segelas vodka murni.

"Kuliah tidak seperti yang aku bayangkan. Aku kira aku akan mendapatkan banyak pacar dan berpesta setiap hari, tapi nyatanya aku tenggelam pada tugas-tugas itu." Keluh Luhan seraya mengedarkan pandangannya ke arah lantai dansa yang cukup ramai itu.

"Kau mau turun?" Tanya Luhan.

Yifan menggeleng dan menghabiskan pesanannya tadi. Pemuda itu memejamkan matanya ketika rasa panas mulai mengalir ke seluruh tubuhnya. Luhan menepuk bahu Yifan beberapa kali sebelum ia menghilang menuju lantai dansa.

Yifan kembali memesan segelas tequila setelah itu. Meskipun ia begitu menggemari alkohol, tetapi ia tidak ingin mabuk berat malam ini. Tidak di tempat ini.

Namun Yifan mengernyit ketika bartender menyodorkan sebuah minuman yang jelas-jelas bukan pesanannya.

"My treat." Kata seseorang yang tanpa dipersilahkan sudah menempati tempat Luhan sebelumnya.

Yifan menoleh dan mendapati seseorang tersenyum –menyeringai ke arahnya. Pemuda berbibir tipis dengan kedua sudut mata tajam itu menampakkan deretan gigi-gigi kecilnya ketika membuka mulutnya.

"Tequila, Vodka, dan Tequila lagi bukanlah urutan yang benar untuk menikmati alkohol." Lanjutnya.

Yifan mengacuhkannya dan justru meraih minuman yang dipesankan orang asing itu. Tidak ada kecurigaan apapun mengenai motif dari traktiran pemuda itu padanya, toh jika terjadi sesuatu padanya, ada Luhan yang di tempat itu.

"Huang Zhitao –tapi kau bisa memanggilku Tao saja." Pemuda yang Yifan tahu lebih muda darinya itu menyodorkan tangan kanannya.

Yifan terlihat ragu sebelum akhirnya membalas jabatan tangan itu. "Kris." Ucapnya tanpa berpikir panjang.

Efek dari alkohol yang diminumnya sudah mulai bereaksi ketika kepala Yifan terasa ringan dan moodnya lebih bagus dari sebelumnya.

"Yang baru saja kau minum adalah Rum..."

Yifan tidak peduli dengan nama minuman yang masuk ke dalam mulutnya. Selama itu mengandung alkohol atau kafein, Yifan dengan senang hati menenggaknya.

Tao sepertinya cukup memiliki pengetahuan mengenai alkohol dilihat dari bagaimana ia menjelaskan setiap gelas yang bartender itu sodorkan pada mereka. Selain itu ia juga cukup ramah dan banyak bicara sehingga Yifan hanya perlu menanggapi dengan menangguk atau mendengus.

Kepala Yifan rasanya sudah mulai berkabut ketika Tao mendekatkan tempat duduk padanya dan bahkan mulai meletakkan tangannya di atas paha Yifan. Pemuda itu tidak keberatan, dan meskipun terlihat lebih muda, Tao cukup menarik baginya.

Dan entah bagaimana jadinya, mereka berakhir di salah satu kubik toilet saling melumat bibir satu sama lain. Ini adalah kontak Yifan yang paling intim dengan orang lain sejak meninggalkan Korea. Nafas keduanya terengah ketika bibir mereka terlepas dan Tao mulai menyentuh ikat pinggang Yifan berniat untuk melepaskannya.

"Luhan tidak memberitahuku kalau kau adalah seorang pencium yang ulung." Bisik Tao tepat di samping telinga Yifan yang sontak membuat pemuda yang sudah setengah mabuk itu mendorong tubuhnya.

Tao yang baru menyadari kesalahannya berusaha menahan Yifan ketika pemuda itu sudah melangkah keluar dari toilet dengan perasaan campur aduk. Ketika Yifan melangkah keluar dari klub malam, terdengar langkah kaki mengikutinya sebelum sebuah tangan menahan lengannya.

"Yifan, tunggu." Luhan berusaha menghentikan pemuda itu ketika tangannya justru ditampik dengan kasar.

"Berhenti mengasihaniku seperti ini. Kau tidak punya hak apapun dalam hal ini, Luhan." Kata Yifan tanpa sadar menaikkan nada suaranya.

"Aku hanya ingin kau rileks sebentar. Kau hidup terlalu serius sejak pindah dari Korea." Kata Luhan berusaha membela diri.

Pemuda itu awalnya memang mengajak Yifan ke klub malam untuk membuatnya rileks dan sebuah ide muncul membuatnya berusaha mendekatkannya pada seseorang yang ia kenal di Nanjing.

"Itu bukan urusanmu." Hardik Yifan.

Yifan berbalik dan berjalan menjauh ketika Luhan masih mengejarnya.

"Apa kau akan terus mengingatnya dan menyiksa hidupmu sendiri seperti ini?" Kata Luhan belum menyerah.

Yifan berhenti tiba-tiba dan membalikkan tubuhnya untuk menatap nyalang pada sahabatnya itu.

"Aku kira kau mengerti." Ada kemarahan dalam raut wajah pemuda yang lebih tinggi itu.

"Mengerti apa, Yifan? Kau tidak pernah menceritakan apapun padaku dan sekarang kau berharap aku mengerti?" Luhan menatapnya dengan tidak percaya.

Yifan mengepalkan kedua tangannya. Kepalanya terasa pening akibat efek alkohol dan amarah yang tiba-tiba menguasai dirinya. Namun bagian dari diri Yifan yang masih bisa berpikir sehat menyuruhnya agar meninggalkan tempat itu sebelum ia melakukan hal yang akan ia sesali nantinya.

"Maafkan dirimu sendiri, Yifan. Dia bukan tanggung jawabmu. Kau tidak bisa menyiksa dirimu sendiri hanya karena kau merasa bersalah padanya." Ucap Luhan sebelum Yifan berjalan lebih cepat dan menjauh darinya.

.

.

.

Yifan sudah setengah berlari ketika tetes-tetes panas itu berjatuhan dari matanya. Pemuda itu terus menyekanya ketika lampu jalanan yang dilaluinya memantul pada wajahnya yang basah. Sesuatu yang pemuda itu berusaha tahan hingga dadanya kebas dan seperti mati rasa mulai muncul ke permukaan mengacaukan emosi yang ia kubur dalam-dalam.

Sudah berbulan-bulan Yifan bertahan dan mengabaikan berbagai emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. Namun malam ini Yifan akhirnya menyerah hingga kaki panjangnya tidak mampu lagi menahan beban tubuhnya dan membuat tubuhnya jatuh berlutut di sebuah trotoar jalan yang sudah lengang. Cairan panas itu tidak berhenti meluncur dan membasahi wajahnya seberapa keras Yifan menyekanya menggunakan lengan kaosnya.

Tahu apa orang-orang itu mengenai apa yang dirasakannya. Bagaimana bisa mereka menyuruhnya untuk melanjutkan hidupnya begitu saja. Melupakan Korea. Mematikan Chanyeol-nya. Yifan sungguh naif karena mengira orang-orang itu akan mengerti kesedihannya.

Maka malam itu Yifan bangkit dan begitu sampai di kamar sempitnya ia segera menyalakan komputernya dan membuka halaman kosong. Dengan membabi buta pemuda itu menggerakkan jemari lincahnya pada keyboard dan mulai mengetikkan kalimat-kalimat yang seperti muntahan dari kepalanya.

Jika orang-orang itu ingin Yifan membunuh Chanyeol dalam pikirannya, maka pemuda itu akan melakukan hal yang sebaliknya. Ia akan membuktikan pada orang-orang itu bahwa Chanyeol-nya akan terus hidup –ia akan menghidupkan Chanyeol. Bunyi keratak keras memenuhi kamar sempit itu ketika jemari Yifan beradu dengan keyboard komputernya. Pemuda itu akhirnya berhenti ketika halaman yang semula kosong itu berhenti di lembar ke 27. Nafasnya terengah. Yifan menyangga kepalanya yang terasa berat pada tangannya.

Dengan langkah gontai, Yifan bangkit dan melucuti pakaiannya satu per satu. Waktu sudah menunjukkan pukul 02.30 ketika kucuran air dari shower membasahi ujung kepala hingga ke ujung kakinya. Air dingin itu mengalir deras dan seolah memijat bahunya ketika bayangan familiar terlintas di kepalanya.

Chanyeol-nya. Yifan menyebut seolah Chanyeol adalah miliknya. Tapi setidaknya bayangan Chanyeol yang tersenyum lebar padanya dengan matanya yang cemerlang adalah miliknya.

Yifan memejamkan matanya. Ingatannya menari pada bibir Chanyeol yang ranum dengan warna kemerahan, atau lehernya yang kokoh dan mengeluarkan suara dalamnya. Suara itu—Yifan mulai menyentuh dirinya sendiri ketika kepalanya dipenuhi oleh Chanyeol.

.

.

.

Baekhyun menundukkan kepalanya ketika ia menyerahkan laporan sesi terakhirnya dengan Chanyeol sebelum akhirnya pemuda itu mengalami hiperventilasi. Dokter Kim beberapa kali mengernyitkan dahinya membaca hasil rangsangan yang mereka cobakan pada pasien yang masih belum mereka diagnosa menderita gangguan kejiwaan apa. Mereka masih memberikan dugaan sementara bahwa Chanyeol hanya linglung akibat amnesianya.

Sebuah ketukan di pintu ruangan kerja Dokter Kim membuat kedua orang itu mendongak. Dokter Kim mempersilahkan tamunya masuk dan dua orang laki-laki berjas rapi menyapa mereka. Dua orang itu memperkenalkan diri sebagai pengacara dari Mrs. Park yang merupakan Ibu kandung Chanyeol. Baekhyun sudah akan undur diri untuk memberi mereka privasi ketika Dokter Kim menahannya dan membuatnya tinggal.

Salah seorang pengacara –yang Baekhyun ketahui bernama Kangin menyerahkan setumpuk berkas ke hadapan Dokter Kim yang segera meneliti isinya.

"Ini adalah rekam medis Chanyeol yang berhasil kami dapatkan dari sekolah dan klinik tempat Chanyeol memeriksakan diri sebelumnya." Kata Kangin menjelaskan.

"Maksudmu Ayahnya yang menyuruhnya untuk memeriksakan diri?" Tanya Dokter Kim mengoreksi, karena ia tidak percaya seorang remaja dengan sukarela memeriksakan diri ke psikiater.

Kangin mengangguk. "Kami juga sudah menghubungi seseorang yang dulu menjadi pengasuh Chanyeol. Kami berharap hal ini dapat membantu perkembangan kesehatan Chanyeol. Kami akan membantu sebisa mungkin untuk membuat Chanyeol bisa hidup normal kembali."

Kali ini Dokter Kim yang mengangguk. "Kami tidak bisa menjanjikan pasien itu bisa hidup dengan normal kembali jika melihat latar belakang yang dilaluinya saat ia mulai mengingatnya."

"Kami juga berpikiran hal yang sama. Kami pikir Chanyeol justru tidak akan bisa berkembang jika ia mengingat kembali kehidupannya sebelum ini. Untuk itu kami ingin agar Dokter lebih memfokuskan kepulihannya hidup seperti orang normal pada umumnya daripada memintanya untuk mengingat masa lalunya. Kami sadar bahwa suatu saat nanti ingatannya akan kembali dan itu akan menghancurkannya, tapi kami akan bersiap jika hal itu terjadi." Jelas Kangin.

Baekhyun mendengarkan dengan seksama. Jadi mereka secara tidak langsung ingin agar Chanyeol tetap melupakan masa lalunya dan memulai kehidupan baru begitu saja? Dengan lembaran kosong di kepalanya?

"Kami mengerti. Kami akan berusaha maksimal untuk memulihkan kondisi psikis pemuda itu."

"Apakah kami bisa menemui Chanyeol sekarang?" Tanya Kangin.

Dokter Kim menoleh pada Baekhyun yang segera menggeleng. Ia tidak yakin bahwa pemuda itu siap menerima tamu mengingat apa yang baru saja terjadi dengannya.

"Mungkin sebentar saja. Aku akan mengantarkan kalian." Kata Dokter Kim sembari beranjak. Baekhyun mengekor di belakang ketiga orang itu.

.

.

.

Kedua orang pengacara itu ternyata juga sudah membawa serta pengasuh yang mereka sebut di ruangan Dokter Kim sebelumnya. Dua hari semenjak sesi itu dan Baekhyun yang tiba-tiba kehilangan kepercayaan dirinya sebagai dokter belum melihat keadaan Chanyeol lagi. Ketika mereka mengetuk pintu kamar Chanyeol sebelum membukanya, pemuda itu terlihat sedang menikmati tayangan kartun di layar tv. Salah seorang pengacara yang mendampingi Kangin memilih untuk tinggal di luar.

Baekhyun menelan ludahnya ketika tatapan kosong Chanyeol menyapa mereka. Pemuda itu terlihat kebingungan ketika ada banyak orang di ruangannya.

"Chanyeol-goon?" Wanita pengasuh yang memperkenalkan diri sebagai Bibi Vic sebelumnya itu menyapa Chanyeol yang menatapnya tanpa berkedip.

Tidak ada emosi pada raut wajah itu. Namun ada rasa keingintahuan di matanya.

Ketiga orang itu hanya memperhatikan ketika Bibi Vic mendekati Chanyeol yang duduk bersila di tempat tidurnya. Wanita itu duduk perlahan di tepi ranjang sebelum mengangkat tangannya untuk menyentuh puncak kepala Chanyeol. Namun pemuda itu justru berjengit dan berusaha melindungi kepalanya seolah ia akan disakiti.

Kangin menatap Dokter Kim yang memperhatikan dengan seksama kejadian itu.

"Chanyeol-goon, ini Bibi Victoria." Wanita itu menurunkan tangannya dan mengurungkan niatnya untuk menyentuh Chanyeol.

"Apa Bibi tahu kenapa Ibuku bunuh diri?" Tanya Chanyeol dengan ekspresi datar di wajahnya.

Semua orang di ruangan itu sama sekali tidak menduga dengan pertanyaan yang Chanyeol lontarkan.

.

.

.

"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?" Tanyamu. Kita abadi.

.

.


Sub-judul dan puisi dikutip dari puisi berjudul Yang Fana Adalah Waktu dalam buku kumpulan puisi " Hujan Bulan Juni " oleh Sapardi Djoko Damono.

Continue Reading

You'll Also Like

61.5K 6K 59
[Spin off of I Was The Evil Witch] Tidak mungkin! Aku bergegas keluar dari kamar mewah itu, kaki kecilku berlari tanpa arah dan tujuan, mencari jawab...
Our Baby By kiya

Fanfiction

25.1K 3.3K 19
SeKai / HunKai FanFiction Homophobic? Please stay away!
17.5K 2K 17
Kim Jongin seseorang yang berusaha mengembalikan cahaya dihidup Oh Sehun yang telah redup karena sebuah tragedi. KAIHUN! GENDERSWITCH FOR UKE! Maaf g...
106K 18.1K 187
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...