PARADISE

By mtch_n

33.2K 3.7K 282

Published in ffn at Sept 8, 2016. Yifan dan Chanyeol adalah sebuah kekacauan. Sanggupkah mereka menyelamatkan... More

FALLEN LEAVES
Lighter
Hazy
Fuzzy
High
Home
A Sky Full of Stars
Tremble
Stay With Me
Your Eyes
Solace
Let Me Love You
Cold Water
What is Love?
Freal Luv
If I Have
Cave Me In
Love Me Right
Paradise
Love is a Dog from Hell
The Night in Questions
Yang Fana adalah Waktu
Surefire
Kotonoha no Niwa (Garden of Words)
One More Time, One More Chance
Sometimes, Somewhere
Cinta Tak Pernah Tepat Waktu
Si Me Amas, Serva Me
Sebuah Akhir

The Dusk

1.2K 158 6
By mtch_n

Hari sudah gelap ketika Chanyeol memasuki gerbang rumahnya. Ia segera disambut seekor anjing jenis Golden Retriever yang menggonggong dengan penuh semangat begitu melihatnya. Chanyeol tersenyum melihat anjing yang sudah ia pelihara sejak usianya masih 10 tahun. Ekor Kukkie –nama anjing itu bergoyang-goyang ketika Chanyeol mengelus kepalanya. Mata pemuda berusia 17 tahun itu melirik ke arah garasi mobil yang terlihat masih kosong.

"Tuan mau makan malam sekarang atau menunggu Tuan Park pulang?" Tanya seorang pelayan yang membukakan pintu untuknya. Chanyeol hanya menggeleng sebagai jawaban. Ia memasuki kamarnya yang terletak di lantai dua dengan diikuti Kukkie.

"Kau di luar saja malam ini, oke?" Chanyeol berbicara pada anjingnya itu sambil menutup pintu kamarnya tanpa membiarkan Kukkie masuk.

Dengan helaan nafas panjang Chanyeol melempar tas ranselnya di lantai dan membuka lemari untuk mengganti seragamnya dengan sebuah boxer dan kaos tanpa lengan. Kemudian ia menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Hari ini adalah hari yang panjang. Pemuda itu sudah akan terlelap dalam tidurnya ketika ia mendengar seseorang mengetuk pintu kamarnya. Belum sempat Chanyeol menjawab ketukan pintu itu atau beranjak dari tempat tidurnya, pintu kamarnya sudah terbuka dan menampakkan seorang laki-laki paruh baya dengan pakaian jas lengkap membungkus tubuhnya berdiri di pintu kamar Chanyeol.

"Ayo makan malam." Kata laki-laki itu dengan tatapan dingin.

"Aku tidak lapar." Chanyeol sungguh enggan meninggalkan tempat tidurnya yang nyaman.

"Jangan buat aku mengatakannya dua kali, Park Chanyeol."

Mendengar hal itu, Chanyeol segera beranjak dari tempat tidurnya dan mengikuti laki-laki –Ayahnya ke ruang makan. Mereka menikmati makan malam dalam diam. Tidak ada percakapan sama sekali, hanya suara sumpit atau sendok yang berbenturan dengan piring yang menghiasi ruang makan itu. Chanyeol sesekali akan mengernyit ketika potongan Kimchi yang ia makan menyentuh sudut bibirnya yang robek.

"Aku sudah selesai," Chanyeol meletakkan sumpitnya hanya setelah menghabiskan beberapa suapan nasi dengan Kimchi saja. Ia kemudian beranjak dari tempat duduknya tanpa menunggu jawaban dari sang Ayah.

-

-

-

Ketika Chanyeol memasuki TK di usianya yang ke 6, ia baru mengerti bahwa pengasuhnya yang selama ini merawatnya itu bukan Ibunya. Ia terus bertanya kepada pengasuhnya itu kenapa ia memanggilnya dengan panggilan Bibi sementara teman-temannya memanggil Ibu kepada orang-orang yang mengantarkan mereka ke sekolah.

"Kalau kau ingin aku menjawabnya, kau harus berjanji untuk tidak menanyakan ini kepada Ayahmu, oke?" Bibi Vic menyodorkan jari kelingkingnya pada Chanyeol yang segera mengaitkannya dengan jari kelingking kecil miliknya.

"Kenapa aku tidak boleh bertanya pada Ayah?"

"Karena Ayahmu nanti akan sedih kalau kau bertanya tentang Ibumu." Bibi Vic menjelaskan.

Chanyeol mengangguk.

"Ibumu meninggal ketika melahirkanmu. Itulah sebabnya selama ini kau belum pernah bertemu dengannya. Bibi Vic merawatmu setelah Ibumu meninggal. Tapi meskipun Bibi Vic bukan Ibumu, tapi Bibi Vic sangat menyayangimu, Chanyeol."

Chanyeol kembali mengangguk. Bibi Vic kemudian memeluknya.

Chanyeol jarang sekali bisa bertemu Ayahnya. Dan begitu ia mempunyai kesempatan itu, tanpa sengaja ia melanggar janjinya kepada Bibi Vic untuk tidak menyebutkan Ibunya di depan Ayahnya.

"Apa Ayah merindukan Ibu yang sudah meninggal?" Tanya Chanyeol ketika mereka sedang makan malam. Sang Ayah mendadak berhenti dan menampakkan ekspresi tegang. Ayahnya itu selalu terlihat dingin, tapi kata Bibi Vic itu karena Ayahnya sedang lelah.

"Dari mana kau mendengarnya?"

Chanyeol baru menyadari kekeliruannya kala itu. Samar-samar ia mendengar Bibi Vic yang sedang bersenandung di dapur.

"Park Chanyeol, jawab aku."

Chanyeol hanya menutup mulutnya rapat-rapat dan menggeleng.

Sejak saat itu, ia tidak pernah lagi bertemu dengan Bibi Vic yang ia duga dipecat oleh Ayahnya. Bibi Vic digantikan oleh Bibi Kim yang terlihat selalu menghindarinya.

-

-

-

"Kau tidak sedang menungguku 'kan?"

Chanyeol menarik sudut bibirnya ketika pagi itu melihat Yifan duduk di kursi taman kota dengan sebuah buku di tangan kanannya. Yifan meliriknya dengan sinis. Chanyeol mengangkat bahunya sebelum melangkahkan kembali kakinya untuk berangkat ke sekolah. Tapi kemudian pemuda itu berhenti setelah beberapa langkah ketika ia tidak mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Yifan masih berada di kursi itu.

"Kau tidak berangkat?" Tanya Chanyeol lagi.

Yifan tidak menanggapinya dan masih sibuk dengan novelnya. Chanyeol menggembungkan pipinya.

"Yah!" Bentak Chanyeol sebelum menarik novel dari tangan Yifan. "Kau ini keterlaluan sekali. Aku tahu kau tidak mau berteman dengan siapapun tapi mengacuhkan orang lain seperti itu sungguh menyebalkan."

"Kembalikan, Chanyeol." Yifan menggertakkan giginya membuat rahangnya terlihat lebih tajam dari sebelumnya.

"Hmph!" Chanyeol menyeringai. Ia melempar-lemparkan novel itu ke udara. Tiba-tiba sebuah benda terjatuh dari lipatan novel itu.

"Ooops!" Chanyeol memungut benda itu dari rerumputan dan merasakan cengkeraman tangan di lengannya.

"Kem-ba-likan!" Yifan menekan lengan Chanyeol dengan cukup keras. Dengan tinggi keduanya yang cukup sama, ditambah kini mereka berdiri dengan jarak yang sangat dekat, Chanyeol bisa merasakan hembusan nafas Yifan menerpa kulit pipinya.

"Hanya jika kau membagi ini." Chanyeol mengacungkan benda yang dipungutnya tadi sebelum mendorong tubuh Yifan agar melepaskan cengkraman tangannya.

Yifan hanya mengumpat sebelum merebut kembali novelnya. Firasatnya benar bahwa Chanyeol adalah sebuah masalah.

"Kau membawanya dari Kanada?" Chanyeol terus menghirup lintingan kertas itu ke hidungnya, seolah tidak sabar untuk segera menyalakannya dan menghirup asapnya. Tapi merokok mariyuana bukanlah ide yang bagus kalau kau harus masuk sekolah setelahnya.

Yifan hanya diam. Langkah-langkah besarnya diimbangi dengan mudah oleh Chanyeol ketika hari ini –dengan tidak sengaja, mereka berangkat bersama lagi.

-

-

-

Lintingan mariyuana itu hanya Yifan gunakan ketika ia benar­-benar terdesak. Tapi setelah pagi tadi Chanyeol berhasil menemukannya, mau tidak mau Yifan harus menyerah. Lagipula, itu adalah lintingan terakhirnya yang ia bawa –hadiah perpisahan dari teman-temannya di Kanada sebelum ia pindah ke Korea, dan Yifan memang berniat menggunakannya hari itu. Tidak pada jam sekolah tentu saja.

Chanyeol menghisap lintingan itu kuat-kuat sebelum menyodorkannya pada Yifan.

"Ayolah. Kau tidak akan mati hanya karena menyentuh bekas bibirku." Yifan sebelumnya enggan berbagi lintingan itu dengan Chanyeol. Tapi tidak ada cara yang lebih bagus untuk berbagi lintingan itu selain menghisapnya secara bergantian. Yifan sering melakukannya dengan teman-temannya dulu di Kanada, tapi itu juga karena memang mereka cukup dekat, tapi dengan Chanyeol, Yifan baru mengenalnya beberapa hari.

Sepulang sekolah, mereka duduk di lantai sebuah lapangan basket yang –sepertinya, sudah diabaikan. Letak tempat itu berada cukup tersembunyi di balik rentetan pohon maple yang tumbuh di taman itu. Suatu saat nanti mungkin Yifan harus bertanya bagaimana Chanyeol bisa tahu setiap sudut taman dan jalan-jalan rahasianya. Kali ini ia lebih baik fokus pada asap mariyuana yang mengepul di kepala mereka.

Hening. Keduanya diam dan hanya menyesapi lintingan itu yang lama kelamaan semakin habis terbakar.

"Apa kau selalu begitu?" Akhirnya sebuah pertanyaan keluar dari bibir Chanyeol yang sudah tidak tahan dengan keheningan itu. Entah kenapa, dengan Yifan ia selalu merasa bertanggung jawab untuk bertanya apapun.

Yifan menoleh untuk menatap Chanyeol. Tubuh keduanya duduk bersandar pada pagar jaring yang mengelilingi lapangan itu.

"Begitu?" Kali ini Yifan tidak mengacuhkannya, atau mungkin karena pertanyaan Chanyeol yang terdengar ambigu membuat Yifan penasaran.

"Um, maksudku, mengacuhkan orang lain?" Chanyeol meraih lintingan dari tangan Yifan, menghisapnya kemudian mengembalikannya lagi ke tangan Yifan.

Yifan yakin ia nanti akan menyalahkan efek dari mariyuana yang kini mulai menguasai otaknya karena kini ia tersenyum.

"Tidak. Aku tidak melakukannya dengan sengaja. Sekarang aku hanya..." Yifan menggantung kata-katanya.

"Sedih?" Chanyeol berusaha menyambungkannya. Yifan menggeleng.

"Kalau begitu mungkin kau ini memang brengsek." Chanyeol tertawa mendengar ucapannya sendiri. Entah kenapa Yifan ikut tertawa.

Lintingan itu sudah mencapai ujungnya. Yifan menghisapnya dengan kuat terakhir kali sebelum menyodorkannya pada Chanyeol. Namun bukannya meraihnya dari tangan Yifan, Chanyeol memajukan wajahnya dan menghisap lintingan itu dari tangan Yifan. Keduanya tertawa ketika Chanyeol tersedak asapnya.

Hari semakin gelap ketika matahari dengan perlahan kembali ke peraduannya. Lintingan yang menghubungkan mereka sudah habis terbakar meninggalkan sebuah puntung kecil. Tapi mereka masih belum beranjak. Menyandarkan tubuh pada pagar jaring itu dengan nyaman dan menatap ke langit yang berwarna lembayung. Senja itu milik mereka.

"Kalau kau mau, besok Sabtu aku akan mentraktirmu dengan yang lebih bagus dari ini." Ujar Chanyeol. Menatap Yifan dengan kedua mata besarnya.

Yifan mengangkat salah satu alisnya. Kalimatnya kemarin yang dengan jelas menolak pertemanan yang Chanyeol tawarkan sepertinya tidak lagi berlaku sekarang.

"Kau mengajakku kencan?" Yifan mengatakannya dengan main-main.

"Tsk. Kalau tidak mau ya sudah." Telinga Chanyeol –yang baru Yifan sadari ternyata cukup lebar itu, memerah.

"Telingamu aneh." Komentar Yifan, tidak bisa menahan tawanya lagi. Chanyeol membulatkan matanya.

"Alismu lebih aneh." Balas Chanyeol tidak mau kalah.

Mereka berdua tertawa lagi. Efek mariyuana itu sungguh merangsang perasaan-perasaan aneh pada keduanya.

-

-

-

Meja makan di apartemen Yifan datang lebih awal dari yang ia dan Ibunya perkirakan. Mrs. Wu menata meja makan yang terbuat dari kayu jati itu dengan cantik. Ia meletakkan sebuah vas dengan bunga Krisan di dalamnya. Menu makan malam kali ini bulgogi dan Kimchi.

"Bagaimana? Aku sengaja menambahkan sedikit jinten agar sesuai dengan seleramu." Mrs. Wu menyendokkan semangkuk penuh bulgogi untuk Yifan.

Pemuda itu mengangguk. Ia tidak mengerti rasa khas dari makanan Korea, jadi mungkin rasanya akan sama saja jika Ibunya yang memasak. Ketika masih tinggal bersama Kevin, Ibunya akan memasak sesuai dengan selera suaminya itu. Sedikit garam dan banyak sayuran. Kevin adalah seorang vegetarian. Tapi setiap pulang kerja dua hari sekali, Kevin akan membawa pulang sekotak pizza dengan topping daging asap untuk Yifan.

"Kau sudah bertemu teman-teman baru? Kau boleh membawa mereka pulang, Yifan. Ini akan sama seperti di Kanada." Mrs. Wu menambahkan sepotong Kimchi di atas mangkuk Yifan menggunakan sumpitnya. Tapi di Kanada, Yifan tidak pernah mengajak temannya datang atau menginap di rumahnya. Ibunya mungkin hanya mengenal satu atau dua orang teman dari sekolahnya, tapi tidak dengan teman-teman sepermainan Yifan.

"Yifan..." Mrs. Wu tiba-tiba meletakkan sumpitnya. "Aku lelah..."

Yifan mendongak, "Ma..."

"Itu selalu sulit untuk memulai percakapan denganmu. Tidakkah kau bisa sedikit kasihan dengan Ibumu ini? Aku selalu berusaha untuk berbicara denganmu baik-baik, tapi kau.." Mrs. Wu menyeka air matanya yang sudah menggenang di pelupuk matanya.

Yifan menghentikan makannya. Ia diam sementara Ibunya terisak.

"Sorry, Ma. Beri aku waktu." Yifan mengatakannya dengan pelan. "Makanannya enak." Tambahnya sebelum masuk ke dalam kamar.

-

-

-

Sebelum pindah ke Kanada, Yifan bernama Li Jiaheng, mengikuti marga dari Ayah yang tidak pernah ia kenal –atau ia lihat. Orang tuanya bercerai ketika ia baru berusia 3 bulan. Sejak saat itu ia hanya tinggal dengan Ibunya sampai Ibunya menikah dengan Kevin. Kemudian ia mengganti nama Jiaheng menjadi Yifan. Untuk keberuntungan, kata Ibunya ketika mereka mengunjungi sebuah kuil di Kanada. Setelah bercerai dengan Kevin, ia menambahkan Wu di depan nama Yifan, mengikuti marganya.

Continue Reading

You'll Also Like

79.3K 6.7K 15
Sehun tak pernah menyangka karena kecelakaan yang ia alami bersama dengan Kim Shixun, istri dari Kim Jongin, membuat dirinya terjebak menjadi istri p...
26K 3.6K 21
Sakura itu.... Cantik, lembut, dan merona merah muda, mengingatkan Yunho pada sosok sahabatnya Kim Jaejoong. Dia menyayangi sahabatnya itu layaknya s...
1K 175 28
Kisah 𝑂ℎ 𝑆𝑒ℎ𝑢𝑛 dan 𝑂ℎ 𝐽𝑜𝑛𝑔𝑖𝑛 sebagai sepasang orang tua baru bagi putra tunggal mereka 𝑂ℎ 𝑌𝑖𝑐ℎ𝑎𝑛. Sama-sama sebatangkara, dan hany...
128K 10K 87
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...