Kala Langit Abu-Abu (TERBIT)

By pramyths

726K 121K 12.7K

BEBERAPA CHAPTER SUDAH DIHAPUS "Tuhan, bila cinta ini tak bisa Kau satukan, mengapa Kau biarkan rasa ini teta... More

PROLOG
You Know Who
The Day He Say "Hi!"
The Day I am Falling In Love
The Day He Broke My Heart
Cowok Cantik
Kita Bisa Berteman?
Kesialan Beruntun
Frienemy
Apriori vs Aposteriori
Like Somebody That I Used to Know
Raja Plot Twist
Das Man
Seperti Patah Hati (Lagi)
Family Emergency
Deus Ex Machina
Farewell
New Document
Loving by Doing
Pandora Box
Story of the story
Arus Balik
Let it Go
Epilog
Bang Yos Segera Terbit!
Pre Order Dimulai!

Koridor Baper

24.8K 4.6K 160
By pramyths

Senja Palupi.

Sama seperti You-know-who, namanya nyaris dikenal oleh seluruh mahasiswa baru yang sedang ospek saat itu. Bukan cuma karena penampilannya yang anggun bagai dewi, tapi juga perannya sebagai kakak baik selama ospek. Wajah ayu-nya yang selalu menyunggingkan senyum, membikin maba-maba cowok sering berharap sakit supaya bisa dibawa ke pos kesehatan dan dirawat olehnya.

Semua orang juga tahu bahwa You-khow-who dan Senja bersahabat baik. Di meja oranye, aku selalu melihat mereka bersama-sama. Langit adalah tipe orang yang bisa akrab dengan semua orang. Tapi ada beberapa orang yang lebih sering bersamanya. Senja, Ayu, Fajar, Aloy, dan Geddy. Mereka semua dari Sastra Inggris tingkat 4, angkatan 2013.

Aku tak pernah tahu ada hubungan apa antara You-know-who dan Senja. Tapi saat You-know-who terlalu terang-terangan pedekate padaku, Senja akan ikut menyoraki bersama teman-temannya. Sering juga kudengar Senja mengompori dengan berteriak.

"Pepeeett teroooss! Jangan kasih kendor! Kayak sales panci aja lo, bro!"

Rasanya aku tak melihat ada sesuatu di antara mereka. Maksudku, aku tidak melihat You-know-who memperlakukan Senja dengan spesial seperti padaku. Itu juga kalau bukan ternyata You-know-who memperlakukan semua cewek di kampus seperti itu. Entahlah. Toh, ternyata aku tidak tahu apa-apa soal You-know-who. Kedekatan kami selama 6 bulan terakhir itu useless. Ya, aku sedang tidak bisa sarkas, dan tidak kepengin juga.

Sejak semester baru bergulir 3 minggu yang lalu, Senja tidak pernah terlihat. Yah, aku paham. Dengan segala gosip yang menimpanya, pasti dia enggan ke kampus lagi. Tapi hari ini aku melihatnya di Kansas. Wajahnya yang biasa cerah dan selalu hangat, kini pucat dan ringkih. Dia bahkan menggenakan hoodie hitam. Ada Ayu dan Geddy bersamanya, namun Senja terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri. Lalu saat aku lewat tak jauh dari sana, Senja membuang muka. Hatiku terasa ditusuk. Ini terasa seperti pacarku ditikung sahabat baikku sendiri. Berlebihan tentu. You-know-who bukan pacarku, dan Senja bahkan bukan temanku. Tapi rasanya sama: sakit.

Aku juga tak melihat You-know-who di mana-mana sejak dia datang ke kosan di bawah hujan waktu itu. Dia seperti menghilang dari peredaran bumi. Ah, oke, ini juga lebay. Sebenarnya, aku masih melihatnya sekilas-sekilas dari kejauhan. Bahkan kami satu kelas di mata kuliah Bahasa Indonesia Akademik. Tapi dibandingkan dengan porsi kehadirannya yang begitu besar semester lalu, semester ini eksistensinya nyaris nihil. Ditambah fakta bahwa aku lebih sering sembunyi, menghindari tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh You-know-who, dan berjalan cepat-cepat di kampus supaya tak punya waktu untuk memperhatikan sekitar.

Karena Maya tidak ada kuliah hari ini dan Donna sedang mengambil mata kuliah lintas fakultas di Fisip, aku bergabung dengan meja teman-teman seangkatanku di tengah-tengah kantin. Memang cowok-cowok itu suka berisik dan asap rokoknya merusak paru-paruku. Tapi daripada aku duduk di kantin sendirian dan dipandang dengan kasihan oleh orang-orang, lebih baik aku bersama mereka meski harus sering-sering tahan napas.

"Mau ikutan main uno nggak, Ra? Kurang orang nih!" Ajak Heru begitu aku mendekat.

Aku mengangguk. "Atur aja. Kalau gue yang menang lo pada jajanin gue es krim yes."

"Yaelah Ra, kalau mau es krim doang mah nggak perlu menang. Nanti abang jajanin." Jawab Ringgo, sambil mengepulkan asap rokok. "Sorry sorry..." Katanya buru-buru, waktu aku menutup hidung sambil mengibas-ngibaskan tangan menghalau asapnya yang menyebar ke mana-mana.

"Nanti sore lo datang mentoring maba?" Tanya Revel, ketua angkatanku.

"Bisa-bisaa."

Mentoring maba adalah sebuah sesi sharing yang dilakukan angkatan mentor kepada mahasiswa baru. Tahun ini seharusnya menjadi tugas angkatan 2014 untuk memandu mahasiswa baru angkatan 2016. Namun untuk mengakrabkan seluruh keluarga besar jurusan Filsafat, kami angkatan lain juga bergiliran untuk melakukan mentoring,

Revel tertawa kecil. "Jadi banyak waktu luang ya, Ra?"

Aku meringis kecut. Aku tahu pasti Revel sedang merujuk ke kisah cintaku yang tragis, layu bahkan sebelum berkembang. Namun alih-alih marah, aku malah ingin menertawainya. Yah, mungkin benar. Ketika sudah sampa titik tertinggi, sakit dan tawa itu kadang tidak bisa dibedakan lagi.

Tak lama kemudian senior-senior angkatan 2014 mendatangi meja kami. Sebenarnya di jurusan kami, senioritas sudah benar-benar dihapuskan. Adalah hal bisa kami nongkrong lintas angkatan, dan para cowok itu berbagi rokok.

"Vel, angkatan lo ada yang bisa main musik nggak?" Tanya Bimo, ketua angkatan 2014 yang gayanya bagai aktor korea. "Gimana nih buat Dies Natalis?"

Dies Natalis adalah momen ulang tahun Fakultas yang biasanya diisi dengan berbagai kompetisi dan hiburan untuk mahasiswa. Mulai dari kompetisi musik, teater, debat, hingga karnaval. Sebagai acara puncak, biasanya mengundang penyanyi terkenal. Tahun ini kudengar panitia mengundang Naif. Untuk sebuah acara musik yang gratis, aku cukup salut dengan keberanian dan kemodalan jurusanku ini. Untuk rangkaian acara ini, setiap tahunnya akan ada dua angkatan yang bertanggung jawab. Dan tahun ini, adalah tanggung jawab angkatan 2015 dan 2014.

"Angkatan gue ada Yos. Tapi pasti krik-krik banget kalau dia doang yang main."

"Angkatan gue siapa yaa...eh Ra, bukannya lo bisa ya?"

"Gimana?" Tanyaku, setengah terfokus pada kartu-kartu di tanganku.

"Lo bisa main biola kan? Mau nggak tampil buat festival musik di Dies Natalis?" Ulang Revel.

"Nanti kolaborasi sama Yos." Tambah Bimo.

"Ngeband maksudnya, bang?"

"Nah, nanti kita omongin lagi kalau ada Yos. Tapi lo mau kan?"

Aku mengangguk-angguk, dan memintanya untuk memberiku kabar selanjutnya.

"By the way, bang Yos itu yang mana sih?" Bisikku pada Heru.

"Yang berewokan. Gondrong. Jarang kelihatan. Ngampus aja jarang."

Jawaban Heru tidak membantu sama sekali. Tepat di sebelahku, Revel juga gondrong dan berewokan. Pras yang ada di ujung meja juga. Lalu ada Tobi dan Ega yang juga gondrong meski tidak berewokan. Bahkan Heru sendiri bisa dibilang cukup gondrong dengan jenggot tipis. Terlalu banyak cowok gondrong dan berewokan di fakultas ini dan Heru kurang sadar diri untuk bisa menjelaskan lebih spesifik lagi.

Namun baru saja aku akan minta keterangan lebih lanjut, sudut mataku menangkap sosok yang memasuki kantin dari pintu utara. Si You-know-who, tentu. Sontak bibirku terasa kering. Kuhela napas panjang, dan kuseruput es tehku hingga tandas. Apakah aku harus pergi sekarang? Nope. Dia tak akan senekat itu mendekatiku saat aku sedang berada di antara cowok-cowok jurusanku. Dan kurasa, aku memang sudah terlalu lama menghindari. Kalau kupikir-pikir, kenapa juga aku yang harus menhindar? Dia yang melakukan kesalahan, kok aku yang harus sembunyi. Nope. Aku akan tetap di sini, melanjutkan hidupku.

Come on, Raira. Semuanya kembali ke waktu sebelumnya. Kami hanya dua orang yang kebetulan mengenyam pendidikan di fakultas yang sama. Tak mesti saling sapa, tak perlu saling suka.

***

Donna pernah bilang bahwa ada sebuah koridor di kampus kami yang bisa memicu baper. Saking yakinnya, Donna menyebutnya dengan koridor baper. Sebuah koridor di mana probabilitas kita untuk bertemu seseorang yang spesial menjadi sangat besar.

Koridor itu tidak terlalu panjang, terletak di antara gedung 9 dan gedung 7. Mengapa probabilitas pertemuan pemicu baper sangat besar? Karena koridor ini sebenarnya menghubungkan seluruh gedung di fakultas ilmu budaya ini. Dari mana pun dan hendak ke mana pun, koridor ini menjadi pilihan jalur yang paling singkat.

Awalnya aku menganggap Donna hanya mengada-ada. Maklumlah, Donna terkadang lebay dan mengabaikan logika. Namun hari ini, saat aku berpapasan dengan You-know-who di sana, aku mulai memikirkan kebenaran kata-kata Donna. Lebih dari beberapa minggu aku tidak berinteraksi dengannya. Sial, dari sekian banyak momen, kenapa harus sekarang? Saat aku sendirian dan bahkan ponselku ketinggalan di kosan?! Padahal kalau ada ponsel, aku bisa pura-pura sibuk menelepon atau membalas pesan sehingga tidak perlu melihatnya.

Think, Rara, think!

Haruskah aku mengambil buku di tas dan pura-pura sibuk membaca? No! Itu terlalu kentara. Atauka aku harus berjalan menunduk sambil menatap ujung sepatuku? Bagaimana kalau aku malah menabraknya? Atau sebaiknya aku balik badan dan menghindar sekarang juga?

"Raira,"

Damn!

Kenapa dia masih memanggilku? Berani-beraninga dia menyapaku setela apa yang dia lakukan? Kenapa dia tidak jalan lurus saja dan pura-pura tidak kenal? Apa lagi yang ingin dia bicarakan? Dan suara ini kenapa...kenapa terasa sangat akrab sampai membuatku merasa pulang ke rumah?! Sial!

Kutahan keinginan untuk menghela napas panjang. Dengan ekspresi datar, aku menoleh pada You-know-who yang tersenyum sedikit salah tingkah.

"Apa kabar?" Tanyanya.

Kurang ajar sekali dia berani menanyaiku kabar. Apa dia ingin tahu sedalam apa pisau yang dia tancapkan ke hatiku? Apa dia kepengin tahu berapa liter air mata yang kutumpahkan untuknya?

"Baik." Jawabku singkat, padat, dan jelas. Meski terang-terang itu dusta.

"Kamu punya waktu?"

Bagaimana aku harus mendeskripsikan penampilannya? Sebenarnya tidak banyak berubah. Gayanya masih dengan style jeans belel, kaos, dan kemeja yang kancingnya terbuka. Wajahnya masih setampan yang kuingat. Walau kini mimik mukanya menunjukkan kekhawatiran.

"Kamu punya waktu nggak?" Ulangnya.

Andai ini FTV, pasti sudah banyak anak-anak yang membentuk lingkaran di sekitar kami. Untung saja koridor sedang sepi.

"Tergantung." Jawabku.

"Bisa kita ngobrol sebentar?"

Apa yang ingin dia bicarakan? Dan apapun itu, kenapa harus menunggu dua minggu dulu baru dia menemuiku? Astaga, aku baru ingat. Cowok-cowok populer seperti dia pasti sudah terbiasa menghadapi cewek baper yang rentan PHP sepertiku. Lagipula, secara teknis dia memang tidak punya kewajiban untuk menjelaskan semuanya padaku. Helloo 2017, memangnya aku ini siapa? Pacar pun bukan. Cuma adik tingkat yang kebetulan berhasil dia PHP-in habis-habisan. Wow. Keren. Hebat. Spektakuler. Amazing. Warbiyasah.

"Raira?"

Baiklah. Aku mengerti sekarang. Untuk cowok-cowok seperti You-know-who ini bisa dihadapi dengan satu sikap yang keren juga. Oh ya, satu lagi. Aku juga akan berhenti memanggilnya You-know-who. Buat apa? Itu cuma akan membuat luka semakin abadi.

Aku tersenyum tipis. "Soal apa? Harus sekarang?" Tanyaku.

"Kamu sibuk?" Tanya Langit lagi.

"Aku ada rapat jurusan sih bentar lagi." Kulihat jam di tanganku. Rapat jurusan masih satu jam lagi. Tapi tak apa, khusus orang ini aku harus sibuk setengah mati. "Kapan-kapan gimana?"

Sejenak aku yakin Langit terkejut dengan perubahan sikapku. Mungkin dia heran karena aku terlihat biasa-biasa saja menghadapinya. Ck! Memangnya aku harus bagaimana Langit? Memasang wajah sendu, terluka, dan menangis tiba-tiba? Cih. Momen itu sudah kulalui dengan selamat.

"Nggak apa ya? Atau nggak Kak Langit whatsapp aja kayak biasa." Aku bersumpah akan mem-block kontaknya setelah ini. Meski aku tampil tegar saat berhadapan langsung, aku tak harus menghadapinya di dunia maya bukan? "Oke? Aku duluan ya? Udah ditunggu nih, Kak. Bye!"

Untung aku lumayan sering nonton TV series Amerika. Jadi aku tahu bagaimana cewek-patah-hati-tapi-tetap-tangguh bersikap. Dengan punggung tegak dan gestur santai, sambil mencangklong ranselku di satu pundak, aku meninggalkan Langit.

Satu hal yang aku paham sekarang. Jika Langit memang menganggapku penting, tentu dia tidak akan meninggalkanku dalam kebingungan seperti ini. Kok bisa-bisanya dia memelukku hangat tapi membiarkanku tahu soal ini dari gosip yang beredar? Tidak ada penjelasan sama sekali pula! Harusnya itu sudah jadi bukti yang jelas. Langit memang tidak pernah punya perasaan apa-apa padaku, dan aku saja yang kege-eran.

Mungkin Senja adalah cinta sejati Langit. Dan hal-hal sampah yang kami lakukan beberapa bulan belakangan hanya trik murahan Langit untuk membuat Senja cemburu. Yeah, tipikal kisah friendzone yang membosankan. Langit dan Senja. Langit Senja. Sebuah momen indah yang begitu dicintai umat manusia. Yeah, dari situ saja kelihatan kan semua ini bakal ke mana?

***

Ketika menulis angkatan dedek-dedek ini sungguh aku merasa sangat old. Hahaha

Sudah siap menghadapi Senin pagi, guys?

Continue Reading

You'll Also Like

1.8M 2.4K 3
TELAH DITERBITKAN (PENERBIT: BUKUNE PUBLISHING) Inevitably in Love. © 2018, Cecillia Wangsadinata (CE.WNG). All rights Reserved. ===================...
490K 15.5K 6
Kata orang, tidak ada yang lebih berharga daripada keluarga. Tidak ada yang lebih kental daripada hubungan darah. Tetapi, bagaimana jika aku lebih me...
930K 48.9K 15
A story by Almira Bastari Gala dan Bara putus setelah berpacaran selama tiga belas tahun. Di tengah - tengah kebijakan lalu lintas ibukota, ganjil ge...
18.9K 156 23
Kumpulan novel novel terbaik, terseru, berkualitas dan bikin baper dari penulis-penulis terbaik Indonesia.