Mantan Rasa Pacar [END]

By Arinann_

1.3M 85.7K 1.3K

[NEW COVER] Kisah antara Arkano Alfarezi Prasaja, si anak badung yang menjadi juara Olimpiade Matematika deng... More

Arkano Alfarezi Prasaja
Naura Salsabila Azzahra
Chapter 1: Mantan
Chapter 2: Mie Ayam
Chapter 3: Wawancara
Chapter 4: Pacar Baru Arka?
Chapter 5: Kesialan dan Kesalahpahaman
Chapter 6: Toko Buku
Chapter 7: Razia Dadakan
Chapter 8: Arka yang Sebenarnya
Chapter 9: Berantem
Chapter 10: Kejutan
Chapter 11: Minta Bantuan
Chapter 12: Tragedi Foto
Chapter 13: Bertemu di Taman
Chapter 14: Keputusan
Chapter 16: Arka-Naura-Fiko
Chapter 17: Kerja Bakti
Chapter 18: Fakta yang Belum Terungkap
Chapter 19: Kejujuran
Chapter 20: Before-After UAS
Chapter 21: Class Meeting
Chapter 22: Keributan
Chapter 23: Flashback
Chapter 24: Membaik
Chapter 25: Kepastian
Chapter 26: Papa
Chapter 27: Gramedia Date
Chapter 28: Rapot
END: Jawaban Pertidaksamaan
Extra Chapter
APA KATA WATTPADERS?

Chapter 15: Toko Buku 2

26.1K 2.2K 25
By Arinann_

Pagi menuju siang hari, kurang lebih jam 10.05 WIB, Naura dan Lala sudah sudah siap dengan setelannya. Naura memakai baju berwarna putih dipadukan dengan celana berwarna mocca sedangkan lala memakai baju berwarna pink soft. Naura dan Fiko sudah sepakat untuk melakukan pemotretan di siang hari.

Setelah melakukan perjalanan—bergabung di hiruk pikuknya kendaraan, Naura dan Lala telah sampai. Di depan gramedia di salah satu mal, mereka tengah menunggu Fiko. Namun, laki-laki itu tidak kunjung menunjukkan keberadaannya. Naura dan Lala duduk di bangku panjang dimana orang-orang biasa menggunakannya untuk duduk bersantai. Lima belas menit mereka menunggu, Fiko tidak kunjung datang.

Lala beranjak dari duduknya. "Kita masuk dulu, yuk, Ra. Lama banget nungguin Fiko. Enggak datang-datang."

Naura melihat jam tangannya. Akhirnya, Naura pun memutuskan untuk masuk ke dalam toko buku. Menyusul Lala yang sudah berjibaku dengan buku-buku novel di rak.

"Ra, kamu sebenarnya masih sayang enggak, sih, sama Arka?

Naura menoleh sesaat. "Kenapa tiba-tiba nanya gitu?"

Lala mengendikkan bahunya. "Ya enggak apa-apa. Tanya aja. Habisnya, aku lihat kamu sama Arka kaya masih pacaran aja, sih. Enggak kelihatan kalau udah putus. Lagian, mantan kok akrab banget sama mantan. Biasanya, pasangan yang udah putus enggak ada lagi yang namanya temenan. Buat ngobrol aja pasti canggung. Tapi, kamu sama Arka, jelas banget kaya enggak ada masalah. Hubungan kalian itu aneh."

Naura terdiam sesaat. Mendengar perkataan sahabatnya itu, Naura seketika flashback kembali mengingat interaksi yang selama ini ia lakukan dengan Arka.

"Aku tuh suka gemas lihat kalian berdua. Setiap kamu lagi sama Arka, aku suka mikir, kenapa kalian enggak balikan aja, sih, Ra? Lagipula, aku merasa Arka masih sayang sama kamu."

Galuh juga pernah mengatakan seperti itu.

Lala mengubah posisinya menghadap Naura. Matanya menatap ke arah Naura dan Naura membalasnya.

"Aku juga tau. Kamu sebenarnya masih sayang sama Arka juga, kan?" Lala tersenyum

"Ra, kalau kamu udah enggak tahan sama hubungan ini dengan Arka, mending kamu tanya ke Arka. Pastiin dia mau gimana. Kalau aku ada di posisi kamu, aku pasti enggak akan tahan, sih, Ra."

"Karena?" tanya Naura penasaran.

"Ya, seperti kebanyakan cewek. Aku butuh kepastian. Kalau sayang, ya, bilang sayang. Kalau enggak, ya, enggak."

Naura mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Naura."

Lala dan Naura kompak menoleh mendengar suara itu. Pandangan mereka pun menemukan sosok Fiko yang datang bersama temannya.

"Sorry, gue telat."

Naura tersenyum tipis. "Enggak apa-apa."

Naura mengalihkan pandangannya ke sisi Fiko. Melihat wajah itu dengan seksama. Sekilas, Naura merasa tidak asing dengan wajah laki-laki itu.

"Oh, kenalin teman gue. Fikri."

Laki-laki bernama Fikri itu tersenyum. Tangannya terulur mengajak Naura bersalaman. "Hai, ketemu lagi, Ra."

Naura menyalami Fikri. Ia sedikit tertegun. "Kita pernah ketemu?"

Fikri tertawa. "Gue Fikri. Kita pernah ketemu di sini."

Naura mengerutkan dahinya.

"Fikri. Gue pacarnya Disa. Kalau enggak salah, dulu lo datang sama kakak lo," jelas laki-laki itu membuat ingatan Naura akhirnya kembali.

"Ah, iya. Pantas aja, kaya enggak asing."

Mereka tertawa. Fikri lalu berkenalan dengan Lala.

"Oh ya, Ra. Langsung aja gimana? Biar enggak lama," ucap Fiko kepada Naura.

"Aku ikut aja mau gimana. Sekarang juga enggak apa-apa."

"Ya udah, yuk. Gue udah dapat tempat yang bagus."

Naura menahan Fiko yang hendak melangkah. "Oh iya, Fik. Tapi, apa boleh ngelakuin di sini?"

Fiko tersenyum. "Santai, Ra. Boleh kok. Tadi gue juga udah ijin sama mas-masnya. Boleh-boleh aja selagi enggak ganggu pengunjung lain."

"Oh, oke."

Fiko pun mengajak Fikri, Naura, dan Lala untuk menuju tempat yang dirasa bagus untuk mengambil foto.

***

Sudah beberapa menit Arka mencoba menyelesaikan soal yang ada di hadapannya tersebut. Namun, tetap saja Arka tidak bisa. Ia tidak tahu rumus apa yang harus ia gunakan. Mengetahui meteri saja tidak.

Dari semua mata pelajaran kelas IPA ada satu mapel yang sedari dulu sulit untuk ia pahami, yaitu Fisika. Ia memang pandai berhitung. Namun, jika sudah berhubungan dengan fisika, Arka mengaku menyerah.

Arka mendesah kesal. Sepertinya dari semua anak yang hadir di kelas les sore itu hanya dirinya sendiri yang terlihat bodoh. Arka memejamkan matanya. Jika tau seperti ini, Arka lebih memilih bolos les saja untuk pertemuan hari ini.

Kursi di seberangnya berdecit membuat Arka refleks menolehkan kepalanya. Laki-laki berwajah manis bernama Rifzhan yang duduk persis di samping kanannya itu berdiri. Ia membereskan alat tulisnya kemudian beranjak maju ke depan. Tidak lupa, Rifzhan juga membawa dua lembar kertas berisi soal dan jawaban.

"Pak, saya sudah selesai. Boleh pulang dulu, kan?" ucap laki-laki itu.

Pak Santo, guru les di bidang fisika itu mengecek lembar jawab milik Rifzhan. Setelah beberapa detik, beliau pun mengangguk. "Kamu memang pintar. Seperti perjanjian tadi, yang sudah bisa pulang duluan."

"Terima kasih, Pak."

Arka menatap kepergian Rifzhan. Melihat teman sebangkunya itu pintar di bidang fisika, seketika Arka menyesal. Seharusnya, ia bertanya saja pada Rifzhan. Jika begitu, ia pasti bisa keluar bersamanya.

Arka kembali fokus pada soal-soal. Kembali membuka buku catatan, Arka mencoba memahami lagi. Arka mengerjakan sesuai kemampuannya. Walaupun mungkin hampir semua jawabannya salah.

Satu per satu murid mulai beranjak maju ke depan. Mengumpulkan lembar kerjanya dan keluar dari kelas.

Satu menit.

Lima menit.

Delapan menit.

Menyisakan Arka yang masih berkutat dengan soalnya. Tidak lama kemudian, Arka selesai. Ia beranjak dan menghampiri Pak Santo.

"Ini, Pak." Arka menyerahkan lembar kerjanya.

Pak Santo menerimanya dan menggabungkannya dengan yang lain.

"Saya permisi, Pak."

Arka pun melangkahkan kakinya menuju pintu kelas. Namun, saat hampir sampai, terdengar suara Pak Santo yang memanggil namanya.

"Nak Arka."

Arka menoleh. Pak Santo menghampiri Arka.

"Bapak ingin berbicara sebentar dengan kamu," ucap laki-laki setengah baya itu.

"Ya. Ada apa, Pak?"

Pak Santo menatap Arka. "Bapak ingin bertanya. Selama belajar di sini, apa ada yang mengganggumu?"

Arka menggeleng. "Tidak, Pak."

Pak Santo mengangguk-anggukkan kepalanya. Lantas kembali melihat lembar kerja Arka.

"Bapak tebak, kamu tidak suka Fisika, ya? Jujur saja dengan Bapak. Bapak tidak akan marah."

Arka meringis pelan. Tangannya terangkat mengusap tengkuknya. Pak Santo tersenyum melihat tanggapan Arka itu

"Maaf, Pak. Bukannya saya tidak suka. Tapi, saya sendiri kurang paham dengan materinya."

"Kenapa? Penjelasan Bapak kurang jelas, ya?"

"Ah, jelas kok, Pak. Saya paham. Tapi, saat mengerjakan soal baru, saya suka bingung."

"Itu artinya kamu harus lebih banyak-banyak membaca. Sebenarnya Fisika tidak sulit, kok, hampir mirip dengan matematika. Bapak yakin kamu pasti bisa. Saran Bapak, kamu pelajari lagi materi-materi yang sekiranya kamu belum paham, ya? Pahami lagi pembahasan soal dan jawaban serta perbanyak latihan soal. Jika ada yang ingin ditanyakan, kamu bisa bicara dengan Bapak."

Arka menganggukkan kepalanya. "Baik, Pak."

"Satu lagi. Ilmu tidak akan dapat diraih jika kamu hanya mengutamakan belajar saja. Kamu juga harus berusaha. Niat tapi tidak diiringi dengan usaha itu tidak ada artinya dan hanya sia-sia."

Pak Santo menepuk pundak Arka. "Tetap semangat. Jangan merasa minder dengan kemampuan orang lain, Nak. Yakin jika kamu pasti bisa."

Ucapan Pak Santo membuat Arka seketika merasa semangat. Seolah ada energi positif yang tersalurkan kepadanya dari pembimbingnya itu

"Ya sudah. Sekarang, kamu boleh pulang."

"Terima kasih, Pak. Kalau begitu saya pamit. Assalamualaikum, Pak."

Arka mencium tangan Pak Santo.

"Waalaikumussalam. Hati-hati di jalan."

Arka tersenyum. "Baik, Pak"

Arka pun lantas melangkahkan kakinya keluar kelas. Ia kemudian berjalan menuju parkiran. Tempat di mana Pak Dadang, sopir yang mulai saat ini bekerja untuknya menunggu.

Di tengah perjalanan, Arka mengambil ponselnya. Ia membuka aplikasi berwarna hijau dan mengirimkan sebuah pesan kepada Galuh.

Arka

Luh, temenin gue ke gramed. Ga pakai lama, langsung otw ke mall biasanya. Bantu gue cari buku-buku yang bagus. Janji, nanti gue beliin juga buat lo.

Setelah mengirimkan pesan itu, Arka kembali memasukkan ponselnya di saku. Sekarang waktunya menjadi Arka si good boy.

***

Naura mengembalikan salah satu buku pada rak. Setelah itu, berjalan menghampiri Fiko yang tengah melihat hasil jepretannya. Di sampingnya, ada Lala dan Fikri yang penasaran dan ikut melihat fotonya.

"Gimana?" tanya Naura.

Fiko mengacungkan jempolnya. "Bagus."

Naura tersenyum. Akhirnya selesai juga.

Sudah beberapa menit mereka menghabiskan waktunya di toko buku. Berpindah-pindah ke beberapa sudut untuk mencari tempat yang sekiranya bagus untuk menjadi latar. Naura yang sedari tadi berpose seolah-olah tengah membaca, mengambil buku, atau tersenyum sembari memperlihatkan buku yang dibawanya itu merasa lega.

Naura menghampiri Lala. Gadis itu lalu mengambil tas yang dibawa oleh Lala. "La, habis ini makan dulu, ya, La. Laper nih," bisik Naura ke Lala.

"Oke, makan di tempat biasa, ya?"

Naura mengangguk.

"Oh ya, Ra. Kalau lo mau minta foto-fotonya, nanti gue kirim," ucap Fiko yang mampu mengalihkan pandangan Naura dan Lala.

"Oh oke."

Fiko menyimpan kamera miliknya.

"Habis ini kalian mau kemana?" tanya Fikri.

Naura dan Lala saling berpandangan.

"Emh... Habis ini kita langsung pulang. Ya, kan, Ra?" ucap Lala. Matanya mengode Naura untuk menyetujui ucapannya.

"Oh iya. Kita habis ini langsung pulang, Fik."

Fikri berdecak. "Yaah... Kalian enggak asik banget, sih. Masa langsung pulang. Makan-makan dulu, lah. Mumpung ada Fiko, nih. Traktir lah, Fik."

Fiko mengangguk. "Iya, sebagai ucapan terima kasih gue juga. Gue traktir makan."

"Eh, enggak usah, Fik."

"Santai. Gue enggak enak sama lo. Udah bantuin gue."

"Udah, enggak baik nolak rejeki. Ayo," ucap Fikri membujuk Naura dan Lala.

Naura dan Lala saling berpandangan lagi. Sedikit mendekat, Lala berbisik. "Gimana nih, Ra? Lumayan juga sih enggak ngeluarin uang."

Iya juga. Lumayan uangnya bisa ditabung. Untuk beli novel tentunya.

"Iya juga, sih, La."

Lala menoleh. "Yaudah, deh. Aku sama Naura ikut aja. Jadi, mau makan dimana?"

"Kalian biasanya makan dimana? Atau kalau enggak kita keluar dulu sambil lihat-lihat."

Naura dan Lala mengangguk.

"Oke. Tapi, aku sama Lala mau beli novel dulu. Kalian duluan aja, enggak akan lama, kok," ucap Naura.

"Ya udah kalau gitu. Gue sama Fikri nunggu di depan," ucap Fiko.

"Oke."

Fiko dan Fikri keluar dari toko buku sedangkan Naura dan Lala berjalan menuju rak buku. Sejak masuk ke dalam toko buku itu, Naura sempat melihat buku novel yang sedang diincarnya. Sesampainya di sana, Naura segera mengambilnya. Ia pun mengajak Lala ke kasir setelah sahabatnya itu juga mendapatkan satu buku. Selesai bertransaksi, mereka berdua keluar dari toko buku. Keduanya menghampiri Fiko dan Fikri setelah itu mereka berempat berjalan mencari tempat makan.

***

Arka mengambil ponsel dan dompetnya dari dalam tas, kemudian ia memasukkan dompetnya ke saku celananya. Laki-laki itu tampak keren memakai setelan kaos putih dipadukan dengan kemeja kotak-kotak berwarna biru gelap tak dikancingkan.

"Pak Dadang, kalau bosan jalan-jalan aja. Saya sama Galuh, kok."

Pak Dadang yang sudah tau tujuan Arka untuk membeli buku pun mengangguk. "Iya, Mas."

Pak Dadang tidak akan mengikuti kemana anak majikannya itu pergi. Sudah lama ia bekerja dengan Pak Prasaja. Jadi, beliau sudah tau mengenai diri Arka selama ini. Ia tidak tega melihat Arka dikekang oleh Pak Prasaja. Maka dari itu, untuk setengah hari ini, beliau ingin memberikan sedikit kebebasan kepada Arka.

"Bapak kalau lapar, makan dulu aja. Terserah mau jajan apa atau Bapak mau makan di dalam?" tawar Arka.

"Ndak usah, Mas. Bapak mau jajan di luar aja. Boleh kan?"

"Yaudah kalau gitu. Saya beli buku dulu, ya, Pak. Nanti kalau saya udah selesai, saya kabarin Pak Dadang."

"Siap, Mas," ucap Pak Dadang.

Arka tersenyum kemudian ia turun dari mobil. Melihat Pak Dadang berlalu bersama mobil hitamnya, Arka lalu masuk ke dalam mal. Sembari melangkah, ia mengirim sebuah pesan kepada Galuh—memberi informasi bahwa dirinya sudah sampai.

Arka tidak mau berlama-lama menunggu Galuh. Maka dari itu, ia langsung menuju ke toko buku.

Hal yang pertama Arka lihat adalah rak-rak yang berjejer rapi berisikan buku-buku novel. Namun, bukan itu yang menjadi tujuan Arka. Arka masuk ke dalam toko lagi dan menemukan apa yang ia cari.

Fisika, Kimia, dan Biologi. Arka tidak langsung mengambil buku-buku tersebut. Ia melihat-lihat dulu sampul dan isi melalui sampul bagian belakang buku. Fokusnya terpecah ketika suara notifikasi ponsel terdengar. Arka membuka pesannya.

Galuh
Posisi?

Arka

Gramed.

Galuh
Lo enggak sengajain pergi ke gramed cuma buat ketemu sama Naura, kan?

Arka

Maksud lo?

Arka menunggu balasan dengan tidak sabar. Matanya terus menatap layar ponsel yang masih tertulis 'typing...'

Galuh
Gue tadi lihat story-nya Naura sama Lala lagi di gramed.

Arka mengedarkan pandangannya. Melangkah ke sisi lain dan melihat orang-orang yang berdiri di sekitar rak-rak buku novel. Namun, ia tidak menemukan Naura dan Lala.

Arka

Ga ada.

Ada sela waktu cukup lama hingga Galuh membalas chat Arka.

Galuh
Bentar. Gue lihat mereka

Arka baru saja ingin membalas. Namun, tak lama kemudian sebuah kiriman gambar muncul di layar ponselnya. Laki-laki itu menunggu sesaat karena foto itu masih terlihat blur. Setelah jelas, Arka langsung menyentuh foto itu hingga memenuhi layarnya.

Arka berdecak kesal saat melihat foto itu. Terlihat Naura, Arka, Fiko, dan Fikri tengah duduk di bangku meja yang sama. Mereka tengah makan di restoran yang biasa Arka kunjungi jika ia ingin makan.

Arka tak percaya Naura ternyata serius akan ucapannya. Gadis itu benar-benar menjadi model Fiko.

"Ngeyel banget, sih, dibilangin," gumam Arka yang sudah jelas-jelas tertuju pada Naura.

***

Continue Reading

You'll Also Like

6.4K 1.5K 47
Katanya, kalau kita berhasil membuat 1000 burung kertas, satu keinginan kita akan terwujud. Namun, apakah itu juga berlaku untuk Jendra? Jendra ingin...
1.7K 324 9
Bagaimana jika suatu hubungan memiliki batas waktu? Dan batas itu, satu pihak yang membuatnya. ◍ ◍ ◍ ◍ AKW ◍ ◍ ◍ ◍ "Ka, mau ga jadi pacar Sera?" "Gu...
2.8K 1.2K 27
⚠️ 𝘿𝙞𝙡𝙖𝙧𝙖𝙣𝙜 𝙠𝙚𝙧𝙖𝙨 𝙥𝙡𝙖𝙜𝙞𝙖𝙩 ⚠️ 📌𝙎𝙚𝙗𝙚𝙡𝙪𝙢 𝙗𝙖𝙘𝙖 𝙝𝙖𝙧𝙖𝙥 𝙛𝙤𝙡𝙡𝙤𝙬 𝙖𝙠𝙪𝙣 𝙙𝙪𝙡𝙪 𝙄𝙣𝙞 𝙘𝙚𝙧𝙞𝙩𝙖 𝙝𝙖𝙨𝙞𝙡 �...
28.3K 1.3K 48
Warning--MATURE ⚠️ Alaric Deon Evans--Billionaire muda berwajah tampan. Anak dari pengusaha Real Estate terkaya sekaligus Pemilik Evans Airlines mask...