Cu :Bagian Pertama

By RedRizald

159 7 0

Cu, anak melayu miskin berkacamata tebal yang gemar berkelahi. More

Pertama
Kedua
Ketiga
Keempat
Kelima
Keenam
Ketujuh
Kedelapan

Bingkai

77 1 0
By RedRizald

Besok hari raya,

Mereka harus bersih-bersih, beres-beres seluruh isi rumah.

Sebuah tradisi yang dipaksakan oleh isterinya, Maya; yang mau tidak mau harus dituruti oleh Reki kalau tidak mau pagi-pagi sekali tidurnya diganggu oleh omelan cerocosan isterinya yang tidak akan berhenti hingga Reki bangun dan beranjak dari tempat tidur.

Yang sebenarnya bagi Reki, bersih atau tidak, rapi atau tidak, Reki tidak terlalu peduli.

"Yah..cuma setahun sekali" Pikir Reki sambil berusaha untuk bangun dari tempat tidurnya dengan enggan.

Enggan sekali.

Mereka hidup di sebuah rumah yang sederhana, masih milik ayahnya , yang juga masih tinggal dengan mereka, juga Remi buah hati mereka yang baru berusia dua tahun.

Matahari belum terlalu tinggi, pekerjaan beres-beres mereka sudah hampir selesai, tinggal menaruh barang-barang berupa perabotan dan mainan anak mereka yang sudah rusak atau tak terpakai lagi ke dalam gudang di belakang rumah mereka.

Tapi sepertinya gudang mereka sudah tidak muat untuk ditambah isinya lagi.

Banyaknya barang-barang perabotan yang tidak benar-benar diperlukan tapi dibeli oleh Maya atas nama diskon belanja online dan sejenisnya. Sedangkan Reki, juga penyakit milenal, yakni senang menimbun barang yang sebenarnya sudah tidak ia butuhkan lagi, atau penyakit yang dikenal istilah kejiwaannya 'Compulsive Hoarding'

Reki sih tidak keberatan mengidap penyakit itu.

Ya iya lah.

Yang keberatan jelas Isterinya, ruang tamu bisa penuh barang-barang yang menumpuk dan hampir bisa membuatnya gila.

Solusi sementara ya ruang di belakang rumah yang dijadikan gedung oleh mereka, walaupun sekarang what the hell, sudah sampai pada batasnya juga.

"Sepertinya memang harus ada yang kita benar-benar buang lah, pa" Keluh Maya.

"Jangan..."

Mata Maya mendelik.

"Jangan ragu-ragu maksudnya, buang saja" Refki mengoreksi kata-katanya sendiri.

"Tidak semua juga lah, ada yang beneran harus kita buang, yang rusak atau sama sekali tidak bisa dipakai lagi, yang masih bisa digunakan kita sumbangkan saja,"

Akhirnya mereka menyiapkan tiga kardus besar yang dibagi untuk barang yang akan dibuang, disumbangkan dan yang disimpan.

Mudah sebenarnya untuk mengenali yang mana harus dibuang, kipas angin rusak, notebook rusak, babywalker, buku-buku catatan pekerjaan Reki. Tidak mungkin disimpan ataupun disumbangkan. Mainan-mainan yang masih bagus milik Remi yang sudah bosan dimainkan, gitar kayu kurang satu senar yang hampir tidak pernah benar-benar dimainkan Reki, dibeli hanya karena ingin belajar untuk beberapa hari kemudian Reki menyerah dan menelantarkannya begitu saja. Salah satu keponakan Reki yang baru beranjak dewasa pasti suka kalau diberikan ini.

Ada juga album-album lama yang berisi foto-foto dari jaman umat manusia belum kenal smartphone maupun kamera digital. Jaman foto harus dicetak di selembar kertas dari hasil negatif film, dari jaman datuk nenek Remi hingga ketika bapaknya baru mengenal ibunya di jaman SMA.

Album-album itu harus diselamatkan, harta warisan sebenarnya untuk anak cucu mereka kelak.

Setelah menyerahkan kardus untuk barang-barang yang dibuang kepada petugas kebersihan RT mereka, besok mereka akan menyerahkan kardus yang akan disumbangkan, rencananya ke panti asuhan yatim piatu terdekat.

Mereka kini membersihkan album-album foto yang ada di dalam kardus dari debu yang sudah lama menumpuk. Sembari sekali-sekali melihat isi di dalamnya, lembar-lembar kenangan yang membuat mereka tersenyum bersama.

"Liat pa, foto kecil mu dulu persis sekali dengan Remi, salin ndak tumpah"

"Masa sih? Padahal dulu aku yakinnya itu Remi malah mirip satpam di sekolah mu, ma"

Demi mendengar candaan yang kelewatan itu mata Maya mendelik lagi.

Untung saja dia sudah mengenal betapa udiknya selalu candaan suaminya itu berhari-hari selama empat tahun pernikahan, belum ditambah enam tahun pacaran.

Jadi sekali cubitan kilat seperti ketika Maya biasa mencubit anak murid yang diajarnya yang nakal atau yang tidak mengerjakan tugas.

Cepat dan sakit.

"Duh..duhhh" Reki meringis kesakitan tapi dengan wajah mau tertawa juga.

Album-album itu semakin dibongkar semakin bikin baper ternyata, seperti membuka mesin waktu perjalanan mereka, ketika hari pernikahan mereka.

"Kamu kurus sekali dulu, pa"

"Nggak kayak sekarang ya? Kayak orang hamil 5 bulan nggak lahir-lahir"

Maya tak bisa menahan tawa mendengarnya.

"Dan kamu nggak pernah cantik dari dulu ya, ma"

"Apa?" Hampir saja serangan kedua cubitan capit kepiting batu kembali dilancarkan

"Nggak cantik, tapi manis. Manis banget nggak pernah membosankan" Elak Reki.

"Dasar.."

Maya pun mengurungkan niatnya untuk mencubit, giliran pipinya yang sekarang bersemu merah.

"Apa ini?"

Ditumpukan paling bawah terselip sebuah bingkai kayu usang dengan sebuah foto hitam putih di dalamnya.

Reki meraih dan membersihkan debu-debu yang menutupi foto, masih nampak bagus kondisinya dilindungi kaca transparan, tinggal diusap berkali-kali sudah nampak kembali jelas.

Foto dua belas orang pemuda yang umur nya kira-kira pertengahan hingga akhir belasan.

Yang di posisi berdiri berjejer dengan gagah dilihat dari wajah masng-masing, nampaknya mereka yang lebih tua.

Di depan mereka, yang duduk nampaknya yang umur-umurnya lebih muda, tidak banyak yang Reki kenal, hanya satu-dua.

Yang paling Reki kenal tentu saja yang duduk di pojok nomor dua dari kiri, wajahnya mirip persis 'salin ndak tumpah' dengan dirinya maupun cucunya, Remi.

Masih nampak muda sekali, namun kharismanya sudah sungguh kelihatan. Tidak memakai kacamata bulat tebal yang menjadi ciri khasnya matanya yang sayu itu menjadi agak kelihatan menyipit pabila disetiap beliau memutuskan untuk tidak memakainya. kumis yang sudah lebat untuk umur baru belasan tahun, mirip seperti yang dipelihara Reki. Rambut ikal hitam lebat, tidak seperti sekarang yang sudah menipis putih penuh uban.

Seluruh pemuda di foto itu bergaya parlente, kemeja putih-putih, kompak. Ada yang mengangkat tinggi kerah kemejanya, dan membuka beberapa kancing depannya, dan seperti dirinya, bapaknya ketika muda ternyata suka menyingsingkan kemeja panjangnya hingga siku.

Reki tidak pernah tahu ada foto seperti ini sepanjang yang ia tahu. Konon beliau pada masa bujangnya memang senang mengambil gambar dengan kamera, membawanya kemana-mana mengalungkan di leher, tapi banyak yang hilang atau sudah habis dimakan usia, yang ini tidak pernah ia lihat.

Di dorong oleh rasa penasaran, ia membawa bingkai foto itu untuk ditunjukkan kepada ayahnya yang sudah hampir tiga tahun tidak keluar kamar, tidak kemana-mana, beliau telah terkena stroke yang membuat sebagian tubuhnya mati. Kalau pun dipaksakan ia harus menyeret-nyeret kakinya sembari berpegang pada dinding dan berharap tidak jatuh.

"Pah, aku menemukan ini di gudang"

Reki menunjukkan bingkai foto itu kehadapan papahnya yang seperti biasa duduk di kursi di hadapan televisi.

Beliau membetulkan kacamata bulatnya untuk melihat dengan jelas apa yang sama sekali sudah lama tidak ia lihat bahkan mungkin sudah lupa.

Wajahnya bungah, senyumnya mengembang.

"Darimana abang dapat foto ini? Sudah lama sekali" ujar beliau.

"Di dalam gudang, bagaimana Papah tidak tahu?"

Beliau hanya mengangkat bahunya dan menggeleng.

"Mungkin ketika mamah mu masih disini dan dirimu masih kuliah di Jawa"

Dalam kisaran waktu itu pun Reki bertanya kepada mamahnya dan memang benar fakta bahwa memang mamahnya menerima foto itu. Salah satu kerabat lama suaminya yang juga ada di dalam foto itu memberikan kepadanya ketika suaminya masih sehat walafiat dan pergi ke luar kota dan langsung menyimpannya di dalam gudang, sebelum mereka berpisah dan Reki masih kuliah.

Kisah yang berbeda, sebagaimana kisah yang juga dimiliki oleh foto hitam putih itu. Kisah jauh sebelum ia mengenal perempuan yang dinikahinya untuk kemudian pada akhirnya berpisah.

Kisah para remaja yang sedang merasa gagah-gagahnya, merasa kelak mereka akan menggenggam dunia.

Wajah-wajah polos yang sedang beranjak dewasa dan baru mulai mengenal problematika kehidupan, baik bagaimana bertahan hidup atau pun sekedar cinta-cinta anak monyet.

Mendadak semua kisah, semua kenangan kembali dalam benak orang tua itu, masa-masa muda, masa jaya yang sekarang tidak lagi dimilikinya kembali menggelitik saraf-saraf memori lamanya.

Karena kini, tinggal raga yang renta, separuh tubuhnya sudah tak berfungsi, jika pun menggerakkan tubuhnya sedaya upaya, hanya di antara kursi kayu di hadapan televisi dan tempat tidur di dalam kamar.

Reki dan isterinya pun hanya sekali-sekali sebelum berangkat kerja atau sesudah pulang menjenguknya, hanya cucunya Remi lah yang menjadi penghibur hati.

Selebihnya sepi, sendiri.

Berhari-hari, dalam tiga tahun terakhir ini, diusianya yang belum genap tujuh puluh tahun.

Foto hitam putih itu membangkitkan nostalgia, masa-masa penuh gelora. Tapi waktu tak pernah bisa diputar kembali, ia hanya bisa menerawang jauh ke luar jendela, mengingat apa-apa yang tersisa pada waktu itu.

Sungguh tidak terasa.

Lima puluh lima tahun yang lalu ternyata bisa berjalan seketika tanpa bisa kita benar sadari.

Continue Reading

You'll Also Like

158K 6.9K 30
!Adult/Possessive and Asshole!
200K 4.6K 31
Orphaned at a very early age, a young man goes through self-discovery as he uncovers his demonic past and faces a heavenly challenge. After discoveri...
95.9K 3.4K 63
His lessons on hiding the truth were from the Japanese Government itself who asked a bunch of middle schoolers not to even tell their parents that th...
20.3K 515 13
Azra, jeune femme d'une vingtaine d'années forcée d'épouser un homme qu'elle ne connait absolument pas. À cause de son frère aînée ; Tarik. Azra viv...