The Guardian Angel #ODOCTheww...

By Alvacchi_

47.9K 3.1K 122

(Tidak akan direvisi, jadi maklumi kalau masih ada banyak kekurangan. Cerita ini dibuat tahun 2018) Fallen An... More

Prolog
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
EPILOG

Bab 14

864 73 6
By Alvacchi_


Dunia Bawah

Kerajaan Gardania

Bar Castella

Puluhan deman baik perempuan maupun laki-laki tengah berkumpul di bar dan tengah bersuka ria dengan alunan musik dan minuman keras di jangkauan mereka.

Sebuah pengumuman yang tertulis di sebuah papan kayu yang memberitahukan bahwa perluasan wilayah ke dunia manusia akan dilakukan dalam waktu dekat.

Semua orang tengah menari ria dengan pasangan mereka masing-masing. Namun, berbeda dengan satu orang yang terlihat suram tengah duduk di pinggiran bar, tidak bergabung dengan deman lainnya.

Dua orang deman perempuan mendekat lalu menempel manja pada laki-laki dengan surai ombre merah dan hitam tersebut. "Avram~ tidak biasanya kau berwajah suram.... Apa terjadi sesuatu?~" ucap salah satu dari dua wanita berambut pirang dengan kulit kemerahan dan dua buah tanduk di dahinya.

Berbeda dengan Hellen yang hanya berbicara dengan nada manja, Ellina kini memeluk tubuh Avram dari belakang seraya mengelus pipi pemuda itu. "Avram sayang~ bagaimana kalau kita habiskan malam ini seperti saat itu?~ Lupakan sejenak masalahmu~." wanita itu lalu mengecup pelan rahang tegas sang fallen angel.

Embusan panjang keluar dari mulut laki-laki itu. "Hellen, Ellina, maaf untuk kali ini aku tidak bisa bersama kalian," lirih Avram. "Tapi .., setelah aku pulang dari tugasku, sempatkan untuk mampir ke rumah, oke?" lanjut laki-laki bersurai ombre itu mengedipkan sebelah matanya seraya tersenyum manis, membuat wajah dua wanita yang mengapit tubuh Avram memerah.

"Tentu saja, Avram~ Apa 'sih yang tidak buatmu," ucap dua deman perempuan itu bersamaan sembari memeluk laki-laki setinggi 189 cm itu dari dua sisi.

Ah, sekejap melupakan masalah Linus tidak apa, 'kan? Batin Avram menatap langit-langit bar yang terbuat dari kayu.

***

Avram menapakkan kakinya di tanah. Ini adalah ke sekian kalinya ia menginjakkan kaki di wilayah Linus. Sepasang sayap hitam di punggungnya perlahan terlipat lalu hilang menyatu dengan punggung lebarnya.

Pemuda setinggi 189 cm itu mengambil sesuatu dari saku celana hitamnya, sebuah karet. Avram mengikat rambutnya tinggi dan menyisakan rambut hitam di kedua sisi wajahnya, ponytail.

Jaket tebal berwarna merah panjang dengan bulu-bulu di bagian tudungnya digunakan olehnya. Sebuah kacamata dengan frame hitam tiba-tiba muncul saat tangannya terangkat. Avram memakai kacamata tersebut.

Baru beberapa langkah, kemudian pemuda itu sampai di keramaian dunia manusia. Banyak manusia--khususnya kaum hawa yang berhenti sejenak untuk memastikan matanya tidak salah dalam melihat lukisan tuhan yang tergambar pada fisik pemuda berambut panjang tersebut.

Beberapa kali Avram tersenyum dan mengangguk untuk menyapa perempuan-perempuan yang tidak berhenti menatapnya.

"Hahhh," Avram menghela napasnya. "Sepertinya manusia memiliki selera yang bagus, seperti diriku contohnya," ucap pemuda itu bersiul pelan. Akhirnya setelah membuat pipinya terasa pegal karena terus menerus senyum--untuk menebar pesona-- pada kumpulan perempuan, Avram tiba di jalanan kecil dimana pejalan kaki lebih sedikit.

Tiba di sebuah belokan gang dimana terdapat deretan tempat sampah, tiba-tiba langkah Linus terhenti. Semerbak aroma yang familiar terlintas di depan indera penciumannya.

Aroma arang dengan mawar ini .., Linus?

Slash

Baru saja Avram menebak-nebak pemilik aroma jiwa tersebut, tiba-tiba sebuah pedang hitam terlempat dan menuju ke arahnya berdiri. Jika saja pemuda berkacamata itu tidak sigap menghindar, mungkin pedang yang kini tertancap di tanah tepat dimana dia berdiri sudah membelah wajahnya.

"Kurasa aku sedang tidak mengundangmu," ucap sebuah suara dari atas.

Avram mendongak. Iris merahnya menangkap siluet pemuda bersyal hitam dengan switer abu-abu tengah berdiri di ujung tiang listrik. Netra hitamnya seolah bersinar saat kedua fallen angel itu saling bertatapan.

"Linus," sebut Avram pada sosok pemuda berambut hitam tersebut.

Linus turun dari tempatnya dan berdiri tegap di depan rekannya. "Avram," ucapnya. "sedang apa kau di wilayahku?" tanya pemuda itu menekan kata wilayahku, seolah kesalahan besar jika Avram berada di sini.

Kekehan muncul dari Avram setelah hening sekejap tercipta di antara mereka. "Dingin sekali~. Aku merindukanmu, kawan. Sudah lama semenjak kita menghabiskan waktu bersama," ujar pemuda berambut panjang itu mencairkan suasana.

Tangan Linus terangkat sebelah, pedang hitam berbilah tipis yang masih tertancap di tanah kini kembali ke tangannya. Dan dalam sekejap pedang itu hilang bagai asap.

"Jangan berbelit. Jelas sekali kau ke sini untuk mencariku," sahut Linus mengalihkan pandangannya pada tumpukkan sampah tak jauh dari mereka. "Sampai merelakan diri mendekat kemari. Bukankah kau hanya bermain wanita?" tanya pemuda itu sarkas. Sementara itu Avram hanya tertawa sebagai jawabannya, tidak menyangka kalau rekannya akan menyekaknya begitu keras.

"Terkadang kebenaran yang kau ucapkan menyakiti hatiku, kawan," sahut Avram dengan tawa, namun tak lama kemudian menghilang. Berganti dengan seringaian tajam tercetak di wajahnya, Avram menatap pemuda bersurai hitam dengan switer abu-abu melekat di tubuhnya. "Tuan Azazel memanggilmu kembali. Aku tidak tahu kenapa, tapi secepatnya kalau bisa sekarang kita harus kembali. Kau tidak tahu kapan nyawamu akan dicabut," lanjut pemuda itu memberitahukan tujuannya datang kemari.

Linus terdiam. Dalam kepalanya banyak sekali pikiran dan hal itu selalu merujuk pada gadis yang kini pasti tengah meringkuk di dalam selimut karena suhu dingin, Athala. Namun, memikirkan kalau tuannya sampai meminta Avram untuk menjemputnya, pasti ada sesuatu yang penting atau mungkin saat ini Azazel tengah murka.

Setelah pergolakan batin, akhirnya Linus memutuskan untuk mengikuti permintaan sang tuan. Dia akan membuat portal di sekitaran rumah Athala dan memberinya sebuah segel pengikat agar tidak diganggu oleh makhluk sejenis dexter. Gadis itu pasti akan menangis histeris kalau bertemu lagi dengan dexter.

Tunggu.... Kenapa aku jadi memikirkan Athala?! Aku hanya ... hanya ingin melindunginya karena dia mirip dengan Attila, itu saja. Tapi kenyataan kalau Athala adalah denoir tidak bisa Linus hapuskan. Salah satu alasan kenapa dirinya dipanggil untuk kembali pasti karena ia yang masih belum menyelesaikan tugasnya untuk membunuh denoir.

Dan pasti Azazel akan menggantikannya dengan seseorang untuk membunuh Athala.


Deg!

"Tidak!" jawab Linus tegas. "Aku tidak akan kembali dalam waktu dekat."

Entah kenapa saat membayangkan dirinya dipanggil untuk kembali dan seseorang menggantikannya untuk membunuh Athala terasa sangat menakutkan. Membayangkan Athala akan mati karena tikaman Glasdtone di jantungnya membuat Linus tidak bisa menyingkirkan pikiran untuk segera pergi dari situasi ini dan membawa pergi Athala ke manapun asal tidak bertemu makhluk dunia bawah.

Linus menegang. Dia merasakan hawa berbahaya dari Avram. Kini di depan pemuda bersurai hitam itu, berdiri gagah seorang pemuda dengan surai ombre merah dan hitam tengah terbang dengan sepasang sayap hitam besarnya. Sebuah tombak besi yang memiliki pisau berwarna hitam dan gagang kayu sepanjang dua meter berwarna merah berada di tangannya.

Netra merah milik Avram bersinar tajam. Sepasang tanduk muncul dan mulai membesar di dahinya.


Azazel mengangkat sebelah tangannya. "Jika Linus menolak untuk kembali, paksa dia dengan kekerasan," ucapnya sebelum tangan itu menggenggam erat hingga memperlihatkan urat-uratnya di balik kulit seputih susu tersebut.

***

Untuk saat ini jangan keluar dulu. Tunggu situasi aman. Aku akan datang untuk mengecekmu secara berkala. Jaga kesehatanmu.


Athala menatap secarik kertas di tangannya yang baru saja ia temukan menempel di jendela kamarnya setelah bangun tidur.

Rona merah mulai muncul di pipinya. Entah dia harus senang karena ada yang memerhatikan, atau harus kesal karena setelah ini dia harus terperangkap di rumah sendiri.

Athala berjalan menuju dapur, melewati sebuah meja yang di atasnya terdapat beberapa foto. Kebanyakan adalah gambar Athala waktu kecil diapit oleh seorang wanita yang memiliki surai sama dengan gadis itu dan seorang laki-laki tinggi berkacamata yang memiliki warna mata juga senyumam mirip Athala. Sudah jelas mengatakan kalau keduanya adalah orang tua gadis berumur 17 tahun itu.

Foto lainnya adalah Athala yang baru lulus sekolah dasar dan beberapa gambar yang menunjukkan kalau gadis itu memenangkan beberapa lomba, masih bersama orang tuanya. Hingga akhirnya foto kelulusan sekolah menengah pertama dimana hanya terdapat sang ayah yang mendampingi Athala dengan duduk di atas kursi roda. Senyuman bahagia terpancar di wajah Tsukishima Kei walau wajahnya pucat karena sakit keras. Di sampingnya, Athala hanya tersenyum lemah sembari memegang sebuah piala dan sebuah selendang bertuliskan 'Peringkat 1' melingkar bahu sampai pinggang.

Kembali ke dapur Athala. Gadis itu mengusap pelan kedua matanya saat merasa masih terlalu berat untuk bangun pagi.

Sebelah tangannya terulur untuk membuka pintu lemari pendingin. Ada beberapa makanan instan dan telur. Cukup untuk seminggu. Sampai Linus datang, batinnya tersenyum tulus. Sedetik kemudian gadis itu menggeleng keras. "Astaga, kenapa aku jadi memikirkan Linus?" erangnya.

"Hoo, jadi kau memikirkan Linus, ya?" ucap sebuah suara di belakang punggung Athala.

Belum sempat gadis itu berbalik untuk meliht siapa pemilik suara, tiba-tiba kegelapan merenggut penglihatannya.

***

Sakit ....

Kesadaran perlahan muncul pada tubuh yang terduduk di lantai semen yang dingin. Kedua tangannya di rantai ke atas dan kakinya terpasung oleh sebuah bola besi yang ukurannya bisa untuk menghancurkan sebuah mobil, amat besar.

"Aku ... dimana?" lirih perempuan itu serak, seolah suaranya hampir hilang. Ingatan terakhirnya adalah dirinya yang berada di dapur untuk mengecek bahan makanan, tapi kenapa tiba-tiba dia berada di tempat luas namun minim cahaya ini?

"Wah~, kau butuh waktu cukup lama untuk sadar," sahut sebuah suara perempuan, yang tiba-tiba membuat Athala mengingat kejadian tepat sebelum dirinya kehilangan kesadaran.

Rasa sakit menyerang kepalanya saat mencoba mengingat lebih jelas apa saja yang terjadi sebelum itu. Saat gadis itu mengkerutkan dahinya karena rasa sakit, perempuan berambut hitam sedagu dengan sebuah tongkat baseball di tangannya menampakkan diri dalam jarak panjang gadis berambut cokelat yang memakai hoodie rajutan dan celana training sebagai pilihannya untuk tidur.

"Sakit ya? Maaf saja, aku kurang berhati-hati membawamu dan meletakkanmu di sini," ucap Flaine dengan seringai dingin di wajahnya. "Nah, Denoir-chan, sekarang waktunya kita bersenang-senang." gadis fallen angel tersebut mengucapkannya dengan pelafalan bahasa Jepang yang lancar sembari menodongkan tongkat bisbolnya.

Netra jade Athala melebar. Ingin rasanya ia berteriak kencang, tapi lehernya terasa sakit seolah sebelumnya lehernya telah dicekik sekuat tenaga.

***

Kastel Grimonia 

"Maafkan aku, Tuan Azazel. Saat itu aku sangat berusaha agar Linus tidak menyadari kehadiranku, hingga lalai dalam menjalankan tugasku," ucap pemuda dengan sayap terlipat di punggungnya. Surai ombre hitam dengan kuning keemasan itu bergerak pelan saat empunya membungkukkan tubuhnya.

Tubuh Felix terlonjak saat merasakan usapan di kepalanya.

"Tegakkan tubuhmu. Bukan salahmu. Sekarang kakakmu dan Avram sedang menggantikanmu," jawab Azazel lembut. Perlahan tubuh Felix menegak, secercah rona merah muncul di kulit putihnya.

"Te-terimakasih, Tuan."

Senyum hangat kini terbit di wajah laki-laki penguasa dunia bawah tersebut. Perlahan Azazel menyentuh bahu Felix, lalu memeluknya. Mengusap surai ombre salah satu anaknya, laki-laki itu berbisik pelan pada pemuda setinggi 178 cm tersebut.

"Kau adalah yang termuda di antara saudara-saudaramu, tapi itu tidak memungkiri kalau kau juga kuat. Setelah ini, temani aku mempersiapkan pasukan untuk nanti," ucap Azazel. Sementara itu Felix mengangguk yakin dengan senyum mengembang di wajahnya.

"Baik, Ayah."

**** 

Dududududududududududu😲😲😲😲😲

Continue Reading

You'll Also Like

1.2M 103K 51
(𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐬𝐢 𝟏) 𝘊𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘣𝘺 𝘸𝘪𝘥𝘺𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪0506 ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴀʜᴜʟᴜ ᴀᴋᴜɴ ᴘᴏᴛᴀ ɪɴɪ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇɴᴅᴜᴋᴜɴɢ ᴊᴀʟᴀɴɴʏᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀ♥︎ ⚠ �...
5.6K 1.1K 26
[ 𝘍𝘢𝘯𝘵𝘢𝘴𝘺 - 𝘔𝘪𝘯𝘰𝘳 𝘙𝘰𝘮𝘢𝘯𝘤𝘦 ] Athena merupakan orang yang selalu menghindari masalah. Menuruti segala keinginan yang kakeknya ingink...
1.4M 76.3K 40
(BELUM DI REVISI) Aline Putri Savira adalah seorang gadis biasa biasa saja, pecinta cogan dan maniak novel. Bagaimana jadi nya jika ia bertransmigra...
1.5K 421 53
Eila yang bertemu dengan Varen mencuri sebuah berlian dari dalam gua misterius. Ia tak menyangka apa yang dilakukanya ini akan membawa dirinya dan Va...