The Guardian Angel
.
.
.
.
.
Bangunan besar bertingkat tiga yang berdiri di tengah hutan itu hanya bisa dilihat oleh makhluk lain selain manusia. Bangunan bergaya eropa dengan cat merah dan hitam yang mendominasi dindingnya beserta beberapa jenis ukiran rumit membentuk Bunga Gardania, simbol Kerajaan Gardania.
Di sebuah ruangan luas yang hanya memiliki sebuah ranjang dan satu set meja berisi dua buah kursi yang menjadi satu-satunya barang di sana, terlelap seorang perempuan berambut cokelat terurai di atas bantal.
Sinar matahari terbias di jendela yang terletak di lantai tiga tersebut. Bolamata di balik kelopaknya itu perlahan bergerak-gerak, namun makin lama terlihat panik.
"Jauhi dexter, jauhi kegelapan. Sudah kukatakan padamu semenjak pertemuan pertama kita."
"Atha-chan, ada sesuatu yang sepertinya tengah mengejar kita!"
"Irimi-san!"
"Kita harus lari, Athala."
"Sudah kubilang padamu untuk menjauhi tempat gelap, lalu kau pikir itu hanya mimpi?"
"Athala ...kh .... La-larilah ... cepatkh...! Lari!"
"Irimi-san!"
Slap
Netra jade milik Athala terbuka tiba-tiba. Keringat dingin muncul di berbagai bagian tubuhnya. Napas gadis itu tidak terkontrol, degup jantungnya juga tidak normal. Mimpi buruk! Terlalu nyata untuk disebut demikian.
Baru gadis itu sadari. Langit-langit kamar tempatnya tidur bukanlah rumahnya.
"Kau sudah bangun?"
Sebuah pertanyaan membuat gadis itu menoleh cepat dan bangkit dari posisi tidurnya hingga membuat keseimbangannya goyah. Dengan sigap, sebelum jatuh, Linus menangkap Athala.
Gadis itu reflek mengalungkan tangannya pada leher Linus.
"Hati-hati," ucap Linus pelan tepat di depan wajah Athala. Semerbak warna merah menyebar dengan cepat di pipi gadis manusia itu hingga akhirnya deheman Linus membuat Athala sontak melepaskan tangannya. "Jangan lepas---"
"Akh!"
Athala terjatuh.
Linus menghela napas keras, lalu mengulurkan tangannya pada gadis yang kini tengah meringis sembari mengusapi pinggulnya. "Sudah kubilang, jangan lepas dulu," sindir pemuda itu. Sementara sang gadis masih meringis, ingatannya mulai melayang pada kejadian beberapa waktu lalu.
Bukannya meraih tangan Linus, Athala malah berdiri cepat dan segera mengambil langkah mundur menjauhi pemuda tak dikenalnya itu. "Menjauh dariku!" seru gadis berambut cokelat terurai tersebut ketakutan.
Mata Linus menyipit tidak suka. "Hei, apa ini respon setelah kuselamatkan? Mana ucapan terimakasihnya?"
Menggeleng cepat, Athala menampakkan raut wajah sinis juga tidak suka. "Lalu, apa maksudmu waktu itu menghunuskan pedang padaku kalau tidak untuk membunuhku?!" histerisnya. "Kau monster!"
Grep
Entah sejak kapan pemuda itu sudah berada di depan Athala sembari mencengkeram kedua tangan sang gadis. Manik sklera kini tampak pada sepasang matanya. "Jaga bicaramu. Aku bisa membunuhmu lebih mudah dari yang kau kira," ucap Linus dengan nada rendah, membuat Athala mau tak mau mengangguk dengan tubuh bergetar.
"Bagus." Linus menjauhkan wajah dan tangannya dari Athala, namun itu hanya sekejap. Saat gadis itu lengah karena pemuda itu akhirnya menjauh, tiba-tiba Linus kembali mendekatinya.
Selanjutnya hanya rasa hangat yang dirasakan Athala disekujur tubuhnya, terutama bagian depan tubuhnya yang dipeluk erat oleh pemuda berambut hitam tersebut.
"Aku khawatir sekali. Sudah tiga hari kau tidak sadar. Aku takut," lirih pemuda itu menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher Athala. Punggung gadis itu menegang saat merasakan embusan hangat di lehernya. Sekuat tenaga perempuan itu mencoba melepaskan diri, namun sia-sia karena Linus mempererat pelukannya. "Padahal kau bukan dia, tapi entah kenapa aku tidak bisa mengabaikanmu," lanjut fallen angel tersebut.
Perlahan tubuh Athala merileks. Suatu perasaan meletup di hatinya membuatnya terdiam. Seolah-olah kalimat yang tadi ia dengar dari Linus adalah kalimat yang ia tunggu-tunggu. Seolah Linus adalah seseorang yang familiar dan sangat gadis itu rindukan.
Athala mengulurkan tangannya untuk mengusap tengkuknya, namun entah kenapa tangan itu justru terulur untuk mengusap punggung pemuda di depannya.
Sungguh. Perasaan apa ini?
***
Kastel Grimonia
Erangan tertahan terdengar di ruangan luas yang minim cahaya tersebut. Bayangan seseorang tengah membungkukkan tubuhnya di atas singgasana sembari sebelah tangannya menggenggam erat pegangan kursi hingga retak.
Azazel mencengkeram dadanya dengan tangan yang satunya. Tubuhnya bergetar hebat, keringat membasahi pelipis, dan kepalanya berdenyut. Laki-laki penguasa dunia bawah itu mengerang penuh kesakitan saat sekelebat bayangan mengisi otaknya berkali-kali.
Hal yang terakhir kali terdengar hanyalah sebuah teriakan kencang dibarengi geraman yang sanggup menggetarkan tanah gardania dan membuat para Owliath beterbangan dengan panik ke segala arah.
Azazel menelan ludah kasar. Rasa sakit di dadanya berhenti. Ingatan dan kekuatan milik Linus yang tersegel di dalam tubuhnya menggila dalam sekejap. Entah apa yang terjadi jika Azazel tidak sanggup menahan kekuatan dari seseorang yang menerima darahnya.
Suasana yang remang membuat ekspresi marah Azazel tidak terlalu kentara. Yang jelas, kini aura hitam yang kuat mengental di penjuru kastel.
"Flaine," sebut laki-laki bergaya rambut mangkuk tersebut.
Tiba-tiba sekelebat cahaya hijau tua melesat dibarengi munculnya sesosok gadis berambut sedagu. Surai ombre hitam dan hijaunya bergerak pelan saat Flaine berlutut dengan satu kaki di hadapan tuannya, menunggu perintah.
"Datanglah ke wilayah Linus dan pantau dia selama beberapa waktu. Kembalilah saat aku menyuruhmu kembali," ucap Azazel dengan suara rendah.
Tubuh Flaine merinding seketika. Sudah lama sekali semenjak tuannya terlihat sangat marah dan hal itu membuat gadis fallen angel tersebut khawatir.
"Baik, Tuan," jawab Flaine sebisanya untuk tidak membuat amarah tuannya semakin besar. "Kalau begitu, saya permisi."
Gadis berambut ombre itu bangkit dari posisinya dan mengeluarkan sayap hitamnya dari balik punggung. Manik sklera hitam muncul di sepasang matanya. Flaine mengepakkan sepasang sayapnya dan dengan sekali hentak, gadis itu sudah meluncur cepat meninggalkan sosok Azazel yang masih terduduk diam di singgasananya.
Pria penguasa dunia bawah tersebut menolehkan kepalanya ke kiri, menatap sosok berambut panjanh ombre merah dan hitam yang tengah berdiri mematung di sisi aula luas kastel.
"Avram, ikuti Flaine. Saat Flaine kembali, perintahkan Linus untuk kembali ke dunia bawah. Ini perintahku!" ucap laki-laki itu langsung diangguki takzim oleh fallen angel berambut panjang ombre tersebut.
***
Flaine terdiam menonton penggambaran yang dibawakan oleh seekor Owliath yang ditempatkan di dekat Linus pada matanya.
Sesosok gadis manusia yang mirip sekali dengan seseorang dari masa lalu. Dan yang paling penting, Flaine sadar kalau manusia itu adalah seorang denoir.
Dan menemukan fakta kalau Linus sepertinya menaruh perhatian pada denoir tersebut, terbukti saat pemuda fallen angel dan gadis manusia tersebut saling tertawa bahagia.
Flaine menggertakkan giginya.
***
Homenhahai~~
Janji ga kutang lagi-- eh, nggak ngutang lagi😂😂 kalo ngelanggar lagi, aku akan janji lagi😂😂