Over The Moon (SUDAH TERBIT)

By Levitt1806

1.9M 88.6K 4.8K

Ajeng dan Gandi. Dua orang dengan sifat yang serupa tapi tak sama, bertemu di sebuah kota yang jauh dari temp... More

Preface
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Progressnya Berapa Persen?
Pre Order, Puhlease!!!
Bonus Buat Yang PO
Latest Info (PO OTM)
Info PO Jilid 2
PO 2 Sudah Dibuka
GIVEAWAY AJENG&GANDI
Gandi Partners
Puasa Pertama El dan Lala
Live Talk
OVER THE MOON 2.0
KARENA BUKU TAHUNAN

Chapter 10

60.7K 6.9K 281
By Levitt1806

Haaaiii, sori kemarin nggak muncul. Sibuk dengan dunia nyata hehe

Semoga suka dengan ceritanya. Votes dan commentsnya ditunggu. It means alot.

Enjoy
*
*
*

From : Pak Vino
Kamu ditelfon kok gak ngangkat? Belum berangkat ke kantor, kan? Gausah bawa mobil.

Gue baru selesai mandi saat mendengar notifikasi dari ponsel. Kenapa Pak Vino tiba-tiba nyuruh gue nggak nyetir?

"Halo, Pak?"

"Halo, Ajeng. Kamu masih di apartemen atau sudah jalan ke kantor?"

"Masih di apartemen. Ada apa ya, Pak?"

"Kebetulan saya lagi di sekitar gedung apartemen kamu, nih. Kita berangkat ke kantor bareng aja, ya?"

"Kok bisa di sekitar sini? Nggak usah, Pak. Ngerepotin. Ntar saya pulangnya sama siapa. Ribet ah."

"Ya saya antar balik. Sudah masuk parkiran, nih. Saya tunggu di lobby, ya."

Sambungan telepon dimatikan.

Pak Vino ngapain ya pagi buta udah main di sekitar sini? Meeting kah? Ah, kepagian deh kayaknya. Mungkin dia baru saja menemui seseorang. Gue confirm begitu ketemu di lobby aja, deh.

Setelah mengaplikasikan sedikit make up ke wajah-sun screen, bedak, dan liptint-gue bergegas turun ke lobby. Nggak enak dong ditungguin sama si bos. Dunia terbalik ini judulnya. Biasa juga anak buah yang lumutan nungguin atasannya.

Pak Vino tengah membaca koran sembari duduk di sofa lobby. Radarnya kuat banget, cuy. Begitu gue muncul, kepalanya langsung tegak dan dia melambai ke arah gue.

Gue mempercepat langkah menghampirinya.

"Morning, Ajeng. Sudah sarapan?"

"Sudah, Pak."

Pak Vino meletakkan kembali koran tersebut di stool lalu mengajak gue berjalan menuju tempat parkir.

"Bapak kok bisa ada di sekitar sini?"

"Oh...itu...tadi sepupu saya ngajak sarapan bareng. Dia nginap di hotel sebelah," Pak Vino menunjuk hotel bintang empat yang terletak tak jauh dari gedung apartemen gue.

Ketemu sepupu ternyata.

"Hari ini jadi liputan di Senayan, kan?" Pak Vino membuka pembicaraan setelah melajukan mobilnya.

Gue mengangguk. Gue dan Robi dipilih sebagai perwakilan kantor untuk meliput demonstrasi yang akan berlangsung di Senayan. Soal kenaikan harga sembako yang tiba-tiba. Sudah makanan sehari-hari kami.

"Hati-hati, ya. Hindari aksi brutal. Kita butuh berita, namun kantor kita lebih butuh karyawannya yang tetap sehat wal afiat setelah meliput," jawab Pak Vino sambil tersenyum.

"Siap, Pak," gue membuat gerakan hormat. Pak Vino tertawa kecil.

"Kamu dan Gandi...dekat?" tanya Pak Vino tiba-tiba.

Dahi gue otomatis mengernyit. Ngapain coba Pak Vino nanya-nanyain si casanova sialan plus mesum tapi tukang ngambek itu?

Yap. Sekarang gue tambahin embel-embel baru untuk si Gandi. Tukang ngambek. Gayanya aja sok dewasa, tebar feromon sana-sini, tapi ternyata ngambeknya mirip anak SD yang batal diajakin main ke dufan.

"Dekat darimana, Pak? Sebatas pewawancara dan narasumber. Nggak lebih," jawab gue main aman.

Nggak tepat aja rasanya jika gue share personal issue gue ke Pak Vino. Walaupun beliau masih muda, dia tetap atasan gue. Ada line yang nggak bisa dan nggak mau gue langgar. Pak Vino cukup tahu kinerja gue di kantor. The rest is my business.

Pak Vino terlihat tidak percaya dengan ucapan gue. Dia menyipitkan mata, menoleh pada gue sesaat, lalu kembali menatap jalanan di depan.

"Saya cuma heran kenapa dia kasih kopi gratis ke staf-staf saya dua minggu berturut-turut," ungkap Pak Vino.

"Kebanyakan duit kali, Pak. Bingung mau disalurkan kemana. Padahal mah gampang. Tinggal kirim duitnya ke program Rupiah untuk Indonesiaku di Gayatri TV dan uang-uangnya akan segera kita donasikan ke yang lebih membutuhkan."

Gayatri TV juga punya program kemanusiaan seperti stasiun-stasiun TV lainnya. Enam bulan sekali, uang hasil donasi tersebut akan dialokasikan dalam bentuk perbaikan infrastruktur, pembangunan tempat ibadah dan fasilitas publik, atau pemberian barang sembako untuk yang membutuhkan.

Para karyawan Gayatri TV secara bergantian turut serta secara langsung dalam program tersebut. Sepulangnya dari Loughborough, gue ikut serta ke pedalaman Sumatera Barat, membangun jembatan yang sempat putus karena longsor.

Karena masih pagi buta, kami sama sekali tidak terjebak macet selama perjalanan dari gedung apartemen gue ke kantor. Pak Vino memarkirkan mobilnya di spot khusus Dep Head.

"Kayaknya kita kepagian, Pak," ujar gue sembari membuka seatbelt.

"Nggak papa, deh. Temani saya ngopi aja dulu yuk di kafe bawah," ajaknya.

"Tadi sarapannya nggak sekalian ngopi, Pak?" tanya gue heran.

Pak Vino menggeleng lalu keluar dari mobil. Tidak seperti gue yang memakai ransel saat bekerja, Pak Vino jarang terlihat memakai tas kerja. Kalau pun pakai, dia hanya menggunakan hobo bag hitam miliknya.

Gue mengambil ransel di jok belakang mobil.

"Tas kamu biar saya bawa aja," dia menunjuk Jansport gue.

Langsung gue tolak. Nggak etis dan nggak perlu. Gue masih kuat kalau cuma bawa laptop dan alat tulis. Terlebih, tidak ada buku bacaan di dalam ransel gue hari ini.

"Nggak perlu, Pak. Terima kasih."

"Baiklah. Padahal tawarannya gratis," dia mengulum senyum saat mengatakannya.

Pak Vino memesan espresso. Gue memesan teh hangat. Dia membayar minuman gue padahal gue sudah memaksa untuk membayar sendiri.

"Cuma teh, Ajeng," ucapnya menutup debat kami.

Kami duduk berhadapan di meja yang dekat dengan jendela. Pengunjung di kafe ini belum terlalu ramai. Hanya ada empat orang selain kami yang sedang menikmati sarapan.

"Program Yang Muda Menginspirasi mendapat feedback yang semakin baik dari masyarakat," Pak Vino memulai percakapan seputar program yang gue kerjakan under Mbak Anya. "Request dari masyarakat juga semakin aneh-aneh. Yang paling lucu, tapi saya sih yakin kamu sudah tahu, banyak yang meminta kita mengupas tuntas tentang suami Tasya Kamila. Anak zaman sekarang memang langsung terpesona sama laki-laki tampan dan mapan, ya."

Gue terkekeh. Tasya Kamila, si artis cilik dengan otak brilian itu, baru saja melepas masa lajang. Pernikahannya mencuri perhatian publik karena suaminya yang disebut-sebut sebagai husband material.

Nggak bisa dipungkiri, suami Tasya Kamila itu memang punya hampir semua hal yang diharapkan para wanita sebagai suami. Tampang oke, background pendidikan dan keluarga yang mumpuni, serta pekerjaan yang dapat dibanggakan.

Furthermore-ini yang paling gue garis bawahi-dia sangat mencintai Tasya Kamila. Menurut gue, Tasya menerima suaminya itu bukan semata karena kriteria-kriteria yang dimilikinya, tapi karena suaminya itu menawarkan cinta yang Tasya yakin nggak akan dia dapat dari laki-laki lain.

"Suaminya itu emang husband material sih, Pak. Walaupun menurut saya, kriteria husband material tiap orang beda-beda," ungkap gue.

Pak Vino meneguk kopinya sambil menarik senyum simpul. "Kalau husband material untuk kamu, seperti apa?"

Gue mengangkat bahu. Bingung mau bilang apa.

"Kenapa nggak bisa jawab? Karena husband material versi kamu sama dengan versi wanita kebanyakan?"

Lagi, gue mengangkat bahu. "Nggak bisa saya jawab, Pak. Karena kata salah satu teman saya, kalau sudah bertemu orang yang tepat, husband material yang kita agung-agungkan itu runtuh dengan sendirinya."

Kadek yang pernah bilang itu ke kami-kami di satu sesi pajama's party  nya Pandawa 5.

"Tapi saya yakin kalau Bapak sih husband material kebanyakan perempuan. Apalagi cewek-cewek di gedung ini," gue menambahkan sambil tersenyum mengejek.

Pak Vino tergelak. "Sok tahu kamu. Pernah buat survey?"

"Nggak perlu buat survey, Pak. Their eyes say everything without a single word kalo kata Christian Bautista."

Garing, sih. Tapi gue ngakak. Keren joke gue di pagi hari.

"Menurut kamu, apa yang membuat seorang perempuan menerima lamaran seorang laki-laki? Cukupkah kriteria-kriteria husband material itu?" tanya Pak Vino lagi.

"Saya nggak tahu cewek lain mikirnya gimana. Tapi kalau saya pribadi, saya akan menerima lamaran pria yang saya cintai dan juga mencintai saya. No more no less."

"Bukannya cewek lebih gampang jatuh cinta? Jalani saja, cinta akan tumbuh dengan sendirinya, kan?"

Gue menggeleng mantap. Persepsi ini harus diluruskan. "Nggak juga. Cinta nggak bisa dipaksa, Pak. Sudah banyak contohnya. Perempuan laki-laki sama aja kalau sudah berurusan dengan cinta."

"Kamu ngomong cinta kayak sudah expert, ya. Banyak pengalaman?"

Lagi, gue mengangkat bahu. Sekali lagi gue tegaskan, gue kurang suka membagi personal life gue dengan orang lain.

Pak Vino terlihat siap bertanya lagi saat ponsel gue berdering.

Nomor tidak dikenal.

"Nggak diangkat?" tanya Pak Vino melihat gue mereject panggilan tersebut.

"Nomor tidak dikenal, Pak."

"Kali aja perlu."

"Kalau emergency, teleponnya akan datang lagi, Pak."

Benar saja. Ponsel gue berdering lagi.

"Sudah dua kali," lanjut Pak Vino.

"Tiga kali, Pak. Baru saya angkat."

Dan, untuk ketiga kalinya, dengan nomor yang sama, ponsel gue berdering.

"Halo?"

"Hai. Ajeng, it's me, Gandi. Kamu baru bangun, ya? Lama banget angkat telepon dari saya."

Bola mata gue berputar.

"Ngapain lo nelfon gue? Dapet nomor gue darimana?"

"Dari Iin. Jangan salahkan dia. Saya yang memaksa. Cuma mau menyapa kamu di pagi hari. Nggak papa, kan?"

"Gue sibuk. Jangan hubungi nomor ini lagi. Ngerti?"

"Galak bener. Awas ya kamu rindu sama saya. Seminggu kedepan saya bakal sibuk banget. Jadi kita akan jarang ketemu. Saya juga mungkin nggak akan sempat menghubungi kamu. Supaya kamu nggak syok, nanti malam kita dinner bareng."

"Ogah."

"Saya memaksa."

"Bodo amat."

"Saya tunggu di apartemen kamu, ya."

"Gue lembur."

"Saya jemput."

"Gue diluar seharian."

"Saya tunggu di apartemen kamu pokoknya. Semangat kerjanya, ya. Have a nice day. Bye, Babe."

Gue jijik mendengar panggilannya. Langsung gue matikan sambungan telepon.

"Siapa?"

"Orang gila, Pak."

Langsung gue blokir nomornya. Gandi ini otaknya bebal apa gimana, sih?

"Gandi, ya?"

"Kok Bapak tahu?"

Pak Vino tersenyum super tipis. "Siapa lagi laki-laki yang lagi gencar-gencarnya mendekati kamu kalau bukan dia."

"Percaya sama saya, Pak. Dia nggak beneran suka sama saya. Emang anaknya aja keganjenan. Eh, sudah jam tujuh nih, Pak. Kita nggak ke atas?"

***

Badan gue rasanya mau remuk. Gue selesai liputan jam tujuh malam. Badan bau apek. Rambut lepek. Perut lapar. Setelahnya, bukan langsung pulang, gue juga harus membuat laporan tertulis.

Gue sempat kaget saat mendapati Pak Vino masih di kantor menunggu gue menyelesaikan laporan. Katanya, dia sudah berjanji sama gue untuk mengantar gue pulang. Dan laki-laki selalu memegang janjinya.

Perut gue lapar. Pak Vino mengajak makan malam. Gue tolak. Gue terlalu capek untuk turun dari mobil dan duduk hampir satu jam di restoran. Nggak bisa ya tiduran sambil makan?

Pak Vino membelikan roti di minimarket untuk gue. Gue langsung mengunyahnya.

Nggak nendang tapi mager makan diluar karena capek. Gimana, dong?

Gue hampir saja terlelap saat menyadari mobil Pak Vino sudah memasuki kawasan gedung apartemen.

"Terima kasih banyak, Pak. Maaf bikin repot padahal saya bisa naik taksi."

"Sama-sama. Nggak ngerepotin sama sekali, kok. Ini beneran turun di lobi aja? Masih sanggup jalan ke apartemen kamu?"

Gue terkekeh singkat. "Masih lah, Pak. Santai. Hati-hati di jalan, Pak. Selamat malam."

"Malam, Ajeng."

Gue melirik jam. 11.15.

Pantesan gue lapar tapi ngantuk banget.

Makan Tidur Makan Tidur Makan Tidur.

Gue belum memutuskan mau memilih yang mana saat gue dikejutkan dengan keberadaan Gandi yang duduk lesehan di depan apartemen gue.

Matanya sedikit merah. Ngantuk juga kali, ya. Di sisi kanannya, tepat di depan pintu apartemen, gue menangkap sebungkus plastik restoran padang.

Jadi laper.

Eh, dia ngapain disini?!

"Minggir. Gue mau masuk," ucap gue dengan nada malas.

Dia langsung bangkit dan memamerkan senyum terbaiknya. "Syukur deh kamu nggak papa. Saya tungguin dari jam delapan tapi kamu belum pulang-pulang. Saya telepon nggak diangkat. Silent ya handphonenya?"

Gue cuma menggumam nggak jelas. Gimana lo mau nelfon gue, nomor lo aja gue blokir.

"Ternyata kamu lembur beneran. Jam segini baru pulang," dia masih berceloteh.

"Gimana caranya lo ada disini?"

Hanya penghuni apartemen dengan access card yang bisa menginjakkan kaki di lantai ini.

"Minta bantuan Becca," jawabnya menunjuk unit di depan gue.

Gue membuka pintu apartemen.

"Saya bawa nasi bungkus untuk kamu. Awalnya mau ngajak kamu di luar, tapi saya yakin kamu lembur dan pasti capek banget. Jadi saya beli nasi padang aja deh. Makan dulu, ya? Belum makan, kan?"

Gue menatapnya datar. Dia masih tersenyum. Heran.

"I prefer sleeping. But thanks," gue mengucap dingin tanpa menerima bungkusan yang dia berikan.

"C'mon. Makan dulu lah, Ajeng. Saya tahu kamu nggak bisa kelaperan. Saya pesan dendeng, lho. Kamu pasti suka."

"Gue mau tidur. Lo sebaiknya—"

"Saya juga laper banget nungguin kamu. Kita makan bareng. Kali ini aja, Ajeng. Please?" Dia memohon dengan wajah memelasnya.

Gue mendesah. Akhirnya, gue biarkan dia masuk ke dalam apartemen.

Dia bersorak kegirangan. Gue langsung masuk kamar tanpa ngomong apa-apa ke dia. Gue harus mandi sebelum mengunyah dendeng yang dia beli. Perut gue emang perlu diisi, tapi tubuh gue jauh lebih perlu dibersihkan.

Gue cuma butuh waktu dua puluh menit untuk mandi dan ganti pakaian. Celana selutut dan kaos oblong jadi pilihan gue.

Gandi sudah menyiapkan makan malam kami di pantry. Nasi bungkus sudah diletakkan di atas piring. Berikut air mineral untuk kami minum.

"Masih sanggup makan sendiri? Mau saya suapin?" tanyanya jail.

Gue mendengus lalu membuka bungkusan nasi. Lezat banget, cuy. Kalau makannya begini, nggak cocok pakai sendok. Itu sebabnya gue memutuskan mencuci tangan dan menyantap dendeng dengan tangan gue.

"Apa saya bilang. Kamu lapar," dia menahan senyum melihat gue yang dengan lahapnya menyantap nasi plus dendeng itu sampai tandas. Tak ada satu butir nasi pun yang tersisa.

Gue meneguk air mineral tanpa bicara. Gue biarkan Gandi menghabiskan makan malamnya.

Gue meletakkan piring kotor di bak cuci piring tanpa mencucinya. Kata Oliv, abis makan nggak boleh langsung tidur, entar perutnya gede. Padahal gue sudah ngantuk banget. Tapi, gue benci jika mendapati perut gue buncit. Maka, gue memilih duduk di sofa satu-satunya yang ada di apartemen itu sembari menonton program malam Gayatri TV.

Kening gue berkerut saat melihat Gandi mencuci piring dan gelas yang kami pakai. Rajin banget. Tapi nggak papa lah. Jadi besok pagi gue nggak ribet sama piring kotor lagi.

Gandi gabung duduk di sebelah gue. Kami duduk cukup berjarak. Dia mulai paham gue nggak suka berdekatan dengannya.

"The dinner is over. Lo boleh pulang sekarang. Thankyou sudah mencuci piringnya," ucap gue.

"You're welcome. Saya senang banget kita bisa dinner bareng. Oh ya, saya lupa bilang. Uda Ervin dan Nanguda Ayu suka dengan kue yang kamu pilih. Terima kasih banyak ya, Ajeng, sudah membantu saya pilih-pilih buah dan kue."

Oke. Dia berlebihan. Tiga hari lalu, gue menemaninya beli kue dan buah semata-mata karena dia akan menemui orang tua Iin. Dan gue cuma menyarankan dia membeli banana cake karena tidak terlalu berlemak.

Tapi, gue memilih tidak menanggapi perkataannya. Udah berapa menit, ya? Oliv bilang minimal lima belas menit baru kita bisa tidur setelah makan. Teorinya belum terbukti secara ilmiah. Namun gue menuruti karena make sense aja gitu.

"Kenapa bisa lembur?" tanyanya lagi.

"Namanya kerja. Ya kadang-kadang lembur," jawab gue ketus.

"Iya. Pertanyaannya, kok bisa lembur? Ngapain aja emang sampai harus lembur?"

"Gue liputan di luar. Kepo banget sih. Lo nggak pulang? Perlu gue panggilin security untuk menggeret lo dari sini?"

"Sadis banget kamu. Untung cantik. Jadi termaafkan, deh," dia masih saja bercanda padahal gue sudah jahat banget sama dia.

"Lo yang nongol mulu di depan gue. Bukannya lo sibuk, ya? Arsitek sekaliber elo, sedang mengerjakan mega proyek pula, kenapa sempat-sempatnya ngeganggu hidup gue, sih?!"

Gue kini menatapnya. Mata gue sayu. Ngantuk banget. Tapi, gue masih sanggup memberikan  tatapan tajam.

"Kamu pinter, tapi kepekaannya nol besar. It's fine. Somehow, kamu dan ketidakpekaanmu terlihat sangat menggemaskan."

Muntah boleh? Merinding gue dengar kata-katanya.

"Kamu beneran nggak bisa maafin saya ya? Saya benar-benar menyesal sudah mencium kamu. Bukan karena saya menganggap kamu gampang. Kamu sangat menarik. I just can't help it."

Kepala gue pusing.

"Pulang sekarang," gue mengusirnya.

"Diusir lagi. Nggak capek ngusir saya? Maafin saya dulu. Baru saya pulang," dia menggeser duduknya ke arah gue.

Tidak terlalu dekat. Kami masih berjarak.

"Gue maafin. Sekarang keluar."

"Kamu nggak benar-benar maafin saya. Dendamnya masih kedengaran dari nada suara kamu," dia memaksa.

"Gue ngomong emang begini. Gue sudah maafin lo. Gue cuma males aja ketemu lo lagi. Ngerti, kan? Jangan bikin gue terdengar kasar, Gandi. Gue sudah mengizinkan lo masuk ke apartemen ini. Itu sebenarnya sudah melanggar batas. Gue melanggar banyak aturan hidup yang gue buat semenjak bertemu dengan lo. Dan gue nggak mau menambah daftar panjang ketidakbecusan gue dalam menata hidup."

Kalau Gandi punya hati, harusnya dia sakit hati. Itu kasar banget. Sebelas dua belas sama makian.

"Makanya maafin saya. Kita berteman. Punya banyak teman kan banyak manfaatnya. Apalagi teman yang baik hati seperti saya."

Gue pengen lempar dia pake remote yang gue genggam sekarang.

"Maksa banget ya. Astaga."

"Please," dia mengatupkan kedua tangannya di depan wajah, menutup matanya sambil nyengir sok imut.

Gue menepuk wajahnya dengan cushion di sofa. Bukannya marah, dia malah terbahak. Orang gila.

"Itu artinya kamu maafin saya, kan? Itu juga artinya kita sekarang teman, kan?"

Gue mematikan saluran TV. Sudah dua puluh menit lebih. Gue ngantuk.

"Pulang ya, Gandi. Tolong."

Sampai pake kata tolong.

Dia ngangguk.

"Oke, saya pulang. Teman yang baik itu teman yang tidak akan merusak mood temannya. We're officially friends now. Langkah pertama adalah, tolong unblock nomor handphone saya. Bisa?"

"Hmm."

Dia mengacak-acak rambut gue. Gue otomatis mundur. Dia bangkit dari tempat duduknya. Kami melangkah bersamaan menuju pintu apartemen gue.

"Ajeng, jangan kangen-kangen sama saya ya sampai seminggu ke depan. Bahkan lebih. Nggak bisa dipastiin. Abis itu kita jalan seharian. Sebagai teman. Teman kan sesekali hang out sampai pagi," lanjutnya sembari memakai sepatu.

Gue tidak menjawab. Biarin dah ini anak mau ngomong apa. Gue ngantuk.

Mata gue yang tadinya ngantuk berat langsung terbelalak kaget saat Gandi memeluk gue singkat.

"Di Eropa, sebelum pulang dari rumah teman, saya akan memeluknya, begitu pun sebaliknya," dia menjelaskan tanpa gue tanya. "Bye, Ajeng. See you soon. Mimpi indah, ya."

Dia lalu melangkah meninggalkan unit apartemen gue. Gue menutup pintu, lalu bergegas menuju kamar untuk tidur.

Berteman dengan Gandi, seorang casanova kelas kakap, mungkin bukan pilihan terbaik. Namun gue rasa, nggak ada salahnya memberi kesempatan. Toh, dia bukan menawarkan hubungan serius yang bikin kepala gue puyeng, kok.

Mungkin setelah jadi teman, dia nggak akan sibuk meneror gue dengan kemunculannya yang selalu tiba-tiba itu. Hidup pasti lebih nyaman. Gue yakin.

***

Thankyou for reading
See you on the next chapter

Continue Reading

You'll Also Like

52.5K 8.3K 25
[Wattys Winner 2022] [WattpadRomanceID Reading List Pilihan Juni 2022 kategori Bittersweet of Marriage] === Follow dulu sebelum baca yuk! === "Cuma...
2.3M 12.5K 26
Menceritakan kehidupan seorang lelaki yg bernama Nathan. dia dikenal sebagai anak baik yg tidak pernah neko neko dan sangat sayang pada keluarganya...
2.3M 93.1K 31
April, seorang staf di sebuah kantor konsultan di bidang konstruksi, harus menahan sabar setiap kali para petinggi di kantor menanyakan satu pertanya...
1.6M 99.2K 28
Sebagian sudah di-unpublish. Versi lengkap bisa dibaca dalam bentuk cetak dan ebook (Google Playstore) via Penerbit Prospec. Dibeli ya! *** Tujuan Da...