Over The Moon (SUDAH TERBIT)

Autorstwa Levitt1806

1.9M 88.6K 4.8K

Ajeng dan Gandi. Dua orang dengan sifat yang serupa tapi tak sama, bertemu di sebuah kota yang jauh dari temp... Więcej

Preface
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 10
Progressnya Berapa Persen?
Pre Order, Puhlease!!!
Bonus Buat Yang PO
Latest Info (PO OTM)
Info PO Jilid 2
PO 2 Sudah Dibuka
GIVEAWAY AJENG&GANDI
Gandi Partners
Puasa Pertama El dan Lala
Live Talk
OVER THE MOON 2.0
KARENA BUKU TAHUNAN

Chapter 9

48.9K 6.9K 273
Autorstwa Levitt1806

Adakah yang masih melek jam segini?
Votes dan komennya ditunggu. Typonya juga tolong diingatkan, ya. Minim edit soalnya.

Enjoy

*
*
*

Sejak kemunculan si kampret Gandi di ruang tamu Iin, ketiga sohib gue nggak berhenti nyengir sampe giginya kering. Mereka bahagia, batin gue tersiksa.

Gue tinggal di Jakarta, kota besar yang untuk mengelilinginya aja nggak cukup sehari-dua hari. Bahkan dari rumah gue ke rumah si Iin ini aja bisa dua sampai tiga jam.

Namun, kenapa gue ketemunya si Gandi lagi si Gandi lagi. Cowok di dunia ini jumlahnya milyaran. Di Jakarta mungkin belasan juta. Tapi kenapa si Gandi muncul terus di hadapan gue. Sepertinya gue ada salah nih sama Sang Pencipta. Buktinya bisa dapet sial terus ketemu si Gandi.

Arsitek kampret ini mengambil tempat duduk di sebelah gue. Sebenernya ini pantat udah pengen pindah aja. Masalahnya, Syifa udah keburu tidur di pangkuan gue dan tidurnya nyenyak banget. Gue nggak tega banguninnya.

"Gimana, Oliv? Sudah cocok jadi keluarga, kan?" Gandi menunjuk dia, gue dan Syifa.

Orang gila kenapa dikasih masuk ke dalam rumah ya sama si Fachri?

Oliv mengacungkan dua jempol. "Banget. Bapaknya ganteng, ibunya cantik. Anaknya pasti ganteng dan cantik."

Mamanya Monita sekarang ngeledekin gue semangatnya udah kayak mau gerilya. Gue memelototinya. Dia malah senyum-senyum genit.

Asem.

"Berarti ketemu Ajeng di Gayatri TV, ya? Gimana anaknya? Galak, ya?" tanya Kadek penasaran.

Gue mendengus. "Apaan sih lo semua," gue berpaling pada Gandi, menampilkan wajah tak suka, "lo cabut deh. Gabung sama cowok-cowok di belakang."

"Yang di belakang kan bapak-bapak semua, Ajeng. Mereka pasti ngomongin anak dan istri. Lah aku mau ngomongin apa? Cewek yang dikejar-kejar ngusir aku mulu," jawabnya sambil cengengesan nggak jelas.

Renata tergelak. Dia geleng-geleng kepala kemudian berkata, "gue suka gaya lo, Mr. Architect."

"Thankyou, Renata. I like you too, terlebih anak kamu. Cantik sekali," Gandi mengusap rambut Syifa. Dia lalu menoleh pada Kadek. "Sebelum di Gayatri TV, kami sudah pernah bertemu. And it was like the best day of my life, ever."

"Gimana ceritanya?" tanya Kadek antusias.

Gue mendelikkan mata padanya, meminta dia untuk tutup mulut. Karena demi Tuhan, gue nggak sanggup melihat respon sohib gue begitu tahu kejadian sebenarnya.

Gandi tersenyum menjijikkan, kemudian menggelengkan kepalanya. "Kami sepakat merahasiakannya. Cukup kami dan Tuhan yang tahu hari yang sangat bersejarah itu."

Gue rasanya pengen kabur ke kutub utara aja. Disana nggak mungkin ada spesies seaneh arsitek di sebelah gue ini. Gue yakin seratus persen.

"Yaaah. Padahal kita kepo banget. Tapi nggak papa deh. Gue ngerti," Kadek mengedipkan matanya pada kami berdua .

Gue pengen muntah.

"Tadi Iin bilang kamu arsitek. Di biro apa?" tanya Renata kemudian.

Renata kan basic nya konstruksi, jadi ya dekat banget lah sama dunia arsitektur. Renata sekeluarga anak Sipil. Dia, papanya, abangnya, bahkan suaminya.

"Atkins," jawab Gandi singkat.

"That's fantastic. Gue tebak, sedang menangani mal disini?"

Gandi mengangguk.

Renata tak repot-repot menunjukkan wajah kagumnya. "Arsitek hebat ternyata. Pernah menangani proyek apa?"

Kini Renata dan Gandi sudah asyik bercerita seputar dunia konstruksi yang gue, Kadek dan Oliv tidak pahami sama sekali. Tapi gue bersyukur, setidaknya fokus si Gandi sudah teralih. Jadi dia nggak repot-repot gangguin gue mulu.

Percakapan mereka semakin seru saat para pria dan Iin join kembali di ruang tamu. Apalagi Bang Ben. Dia kirim-kirim kode ngajak Gandi gabung di perusahaannya sebagai arsitek senior. Gandi menanggapi dengan santai.

Berat juga kalau si Gandi kerja bareng Bang Ben. Pastinya suami a.k.a kakak temen gue itu harus merogoh kocek dalam-dalam untuk menggaji si Gandi. Harus gue akui, sebagai seorang arsitek, he is brilliant.

"You should come back to Indonesia for good, Man," saran Bang Ben. "Lo harus jadi bagian dari perubahan-perubahan disini. Percaya sama gue, pasti lebih menyenangkan kerja di tanah air. Walaupun gajinya mungkin jauh dari yang selama ini lo dapat, tapi ada kepuasan yang dolar-dolar di rekening lo nggak bisa beli. Gue bilang begini karena gue juga sempat bekerja di LN beberapa tahun."

"Dimana?" tanya Gandi.

"Canada. Akhirnya gue balik kesini juga. Gimana, panggilan hati. Indonesia ini, bukan cuma makanannya yang ngangenin, cewek-ceweknya juga ngangenin. Disana nggak ada yang kecil imut-imut punya lesung pipi," Bang Ben menggoda Oliv yang wajahnya langsung bersemu.

Oliv menepuk manja lengan suaminya. Bang Ben tersenyum lalu mengacak-acak rambut istrinya.

They are very cute, I can tell.

"Gue emang nggak pernah kerja di luar negeri. Tapi, gue bisa jamin tinggal disini lebih enak. Lebih dekat dengan keluarga. Duit mah bisa dicari, tapi kehangatan setelah kumpul dengan keluarga besar itu nggak ternilai harganya," Bara ikut menyentil.

Gandi tersenyum tipis tanpa merespon ucapan Bang Ben dan Bara. Yakin nggak yakin, tapi gue ngerasa Gandi malas membicarakan tentang keluarganya.

Gue semakin yakin omongannya seminggu lalu bukan cuma candaan. Dia emang kangen dengan orang tuanya. Kasian juga.

Ih. Apaan gue kasian-kasian sama dia. Bodo amat. Dia kan udah gede. Kalau kangen ya dia tinggal ke Medan. Duitnya banyak masa beli tiket pesawat ke kampung halaman nggak bisa. Impossible.

"Ma, makanan disini sepertinya kurang. Aku ke belakang dulu ya ngambil kolak pisang yang kamu buat," sahut Fachri tiba-tiba.

"Gue bantuin, Bro. Emak-emak disini biarin ngerumpi," Bara ikut bangkit dari tempat duduknya untuk membantu Fachri.

Gandi berubah jadi sedikit-sedikit banget sih-lebih pendiam. Bang Ben padahal sudah kembali ke topik seputar dunia konstruksi, namun dia tetap aja nggak seantusias sebelumnya.

Ih. Sotoy gue.

"Jeng, Syifa nya gue bawa ke kamar aja, deh. Lo pasti pegal juga. In, numpang kamar tamu lo, ya," Renata baru akan bangkit dari kursinya tapi Gandi menghalangi.

"Saya saja."

Gue menggeleng. "Nggak berat, kok. Disini aja."

"Ya biar Syifa nya tidur bisa lebih nyaman juga, Ajeng," potong Gandi lalu meraup Syifa ke dalam gendongannya.

Renata dan Iin mengikuti Gandi ke kamar tidur.

"Gandi sama Iinnya kemana?" tanya Kadek yang heran melihat Renata muncul tak lama kemudian.

Renata mengangkat bahu. "Tadi sih kata Iin, papanya nyari Gandi. Mau ngobrol sebentar kayaknya."

"Jeng, gue suka deh sama Gandi. He seems nice. Dia juga tertarik banget sama lo. Dan dia nggak malu untuk nunjukinnya," Kadek membuka cerita.

Oliv mengangguk setuju. "Iya, Jeng. Dicoba aja dulu kenal lebih jauh. Gue sama Ben juga nggak langsung saling suka, kok. Yang lain juga begitu."

Mulai lagi. Males deh gue.

"Kita nggak paksa elo untuk nerima Gandi. Tapi kasih lah dia kesempatan. Kalau nggak cocok yaudah. Been there done that," tambah Renata.

"Males ah. Udah deh. Kenapa jadi ribet jodohin gue sama dia? Tujuan kita ngumpul kan untuk melepas rindu. Kenapa jadi bahas orang asing?" Gue mendengus.

"Ya terserah elo, sih. Yang ngejalanin kan lo juga. Kita sebagai sohib lo cuma berharap yang terbaik buat lo," sambung Oliv bijaksana.

Fachri dan Bara datang dengan mangkuk besar berisi kolak pisang dan mangkuk-mangkuk kecil yang kosong sebagai wadah.

Gue langsung menyantap kolak pisang buatan Iin. Enak. As usual. Si Iin kan jago masak. Nggak kayak gue dan Renata.

"Bahagia hati dan perut elo punya istri kayak si Indri ya, Ri. Jago banget masaknya," puji Bara setelah mencicipi kolak buatan Iin.

Fachri tersenyum kecil. Walaupun dia kaku, tapi wajah bangga akan masakan istrinya itu tetap aja keliatan. "Alhamdulillah. Kita sama-sama beruntung. Kadek juga pasti melayani kamu dengan baik di rumah."

"Oh, kalau itu nggak usah ditanya. Service nya oke. Puas banget gue. Sekarang aja agak berkurang karena Kadek lagi hamil," celetuk Bara.

Kadek langsung memutar bibir Bara dengan tangannya. Bara kesakitan. Kami terbahak.

Sukurin tuh. Kebiasaan sih si Bara ngomong suka nggak pake filter.

"Maksud saya bukan itu," Fachri menggaruk-garuk tengkuknya. Keliatan bersalah.

"Ini mulut dosanya udah segunung,ya," Kadek memulai omelannya. Bara memasang tampang memelas sambil memajukan bibirnya.

"Bun, ini bibir Ayah harusnya disayang-sayang. Bukannya malah diputer-puter kayak meras jeruk. Kalau bukan karena bantuan ini bibir, itu perut kamu nggak akan buncit."

Kadek kini mencubit kuat pinggang Bara sampai suaminya itu minta ampun. Bara sih ngeselin. Malah abis dicubit dia cengengesan lagi. Bikin Kadek tambah kesal.

Tak lama kemudian, Iin dan Gandi kembali bergabung dengan kami. Gandi kembali duduk di sebelah gue. Gue pindah duduk di sebelah Renata. Gandi terbahak.

"Saya nggak mengidap penyakit menular loh, Ajeng. Kenapa mesti jauhan gini? Belum mukhrim, ya?"

Berani-beraninya dia bicara soal mukhrim setelah mencium bibir gue dua kali tanpa permisi. Minta disiksa kayak si Kadek nyiksa Bara kayaknya ini anak.

Daripada meladeni omongan ngalor ngidul si Gandi, mendingan gue makan kolak pisang buatan si Iin. Lebih bikin hati tenang dan perut kenyang.

Langit sudah berubah gelap saat Pandawa 5 dan suami memutuskan untuk pamit pulang. Iin membungkuskan masing-masing dari kami kolak pisang buatannya. Gue tidak menolak tentunya. Lezat banget gini.

"Langsung pulang ke apartemen?" tanya Gandi saat gue mengambil sling bag.

Gue mengangguk singkat.

"In, gue pulang, ya. Thanks nih udah dibungkusin kolak. Sering-sering kirim makanan ke apartemen gue, ya, bumil cantik," kami cipika-cipiki. Gue mengusap perut Iin kemudian.

"Ri, gue balik, ya. Thankyou sudah disambut dengan banyak makanan," gue menyalam tangan Fachri.

Kalau sama Bang Ben dan Bara gue cipika-cipiki, sama Fachri gue cuma jabatan tangan. Segan aja gitu. Ini anak udah lah kalem, alim pula.

"Gandinya nggak disapa, Jeng?" Iin mengerling jail.

"Gue balik, ya," ucap gue datar.

Gandi menangkap pergelangan tangan gue. "Saya nebeng, ya?"

"Ogah. Jakarta banyak taksi. Ojek online juga banyak," gue menarik tangan.

Dia tidak melepaskannya.

"Anterin kenapa sih abang gue, Jeng. Searah juga, kan? Ini request dari gue langsung, lho," Iin mulai menunjukkan mimik menyedihkan.

Gue paling susah nolak kalau salah satu Pandawa 5 ini udah minta tolong. Iin emang suka memanfaatkan kelemahan gue yang satu itu. Bakat membujuk si Iin ini nurun darimana, sih?

"Fine. Gue anterin," gue frustrasi menjawabnya.

"Yes!" Gandi kegirangan. Fachri geleng-geleng kepala sambil tersenyum kecil.

Indira melakukan tos dengan abang sepupunya yang super duper nyebelin itu. Satu keluarga emang sejenis sifatnya. Ampun gue.

Gandi membiarkan gue menyetir. Dia kini tinggal di Pakubuwono, menyewa sebuah apartemen disana.

"Ini sudah entah keberapa kalinya kita ketemu, Ajeng. Artinya, Tuhan memang punya rencana lebih untuk kita berdua," Gandi memulai bualannya.

Gue tentu saja tidak menyimak. Gue naikin volume audio mobil. Love Of My Life dari Queen berputar.

Gandi mengecilkannya lagi. Gue menatapnya nyalang.

"Kamu nggak capek ribut terus sama saya?"

"Lo yang ngajak ribut," sahut gue dingin.

"Saya baik-baik gini dibilang ngajak ribut. Saya beneran mau temenan sama kamu," ujarnya.

"Gue nggak mau tuh."

"Kenapa nggak mau? Temenan aja. Ayo lah. Sesekali makan siang bareng. Nonton bareng. Liburan bareng," dia masih membujuk gue.

Gue menggeleng. "Nggak mau."

"Saya nggak biasanya menawarkan pertemanan duluan, lho. Kamu spesial."

"Gue nggak peduli."

"Kalau nggak mau temenan juga, saya teror nih kamu. Gampang dapetin nomor kamu. Tinggal minta sama Iin. Kalau perlu, saya datang sendiri ke rumah orang tua kamu. Iin pasti tahu dimana rumah orang tua kamu," ancamnya.

Dia kira gue takut? Silakan aja.

"Ancaman lo nggak ngaruh. Lo hubungi gue, tinggal gue blokir nomornya. Lo datang ke rumah gue, tinggal gue pesan sama satpam jangan pernah kasih masuk laki-laki yang namanya Gandi," balas gue enteng.

Mungkin ancaman begitu ampuh buat cewek-ceweknya selama ini. Sorry, boy. It won't work for me.

Dia terdiam sesaat. Syukurlah. Kalau bisa diam aja terus sampai ke apartemennya. Males gue ngomong sama dia. Bawaannya bikin kepala gue mau pecah.

"Kamu pernah ke rumah Iin yang di Tangerang?" tanyanya tiba-tiba.

Walaupun bingung, gue mengangguk.

"Saya buta Jakarta dan sekitarnya. Kalau dari kantor saya kesana jauh nggak?" tanyanya lagi.

"Tergantung. Kalau macet ya jauh banget. Kalau nggak macet ya jauh aja."

"Naik apa ya kesana biar nggak ribet?" tanyanya lagi.

Gue mendesah. Dia memang pintar menggambar. Tapi untuk beberapa hal, otaknya bisa berubah tumpul.

"Tinggal kasih aja alamatnya ke supir kantor lo. Minta dia nganterin lo kesana. Beres."

"Benar juga. Kamu nih udah cakep, pinter pula. Nggak salah pilih saya," dia tersenyum genit.

Iyuuh. Geli banget gue.

"Kalau mengunjungi orang tua, enaknya bawa apa, ya?"

Pertanyaan si Gandi kok jadi aneh-aneh sih. Tapi gue malas menyahut. Biar dia aja yang ngejelasin.

"Bawa buah aja, deh. Sama kue. Eh, kita singgah ke supermarket dulu boleh nggak? Abis itu singgah ke bakery. Beli buah dan kue untuk orang tua Iin. Saya mau kesana besok pagi."

"Kenapa mesti bareng gue, sih?" Gue menggerutu.

"Who else? Saya cuma kenal kamu dan Iin di Jakarta," balasnya polos.

Gue mencebik. "Asisten lo? Temen lo yang tetangga gue itu? Klien-klien lo? Kenapa dibikin ribet sih, Gandi. Sekarang tinggal telfon asisten lo. Suruh dia siapin buah yang udah diparselin, suruh beli kue juga. Suruh juga dia yang pesan ke supir kantor lo untuk  nyetirin lo ke Tangerang sana. Beres, kan?"

Mobil gue berhenti di lampu merah. Gue menoleh padanya, dia menatap gue balik. "Jangan bikin gue repot lagi. Ini udah malem. Gue capek. Lo dikasih hati minta jantung. Ini gue udah baik-baik mau nganterin elo pulang. Sekarang malah minta dianterin beli ini-itu. Banyak maunya, ya? Heran."

Lampu berubah hijau. Gue melajukan mobil menuju kawasan gedung apartemen tempat Gandi tinggal. Dia tak bicara lagi setelah gue omelin.

Bagus. Hidup gue lebih tenang.

"Kamu bisa turunin saya disana aja?" Dia menunjuk Alfamart yang terdapat di pinggir jalan.

"Ngapain ke Alpa?" tanya gue heran.

"Minimarket yang itu ada buah-buahan juga. Saya mau beli disana aja. Toko kue di dekat sini dimana,ya?"

Kenapa ini anak susah dibilangin, sih?

"Gandi, lo nggak perlu repot-repot untuk—"

"Mereka orangtua saya, Ajeng. Saya mau memilih sendiri bingkisan yang saya bawa untuk mereka," Gandi memotong ucapan gue. Balik gue yang terdiam. "Hal tersebut sama sekali nggak merepotkan untuk saya. Saya cuma minta tolong sama kamu untuk ngedrop saya di depan minimarket itu. Toko kuenya biar saya cari sendiri."

Dada gue kayak ditikam, cuy. Omongan gue keterlaluan, ya? Selama ini gue maki-maki dia, tapi dia nggak pernah marah. Gue bilang kampret lah, gak punya sopan santun lah, sialan lah, dia nggak marah. Tapi ini sudah ketiga kalinya dia terlihat tersinggung dan semuanya tak jauh-jauh dari topik orang tua.

Ini anak keliatannya aja tengil, tapi sensitif banget. Padahal gue sama sekali nggak bermaksud menyinggung perasaannya.

"Maaf ya, sudah merepotkan kamu. Sampai harus nganterin saya kesini padahal tadi kamu bisa langsung pulang," gue sudah menghentikan mobil di depan Alpa. Dia melepas seatbelt. "Hati-hati di jalan. Jangan ngebut. Jalanan Jakarta semrawut soalnya. Bye, Ajeng."

Minta maaf nggak?

Duh. Ragu gue.

Gengsi.

"Eh, ini kok mobilnya jalan lagi?" tanyanya sembari memasang kembali seatbelt saat gue melajukan mobil meninggalkan Alpa.

"Kita ke supermarket sekarang," jawab gue.

"No need, Ajeng. Saya bisa sendiri. Kamu pasti capek, saya nggak—"

"Bisa diem nggak sih lo?! Ganggu konsentrasi gue nyetir aja. Gue mau nemani elo ke supermarket bukan karena gue luluh sama lo, ya. Tapi karena gue kenal Om Ervin dan Tante Ayu. Mereka juga sudah gue anggap seperti bokap nyokap gue sendiri. Jadi lo jangan kegeeran."

Gue harus menjelaskan lebih dulu sebelum dia salah paham.

"Lagian lo belakangan ini ngambek mulu. Cowok kok dikit-dikit ngambek. Kalau kangen sama orang tua lo, ya tinggal terbang aja ke Medan sana. Kayak nggak sanggup beli tiket pesawat aja. Kalau kangen sama bokap nyokap Iin, ya tinggal datang aja ke Tangerang sana. Apa susahnya, sih? Pake acara merajuk-merajuk segala. Kayak abg labil lo."

Gue tahu dia menatap gue tajam. Tapi gue nggak peduli.

"Kalaupun lo nggak sempat karena sibuk kerja, kirim doa dong ke mama papa lo. Pasti mereka senang banget anaknya masih ingat pada mereka. Masa begitu aja mesti gue kasitau sih? Katanya arsitek kelas dunia. Ck. Gue jadi ragu sama skill lo yang sebenarnya."

Kami berhenti di depan sebuah supermarket yang nggak jauh-jauh amat dari gedung apartemen Gandi. Cukup rame. Mungkin karena minggu. Banyak yang belanja bulanan.

Gandi menghampiri gue yang baru aja turun dari mobil. Dia menatap gue sambil tersenyum. Bedanya, kali ini tidak ada tatapan jail, apalagi tindakan jail. Sangat nggak Gandi.

"Terima kasih banyak ya, Ajeng," dia terdengar tulus.

Gue jadi merinding. Horor juga kalau dia jadi serius begini. Gue mengibaskan tangan untuk menghalau rasa canggung. "Santai aja. Kan udah gue bilang. Gue nemani elo karena elo mau ketemu orang tuanya Iin, which means orang tua gue juga. Jadi lo nggak usah kegeeran."

Gue langsung meninggalkannya dan mengambil sebuah trolley berukuran sedang. Gandi mengikuti dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya.

Gandi ini emang Iin versi cowok. Iin itu moodnya cepat berubah. Kalaupun dia sudah sedih banget, kalau tiba-tiba ada kabar baik, dia akan langsung melupakan kesedihannya dan sumringah seharian. Bahkan Iin jauh lebih mirip tingkahnya dengan si Gandi ini daripada Ibas.

Ingat. Buah ini untuk Om Ervin dan Tante Ayu. Bukan yang lain.

***
Thankyou for reading
See you on the next chapter

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

5.2M 114K 19
Selain mendesain bangunan, Farel Guntoro juga mempunyai cita-cita merancang masa depannya bersama perempuan yang telah diisinya selama empat tahun te...
1.2M 82.3K 20
(Tersedia di google playbook) "Karena cowok humoris itu nggak ada serius-serius nya. Udah itu aja." -Radhini Dewantari-
543K 18.7K 21
[SEBAGIAN BESAR ISI CERITA INI TELAH DIHAPUS. Mohon maaf bagi yang belum sempat baca. Silakan membaca cerita-ceritaku yang lain saja ya. Thanks] Pern...
190K 2K 53
Cuma berisikan rekomendasi novel, cerita wattpad yang seru menurut sudut pandang yang bikin lapak ini. Mohon maaf kalo ada penulis yang merasa berisi...