Over The Moon (SUDAH TERBIT)

By Levitt1806

1.9M 88.6K 4.8K

Ajeng dan Gandi. Dua orang dengan sifat yang serupa tapi tak sama, bertemu di sebuah kota yang jauh dari temp... More

Preface
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Progressnya Berapa Persen?
Pre Order, Puhlease!!!
Bonus Buat Yang PO
Latest Info (PO OTM)
Info PO Jilid 2
PO 2 Sudah Dibuka
GIVEAWAY AJENG&GANDI
Gandi Partners
Puasa Pertama El dan Lala
Live Talk
OVER THE MOON 2.0
KARENA BUKU TAHUNAN

Chapter 7

49.3K 6.6K 318
By Levitt1806

Just a short update. Mumpung ada ide. Terima kasih buat yang menanti cerita Over The Moon ini.

As usual, I do need your votes and comments as a booster to write this story ;)

Enjoy
*
*
*

Entah kenapa gue kepikiran ngajak si Gandi makan rawon malam ini. Gue memilih sebuah warung sederhana yang searah dengan apartemen.

Gue nggak tahu apa perutnya sekarang uda eropa banget atau nggak. Toh dia nggak nolak saat gue ajak kesini.

Selama perjalanan menuju warung, Gandi banyak bercerita mengenai orang-orang di kantor gue yang katanya asik. Katanya gue beruntung bisa bekerja bersama mereka. Gue cuma menanggapi dengan ngangguk atau geleng kepala.

Gue memesan semangkuk rawon pake nasi plus es teh manis. Dia ikutan tapi minumnya air mineral. Daritadi dia senyum-senyum nggak jelas. Gue buang muka.

Mendingan gue liatin orang-orang yang datang di warung ini. Setidaknya mereka nggak bikin gue naik darah. Beda sama si kunyuk yang duduk di depan gue.

"Saya senang banget akhirnya kita makan malam bareng. Semoga bisa sering-sering. Kalau bisa setiap hari," dia mengedipkan sebelah mata.

Gue mencebik. Ogah banget dinner bareng dia terus-terusan. Pokoknya ini yang terakhir. Titik.

"Kamu tinggal di apartemen sendirian?" tanyanya lagi.

"Mau tahu banget lo?" tanya gue sebal.

"Banget. Ya saya nggak mau dong jalan sama istri orang. Terlalu menantang," balasnya ringan.

Nggak ada pentungan ya disini? Pengen gue getok kepalanya.

"Kamu tenang saja. Saya bukan pria beristri. Jadi tidak usah takut," lanjutnya lagi tanpa gue tanya.

"Bodo amat," balas gue.

Pesanan kami datang. Gue langsung menyantapnya. Lebih baik makan daripada ngomong sama si kunyuk ini.

Suasana warung yang sesak dan tanpa AC membuat gue gerah. Ditambah rawonnya masih hangat menuju panas. Gue menyeka keringat dengan tangan kiri.

Selembar tisu hinggap di dahi gue. Si Gandi asem ini mengelap keringat yang menempel di wajah gue. Gue langsung memundurkan kepala.

"Makan aja. Nggak usah sok multitasking," gue memerintahnya.

"Baik, Nyonya," jawabnya sambil terkikik lalu menyantap rawonnya.

Gue mengambil tisu lalu mengelap keringat yang membasahi wajah dan leher gue. Panas banget malam ini. Suhu Jakarta udah sulit ditebak.

"Kalau nggak tahan panas, kenapa mesti makan disini?" tanyanya heran.

"Karena rawonnya enak. Bawel deh," jawab gue ketus.

Mending cepetan aja deh makannya. Lagian kayaknya yang ngantre udah banyak. Semakin cepat makan malamnya selesai, semakin cepat si Gandi cabut. Itu yang gue tunggu-tunggu.

Gue mengeluarkan selembar uang seratus ribu dari dompet. Karena gue yang ngajak, gue dong yang bayarin. Murah juga.

"Mau kemana?" tanyanya saat gue bangkit dari tempat duduk.

"Bayar ke kasir," jawab gue singkat.

Dia menangkap pergelangan tangan gue kemudian menggeleng. "Saya yang bayar."

"Nggak usah sok gentle. Gue yang ngajak lo makan rawon."

"Tapi saya yang lebih dulu ngajak kamu dinner," dia masih memegang tangan gue. Gue menepisnya.

Daripada ribut-ributan di warung yang udah sesak, gue akhirnya mengalah. Dia bangkit dari tempat duduk, lalu mengeluarkan dompet.

"So this is it. Gue nggak punya utang apa-apa lagi sama lo." Kami sudah berdiri di depan mobil gue. "Kita pisah disini. Lo bisa naik taksi ke rumah atau apartemen atau hotel atau apa pun itu tempat lo tinggal sekarang."

Dia memasang wajah pura-pura lesu. Menjijikkan sekali. Sumpah.

"Cepat banget, sih? Ayo jalan ke tempat lain. Tadi kata Nana kamu mau ke Gramedia? Yuk saya temenin," usulnya semangat.

Gue menggeleng. Ke Gramedia bisa kapan-kapan. Lagian yang mau gue cari juga cuma flashdisk. Lenyap sudah semangat ke Gramedia karena kemunculan si Gandi.

"Gue ngantuk. Barang lo nggak ada yang ketinggalan, kan?" tanya gue memastikan.

"Ayolah, Ajeng. Hari ini saya free sampai subuh. Besok sudah harus meeting di Kuningan," dia memaksa.

Childish banget deh sumpah. "Gue capek. Mau pulang."

Dia mendesah. Dia salah memilih lawan. Kekeraskepalaan gue ini tingkatnya udah akut. Sulit ditemukan penangkalnya.

"Yasudah. Kita pulang. Kamu capek, kan? Sini saya aja yang nyetir mobil kamu."

"No way. Gue masih sanggup nyetir sendiri. Lo pulang gih sana," gue melakukan gerakan mengusir sembari menggenggam erat kunci mobil gue.

Dia berdiri di depan pintu mobil gue, menghalangi jalan gue. "Saya antar kamu. Sini kuncinya."

Gue rasanya pengen narik rambut anak ini. Gusti, bisa gila aku kalau sering-sering ketemu manusia gila ini.

"Minggir."

Dia menggeleng.

"Lo jangan bikin gue emosi, ya. Gue udah capek banget. Sekarang lo minggir. Pulang sana."

Dia masih berdiri di tempatnya.

"Lo keras kepala banget, ya? Nggak punya malu juga. Udah diusir masih aja maksa," gue mendesah frustrasi.

"Kamu yang keras kepala. Siniin kuncinya. I'll be driving. Kamu tinggal duduk manis di sebelah saya. Atau kamu sebenarnya menikmati ya selama ini berdebat dengan saya?" tanyanya dengan senyum menggoda.

Ya Tuhan. Ini manusia tingkat kepedeannya udah level minta ditendang ke laut merah.

"Fine. Ini kuncinya."

Gue mengalah. Sabar, Ajeng. Orang sabar disayang Tuhan.

Dia tersenyum penuh kemenangan lalu bergegas masuk ke dalam mobil gue.

Ponsel gue berdering. Gue melirik si penelepon, lalu menghela nafas.

"Ya, Ma?"

"Apa kabar kamu, Nak? Lagi dimana sekarang? Mama Papa kangen nih,"

"Sehat. Ini lagi jalan pulang dari kantor."

"Minggu lalu kok nggak pulang sih, Sayang? Kayak rumah kita jauh banget aja dari apartemen kamu."

"Sibuk banget belakangan ini."

"Tapi minggu ini pulang, ya?"

"Kalau nggak banyak kerjaan ya pulang. Tapi aku nggak mau ya kalau mama sampai mengundang orang lain ke rumah kita,"

"Kamu mah nggak ngerti. Ini juga untuk kebaikan kamu. Kemarin teman Papa anaknya ada yang lagi cari jodoh. Keren banget, Nak. Dokter spesialis. Cakep lagi."

"Ma, please. Stop bicarain masalah itu. Aku-"

"Abis pertigaan belok kanan apa belok kiri? Aku lupa," Gandi memotong ucapan gue.

"Siapa tuh, Jeng? Kok kayak suara cowok?"

Gue menatap Gandi geram. Dia terkikik. Pasti dia sengaja. Karena jelas-jelas, dia sudah hafal jalan ke gedung apartemen gue.

"Orang kantor juga."

"Ih tumben dianterin pulang sama orang kantor? Pacar baru kamu, ya? Dibawa atuh Nak ke rumah. Kenalin ke Mama Papa. Biar diseleksi dulu."

"Apaan sih, Ma. Udah, ya. Ini aku-"

"Yakin nggak mau aku temani ke Gramedia dulu? Mumpung belum malam banget, Ajeng," Gandi lagi-lagi membesarkan volume suaranya.

Gue tidak tahan untuk tidak menyiksa si kampret sialan ini. Gue jewer kupingnya sampe merah.

"Aduh, aduh. Sakit banget, babe. Kamu kok kasar sih sama pacar sendiri."

"Jeng, apaan tuh sakit-sakit? Kalian dimana sekarang? Jawab jujur sama Mama!"

Gue mendesah. Si Gandi memang cari mati.

"Ya di jalan, Ma. Ini anak emang iseng."

"Beneran?"

"Ya iya. Masa aku bohong. Dan dia bukan pacar aku."

"Mama nggak percaya. Kasih handphonenya sama teman kamu itu. Mama mau ngomong sama dia."

"Seriously. Mama lebih percaya sama dia daripada sama anak sendiri?"

"Kasihin handphonenya sekarang."

"He is driving, Ma."

"Loudspeaker aja. Cepetan."

Gue bukan tipe anak durhaka yang dengan teganya mematikan sambungan telepon orang tua.

"Jangan bicara macam-macam. Nyokap mau ngomong sama lo," bisik gue pada Gandi.

Gandi mengacungkan jempol.

"Selamat malam, Tante."

"Selamat malam. Saya mamanya Ajeng. Kalau boleh tahu, saya sedang bicara dengan siapa, ya?"

"Oh, saya Gandi. Temannya anak Tante."

"Oh. Cuma teman ternyata."

Apaan sih Mama? Kok nada suaranya miserable banget.

"Ya sekarang teman. Semoga aja besok udah jadi teman hidup, Tante."

Gue mendelik ke arahnya. Dia pura-pura fokus sama jalanan di depan.

"Amiin. Ajeng baik kan sama Nak Gandi?"

"Gimana ya, Tante. Dia galak banget. Padahal saya tulus mau kenal lebih jauh dengan putri Tante."

"Astaga, Ajeng. Kamu nggak boleh menutup hati gitu, dong. Maafin Ajeng ya, Nak. Dia emang begitu kelakuannya. Tapi sebenarnya dia baik, kok. Gini aja. Weekend ini Ajeng pulang ke rumah. Nak Gandi boleh main kesini. Minta aja alamatnya sama Ajeng. Tante tunggu, lho."

"Beneran boleh, Tante?"

"Boleh, dong. Ini lagi nyetir, kan? Hati-hati di jalan, ya. Pelan-pelan aja nyetirnya. Biar lambat asal selamat. Jeng, jangan lupa kasih alamat lengkap kita ke Gandi, ya. Sudah dulu, ya. Malam."

Kami tiba di pelataran parkir apartemen gue. Sejak insiden panggilan telepon dari Mama, gue mendiamkan si casanova sialan ini. Sekali gue ngomong, yang ada entar malah sumpah serapah yang keluar. Daripada dosa gue makin banyak.

Gue mengambil ransel dan muffin yang dia berikan. Gandi keluar dari mobil. Dia menyerahkan kunci mobil pada gue.

"Ini muffin lo. Bawa pulang sekarang. Gue nggak butuh," ucap gue dingin.

Dia menggeleng. "Saya beli itu untuk kamu. Terserah mau kamu makan atau buang."

Baiklah. Sesuai ide di awal, gue akan menyerahkan muffin ini pada satpam apartemen.

"Alamat rumah orang tua kamu?"

Gue mencibir. "Nggak perlu. Nyokap emang begitu."

"Mama kamu sudah mengundang saya. Tidak sopan membatalkan janji dengan orang tua," dia membela diri.

"Dan membiarkan nyokap mikir lo pacar gue? No in a million way. She is my mom. I can handle this. Lo sebaiknya pulang."

"Saya nggak akan pulang sampai kamu kasih alamat rumah orang tua kamu ke saya. Saya tidak suka mengecewakan orang lain, Ajeng."

"This is fcking none of your business. Apa yang nyokap bilang ke elo, biar jadi urusan gue. Nyokap-nyokap gue kenapa lo yang sewot? Lo nggak perlu ribet mikirin perasaannya. Ngerti?!"

Gue sudah di ambang batas kewajaran. Nafas gue naik turun. Gue teriak di pelataran parkir. Beberapa penghuni apartemen di tempat parkir tersebut melirik-lirik ke arah kami.

Great. Kami sudah jadi tontonan gratis sekarang.

Dia tersenyum masam setelah gue membentaknya. Air mukanya berubah. Dia bukan marah. Dia terlihat sedih?

"Harusnya, selagi kedua orang tua kamu masih sehat, kamu membahagiakan mereka. Apalagi ibu kamu," suaranya berubah dingin. Agak nyeremin. "Dimana pun rumah orang tua kamu, kamu harus sering-sering mengunjungi mereka. Bagi orang tua kita, nggak ada hal yang lebih membahagiakan selain bisa ketemu langsung dengan anak-anaknya."

Gandi kenapa? Kok jadi melow?

"Kita nggak pernah tahu umur seseorang. Saya bukan mendoakan yang tidak-tidak untuk orang tua kamu. Saya justru berharap semoga papa mama kamu sehat selalu dan panjang umur. Tapi, manfaatkanlah waktu yang ada untuk sesering mungkin berkunjung ke rumah mereka."

Okay.

"Saya pulang dulu, ya. Ngomong-ngomong dari sini ke Pakubuwono jauh, nggak?"

Gue menggeleng. "Nggak sampe satu jam."

Dia mengangguk, lalu matanya mengitari seluruh isi pelataran parkir. Senyumnya mengembang. "Saya heran. Kita sering banget berdebat di parking lot."

Gue cuma mengangkat bahu. Capek perang sama dia. Malah sekarang jail di wajahnya hilang lagi. Kan gue makin kesal. Kayak nggak ada alasan lagi buat marah sama dia.

"Kalau weekend ini kamu ke rumah, titip salam saya ke mama kamu, ya. Bilang aja saya ada urusan di luar kota jadi nggak bisa datang. Biar mama kamu nggak kecewa-kecewa banget. Sepertinya saya suka dengan mama kamu. She sounds so caring and lovable."

Males banget nyampein pesan dia ke nyokap.

"Bye, Ajeng. Good night."

Seperti saat di parkiran gedung kantor gue, kali ini dia juga menepuk pundak gue singkat sebelum meninggalkan gue.

Gue tatap punggungnya yang mulai menjauh. Ini perasaan gue aja atau si Gandi emang berubah, ya? Kayak sedih banget gitu.

Apa dia kangen bokap nyokapnya?

Ya sepertinya begitu. Kelamaan tinggal di LN sih.

***

Since this is quite short, I'm gonna add one pic of Ajeng and Gandi each in this chapter

(Padahal Ajeng kalau senyum manis gini cantiknya kebangetan, yak. Tapi kenapa mesti merengut mulu setiap ketemu Gandi hehe)

(Gandi lagi ngayalin Ajeng di kantor. Ya ampuun, Pak. Nggak malu apa diliatin yang lain?)

Thankyou for reading
See you on the next chapter

Continue Reading

You'll Also Like

334K 36.6K 31
#1 Long Way to Home [teenlit] JUDUL AWAL: PULANG Hidup seorang Regan memang tak genap, tapi lantas bukan berarti retak; compang-camping. Dia bahagia...
433K 25.4K 30
Story Kedua Neo Ka🐰 Duda Series Pertama By: Neo Ka Gayatri Mandanu itu ingin hidup simpel, tidak ingin terlalu dikekang oleh siapapun bahkan kadang...
1.6M 126K 67
CHAPTER 7 - END TELAH DIHAPUS KARENA AKAN SEGERA DITERBITKAN *** "Enak lho, Ta, kalo kita kerja sesuai sama yang kita senengin. Orang suka salah pers...