Over The Moon (SUDAH TERBIT)

By Levitt1806

1.9M 88.6K 4.8K

Ajeng dan Gandi. Dua orang dengan sifat yang serupa tapi tak sama, bertemu di sebuah kota yang jauh dari temp... More

Preface
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Progressnya Berapa Persen?
Pre Order, Puhlease!!!
Bonus Buat Yang PO
Latest Info (PO OTM)
Info PO Jilid 2
PO 2 Sudah Dibuka
GIVEAWAY AJENG&GANDI
Gandi Partners
Puasa Pertama El dan Lala
Live Talk
OVER THE MOON 2.0
KARENA BUKU TAHUNAN

Chapter 6

52.7K 7.4K 389
By Levitt1806

Selamat weekend semuanya. Sorry sudah menghilang selama beberapa hari. Kerjaan kantor sedang banyak. Are you guys still waiting for this work?

Show your existence by clicking the star button and leaving bunch of comments ;)

Ps : Sorry for the typos. Still fresh from the oven

Enjoy
*
*
*

Gue, Nana, Evelyn dan Robi memilih makan siang di kafetaria kantor. Gue memesan ayam kalasan, Robi pesan soto madura, Nana memilih makan pecel lele sementara Evelyn memesan semangkuk mie ayam.

Di Gayatri TV, tiga manusia random ini lah yang jadi teman akrab gue. Kurang lebih gue sudah cerita hampir separoh hidup gue ke mereka. Nggak terlalu banyak, sih. Tapi mereka tahu gue anak tunggal, pernah jadi editor novel, punya nyokap yang sibuk menjodohkan gue dengan anak-anak kenalannya, dan memiliki satu geng pertemanan yang thankfully tetap akrab sejak kami duduk di bangku SMA.

Yang mereka tidak tahu tentang gue adalah apa pekerjaan kedua orang tua gue sebenarnya (males aja karena senator punya citra yang tidak begitu baik di masyarakat), dimana rumah orang tua gue (mereka tahu gue tinggal di apartemen) dan bagaimana hubungan asmara gue.

Untuk yang terakhir sih sebenarnya gue nggak yang ribet-ribet amat. Gue tidak pernah menjalin hubungan yang serius dengan satu orang laki-laki pun. Kalau sekedar dekat yang diindikasikan dengan sekali-dua kali ngedate sih pernah beberapa kali.

Ya nggak manusiawi banget dong gue kalau nggak pernah suka sama cowok. Sesekali gue yang tertarik, kadang ada beberapa yang ngedekatin gue duluan. Tapi ya sampai disitu aja. Gue males lanjut karena setelah satu-dua kali kencan, them seem to be very chatty.

"Berarti lo batal dong ngebujuk Pak Gandi buat dateng ke acaranya Mas Ganang. Gue kira dia bakal luluh karena lo yang minta."

Sejujurnya gue heran kenapa Nana bisa tahu gue diminta sama Mbak Anya untuk menghubungi Gandi soal jadi juri tamu itu. Padahal setahu gue, Mbak Anya bukan tipe orang yang suka mengumbar cerita.

"Gue tahu dari timnya Mas Ganang. Mereka kecewa banget. Padahal semenjak kemunculan arsitek cakep itu di Yang Muda Menginspirasi, rating program-program Gayatri TV meningkat pesat, lho. Penonton pada kepo kali ya kapan Pak Gandi nongol lagi," Nana melanjukan spekulasinya. Kami bertiga cuma diam mendengar.

"Dia bukan arsitek dengan modal tampang cakep dan punya banyak waktu wara-wiri di layar kaca demi popularitas, Na," sambung Robi. "Arsitek kelas dunia, lulusan kampus arsitektur terbaik sejagat raya, terlibat di proyek-proyek triliunan, nggak mungkin punya banyak waktu jeda. Mungkin semenit dia duduk sama kita setara seratus dolar untuk dia. Kapan dah gaji gue milyaran kayak Pak Gandi."

"Tahu dari mana lo gaji Pak Gandi milyaran?" Evelyn mulai terdengar antusias.

Gue jadi pendengar budiman aja deh.

"Dia gampang aja ngeluarin jutaan sehari untuk beli kopi ke kita-kita. Hampir dua minggu dia traktir kita, guys. Gue itung-itung hampir 35 juta duitnya abis, cuy. Itu 35 juta udah bisa berangkatin haji emak gue," ucap Robi yang membuat kami terbahak.

Sudah tahu kenapa gue bisa betah temenan sama mereka, kan? Robi, Nana dan Evelyn ini benar-benar teman nongkrong yang asik.

Lalu, gue melihat Pak Vino berjalan ke meja tempat kami makan. Dia melambai ke arah kami.

"Hai, semuanya. Boleh gabung, kan?" Pak Vino minta izin.

"Boleh banget dong, Pak," jawab Nana lalu pindah tempat duduk di sebelah Robi.

Pak Vino mengambil tempat duduk di sebelah gue yang sebelumnya ditempati Nana. Meja tempat kami makan terdiri dari enam kursi. Gue dan Pak Vino berhadapan dengan Nana dan Robi sementara Evelyn berada sembilan puluh derajat dari Pak Vino.

"Nggak makan siang di luar, Pak?" Robi membuka percakapan setelah Pak Vino memesan ayam penyet.

"Lagi pengen disini aja. Saya ganggu, ya? Kalian sedang membicarakan sesuatu yang tidak boleh diketahui orang lain?" tanya Pak Vino.

Evelyn langsung menggeleng. Dia mengeluarkan flirting skill terbaiknya. Senyum manis dan berkata lembut. "Nggak sama sekali, Pak. Kita senang-senang aja Bapak gabung."

Bawa nama-nama kita segala. Luar biasa si Evelyn.

"Mana mungkin kami keberatan makan siang bareng bos. Apalagi kalau ditraktir," sambar Robi.

Itu sungguhan, guys. Robi bukan kode-kode. Dia emang selalu mencari celah untuk dapat makan siang gratisan.

Pak Vino tertawa kecil mendengar ucapan Robi. "Boleh deh."

"Yes!" Robi dan Nana berseru lalu melakukan tos. Gue cuma geleng-geleng kepala lalu memilih menghabiskan ayam kalasan gue.

"Kamu kok kayaknya kalem banget, Jeng?" tanya Pak Vino.

Masa, sih? Emang selama ini gue sebising apa?

"Ajeng kan lagi sedih, Pak. Mr. Gandi Alfareza Siregar menolak ajakannya untuk jadi juri tamu di programnya Mas Ganang," jelas Nana tanpa diminta. Ya Tuhan. Temen gue yang satu ini emang minta diselundupin ke Somalia kayaknya. "Padahal Ajengnya udah optimis bakal diterima. Secara, Pak Gandi kan naksir berat sama Ajeng. Rela ngeluarin duit puluhan juta demi menarik perhatian si kunyuk ini."

Asem.

"Oh, ya?" Pak Vino menoleh ke arah gue. "Sejak kapan?"

"Ya sejak diinterview sama host tomboy tapi cantiknya pol-polan ini lah, Pak," kali ini yang ngejelasin si Evelyn. Pengen ditabokin nih mereka semua. "Bapak nggak tahu siapa yang ngirim Starbucks ke kantor dua minggu berturut-turut?"

"Saya nggak pernah dapat Starbucksnya," kening Pak Vino mengkerut sesaat. Lalu  wajahnya berubah ramah kembali. "Kalian dapat kopi gratisan nggak bagi-bagi ke saya, ya."

Robi terkikik. "Yang sudah punya ruangan kayaknya nggak dapat lagi, Pak. Ini cuma buat manusia penghuni kubikel abu-abu."

Pesanan Pak Vino datang. Mungkin dia kelaparan. Karena begitu pelayan meletakkan piringnya, dia langsung mencuci tangannya di kobokan dan melahap ayamnya.

"Laper banget, Pak?" tanya gue iseng.

Dia mengangguk semangat. "Tenaga saya terkuras meeting dari jam sembilan."

"Pelan-pelan aja, Pak," tegur Evelyn super lembut. Dia menyodorkan air mineral yang masih disegel pada Pak Vino.

Pak Vino menerimanya. "Thank you, Eve." Si bos kemudian menyodorkan botol aqua nya pada gue. "Tolong bukain, Jeng. Saya haus."

Gue dapat melihat wajah Nana dan Robi yang mengerling jail ke arah gue sementara Evelyn nggak repot-repot menyembunyikan wajah terkejutnya.

Pak Vino nggak peka banget, sih. Kan Evelyn yang nawarin minumnya. Harusnya minta dibukain sama si Evelyn, dong.

Mau tak mau, gue membuka segelnya dan meletakkannya di sebelah kanan Pak Vino.

Pak Vino mengambil minuman tersebut dengan tangan kirinya lalu meneguknya. Dia melanjutkan makannya lagi dalam diam.

Ponsel gue bergetar. Notification grup wa Pandawa 5.

Indira Lima : Hola teman-teman gue yang super ketjeh. Pada kosong nggak minggu ini? Main ke rumah akikah, kuy. Kita curhat-curhat cyantik. Sekalian gue mau kasih undangan nikahannya Kikan.

Kadek : Kikan adik ipar lo? Nikah sama siapa dia? Jangan bilang sama dempetannya si Fachri itu haha

Indira Lima : Sayangnya iya. Hahaha. Lagian kan gue bikin di insta story, lo nggak ngecek, ya? Ah gak asik U.

Kadek : Gak sempat gue ngecek-ngecek instagram. Dimas makin rewel semenjak perut gue makin gede :(

Oliv : Gue dari awal udah yakin banget temannya si Fachri itu suka sama Kikan. Cute banget deh mereka. Bukannya lo pernah bilang si Kikan benci banget ya sama si Galih-Galih itu?

Indira Lima : Benci kan singkatan dari Benar-Benar Cinta 😍😄😘

Renata : Krik Krik Krik.

Oliv : Insha Allah gue bisa minggu ini. Ayo dong pada ketemuan. Kangen banget nih sama kalian semua

Renata : I'm in. Pas banget Kahfi lagi di luar kota. Bosen gue di rumah berdua doang sama si Kakak.

Indira Lima : Lah, ART lo nggak diitung, Ren? Wkwk

Renata : -_______-

Kadek : Gue juga pas banget mau ke Jkt weekend ini. Tapi gue nyusul, ya. Ada kumpul keluarga besar di rumah bonyok.

Me : Holaaaaa

Kadek : Ajengkuuuuuh. Apa kabar kamu, Nak? Mama kangen

Me : Bumil lebay

Renata : Jeng, ikut ya minggu ini? Syifa nanyain lo mulu. Katanya pengen main bareng Tante Ajeng.

Me : Kalau tidak ada aral melintang, gue ikut deh.

Oliv : Yeeaaaah kita ngumpul lagi 🎉🎉🎉

Indira Lima : Yg mau bawa suami, silakan. Yg mau bawa anak silakan. Asal jgn bawa selingkuhan.

Kadek : Si Ajeng bawa siapa dong, In? 😂😂😂😂

Ajeng : Asem ya lo, Dek. @Oliv jangan mau jodohin Monita ke Dimas

Oliv : xixi siap-siap, Jeng

Kadek : Yaah, jangan gitu dong. Bara udah siapin sawah utk DP nya Monita :"

Renata : Pada gesrek lo semua

Indira Lima : Gercep amat yak. Ren, salam sama Syifa, ya. Bilang dari Abang Raihan anak Tante Iin yang paling cakep sedunia.

Renata : Bara udah nyiapin sawah buat DP, In. Si Fachri bisa kasih apa nih ke putri cantik gue? ;)

Indira Lima : Tidak boleh menawarkan harta utk mendekati wanita yg kita cintai 🤣😆🤣

Ajeng : Asem kalian semua. Udah ah. Pokoknya minggu, kan? Gue mau balik kerja. Bye

"Chat sama siapa, Jeng? Seru banget kayaknya," tanya Pak Vino.

Piringnya udah licin tanpa sebutir nasi pun. Kelaparan banget kayaknya dia.

"Sama teman-teman lama, Pak," jawab gue singkat. Gue mengantongi kembali ponsel ke saku celana.

Pak Vino mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia pamit untuk mencuci tangan. Kami menunggu sambil mendengar cerita Nana dan tunangannya.

Bulan depan Nana akan menikah di Bandung. Gue dan Evelyn didaulat jadi bridesmaid. Si Robi ikutan jadi groomsman. Setelah hampir dua tahun pacaran, mereka akhirnya naik tingkat.

"Makanannya sudah saya bayar. Ayo balik ke kantor," ucap Pak Vino begitu kembali ke meja.

"Makasih banyak ya, Pak, udah ditraktir. Kalau bisa sering-sering," celetuk Robi saat kami sudah berada di dalam lift.

Pak Vino mengangguk. "Sama-sama. Senang juga bisa gabung dengan kalian. Kocak-kocak ya ternyata."

Begitu tiba di lantai 7, kami langsung disambut oleh Mbak Anya. Dia menarik tangan gue ke ruangannya tanpa izin.

Kening gue berkerut, bertanya-tanya. Tapi gue nurut aja. Dia meminta gue duduk.

"Ada apa, Mbak?" tanya gue to the point.

Bukannya menjawab, Mbak Anya malah tepuk tangan sambil ngakak.

Ini mbak produser kesambet jin mana, ya? Horor juga.

"Mbak, are you okay?" tanya gue hati-hati.

"Never been better, Ajeng," jawabnya begitu tawanya berhenti. "Gue makin semangat deh kerja disini. Wait a second. Gue masih nggak habis pikir ini. Astaga."

Mbak Anya ngakak lagi. Hei, jin yang bersemayam di tubuh produser gue. Keluar lo sekarang juga. Kasian Mbak Anya cakep-cakep jadi rada aneh begini.

"Lo pake pelet apa, sih?"

Pertanyaannya kok malah ke pelet?

"Mbak Anya, kayaknya kita perlu ke—"

"Sekarang, asistennya si arsitek seksi yang pernah lo interview, sedang duduk di ruangan Pak Ganang untuk membahas kehadirannya di program cerdas cermas itu, Jeng. You did it!"

Mbak Anya bukan tipe wanita ekspresif. Tapi kali ini, dia terlihat sangat antusias dan berapi-api.

Gue menggeleng. Si Gandi asem itu kan udah nolak permintaan gue minggu lalu. Kenapa tiba-tiba berubah pikiran?

"Mbak salah info sepertinya. Minggu lalu, Pak Gandi bilang ke saya, dia sangat sibuk. Tidak punya waktu datang ke kantor kita," kali aja Mbak Anya halu karena terus-terusan diteror para petinggi Gayatri TV.

"Gue juga awalnya nggak percaya, Jeng. Tapi Mas Ganang sendiri yang bilang. Congrats, dear. Bulan depan sepertinya lo resmi jadi produser. Para petinggi terkesan dengan usaha lo untuk membawa Gandi ke kantor kita."

Gue speechless. Bingung mau bilang apa. Ini si Gandi nggak sedang main-main, kan?

"Pak Gandi berada di Singapore selama sepuluh hari, Mbak," lanjut gue lagi, nggak mau terlalu berharap.

"Lebih tepatnya, Jepang. Gandi di Jepang. Ada urusan. Tapi, malam ini dia sudah tiba di Indonesia. Lusa dia akan ke kantor kita."

Jepang? Kenapa si Gandi mesti bohong ke gue. Ah. Bodo amat. Ini beneran?

Astaga. Gue baru ingat. Saat dia bilang gue suka kejutan atau tidak, apakah maksudnya ini?

***

Studio 5 Gayatri TV penuh sesak. Kehadiran sosok Gandi membuat banyak karyawan menyempatkan diri melihat secara langsung arsitek milik Atkins tersebut. Para supporter tim cerdas cermat juga excited saat melihat juri tamu program Mas Ganang minggu ini.

Sialnya, Gandi ini emang pinter banget menarik perhatian orang lain. Dia tidak terlihat kaku di depan kamera. Dia akan memuji para peserta yang menjawab dengan benar pertanyaan darinya. Sesekali dia juga berinteraksi dengan penonton dan melontarkan lelucon yang membuat satu studio terbahak.

Mas Ganang tidak kesulitan berinteraksi dengan Gandi. Gandi dengan mudahnya akrab dan membangun chemistry dengan kedua juri tetap program tersebut.

Di akhir program, Gandi memberikan kiat-kiat mendapatkan beasiswa ke luar negeri. Gandi juga membagi pengalamannya selama sekolah di Singapore, Swiss dan Inggris. Tak lupa dia menceritakan secara singkat proyek-proyek yang dia tangani di Atkins.

One thing I'm wondering since he was talking about his life experience adalah gimana caranya itu kunyuk bisa cerita sama orang tanpa terdengar sombong dan tinggi hati. Beda banget dengan cowok-cowok yang Mama kenalin ke gue. Sukses sih sukses, tapi hobinya pamer prestasi mulu.

Si casanova sialan ini beda. Dia emang menceritakan prestasinya. Tapi, dia bisa membuat pendengar bukannya minder malah termotivasi untuk bisa lebih baik dari dirinya. Mungkin kemampuan public speaking dia menjadi faktor utama kesuksesan arsitek ini.

Benar apa yang diajarkan selama gue duduk di bangku sekolah. Tidak ada manusia yang sempurna. Gandi mungkin gemilang di karier dan pendidikan. Dia juga pandai bergaul dan membangun relasi. But when it comes to women, dia akan berubah jadi manusia kurang ajar yang tidak tahu sopan santun.

Lantai 7 seakan diserang gempa. Karyawan cewek nggak berhenti grasak-grusuk saat melihat si arsitek asem itu berjalan sambil menebar senyum.

Demi apa pun yang ada di dunia ini, jangan bilang dia mau ke kubikel gue.

Gue menatap nyalang padanya. Bukannya ciut, tawanya malah semakin lebar.

"Jeng, jangan galak-galak. Itu udah disamperin sama pangeran berkuda," ejek Nana sambil mengedipkan sebelah mata.

Asem. Asem. Asem.

"Hai, Ajeng. Sibuk?" Dia sudah berdiri di hadapan gue, menenteng sekotak muffin dan meletakkannya di atas meja kubikel gue.

Dia tahu darimana gue suka muffin?!

"Sangat sibuk, Pak," gue menjawab sambil tersenyum tipis.

Dia melirik jam tangannya. Gue ikutan ngelirik.

Well. Gue bukan tipe cewek yang suka mengecek brand-brand dari fashion item yang dikenakan oleh seseorang. Tapi siapapun akan menganga melihat sebuah Patek Philippe melingkar di pergelangan tangan seseorang.

Dan kali ini, jam tangan super mahal itu melingkar di pergelangan tangan kanan si arsitek kampret ini. Kayaknya Robi bener. Gaji dia emang milyaran.

"Jam kantor sudah habis. Benar tidak, Robi?" Dia menoleh pada Robi yang kubikelnya ada di sebelah Nana.

Robi mengangguk semangat. Ingatan si kunyuk ini hebat juga. Ketemu Robi cuma sekali padahal.

"Saya dan yang lain pada mau pulang nih, Pak. Tuh si Nana udah beres-beres."

Nana tersenyum sok imut lalu memasukkan perlengkapannya ke dalam tote bag miliknya.

"Overtime?" tanyanya pada gue yang pura-pura sibuk di depan laptop.

Sejujurnya gue nggak tahu mau ngapain di kantor. Kerjaan beres. Deadline belum ada.

"Nggak ada deadline yang harus dikejar, Pak," Nana menyahut. Dia mengerling ke arah gue. "Jeng, bukannya lo tadi bilang ke gue pulang ngantor pengen mampir ke Gramedia, ya? Sori nih gue nggak bisa nemenin. Tunangan gue ngajak dinner."

Nana! Astaga.

Gue menghela nafas. Bisa gila gue lama-lama di kubikel ini. Maka, gue membereskan seluruh perlengkapan kerja dan memasukkannya ke dalam ransel.

Gandi malah sibuk berkenalan dengan para staf di lantai 7. Mereka mengucapkan terima kasih atas kiriman kopi dari Gandi. Beberapa dari mereka bahkan sibuk minta foto.

Serasa artis banget tuh si Gandi. Heran deh gue sama yang lain. Perasaan tamu-tamu yang mampir ke Gayatri TV cakep-cakep, kok. Hebat-hebat juga. Tapi kenapa sama Gandi mereka jadi kayak ketemu Tom Cruise?

"Pulang sekarang? Itu muffin untuk kamu. Tolong diterima, ya," ucapnya lembut.

Sambil memaksakan senyum, gue mengambil muffin tersebut. Gue akan menyerahkan muffin ini pada satpam di gedung apartemen gue.

Robi, Nana dan Evelyn pamit pulang. Gandi bahkan cipika-cipiki ke Nana dan Evelyn. Persis kayak yang dia lakukan pada Mbak Anya di pertemuan pertama mereka.

Katanya gini, "teman Ajeng temannya saya juga."

Gue pamit pada beberapa teman yang masih stay di kantor. Gandi mengikuti gue. Kami berjalan beriringan. Gue harus menahan emosi. Nggak boleh meledak-ledak. Ini masih di kantor. Citra gue bisa rusak dibuatnya.

Sebelum menuju lift, kami berpapasan dengan Pak Vino. Mereka saling berjabat tangan. Pak Vino mengucapkan terima kasih pada Gandi.

"Langsung pulang, Jeng?" tanya Pak Vino pada gue.

"Iya, Pak."

"Hati-hati di jalan, ya. Nyetir, kan?"

Gue mengangguk. "Saya duluan ya, Pak."

Di dalam lift pun gue tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Gandi juga tidak mengajak gue bicara. Lalu ponselnya berdering. Dia ngomong pake bahasa inggris. Mungkin sama orang kantornya.

Gandi mengikuti gue sampai ke parkiran. Begitu merasa tidak ada orang selain kami, gue menatapnya tajam, lalu bertanya, "ngapain lo ngikutin gue?!"

Bukannya kesal karena gue kasar sama dia, dia malah mengulum senyum.

"Jangan pernah ganggu gue lagi. Gue bukan cewek-cewek di luar sana yang bakal luluh sama pesona lo. I've told you before."

Dia menggeleng-gelengkan kepala, lalu melipat kedua tangannya di depan dada.

"Why you gotta be so rude?" Dia lalu terkikik.

Astaga. Itu lirik lagunya Magic. Demi Tuhan!

"Dasar gila."

Gue menekan tombol di kunci mobil. Dia menarik tangan gue. Gue tepis kasar.

Dia mangangkat kedua tangan pura-pura menyerah. "Easy, pretty. Saya cuma mau mengajak kamu makan malam."

"Gue nggak mau."

"C'mon. Saya sudah bersedia jadi juri tamu di kantor ini. Kamu nggak punya sedikit niat untuk mengucapkan terima kasih?"

"Sekarang lo pamrih?" tanya gue sengit.

Dia menggeleng. "Tidak sama sekali. Hanya saja, kedua orang tua saya mengajarkan pada kami anak-anaknya untuk tidak melupakan kebaikan seseorang."

Kepala gue rasanya mau pecah. Pinter banget si kutu kupret ini bikin gue merasa sedikit-hanya sedikit-nggak enak hati.

"Apakah orang tua lo lupa mengajarkan untuk tidak perlu mengingat perbuatan baik kita pada orang lain?" balas gue lagi.

Wajahnya mengeras. Senyumnya hilang. Matanya menatap gue tajam. Is he trying to intimidate me?

"Mereka bukan lupa. Mungkin tidak sempat mengingatkan. Ngomong sama kamu membuat saya kangen mereka. Sayangnya, saya harus naik pesawat selama dua jam untuk tiba di makam mereka."

Rasa bersalah kini memenuhi hati gue. Tuhan, maafkan aku.

Gue menelan ludah. Sialan.

"Yasudah. Kamu mau pulang, kan? Take care. Senang bisa ketemu kamu lagi."

Dia menepuk pundak gue singkat lalu berbalik.

Shit. Gue harus gimana?

"Gandi!" tanpa sadar gue berteriak memanggil namanya.

Dia berhenti lalu berbalik. Gue berjalan mendekatinya. Dia menatap gue datar.

"Lo suka Rawon? Ayo makan sekarang. Gue udah laper."

Setelah berkata begitu, gue langsung berbalik ke arah mobil. Gue baru akan duduk di kemudi saat dia menarik tangan gue.

"Saya yang nyetir. Tunjukin aja jalannya."

Setelah memasang seatbelt, Gandi mengganti parsneling ke D dan melajukan mobil gue.

"Acting saya tadi berhasil, ya. Akhirnya bisa dinner bareng kamu."

Dia tertawa terbahak-bahak sementara gue rasanya pengen tenggelam ke Segitiga Bermuda.

Holyshit. Kenapa gue lupa dia casanova paling menjengkelkan yang ada di muka bumi?

Akting begitu pasti jadi makanan sehari-harinya!!!!

***

Thankyou for reading
See you on the next chapter

Continue Reading

You'll Also Like

1.6M 140K 23
[NOTE: Part masih lengkap kecuali epilog] Aku nggak mengerti bahwa sebuah kisah cinta bisa seperti ini. Sungguh, dulu aku hanya gadis polos yang tak...
3.2K 378 15
15+ Di tabrak truk-chan lalu ke isekai? Yes, that's me! Senang? Mungkin iya kalau isekai yang ku masuki adalah dunia sejenis Jujutsu Kaisen atau pali...
190K 2K 53
Cuma berisikan rekomendasi novel, cerita wattpad yang seru menurut sudut pandang yang bikin lapak ini. Mohon maaf kalo ada penulis yang merasa berisi...
632K 68.6K 29
[SUDAH TERBIT] Pada usia seperempat abad, menurut orang-orang, seharusnya berada di puncak vitalitasnya dan menghabiskan waktu di luar ruangan. Sehar...