Over The Moon (SUDAH TERBIT)

By Levitt1806

1.9M 88.6K 4.8K

Ajeng dan Gandi. Dua orang dengan sifat yang serupa tapi tak sama, bertemu di sebuah kota yang jauh dari temp... More

Preface
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Progressnya Berapa Persen?
Pre Order, Puhlease!!!
Bonus Buat Yang PO
Latest Info (PO OTM)
Info PO Jilid 2
PO 2 Sudah Dibuka
GIVEAWAY AJENG&GANDI
Gandi Partners
Puasa Pertama El dan Lala
Live Talk
OVER THE MOON 2.0
KARENA BUKU TAHUNAN

Chapter 4

56.5K 7K 361
By Levitt1806

Belum terlalu malam untuk update. So yeah, semoga kalian suka. Again and again, vommentsnya ditunggu.
Enjoy
*
*
*

Hari ini, gue memutuskan untuk ke kantor dengan taksi online. Gimana mau nyetir kalau kaki gue pegal-pegal begini. Nggak sanggup gue beneran pake sepatu penyiksaan seperti yang kemaren gue pake.

Gue nggak akan pernah mau pake itu heels lagi. Terkutuk. Terlalu banyak hal-hal buruk yang menimpa gue ketika mengenakan heels itu.
Asal lo semua tau aja, begitu sampai di rumah, gue cuci mulut gue bolak-balik. Awalnya sikat gigi, lalu pakai mouthwash, lalu sikat gigi lagi. Pokoknya sebisa mungkin jejak bibir si casanova sialan itu hilang dari bibir gue.

Dasar cowok brengsek. Berani-beraninya dia main nyosor aja ke gue. Dia mau nyamain gue sama cewek-cewek yang memuja dia? Tentu aja nggak bisa. Gue punya harga diri. Dan, kecolongan dua kali sudah menggilas habis harga diri gue sampai ke dasar jurang.

Kalau aja gue dikasih izin untuk tembak mati satu orang di dunia ini, kayaknya si Gandi masuk di number one list gue deh. Orang-orang yang suka bertindak semena-mena kayak dia tuh harus dimusnahkan dari muka bumi ini. Gue yakin, pasti lebih banyak yang senang daripada sedih jika gue berhasil menembak mati dia.

"Morning, Ajeng. Eh, kaki kamu kenapa?" Gue berpapasan dengan Pak Vino saat akan masuk lift. Pak Vino menyadari cara berjalan gue yang tidak seperti biasanya.

"Pegal-pegal, Pak. Biasa deh, heels yang saya pake kemaren nyiksa banget," jawab gue sambil berjalan tertatih masuk ke dalam kotak besi tersebut.

Kami berdiri bersisian di dalam lift, ditemani oleh tiga orang dari bagian program infotainment. Satu host, duanya lagi tim kreatif. Ketiganya cewek. Mereka senyum-senyum nggak jelas ke Pak Vino. Fans Pak Vino makin banyak aja. Makin berat nih Evelyn dapetin hati Pak Vino. Poor Evelyn.

"Deni nggak tahu kamu nggak nyaman dengan sepatu tinggi? Perasaan saya sudah ingatkan dia agar lebih aware soal kenyamanan dalam memilih wardrobe," sambung Pak Vino lagi. 

"Bukan salah Deni, Pak. Kemarin kan buru-buru banget," gue nggak mau karena kaki gue yang kampungan ini, Deni jadi kena tegur.

Begitu lift berhenti di lantai 4, tiga orang wanita yang sejak tadi senyum-senyum itu pamit pada Pak Vino.

Garis bawahi. Hanya pada Pak Vino.

Women.

Berdasarkan pengalaman anggota Pandawa 5 yang lain soal mencuri hati laki-laki, mereka bilang physical appearance itu tidak menentukan apakah cowok tersebut akan jatuh hati pada kita atau tidak. Itu cuma bonus. Karena yang paling menentukan adalah 3A. Attraction, Affection dan Attitude.

Pandawa 5 yang lain memang cantik-cantik, tapi bukan itu yang membuat Kahfi, Fachri, Bara dan Bang Ben menjadikan sahabat-sahabat gue sebagai istri mereka.

Contohnya aja Bang Ben. Dulu Iin sempat naksir dia. Dari segi look, Iin dan Oliv sama-sama cantik. Tapi, karena memang Bang Ben sudah tertarik sama Oliv dari awal dan ditambah dengan sikap santun Oliv, maka Bang Ben memilih Oliv sebagai ibu dari anak-anaknya.

Begitu juga dengan Fachri. Suami si Iin itu punya mantan yang cantiknya kebangetan lho. I hate to say this, tapi aura wanita anggun plus cantiknya keliatan banget sih. Hijaban pula. Duh, kalau dilihat sekilas, itu cewek cocok banget sama si kaku. Tapi pesona temen gue itu udah meresap sampe ke akar-akar rambut si Fachri. Mau ada 1000 Malika yang datang pun, cinta dia cuma buat si gesrek Iin seorang.

Harusnya tiga cewek Infotainment tadi lebih ramah pada orang yang dia memang kenal. Toh, gue bukan orang asing. Lagian, who knows ternyata selera Pak Vino adalah cewek yang ramah. Gue yakin laki-laki sejenis Pak Vino ini nggak akan superficial karena kalau cuma mau cewek cantik, dia akan dengan mudah dapetin mereka di kelab-kelab elit Jakarta.

“Ransel kamu itu isinya apa, sih? Kok kayaknya penuh banget,” tanyanya melirik Jansport hijau army milik gue.

Laptop, charger, notes, pencil case, bekal buat sarapan karena saya bangun telat, Huckleberry Finn, dompet. Banyak deh, Pak.”

Gue memang memasukkan semua peralatan tempur gue di dalam tas. Jadi gue nggak ribet-ribet lagi nenteng yang lain. Makanya ransel adalah pilihan gue. Kucing si Kadek juga muat di dalam sini.

“The Adventure of Huckleberry Finn maksud kamu?”

Gue mengangguk. “My favorite book all the time. Saya nggak bakal bosan-bosan baca buku itu, Pak.”

Lampu lift berdenting. Kami sudah tiba di lantai 7. Gue keluar dari kotak baja tersebut dengan langkah terseok-seok. Oke, agak lebay, ya. Pokoknya kaki gue sakit banget.

Pak Vino memperlambat laju berjalannya agar bisa mengimbangi langkah gue. “Saya sudah pernah baca buku tersebut. Tapi saya prefer The Davinci Code dan The Alchemist.”

“Saya suka cerita anak-anak, Pak. Lebih seru aja gitu. Fun dan bikin kita awet muda,” lanjut gue lagi. Gue akan sangat antusias jika sudah membicarakan buku. I love books to the moon and back. Itu sebabnya gue bekerja sebagai editor novel sebelumnya. Walaupun akhirnya gue kembali lagi ke media karena ternyata mengedit buku jauh-jauh lebih melelahkan dibandingkan dengan hanya membaca buku.

“Sama anak-anak suka tidak?”

“Err…So so. Kalau mereka sudah nangis sampai bikin kepala pusing, I will just let them alone.

“Sama,” lalu kami berdua terkekeh berbarengan.

Kami sudah tiba di depan ruangan Pak Vino. Kubikel gue masih belasan meter jauhnya darisini. “Kalau begitu saya ke si kotak ya,Pak,” gue menunjuk kubikel dengan partisi abu-abu yang berjejer di lantai tersebut.

Wait, saya lupa tanya ini,” dia menahan gue yang sudah siap melangkah ke kubikel. “Gimana interview kemarin?”

“Lancar, Pak.”

Gue nggak mungkin mengatakan yang sebenarnya ke Pak Vino soal perlakuan biadab si Gandi ke gue, kan? Yang ada malu-maluin gue juga. Lagian, gue sudah mensugesti slash memaksa otak gue untuk menghapus memori tentang si Casanova sialan itu.

Anggap aja gue nggak pernah kenal sama cowok yang namanya Gandi Alfareza Siregar di dunia ini. Karena mengingat nama dia itu Cuma bikin gue naik darah. Bisa cepat kena serangan jantung gue.

“Kaki kamu beneran baik-baik aja? Nggak mau diurut atau dicek ke dokter dulu?”

Gue menggeleng. Biasa ini mah.

“Ehm…Ajeng, kamu lembur hari ini?”

“Semoga nggak, Pak. Kenapa tuh?”

Dia menggaruk-garuk tengkuknya. Gue tungguin Pak Vino mau ngomong apa.

“Pulang bareng saya hari ini. Oke?”
Astaga. Ternyata si Bos mau ngajak pulang bareng.

Tentu saja gue menggeleng. Ngerepotin si bos banget dong gue. Nggak ah. Kendaraan umum di Jakarta banyak. Baik yang konvensional, maupun yang online.

“Itu namanya ngerepotin Bapak. Saya pulang sendiri aja. Terima kasih atas tawarannya,” tolak gue halus.

“Nggak ngerepotin sama sekali. Anggap saja permintaan maaf karena sudah membuat kaki kamu sakit,” balas Pak Vino lagi.

“Ini namanya resiko pekerjaan, Pak. Kalau begitu saya permisi, Pak,” Pak Vino menahan lengan gue saat gue sudah selangkah meninggalkan pintu ruangannya.

“Saya nggak suka ditolak lho, Jeng,” ujarnya jenaka. “Jarang-jarang ini Dep Head mau nganterin staf nya.”

Gue mendesah lalu tersenyum dan mengangguk. “Baiklah kalau dipaksa. Tahu begini harusnya tadi sekalian aja Bapak yang jemput saya,” gue ikut melucu.

Kami tertawa berbarengan.

“Pak, ini tangannya,” gue melirik tangan Pak Vino yang masih memegang lengan gue.

Pak Vino tersenyum kikuk lalu melepaskan tangannya. Kayaknya si Bos salah makan, deh. Jadi aneh gitu. Atau kurang hiburan kali, ya. Lembur mulu sih kerjaannya. Betah banget nunggu jalanan Jakarta sepi di kantor.

Gue mendapati Nana-pemilik kubikel disebelah gue-tersenyum penuh arti saat gue mendekati kubikel kami.

“Pagi-pagi udah mesra-mesraan sama Pak Vino. Bikin iri deh Ajeng nya,” seru Nana sambil mengerlingkan matanya.

Nana ini ratu gosip di Lantai 7. Tapi dia bisa jaga rahasia if we ask her to do.

Semacam Lambe Turah versi lebih baik. Jadi, sebelum menyebar gosip, dia sudah bisa menjamin tidak aka nada orang yang dirugikan dengan gosip yang akan dia sebarluaskan.

Gue tidak menghiraukan ledekan Nana. Gue memilih duduk di kursi dan terkejut saat mendapati sebuket mawar putih, sekotak plastik anggur, salep Counterpain dan sebungkus Oreo.

“Apaan nih?” tanya gue pada Nana. Kali aja dia tahu.

Nana mengangkat bahu. “Gue juga bingung, tadi pas gue nyampe, meja lo udah penuh aja. Gue intip notes nya. Pengirimnya G. Siapa tuh si G? Cowok baru lo, ya? Wah nggak asik lo, Jeng. Tega-teganya lo tutupin cowok lo dari gue. Terus nasib Pak Vino gimana?”

Sorry. Saya sangat menyesal. Can you give me a second chance?

G ♥️
Ps: 0811873xxx, my number. Please let me know if you’ve got these presents

Gue mencibir. Casanova sialan. Dia kira gue akan luluh dengan sebuket tanaman hidup seperti ini? Dia benar-benar berpikir gue sama dengan perempuan-perempuan yang pernah bersamanya.

Mawar putih pemberiannya sudah teronggok di tempat sampah yang tak jauh dari kubikel gue.

“Kok dibuang sih, Jeng? Kasian tahu si G nya. Siapa sih dia, Jeng? Malah cute banget lagi ngasih lo anggur. Eh, kok ada Counterpain ya? Lagi encok, Buk?”

“Dari Pak Gandi, ya?” tiba-tiba saja Robi sudah nongol di hadapan kami. Ranselnya bahkan belum dia letakin di meja.

“Maksud lo, Pak Gandi arsitek?”

Robi mengangguk sambl tersenyum menjijikkan. “Kayaknya Pak Gandi suka sama Ajeng, Na. Dari kemarin matanya nggak lepas dari si Ajeng. Cowok mana yang nggak terpesona kalau Ajeng udah pake setelan dan full make up?”

Bola mata gue berputar. Robi ini temannya si Nana bergosip. Heran deh. Jaman sekarang cowok pun seneng ngelakuin hobi-hobi cewek ya.

“Lo udah sarapan belom?” tanya gue pada Robi dan Nana.

Nana mengangguk. Robi menggeleng. Gue menyerahkan sebungkus Oreo yang diberikan Gandi padanya.

“Buang-buang makanan itu dosa. Jadi mending buat lo aja,” gue lalu mengambil kotak anggur. Duh, ini kesenengan gue. Tapi, demi harga diri, gue nggak akan sudi memasukkan satu butir buah pun ke dalam mulutku. “Ini buat lo, Na.”

“Counterpainnya, Jeng?” Robi detail banget ya Tuhan.

“Entar gue letakin di first aid box kantor aja,” jawab gue lalu mulai mengeluarkan laptop dari dalam tas.

Gue lebih nyaman kerja pake laptop sendiri daripada PC kantor. Ribet kalau gue harus ikut meeting sementara soft file yang diperlukan size nya puluh hingga ratusan megabyte.

Feeling gue bilang, Pak Gandi ini nggak akan nyerah gitu aja, Bi,” Nana berbisik super kuat. Gue masih bisa denger.

“Setuju banget, Na. Cocok sih sama si Ajeng. Dia Api, Pak Gandi minyak tanahnya.”

Lalu mereka berdua tertawa seakan hanya kami bertiga yang ada di lantai 7 gedung kantor tersebut.
***
Biar saya yang bawa,” Pak Vino memaksa membawa ransel gue yang segede gaban itu.

Perkiraan gue salah. Ternyata hari ini gue lembur membantu tim mempersiapkan edisi si kutu kupret yang akan tayang minggu depan. Mbak Anya perlahan mulai mendelegasikan pekerjaan-pekerjaannya pada gue. Tentu saja gue tidak menolak.

Jam tangan gue sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Perut gue keroncongan sejak tadi. Cuma diganjel Sariroti. Nggak nendang ke perut gue. Apalagi kalau lagi lembur. Minimal nasi padang pake rendang rendang tiga potong.

“Capek, ya?” tanya Pak Vino lembut saat gue sudah menyenderkan kepala di jok mobilnya.

“Bukan cuma capek, Pak. Saya lapar.”

“Kita mampir makan malam dulu, ya? Kaki kamu masih tahan buat jalan, kan?”

Gue menggeleng. Gue nggak mau jalan jauh lagi. “Drive-thru aja deh, Pak. Mc Spicy, kentang goreng, cola size large,” gue mulai menyebutkan makanan-makanan yang sangat dibenci oleh Renata.

Kalau Renata ada disini, dia akan mengomeli gue sampai subuh mengenai bahaya junk food terhadap kesehatan. Dia juga akan kasih tips makanan sehat tapi enak sehingga kita lupa sama junk food.

Pak Vino baik banget. Sumpah. Dia biarin gue makan di dalam mobilnya tanpa sekali pun ngajak gue ngomong. Maafkan saya, Pak. Tapi saya lagi laper banget. Bukan bermaksud nggak sopan. Dia hanya bertanya gue tinggal di apartemen mana, tower apa, dan unit nomor berapa.

Mobilnya sudah memasuki kawasan apartemen tempat gue tinggal. Gue piker dia akan menurunkan gue di lobi, tapi ternyata dia malah membawa mobilnya menuju parkiran.

“Bapak mau ikut masuk ke dalam? Saya nggak invite Bapak, lho” tanya gue dengan kening berkerut.

Well, siaga itu perlu.

Pak Vino tertawa begitu mematikan mesin mobilnya. “Saya Cuma mau pastiin kamu tiba di apartemen dengan selamat, Ajeng.”

Dia mendahului gue untuk turun dari sedan licinnya lalu mengambil ransel gue yang diletakkan di kursi belakang.

“Kalau sampai besok pagi pegal-pegalnya nggak hilang, kamu izin aja. Saya nggak mau karyawan saya bekerja dalam kondisi yang tidak prima,” ujarnya sambil berjalan masuk ke gedung apartemen.

Gue mengangguk singkat. Turuti aja perintah bos. Demi promosi dua bulan lagi.

Dengan mudah Pak Vino menemukan unit apartemen gue. Mungkin salah satu teman dekatnya tinggal di tower yang sama dengan gue.

Gue baru akan mengeluarkan access card saat suara orang yang paling gue benci terdengar di lorong apartemen.

"Ajeng," panggilnya dengan senyum ceria seperti biasa.

Ya Tuhan, kenapa gue harus ketemu dengan manusia satu ini lagi?!

"Pak Gandi Alfareza Siregar?" tanya Pak Vino pada si kampret.

Dianya ngangguk. Sambil masih tersenyum dia berkata, "have we met before?"

Pak Vino tertawa kecil kemudian menggeleng. Dia menyodorkan tangan kanannya. "Bapak tidak mengenal saya , tapi saya tahu tentang Bapak. Saya Vino, kepala produksi di Gayatri TV. Senang sekali akhirnya bisa bertemu langsung dengan salah satu arsitek hebat tanah air."

Gandi membalas jabatan tangan Pak Vino. "Oh. Thank you. Saya juga senang bertemu dengan atasan Ajeng. You have an amazing team, Vino. I enjoyed spending time with them yesterday."

Gue lagi-lagi memilih tidak bersuara. Capek dan ketemu manusia paling menjijikkan di muka bumi bukan kombinasi yang baik.

"Ajeng, are you okay? You look pale," dia mendekat ke arah gue.

Gue langsung mundur tiga langkah. Trauma berdekatan dengan dia.

"Are you guys dating?" tanya Gandi pada kami berdua.

Gue dan Pak Vino serempak tidak menjawab pertanyaannya. Gue memilih membuka pintu apartemen.
"Terima kasih tumpangannya, Pak. Hati-hati di jalan."

Pak Vino menyerahkan ransel gue. "Sama-sama. Langsung tidur, ya. Nggak usah mikirin kerjaan lagi."

"Kamu tinggal disini, Ajeng?"

Gue menatapnya datar, kemudian mengangguk.

Dia tersenyum jail. Tapi, gue sedang malas meladeninya. Jadi, gue biarkan dia berekspresi sesukanya.

"Anda juga tinggal disini?" tanya Pak Vino.

Sebelum Gandi menjawab, pintu apartemen di belakang mereka terbuka. Seorang wanita setengah bule datang membawa sebuah jam tangan lalu memberikannya pada Gandi.

"This is yours, isn't it?"

Gandi menerima jam tangan tersebut lalu memasangkannya di pergelangan tangan kanannya. "Thankyou, Becca."

Playboy cap kaki kuda. Baru singgah ke apartemen teman bermainnya ternyata. Gue sering berpapasan dengan si Becca-Becca ini, tapi kami tidak pernah terlibat percakapan. Betapa sempitnya dunia ternyata tetangga gue adalah teman bermain si casanova sialan ini.

"Yasudah. Saya pulang dulu, Ajeng. Good night. Gandi, duluan, ya."

Pak Vino menjauh dari gue sementara si Becca sudah kembali ke dalam unitnya setelah berpelukan singkat dengan si Gandi.

"Did you get my message?" pertanyaannya menghentikan langkah gue yang sudah siap masuk rumah.

Gue berbalik badan, memasang tampang lelah sekaligus menyebalkan supaya dia tahu gue tidak suka dengan kehadirannya disini.

"Bunga lo sudah menghiasi salah satu tong sampah di sudut kantor gue," gue meliriknya malas. "Gue capek. Males ribut. Apalagi sama cowok tanpa sopan santun seperti lo. Jangan pernah kirim apa pun ke kantor gue lagi. It's disgusting."

Gue melihat rahangnya yang mengeras sesaat, namun kemudian dia memberikan senyum andalannya. Senyum yang gue yakin membuat banyak teman bermainnya luluh.

"Senang bisa bertemu kamu lagi, Ajeng. You need a rest. See you," dia melambaikan tangannya pada gue lalu berbalik santai menuju lift.

See you katanya? Emangnya kami bakal bertemu lagi. Hell no. Mungkin yang dia maksud dengan bertemu lagi karena apartemen pacarnya kini berhadapan langsung dengan apartemen gue.

Ya. Pasti begitu.

***

Thankyou for reading
See you on the next chapter

Continue Reading

You'll Also Like

1.6M 126K 67
CHAPTER 7 - END TELAH DIHAPUS KARENA AKAN SEGERA DITERBITKAN *** "Enak lho, Ta, kalo kita kerja sesuai sama yang kita senengin. Orang suka salah pers...
3.1K 378 15
15+ Di tabrak truk-chan lalu ke isekai? Yes, that's me! Senang? Mungkin iya kalau isekai yang ku masuki adalah dunia sejenis Jujutsu Kaisen atau pali...
52.5K 8.3K 25
[Wattys Winner 2022] [WattpadRomanceID Reading List Pilihan Juni 2022 kategori Bittersweet of Marriage] === Follow dulu sebelum baca yuk! === "Cuma...
1.6M 99.2K 28
Sebagian sudah di-unpublish. Versi lengkap bisa dibaca dalam bentuk cetak dan ebook (Google Playstore) via Penerbit Prospec. Dibeli ya! *** Tujuan Da...