Over The Moon (SUDAH TERBIT)

By Levitt1806

1.9M 88.6K 4.8K

Ajeng dan Gandi. Dua orang dengan sifat yang serupa tapi tak sama, bertemu di sebuah kota yang jauh dari temp... More

Preface
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Progressnya Berapa Persen?
Pre Order, Puhlease!!!
Bonus Buat Yang PO
Latest Info (PO OTM)
Info PO Jilid 2
PO 2 Sudah Dibuka
GIVEAWAY AJENG&GANDI
Gandi Partners
Puasa Pertama El dan Lala
Live Talk
OVER THE MOON 2.0
KARENA BUKU TAHUNAN

Chapter 3

55.7K 7.6K 369
By Levitt1806

Tengah malam update lagi. Nggak papa deh. Mumpung ide lagi ngalir.

Enjoy
*
*
*

"You are late."

Itu kalimat pertama Gandi setelah tertawa lebar begitu melihat wajah gue. Mbak Anya menoleh ke arah gue dengan kening berkerut. Gue menggeleng sebagai jawaban.

Mbak Anya itu cerdas. Dengan mudah pastinya dia menangkap interaksi gue dan si casanova sialan ini. Tapi, gue nggak akan mau mengakuinya. That was embarassing.

Ajeng, santai. Lo harus profesional. Saat ini, kutu kupret di depan lo adalah klien lo, sumber gaji lo untuk bulan ini, penentu penetapan promosi lo dua bulan ke depan.

Gue berusaha mensugesti diri gue. Dimulai dari mata gue yang tidak terbelalak lagi dan bibir gue yang sudah tersenyum manis ke arahnya.

Shit. Kenapa susah banget sih gue untuk fake smile aja?!

"Maaf, Pak. Tadi ada sedikit—"

Si arsitek songong itu mengangkat tangannya, meminta Mbak Anya untuk menghentikan ucapannya.

"Which one is Evelyn?"

Oke. Sepertinya dia sudah tahu siapa hostnya.

"Evelyn tidak ada, Pak. Dia berhalangan hadir. Bapak akan diinterview oleh host kami yang lain. Namanya Ajeng," Mbak Anya memperkenalkan gue pada si arsitek menjijikkan itu.

Gue tersenyum pura-pura manis sembari mengulurkan tangan kanan gue. "Saya Ajeng, Pak. Senang berkenalan dengan Anda."

Well, gue sengaja pakai kata 'Anda' supaya dia tahu batas profesionalitas kami.

Masih dengan senyum super menyebalkannya, dia menjabat tangan gue. Erat. Asem. Pengen gue gampar nih cowok.

"Ajeng, nama yang cantik. Saya Gandi. Senang bertemu kamu lagi."

Goddamnit. Dia pasti sengaja ngomong seperti itu. Pasti Mbak Anya sudah mikir yang nggak-nggak tentang gue. Dia pasti mikir gue pura-pura nggak kenal sama si kutu kupret sialan ini.

Aaaghhhh. Pengen ngegampar orang deh gue sekarang.

Gue menatapnya tajam saat dia tak juga melepaskan jabatan tangannya. Si Gandi gila ini cekikikan lalu akhirnya melepaskan tangan gue dan kembali duduk di singgasananya.

Dia menoleh pada Mbak Anya, menebar feromon, "so you are..."

"Anya. Produser. Semoga kita dapat bekerja sama dengan baik. Sorry for the inconvinience back then. That was unexpected," Mbak Anya berucap diplomatis.

Gandi mengangkat bahu. "Sudah saya maafkan. Saya gampang luluh pada perempuan cantik. Apalagi perempuan cantiknya ada dua."

Mbak Anya tersenyum palsu. Ya. Gue bisa jamin. Sementara gue rasanya mau muntah saat ini juga.

He might ne clever as hell, tapi dia benar-benar bodoh memperlakukan dua wanita independen seperti gue dan Mbak Anya. Dia salah kalau kami lemah dengan senyum dan gombalannya.

"Anya, bisa kasih kami satu-dua menit untuk ngobrol? Kami perlu menjalin chemistry agar tidak terlihat kaku di depan kamera. Benar, kan?"

"Sure. Kami memang selalu melakukannya sebelum memulai shooting," balas Mbak Anya kemudian. Dia lalu menoleh pada gue. "Ajeng, tolong berikan materi yang sudah kita susun pada Pak Gandi. Kalau begitu saya pamit dulu."

Mbak Anya dengan tenang melenggang meninggalkan gue dan si casanova sialan ini. Hanya berdua. Gila.

Oke. Gue pasti bisa mengatasi ini semua. Ini cuma obstacle kecil. I can get through this.

"Semua pertanyaan yang akan saya kemukakan pada Bapak terdapat pada draft yang Bapak pegang. Kami tidak akan bertanya soal personal life Bapak sesuai dengan hasil rapat kami dengan asisten Bapak. Kami tidak akan membawa isu politik, sara, agama dan—"

"Kamu masih ingat dengan saya, kan?" tanyanya memotong ucapan gue sambil tersenyum geli.

Gue menahan kesal. Pertanyaan bodoh.

"Thank God karena host sebelumnya tidak bisa hadir. Kita ketemu lagi. Finally," dia berseru seakan bertemu gue sama seperti menang lotre sebuah sedan mewah.

"Host sebelumnya tidak bisa hadir karena sakit," gue sengaja membeberkan fakta itu agar dia sedikit merasa bersalah karena baru saja berucap syukur atas ketidakhadiran Evelyn.

"Benarkah? Semoga dia cepat sembuh. Please give my best regard to her," ucapnya sok tulus.

"Maaf, Pak. Tapi waktu kita tidak banyak. Asisten Bapak sendiri yang mengatakannya pada kami. Jadi, saya mohon Bapak untuk membaca draft yang saya berikan dan silakan bertanya jika menemukan sesuatu yang kurang jelas."

Dia terbahak. Ya Tuhan. Sejak tadi, kerjaan si Gandi ini cuma dua, senyum-senyum nggak jelas dan tertawa puas. Sepertinya otaknya perlu diassess. Ada yang tidak beres disana.

"Baiklah, cat woman," jawabnya jenaka.

Cat woman? Iyuh, gue geli dipanggil begitu.

Gue cuma duduk diam menunggu kampret sialan ini membaca keseluruhan pertanyaan. Feeling gue bilang sih dia nggak benar-benar baca apa yang ada di kertas itu. Karena dia kebanyakan ngelirik-lirik gue daripada ngelirik kertas tersebut.

"You look good today," dia mengedipkan sebelah mata pada gue, kemudian menggeleng. "No, you look georgeous, and..." gue menatapnya tajam, berusaha membunuhnya dengan pandangan gue, "sexy as I first saw you eight months ago."

Gue nggak tahan lagi. Gue pukul mejanya dengan kedua tangan gue. Gue lalu bangkit dari tempat duduk. Gue menatap dia intens. Keningnya berkerut melihat wajah gue yang berubah keruh.

Telunjuk gue menunjuk ujung hidungnya yang mancung. Wajah gue mungkin sudah semerah kepiting rebus karena menahan emosi sejak tadi. "Lo dengar baik-baik. Gue datang kesini, memenuhi kewajiban gue sebagai staf yang baik. Gue kira, dengan track record lo yang gemilang, lo bisa membedakan masalah pribadi dengan pekerjaan. Tapi ternyata gue salah."

Dia tak bersuara. Good. Karena gue akan menumpahkan seluruh emosi gue saat ini juga.

"Kalau lo tanya apa gue masih ingat lo? Gue jawab sekarang. Ya. Gue masih ingat. Gue bahkan ingat apa yang lo lakukan pada gue. Lo satu-satunya cowok yang berani melakukan itu. Dan, it was unforgivable. Kali ini, gue mempertaruhkan karier gue di media yang membiayai perkuliahan gue selama di Loughborough hanya karena laki-laki sialan kayak lo. Kalau lo masih punya sedikit kewarasan, just let the interview go well. Tapi, lagi-lagi, semuanya tergantung pada lo."

Gue manarik nafas dalam-dalam. Sudahlah. Good bye promosi. Jadi kacung Pak Vino dan Mbak Anya seumur hidup pun jadi lah.

"Sepuluh menit lagi interview kita dimulai. Gue tunggu di luar."

Tanpa menoleh pada wajahnya lagi, gue melangkah cepat meninggalkan ruangan tersebut.

Walaupun perasaan bersalah dan ketakutan kini mengisi hati gue-Demi Tuhan, gue pasti batal jadi produser-tapi gue lega. Sebenarnya itu masih belum cukup. Kepala gue baru bisa tenang kalau gue sudah nampar atau kalau bisa mencekik lehernya.

Demi menenangkan pikiran, gue mengirim wa ke Papa.

To : Papa
Pa, hari ini aku tiba-tiba ngehost. Doain, ya. Narasumbernya rada gesrek. Jangan telepon sekarang. Sebentar lagi udah mau take

Kurang dari dua menit, pesan gue langsung dibalas.

From : Papa
Semangat, Princess. Papa selalu doain kamu. Pasti interviewnya lancar.

***

Sepertinya doa Papa terkabul.

The interview went well!

Gandi menjawab seluruh pertanyaan gue dengan santai tapi tetap profesional. Dia tidak melakukan flirting-flirting tidak jelas. Kontak mata yang dia lakukan pada gue selama interview juga masih dalam batas wajar.

Benar ternyata hasil riset si Robi. Gandi sangat profesional. Keliatannya saja suka becanda, but when it comes to work, he put himself 100% into it. Gue appreciate tindakan baiknya itu.

Asisten Gandi memberikan gue segelas air mineral. Gue menerima dengan senang hati. Dia tahu banget kalau gue sudah kehausan.

Gandi terlihat sedang berbincang-bincang dengan Mbak Anya. Gue nggak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi Mbak Anya terlihat menikmati percakapan mereka. Sesekali wanita awal tiga puluhan itu tertawa ringan.

Jangan bilang Mbak Anya udah tersihir sama pesona palsu si Gandi. Mbak Anya kan tamengnya kokoh. Nggak mungkin deh cuma diajak ngobrol sebentar langsung luluh.

Gue memijit betis yang sudah pegal karena berdiri di atas heels 10 senti ini. Pengen nyeker deh gue. Gimana bisa para wanita tahan memakai sepatu yang menyiksa ini?

"Bi, lo nggak bawa sendal jepit?" tanya gue pada Robi yang ikut duduk di samping gue menunggu Mbak Anya selesai ngobrol dengan si Gandi.

Robi menggeleng lalu terkekeh. "Ngapain coba gue bawa sendal jepit? Ada-ada aja lo. Lagian kenapa pake yang tinggi banget gitu kalau emang nggak tahan? Biasa juga lo pake yang rendahan kalau ngehost nggak sih?"

"Namanya juga dadakan. Si Deni ngasih yang ini, ya gue terima aja. Gara-gara Evelyn nih semuanya. Ah, bete deh gue," gue mulai menggerutu.

Robi menepuk bahu gue singkat. "Sabar, Jeng. Diambil hikmahnya aja," kemudian dia terkikik kegirangan.

Gue langsung memukul pelan lengannya.

"Eh, ngomong-ngomong Pak Gandi keren banget, ya. Masih muda tapi prestasinya gila-gilaan. Gue sampe nggak bisa mangap waktu dia ngejelasin soal stasiun-stasiun di Eropa yang dia desain bareng timnya. Cara ngejelasinnya juga convincing banget, Jeng. Wajar sih jadinya kalau dia bisa di posisi sekarang."

Sialnya, gue nggak bisa menyangkal. Si Gandi itu emang luar biasa cerdas. Cara dia menyampaikan dunia arsitektur pada kami membuat gue sadar kalau ini anak bukan cuma pintar gambar dan ngitung, tapi juga pinter negosiasi. Ada bakat jadi anak jadi anak PR kayak si Iin juga sepertinya.

Ah. Tapi tetap aja. Semua yang baik-baik di diri dia luntur setiap gue mengingat kejadian di lapangan kriket.

"Keliatan banget dia passionate dengan kerjaannya. Gue yakin, dia kerja bukan cuma untuk uang, Jeng. So far, dia salah satu yang terbaik dari semua orang yang pernah masuk di program kita."

Lagi-lagi, dengan sangat berat hati, gue harus setuju dengan perkataan Robi. Kenapa dia mesti se outstanding itu, sih? Kan gue jadi nggak bisa seratus persen mengumpat dia.

Kenapa Mbak Anya lama banget sih ngobrolnya?

"Gue balik ke mobil duluan deh," gue bangkit dari kursi.

"Jangan dong, Jeng. Nggak sopan itu mah. Ini perasaan gue aja, atau lo jadi sensian semenjak keluar dari ruangannya Pak Gandi? Abis diapain lo sama dia?" tanyanya sambil tersenyum jail.

Gue menjewer telinganya. Dia meringis kesakitan.

"Yang benar aja lo kalo ngomong."

"Aduh, Jeng. Sakit banget. Aduh. Lagian gue nggak ngomong yang aneh-aneh kok," Robi mengusap telinganya yang berubah merah.

Bodo amat.

Gue baru akan berbalik menuju pintu keluar ketika suara Mbak Anya menghentikan langkah gue.

"Ajeng, kesini sebentar."

Gue berbalik dan berjalan kesusahan dengan heels yang membelit kaki gue ini.

Senyum, Jeng. Senyum. Lo biasanya selalu begitu ke narasumber lo, kan?

"Ini Ajeng nya, Pak. Tadi katanya ada yang mau disampaikan," ujar Mbak Anya sambil tersenyum sedikit menggoda.

Wait a second. Kenapa Mbak Anya jadi begini?

Gandi mengangguk lalu tersenyum pada gue. Gue balas tersenyum. Walaupun senyum gue kayak yang cuma meluruskan bibir aja gitu.

"It was an amazing interview. Saya sangat menikmatinya. You did a good job, Ajeng," ucapnya sok akrab.

"Terima kasih banyak, Pak," jawabku singkat.

"Apakah semua anggota kamu sedingin ini, Anya?" tanyanya pada sang produser sambil mengerutkan alis.

"Mungkin karena terlalu mendadak. Ajeng is actually a nice woman to talk to. Percaya sama saya, Gandi."

Mbak Anya bahkan sudah memanggil si casanova itu tanpa embel-embel 'Pak'. Ilmu menaklukkan wanitanya si Gandi ini patut diacungi jempol.

"Mungkin kamu perlu waktu mengobrol berdua saja dengan Ajeng. Lima menit. No more. Karena pekerjaan kami masih menumpuk," Mbak Anya menepuk bahu gue. "Gue tunggu di mobil, Jeng. Bye Gandi. See you soon. Jangan lupa janji kamu untuk sering main ke kantor."

Gandi dan Mbak Anya cipika-cipiki!

Astaga. Baru beberapa jam yang lalu gue mendapati Mbak Anya menahan geram karena ucapannya disela oleh Gandi. Kini dengan gampangnya dia menempelkan kedua pipi mulusnya pada pipi si casanova dengan pengalaman segudang ini.

"Kamu keliatan nggak nyaman dengan sepatu itu," dia menunjuk heels sepuluh senti yang gue kenakan.

"I can bear with these."

Dia mengangguk-angguk. "Jangan galak-galak lah. Saya harus melakukan apa nih supaya kamu memaafkan saya? Nggak enak musuhan sama cewek cantik."

Gue mencibir.

"Bapak nggak perlu melakukan apa-apa. Dengan bersikap profesional seperti tadi saja saya sudah bersyukur. Dan, Bapak bukan musuh saya. Begitu juga sebaliknya. Kita hanya tidak berteman. Kebetulan, saya tidak punya niat untuk memulai pertemanan dengan Bapak."

Gandi tertawa. Lagi. Ini orang kayak nggak punya beban hidup aja, sih. Kerjanya ngakak mulu.

"Kamu pendendam sekali, Ajeng," ujarnya.

Gue mengangkat bahu. Lebih baik pembicaraan kami ini disudahi saja. Tim kami sudah pada masuk ke mobil. Robi pun sudah menghilang dari pandangan. Asisten Gandi tidak keliatan batang hidungnya.

"Thankyou for being professional," gue menyodorkan tangan kanan gue padanya. Dia menyambutnya. "Semoga edisi kali ini akan dinikmati dan diapresiasi oleh masyarakat yang menonton."

"Traktir saya segelas kopi jika ratingnya melebihi target."

Gue menggeleng sambil tersenyum kecil. "Itu bukan tugas saya."

Tangan gue masih digenggamnya. Gue  mulai tidak nyaman. Dengan sekuat tenaga, gue berusaha menarik tangan gue darinya. Tapi, bukannya terlepas, tubuh gue malah merapat pada Gandi saat dia menarik tangan gue.

Gue menengadahkan kepala menatapnya dengan tatapan tajam sambil menahan geram. Dia tersenyum menyeringai. Tangan kanannya memegang tangan kanan gue, sementara tangan kirinya membelit pinggang gue, membuat tubuh kami tidak berjarak.

Apa yang laki-laki kurang ajar ini mau lakukan pada gue?

"You better let me go, atau gue akan teriak," ancam gue padanya.

Dia tersenyum licik. "Tidak sebelum kamu memaafkan saya."

Rasanya sekarang gue ingin mencakar habis wajahnya. "Fine. I forgive you. Sekarang, tolong lepasin gue."

Dia menyeringai lagi. Lalu, dia memajukan wajahnya ke arah gue. Gue spontan memundurkan kepala.

Tidak lagi.

"Jangan terlalu benci sama seseorang, Ajeng. Bisa jadi, dia jodoh yang dikirimkan Tuhan pada kamu."

Setelahnya, Gandi biadab ini mengecup bibir gue singkat kemudian bergumam, "masih rasa yang sama. Anggur."

Shit. Shit. Shit.

Dengan tenaga yang gue punya, untuk pertama kalinya setelah kejadian delapan bulan yang lalu, gue menampar pipinya keras.

"Gue nggak akan pernah memaafkan lo seumur hidup gue."

Gue melangkah cepat meninggalkan Gandi yang kini memegang pipi kirinya yang gue tampar.

Ajeng bodoh. Kenapa lo bisa kecolongan dua kali?!

Saat itu Ajeng tengah menonton pertandingan kriket di lapangan universitasnya. Sebenarnya dia tidak begitu tertarik dengan kriket. Tapi, berhubung yang bertanding adalah teman-teman seangkatannya, ditambah bujuk rayu para cewek di kelas, akhirnya Ajeng memilih menonton pertandingan yang sangat membosankan itu.

"Dasar bodoh," Ajeng mengumpat dalam bahasa Indonesia saat teman sekelasnya bermain jelek. Walaupun dia tidak tertarik dengan kriket, tapi tetap saja dirinya bereaksi setiap teman senangkatannya berbuat salah.

"Are you Indonesian?" tanya seorang pria yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sebelahnya dengan peluh di kening.

Tapi, Ajeng tetap mengangguk.

"Terima kasih Tuhan," gumam si cowok itu lalu mengelap keringat di keningnya dengan sapu tangan.

"Bisa bantu saya?"

"Untuk?"

Si cowok Indonesia ini melihat ke belakangnya. Ajeng ikut memperhatikan dan dia mendapati seorang wanita berambut brunette berlari ke arah mereka.

"Apa ini ada hubungannya dengan—"

Mata Ajeng terbelalak ketika pria asing yang ada di sampingnya mencium bibirnya tanpa permisi. Ajeng berusaha melepaskan pagutan bibir si pria brengsek itu namun si pria kurang ajar tersebut malah melekatkan tubuh mereka hingga Ajeng tak dapat bergerak sama sekali.

"Is she your girlfriend? From Indonesia?!" Si cewek brunette berteriak.

Dia memutus pagutannya pada bibir Ajeng. Lalu, dia mengunci pergerakan Ajeng lagi dengan memeluk tubuh Ajeng erat. Pria itu kemudian mengangguk. "We're engaged. Sorry, Anne."

Begitu si Anne-Anne itu pergi dengan bersimbah air mata, si brengsek melepaskan pelukannya dari Ajeng sambil tertawa cengengesan.

"Sorry, it was—"

Ajeng menampar pipi si pria brengsek sekuat yang dia mampu. Teman-temannya sampai berseru saat mendengar suara tamparan yang dilakukan Ajeng.

"Demi apa pun yang ada di dunia ini, gue nggak akan pernah mau liat muka lo lagi. Casanova sialan!"

Ajeng lalu meninggalkan pria brengsek itu. Langkahnya terhenti saat si casanova sialan itu berteriak,
"watch your step, girl. Nice butt, by the way. I like it."

***

FYI, cerita Over The Moon ini akan sedikit lebih dewasa dibandingkan dengan dua cerita sebelumnya. Apa yang kita harapkan dari seorang pria yang lebih lama menghabiskan waktu di luar negeri daripada di tanah air sendiri?

So maapkeun tingkah Gandi yang semena-mena pada Ajeng, ya. Percaya sama aq, Ajeng can handle that kind of human xixi.

So, please, give your votes and comments untuk kelancaran update cerita ini.

Thankyou for reading
See you on the next chapter

Continue Reading

You'll Also Like

5.2M 114K 19
Selain mendesain bangunan, Farel Guntoro juga mempunyai cita-cita merancang masa depannya bersama perempuan yang telah diisinya selama empat tahun te...
1.6M 99.2K 28
Sebagian sudah di-unpublish. Versi lengkap bisa dibaca dalam bentuk cetak dan ebook (Google Playstore) via Penerbit Prospec. Dibeli ya! *** Tujuan Da...
412K 24.2K 29
Story Kedua Neo Ka🐰 Duda Series Pertama By: Neo Ka Gayatri Mandanu itu ingin hidup simpel, tidak ingin terlalu dikekang oleh siapapun bahkan kadang...