Over The Moon (SUDAH TERBIT)

Por Levitt1806

1.9M 88.6K 4.8K

Ajeng dan Gandi. Dua orang dengan sifat yang serupa tapi tak sama, bertemu di sebuah kota yang jauh dari temp... Más

Preface
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Progressnya Berapa Persen?
Pre Order, Puhlease!!!
Bonus Buat Yang PO
Latest Info (PO OTM)
Info PO Jilid 2
PO 2 Sudah Dibuka
GIVEAWAY AJENG&GANDI
Gandi Partners
Puasa Pertama El dan Lala
Live Talk
OVER THE MOON 2.0
KARENA BUKU TAHUNAN

Chapter 1

92.6K 7.8K 314
Por Levitt1806

Hai. Si jomblo satu-satunya di Pandawa 5 meluncur di dunia oren. Are you guys excited or not?
Entah kenapa, aku semangat 45 banget nih nulis ceritanya Ajeng. Mungkin karena Ajeng nih tipe cewek yang aku favoritin banget ya. Hahaha.

Enjoy.
*
*
*

From : Ibu Negara
Kamu harus pulang malam ini ke rumah dan menginap. Tidak menerima penolakan. Terima kasih.

Rasanya, gue pengen ngakak begitu Iphone gue bunyi dan muncul notification dari Whatsapp. Mama pula pengirimnya. Ngancem anak tunggalnya ini emang hobi si ibu pejabat itu. Tapi tentu aja ancamannya nggak berlaku buat gue.

Begitu bekerja di media, gue emang memutuskan untuk tinggal di apartemen yang nggak jauh dari kantor demi efisiensi waktu dan melatih kemandirian. Mama protes plus ngambek nggak mau makan dan nggak mau ngomong sama gue. Bokap mendukung-mendukung aja. Karena toh masih tinggal di provinsi yang sama, kok. Beda daerah aja.

Walaupun gue anak tunggal, sebisa mungkin gue nggak mau bersikap manja dan dilayani seratus persen oleh kedua orang tua gue. Gue jarang minta yang aneh-aneh ke mereka. Ngambek-ngambek nggak jelas juga gue hampir tidak pernah. Manjaan juga si Renata sama si Iin daripada gue.

Papa tuh bener-bener support system gue. Apapun keputusan gue asal tidak melanggar Pancasila dan UUD 1945, dia pasti mendukung. Mulai dari gue yang minta tinggal di apartemen, sempat berubah haluan jadi editor novel terus balik lagi ke media, keputusan mendadak gue untuk S2 ke Loughborough University karena ada tawaran beasiswa dari kantor, dan juga keputusan gue untuk tetap sendiri di usia yang sudah ke 29 tahun.

Papa nggak pernah maksa gue untuk buru-buru cari tulang rusuk. Katanya kalau emang jodoh pasti akan datang. Jauh beda sama nyokap yang sibuk melelangkan gue pada anak-anak kolega Papa. Yang bankir terkenal lah, yang dokter spesialis lah, yang eksekutif muda lah, sampai anggota dewan temannya Papa. Sefrustrasi itu kah Mama kalau gue bakal terus sendiri tanpa ada pendamping hidup?

Mama sering set blind date buat gue. Gue turutin. Berkali-kali gue kenalan sama orang-orang rekomendasi Mama, nggak ada satu pun yang menimbulkan spark di hati gue. Tertarik untuk ngobrol lebih lanjut pun nggak. Gimana ya, yang Mama kenalin sih kebanyakan cowok yang sukses karena bantuan orang tua nya. Jadi kesannya sombong. Gue paling benci sama cowok sombong padahal akan 'paralyzed' kalau orang tuanya kolaps.

Gue bisa jamin, perintah Mama yang nyuruh gue pulang ini pasti karena beliau mau ngenalin gue ke salah satu anak temannya lagi. Semenjak perjodohan Iin dan suaminya yang super duper kalem itu berhasil hingga ke jenjang pernikahan dan sudah punya tiga buntut (tambah satu lagi karena si Iin lagi hamil), Mama makin merasa ide perjodohan itu make sense banget.

Padahal ya beda case. Buktinya si Oliv. Dia juga sering dijodohin sama mamanya, tapi nggak berhasil. Dia malah menikah sama orang yang ternyata cinta mati sama dia sejak SMA.

Gue beres-beresin meja kantor. Baiklah. Gue turutin aja perintah ibunda. Surga kan di telapak kaki ibu. Gue males jadi anak durhaka. Entar hidupnya nggak berkah. Lagian kata Kadek-dia tuh cewek paling realistis di gank kami-toh keputusan tetap ada di tangan gue. Mama nggak akan maksa gue untuk menikah dengan laki-laki yang gue nggak suka.

"Balik, Jeng? Buru-buru amat. Masih macet banget tuh di luar," ujar Pak Vino-atasan gue langsung di kantor-begitu melihat gue menenteng ransel keluar dari ruangan.

Pak Vino ini kepala produksi di kantor gue. Dia pinter dengan sejuta ide brilian, bisa mengatur jalannya program acara dengan baik, dan satu lagi, dia cakep. Keturunan Arab gitu sih keliatannya. Single pula. Gimana teman-teman gue yang lain nggak belingsatan setiap Pak Vino berkeliling di kantor.

"Perintah ibu negara, Pak. Bisa dikutuk jadi batu saya kalau durhaka," jawab gue jenaka. Pak Vino itu bos yang asik. Kami para bawahannya sering becanda dengan dia.

"Ada-ada saja kamu. Bawa mobil?" tanyanya lagi.

Gue mengangguk. "Kalau begitu saya pulang dulu ya, Pak. Selamat malam."

"Hati-hati di jalan, Jeng."

Gue mengacungkan jempol sebagai jawaban lalu bergerak cepat menuju parkiran gedung di basement. Perut gue udah keroncongan. Kayaknya gue drive-thru aja deh. Kalau makan di rumah, yang ada gue bisa pingsan karena kelaparan. Jarak rumah dan kantor gue sih nggak sejauh Jakarta-Bogor, tapi tetap akan menyita waktu mengingat traffic Jakarta yang sudah sangat memprihatinkan.

McChicken dan kola dingin gue pilih sebagai pengganjal perut. Diiringi lagu Live Forever nya OASIS dari audio mobil gue, perjalanan ke rumah tidak terasa terlalu membosankan.

Mama Papa tinggal di perumahan mewah yang pilar-pilar rumahnya aja nggak bisa dipeluk pake tangan manusia biasa. Pagarnya tinggi-tinggi banget. Nggak homey. Gue juga heran kenapa Mama Papa mau tinggal di kawasan yang sejenis itu. Tapi gue yakin pilihan rumah ini pasti ide Mama.

"Selamat malam, Pak Fadlan. Sehat?" sapa gue pada satpam sekaligus tukang kebun di rumah.

"Alhamdulillah sehat. Non Ajeng jarang pulang, ya. Bapak Ibu kangen tuh. Saya dan Bi Susi juga kangen. Sini mobilnya biar saya yang parkirin aja."

Gue keluar dari kemudi. "Thankyou, Pak. Ya gimana, saya sibuk banget. Papa udah pulang kantor?"

Pak Fadlan mengangguk. "Pulang cepat karena katanya putri cantiknya mau main ke rumah."

Papa suka banget ngobrol seru dengan Pak Fadlan. Kata Papa, Pak Fadlan teman bicara yang menyenangkan. Kalau lagi main tenis, Papa paling senang bawa Pak Fadlan. Gantian deh supir reguler Papa yang jaga rumah.

Gue belum ngetok pintu, eh pintunya udah kebuka aja. Mama dan Bi Susi menyambut gue dengan wajah semringah.

"Ajeng pulang," Mama langsung memeluk gue. Bi Susi tersenyum.

Gue balas memeluk. Mama ini tipe wanita yang ekspresif gitu. Senang keliatan, sedih keliatan, galau keliatan, bingung keliatan. She is like an open book menurut gue.

"Ma, gantian, dong. Aku mau meluk Bi Susi juga."

Mama terkikik lalu melepaskan pelukannya. Gue memeluk Bi Susi. Gue sayang banget sama Bi Susi. Dia setia pada kami dan dia sudah menganggap gue kayak anaknya sendiri.

"Bibi dan Ibu sudah masak makanan yang banyak banget untuk Ajeng," Bi Susi bersuara. "Tapi kayaknya Ajeng harus mandi dulu ya, Bu. Bau asem soalnya."

Gue mengerucutkan bibir. Mama tertawa menyetujui.

"Papa mana?" tanya gue sambil berjalan masuk ke rumah. Sejak tadi, Mama melingkarkan tangannya pada tangan gue.

"Di ruang keluarga. Samperin Papa, kamu mandi, baru kita makan."

Gue langsung memeluk Papa begitu pandangan mata kami bertemu. Papa mengusap-usap rambut gue dan gue merasakan ciumannya pada puncak kepala gue.

"Ajeng abis liputan darimana, sih? Kok bau asem?" tanya Papa.

"Ih, Papa sama aja sama Bi Susi. Ngeledekin aku mulu. Aku nggak bau asem, ya."

"Becanda, Sayang. Laper, kan? Ayo makan malam. Papa dari tadi cuma makan itu untuk ganjal perut," Papa menunjuk salad buah di piring yang ada di atas meja.

"Aku mandi dulu. Udah gerah nih. Ini perut masih bisa nahan lapar sepuluh menit aja, kan?" Gue menepuk singkat perut Papa yang sedikit membuncit.

"Ya sudah. Mandi yang seger biar bau asemnya ilang."

Semenjak gue bekerja di media dan meliput berbagai peristiwa di tanah air, orang rumah paling demen ngeledekin gue bau asem. Padahal gue mah nggak bau sama sekali. Enak aja. Walaupun skin care gue nggak seribet Pandawa 5 yang lain-well, Pandawa 5 itu nama gank gue-tapi gue tetap menjaga kesehatan dan kebugaran serta harum tubuh gue, kok.

Gue memilih celana selutut dan kaos oblong sebagai pakaian nyantai di rumah. Koleksi kaos kodian gue kayaknya hampir satu lemari deh. Gimana, ya. Gue demen aja pake kaos kemana-mana. Nyaman dan nggak ribet aja gitu.

Saat masuk ke ruang makan, perut gue yang udah diganjal pake burger pun keroncongan lagi. Ini perut emang nggak tahu diri banget. Suka bunyi tiap lihat makanan enak.

Gue langsung duduk berhadapan dengan Mama sementara Papa duduk diantara kami.

"Ada gurame bakar, ada cah kangkung, ada ayam rica-rica, ada lalapan. Favoritnya Ajeng semua, kan?" ujar Papa.

Gue mengangguk semangat. "Langsung dimakan aja, ya. Selamat makan semua."

Guramenya langsung gue sikat seperempat. Cah kangkungnya gue ambil setengah. Ayamnya gue ambil sepotong. Nasinya dikit aja. Pas. Ini porsi gue.

Papa cuma makan gurame dengan nasi yang jumlahnya sedikiiit banget. Jaga gula darah katanya. Mama apalagi. Cuma makan salad yang tadi kata Papa jadi pengganjal perutnya dia.

"Mama diet, ya? Tetap langsing gitu kok mesti makan salad doang, sih?" komentar gue.

Mama tersenyum bangga. "Justru kalau makannya berlebih, entar Mama nggak langsing lagi. Sia-sia dong kegiatan lari pagi Mama tiap minggu dan yoga Mama kalau makannya nggak teratur."

Gue memilih stop berkomentar. Mama dan gaya hidup sehatnya memang susah untuk diikuti. Siapa yang tahan makan sayur dan buah seumur hidup?

"Kerjaan gimana, Nak? Lancar? Papa suka sekali dengan program baru kamu itu. Ajeng cantik dan keren banget waktu mewawancarai Raline Shah soal yayasan yang dia kelola. Kalah cakep Raline Shah sama anak Papa ini."

Oke. Papa berlebihan. Masa gue dibandingi sama Raline Shah yang pesonanya bikin cowok mau pun cewek nggak bisa nolak itu?

Gue memang punya program baru. Semacam talkshow. Jadi, gue dan tim mewawancarai anak-anak muda asal Indonesia yang punya prestasi exceptional dan tentu saja menginspirasi untuk generasi muda yang lain. Interviewernya gantian gitu. Kadang gue, kadang dua teman gue, Nana dan Evelyn.

"It's fun. I enjoy it. Kalau acara ini ada sejak Papa muda dulu, mungkin Papa orang pertama yang akan kami interview."

Papa tersenyum. "Papa senang pekerjaan kamu bisa menginspirasi orang lain. Keep up the good work, Princess."

Gue tos dengan Papa lalu tertawa bersamaan.

"Sayang, besok Om Musdi dan keluarga mau main ke rumah kita. Tante Giska sudah kangen dengan kamu. Ingat Tante Giska, kan? Teman kuliah Mama di Unpad dulu. Kamu pernah ketemu sama dia juga di nikahan putra sulungnya."

Well, gue mencium bau-bau perjodohan disini.

"Anak bungsunya sekarang udah pegang anak perusahaan logistik Om Musdi, Jeng. Kariernya sudah bagus tapi sayang belum punya pasangan. Jadi bahan pikiran Tante Giska juga."

"Nggak jadi bahan pikiran Mama juga, kan? Anaknya Tante Giska kan bukan anak Mama," sambung gue lalu mengunyah gurame bakar.

Senyum Mama berubah kecut. "Tante Giska suka banget sama kamu, Nak. Guntur juga senang sama kamu. Katanya kamu tipe si Guntur banget."

Bola mata gue berputar. Astaga. Gue tahu Mama memang akan menjodohkan gue. Tapi gue nggak nyangka yang dijodohkan dengan gue ini mau-mau aja dikenalin ke gue. Pake bilang gue tipenya banget pula.

"Ma, nggak bosen apa ngejodoh-jodohin aku sama orang lain?" tanya gue enteng.

Mama menggeleng, lalu meletakkan sendoknya di atas piring. Dia mengelap bibir. "Mama nggak akan berhenti jodohin kamu sampai kamu bawa pasangan ke rumah untuk diajak serius. Demi Tuhan, Nak. Kamu udah 29 tahun. Teman-teman kamu udah pada punya keturunan. Kamu punya pacar aja belom. Si Indri anaknya udah mau empat. Apa tunggu Mama mati dulu kamu baru mau menikah?"

Kata-kata Mama barusan membuat emosi gue membuncah. Tapi, kalau Mama sudah dalam mode begini, counter attack bukan cara yang baik. Gue manahan geram. Harus mengalah.

"Ma, aku nggak suka Mama ngomong begitu," jawabku dingin.

"Ya kamu sih dikenalin sama siapa-siapa nggak mau. Mama pusing ditanya-tanyain mulu sama orang lain kenapa kamu masih sendiri aja. Mama juga pengen nimang cucu, Jeng," Mama memulai dramanya.

Gue menoleh pada Papa, memohon bantuan. Papa cuma menggeleng dan meminta gue tetap tenang.

"Aku bukan nggak mau menikah, Ma. Tapi emang belum ada yang cocok aja," lanjut gue lagi.

Mama mencibir. "Nunggu kamu cocok yang ada bumi udah mengkerut. Udah deh, turuti aja saran Mama. Kamu harus mau dikenalin ke si Guntur. Dia Tampan, pintar, datang dari keluarga yang baik juga. Dan, dia suka sama kamu. Kamu harus janji untuk mau kenal lebih jauh dengan dia."

"Aku mau kenalan dengan si Guntur-Guntur ini. Tapi, aku nggak janji untuk mau kenal lebih jauh dengan dia," gue juga bisa kasih ultimatum ke Mama.

"Harus mau. Ini harus jadi laki-laki terakhir yang Mama kenalin ke kamu. Mama bakal bersyukur banget kalau bisa punya mantu si Guntur," Mama dan kepala batunya kambuh lagi. "Sekarang aja kamu udah sibuk banget sama kerjaan kamu. Kalau bukan Mama yang nyariin kamu jodoh, siapa lagi coba?"

Gue memilih diam.

"Orang-orang yang kamu interview itu kan masih muda-muda semua. Sukses pula. Emang nggak ada satu pun yang nyantol sama kamu? Duh, Ajeng. Cewek itu kerja bukan cuma cari duit, tapi sekalian cari jodoh. Mama juga ketemu papa kamu karena  Papa sempat jadi klien di kantor Mama."

Gila aja gue menjalin hubungan dengan klien gue. Nggak profesional banget. Mama ini emang kadang-kadang bisa berpikir luar biasa absurd.

"Ya sudah. Kan Ajengnya setuju untuk dikenalin ke Guntur. Masalah kelanjutannya bagaimana, Mama nggak bisa ngaturnya, dong. Lagian ini meja makan. Nggak baik bertengkar disini," Papa menutup omelan Mama.

Gue rasanya ingin mencium Papa karena sudah menyelamatkan gue dari omelan-omelan tidak berujung sang ibu negara.

***

"So, kamu kerja di Gayatri TV?"

Saat ini, gue dan Guntur duduk di ayunan yang berada di halaman depan rumah gue. Ini usulan Mama dan Tante Giska.

Gue mengangguk.

"Wajah kamu nggak asing. Sudah punya program sendiri, ya?"

Gue mengangguk lagi.

"Nice. Wanita yang bukan cuma cantik, tapi punya otak yang brilian. Saya suka."

Lebay banget si Guntur. Tapi tentu aja gue nggak bilang begitu ke dia.

Nah, sebelum keluar dari kamar untuk menemui Om Musdi dan keluarga, gue sempat ribut dengan Mama. Dia maksa gue pake dress selutut warna biru muda yang manis banget di matanya. Tapi gue menolak. Gue lebih nyaman dengan kaos dan jins panjang gue ini. Toh ini rumah gue. Gue bebas berpakaian apa saja asal sopan.

Mama akhirnya mengalah. Tapi dia memaksa gue untuk menggerai rambut dan mengaplikasikan sedikit make up. Ini di rumah. Astaga. Gue pakai make up cuma saat berada di depan kamera karena itu tuntutan pekerjaan.

"Kalau saya, saat ini sibuk dengan anak perusahaan Papa. Sedang berkembang pesat. Sahamnya di bursa efek cenderung meningkat. I work hard for that. Karyawan juga sudah ratusan."

Oke. Dia punya mulut yang besar.

"Business is all about intuition and precise decision. Once you do one wrong thing, the rest will become no more than flying ashes. Itu sebabnya, saya tidak pernah gegabah membuat keputusan. Hasilnya, saya bisa berada di posisi sekarang."

Emang gue pikirin.

"Mungkin kamu berpikir apa yang saya peroleh saat ini nggak lebih karena support Papa. I don't deny it. Tapi, kalau bukan karena saya, anak perusahaan Papa tidak akan semaju sekarang."

I don't need any details of your bullshit, Mr. Big Mouth.

"Dan, wanita seperti kamu lah yang paling tepat untuk menjadi pendamping hidup saya. Cantik, cerdas, punya family background yang seimbang dengan saya, dan presentable asal kamu berusaha lebih baik lagi."

"Excuse me?" Gue akhirnya memotong bualannya.

"Saya tidak bilang kamu tidak presentable. You're naturally beautiful. Tapi tentu saja kecantikan kamu perlu didukung dengan sandang yang baik, kan?"

"Maksud lo, pakaian gue nggak layak pakai?"

I already drop the formality. Screw this spoiled brat.

Dia menggeleng ketakutan. "Bukan itu maksud saya. I mean—"

Gue mengangkat tangan, meminta dia berhenti bicara.

"Shut your mouth up and listen to what I am saying right now," gue menatapnya dingin. "Gue nggak butuh cowok superficial dan judgemental kayak lo di hidup gue. Kesuksesan yang elo gembor-gemborkan itu, I don't even give a fck. Go find cewek-cewek lain yang bisa menerima kenarsisan dan kesombongan lo. Gue yakin banyak kok di luar sana yang matanya ijo melihat mobil dan mansion mewah lo. Tapi, bukan gue orangnya."

"Ajeng, Sorry, maksud saya—"

Gue melakukan gerakan tangan tanda mengusir. "Masuk ke dalam, bilang ke bokap nyokap lo, kalau kita nggak akan cocok. Gue akan memaafkan lo kalau lo berani bilang begitu ke mereka."

Dia menggeleng. Gue mencibir. Ck. Orang sejenis ini yang disodorin Mama ke gue? Yang benar aja!

"See, nyali lo sama kecilnya dengan otak lo."

"Maksud kamu?!"

Gue tertawa sinis. "You heard me well. Senang bisa kenal dengan cowok sejenis lo. Bisa dijadiin pelajaran hidup. Bye."

Gue pergi meninggalkan dia di ayunan rumah lalu memesan ojek online. Lebih baik gue berkunjung ke rumah salah satu sohib gue aja.

Siapa, ya?

Iin? Males ah. Pasti riweh. Anaknya masih kecil-kecil. Banyak pula.

Kadek? Ah, jauh banget. Di Bogor, cuy.

Oliv? Nggak ah. Monita masih perlu mamanya banget.

Oke. Ke rumah Renata aja. Syifa-putri kecil Renata-sangat dewasa walaupun usianya masih tiga tahun. Gue senang menghabiskan waktu dengannya. Dia nggak nakal, cengeng, mau pun manja.

"Ajeng, saya pastikan kamu menyesal menolak saya. Seribu kali lebih hebat dari kamu pun saya bisa dapatkan."

Ternyata si Guntur cupu itu masih disana.

Menjijikkan.

Tingkahnya bahkan lebih menjijikkan dari cowok asing yang pernah gue temui di Loughborough delapan bulan lalu.

Ah. Ngapain gue ingat-ingat si casanova sialan itu? Dia pasti sekarang sedang menikmati summer di Inggris dikelilingi empat cewek beragam ras dan warna kulit, menikmati pantai di siang hari dan bar di malam hari.

Memang cuma Papa laki-laki yang bener di dunia ini.

***

Aku mau ngucapin terima kasih banyak buat yang antusias dengan work terbaruku ini. Enak banget ya jadi Ajeng, kehadirannya dinanti-nantikan banget oleh para penghuni dunia oren ini.

Semoga kalian tetap menantikan Ajeng dan kelanjutan hubungannya dengan si arsitek beken itu, ya. Gandi nya belum dimunculin. Masih sibuk di Atkins Spore. Hehehe.

Still, vomments kalian aku tunggu2 banget. Semakin gila vommentsnya, semakin semangat aku update kisah Ajeng.

Thankyou for reading
See you on the chapter

Seguir leyendo

También te gustarán

8.9K 1.3K 7
Dunia dan kehidupan seorang Argelian Daresta benar-benar diguncang dengan desakan yang tiba-tiba saja menyerangnya. Kehidupan tenangnya mendadak diha...
190K 2K 53
Cuma berisikan rekomendasi novel, cerita wattpad yang seru menurut sudut pandang yang bikin lapak ini. Mohon maaf kalo ada penulis yang merasa berisi...
559K 53.3K 121
Gadis Sekarwangi, tidak pernah menyangka jika rumahtangga yang ia bangun bersama suaminya, Pradipta harus berakhir ditengah jalan karena sang suami k...