My Life, My Heart, My Choding

By Little_Huang

36.9K 4.4K 1.3K

Seohyun tak sengaja bertemu seorang wanita keterbelakangan. Merasa kasihan dan takut terjadi hal buruk, dia m... More

Choding Girl
Kurang Asupan
Tak Ingin Pulang
Kenakalan Adalah Pekerjaan
Bocah Tua Nakal
Drama Effect
Balada Hati
Maksud (Tidak) Baik
Sebatang Pohon Senja
Bersamamu
Love And Passion
It's Ok Even If It Hurts
Love Is Not Enough
(Not) Everybody Leaving Me
Di Balik Kokoh
Cinta Memiliki Waktu
PYAARRRR
Tentang Cinta
Flashback
Datang Untuk Pulang
Find My Soul
Marry Me
Love Each Other

Falsafah Lotus

1.3K 169 57
By Little_Huang

Hai haaaiiiii, selalu ketemu tiap hari selama cerita belum usai. makasih buat reader dan voter yang mewarnai hariku di sepanjang cerita. 

Oh iya, chapter ini cukup panjang. cekidoottt!


Dua bulan kemudian.

Seohyun berdiri di salah satu gedung galeri terbesar di dunia yang terletak USA, Philadelphia Museum of Art. Di sana lukisan sehelai daun pemenang juara ketiga dua bulan lalu terpajang bersama karya lukisan lain baik dari pelukis ulung maupun pendatang.

Tak hanya itu karena dia membawa sebuah lukisan lagi yang bertajuk 'Sepasang Lotus'. Di bawah lukisan tertera kalimat, 'Manusia harus seperti lotus. Meski tumbuh di antara lumpur indahnya tidak ternoda.'

Bibir beroles warna coral tertarik senyum kecil mengamati lukisan lotus dari jauh. Terlihat beberapa pengunjung menyukai karya baru itu. Namun, bukan rasa suka pengunjung yang membuatnya tersenyum, melainkan sosok yang menghadiahinya dua buah lotus plastik.

-flashback-

Seohyun sesekali memerhatikan Yoona duduk bersandar di kaki sofa. Wanita berparas imut begitu menikmati sensasi air dingin dan dua lotus plastik dalam ember kecil. Teringat tadi pagi suara histeris berlarian ingin menunjukkan dua lotus berwarna merah muda. Karena baru bangun, dia menjawab alakadar.

"Yoongie, kenapa daritadi melihat bunga?"

"Karena mereka cantik sekali seperti Seohyunnie." Jawabnya menyeringai melempar pandangan pada wanita yang kini tersipu malu. "Tahu tidak kenapa Yoongie suka lotus?"

"Tadi Yoongie bilang cantik sepertiku."

Yoona memanggut cepat kemudian mengangkat satu lotus dan duduk di sisi Seohyun. "Lotus dan teratai hidup di lumpur tapi tetap indah. Persis seperti Seohyunnie. Karena..." ucapan terhenti dan raut berseri mendatar tiba-tiba.

"Karena?"

"Tidak ada," sahut Yoona menggeleng enggan melanjutkan lalu kembali ke tempat semula dan menaruh lotus ke permukaan air.

"Yoongie," rajuk Seohyun ikut terduduk di lantai tepat di sisi Yoona. Dia lalu mengguncang pelan lengan mulus berbulu tipis. "Karena apa?"

"Seohyunnie sungguh ingin tahu?" Seohyun memanggut cepat. "Waktu mereka marah, Hyunnie memilih pergi. Jika saat itu ikut marah, wajah dan hati Hyunnie jadi ternoda. Dan Yoongie senang Hyunnie tidak marah." Tuturnya mengusap-usap taplak meja menunjukkan kegelisahan. Takut-takut Seohyun sedih karena diingatkan perseteruan silam.

Namun, berbeda dari pikiran Yoona, hati Seohyun justru tersentuh mendengar pemaparan sederhana tadi. Pikiran lurus, berhati lapang, dan pembicara polos nan lantang.

Seohyun membelai kepala Yoona. "Tapi Yoongie belajar soal lotus darimana?"

"Dari salah satu buku Yul di kantor. Yoongie mencari komik, tapi tidak ada dan tidak sengaja menjatuhkan buku. Halamannya terbuka memperlihatkan bunga lotus. Di sana tertulis 'Manusia harusnya seperti lotus. Meski hidup di genangan air, tapi indahnya tak ternoda.' Begitu."

Raut Seohyun terperangah sesaat menimang buku berat apa yang berhasil dikupas oleh Yoona. Apalagi buku itu berada di kantor Yuri. Pasti bukan buku biasa. Tapi dia lebih tertarik bertanya, "Kenapa hanya membeli dua?"

"Karena 1 untuk Seohyunnie dan 1 untuk Yoongie, tidak boleh lebih."

Seohyun tiba-tiba terperingis. Di pikirannya justru muncul kalimat, 'tidak boleh selingkuh' mengartikan kata 'tidak boleh lebih'. Dia juga tak mengerti mengapa bisa timbul pikiran semacam itu.

-flashback-

"Sudah dua bulan berselang. Aku terus mencoba menghubungi kalian tapi tak satupun jawaban kudapat." Batin Seohyun mengelus-elus lengan sembari menatap petak-petak keramik lantai.

Seraut wajah gelisah memikirkan sewujud wanita choding yang sering merengek manja. Tak jarang pula menghabiskan isi kulkas. Dan pada akhirnya membuat dia jatuh hati lalu terperosok dalam ruang bernama rindu.

"Noona?" sapa seorang pria menghentikan renungan Seohyun. "Jadi benar kau, Noona. Hahahah. Aigoo! Bogoshippeo." ujar pria bermata tak kalah sipit menunjukkan raut senang lalu memberi pelukan sesaat.

"Ch-Chen?"

Pria berwajah putih nan sipit khas Asia Timur mengangguk sumringah seraya menyanggah pundak Seohyun. "Noona, sudah sewindu kita tak bertemu. Lihat! Aku sekarang lebih tinggi darimu. Hahahaha."

Seohyun masih terkesima menjelajahi tubuh pria dewasa berjas hitam. Sekerangka tubuh pria yang bertahun-tahun lalu suka mengusiknya. Jari-jari pendek dan gemuk kini lebih bertumbuh lebih berotot. Dan memang benar jika tubuh di depan mata ini sekarang lebih tinggi.

"Ka-kau sudah seperti appa? Bukankah itu impianmu dulu? Atau malah berubah seiring waktu? Hm?" lontarnya berkaca-kaca menyubit pipi seakan sang adik masih bocah tengil berpipi tembam.

"Berjalannya waktu merubah impianku. Hanya sesekali membantu hyung mengurus bisnis. Selebihnya mewujudkan impian baruku. Sebuah tujuan yang bener-benar kuinginkan." Jawab Chen bernada purau.

"Jinja? Apa? Apa impianmu?"

"Seniman. Aku pemahat. Walau..."

Suara Chen terdengar mengambang. Raut rupawan berpaling seakan sedang menangkis sesuatu yang siap menerjang. Seohyun pun ikut tersengat ingin tahu.

"Ahkk, kenapa kita tidak jalan-jalan sambil bercerita? Noona, bagaimana bisa ada di sini dan kenapa aku tidak mendengar kepulanganmu?" ujar Chen bersama Seohyun melangkah pelan, tapi tiba-tiba terhenti. "Ada apa?"

Seohyun menunjuk dua lukisan berjajar di dinding. "Kau lihat dua pajangan di sana? Itu milikku. Aku pelukis, Chen. Impian sejak kecil dan tak ada yang tahu."

Chen menghela nafas pelan kemudian meraih lengan Seohyun meneruskan langkah lunglai. "Noona tahu? Appa memukulku ketika menyampaikan cita-cita. Dia juga mengusirku karena memilih menjadi pemahat daripada pebisnis. Eomma menangis memintaku pulang, tapi aku menolak dan bersumpah akan membalas keegoisan appa dengan kesuksesan."

"Eomma menangis memintamu pulang?" Chen mengangguk pilu mengingat tangisan seorang eomma. Namun, dia tak tahu jika hati Seohyun lebih pilu mendengarnya. "Eomma bahkan jarang menghubungiku."

"Coba lihat jajaran pahatan di sana! Lihatlah bentuk seorang anak yang bersujud di kaki sang ibu. Itu milikku. Aku mendedikasikan pahatan itu untuk eomma. Karena eomma adalah satu-satunya orang yang terus mendukungku. Sedangkan, appa hanya mendukung Leeteuk hyung."

Rahang Seohyun mengeras senada dagu bergetar menahan isakan. Pandangan makin kabur terlapisi air mata. Dia marah, iri, dan sedih. Mengapa kedua saudara kandung mendapat dukungan dan dia tidak? Mengapa impian Chen dipahami tapi dia tidak?

"Lalu siapa mendukungku? Kalian selalu bersama eomma dan appa. Tapi bagaimana denganku? Dua kali kelulusan pun mereka tak menghubungi sekadar mengucap selamat."

Tes! Air mata Seohyun tumpah tak kuasa lagi menahan. Sumbatan di tenggorokan pun sudah terlalu sakit. Jika tahu akan berakhir air mata, dia tak ingin ke sini. Mendengar penuturan Chen membuatnya makin terluka sebagai anak.

"Noona, mengapa menangis?"

"Karena aku tak mendapat apa yang kalian dapat, Chen. Baik dukungan appa maupun eomma, aku tak memiliki keduanya. Kita tak bertemu satu windu 'kan? Selama itu pula kami tak bertemu. Aku hidup seorang diri di Seoul. Susah senang dihadapi tanpa bisa bercerita pada kalian."

Wajah Chen terperangah menggeleng pelan tak percaya. "Tidak mungkin, Noona."

"Terkadang kenyataan memang pahit. Kau bertanya rumah? Kenapa ragaku sama sekali tak menginjak tempat yang kalian sebut rumah? Karena  aku  tak yakin apakah tempat keluargaku berada adalah ruang yang mau kutuju atau tidak." lontar Seohyun tak kuasa lagi membendung tangisan. Dia berpaling ingin beranjak, tapi tertahan.

Deg! Jantung Seohyun bagai tersambar petir melihat pasangan berusia paruh baya bersama sosok pria berambut klimis lebih dewasa darinya. Ya, ketiga pengunjung itu adalah orang-orang dalam obrolannya bersama Chen. Buru-buru dia menyeka air mata.

"Seohyun? Chen? Kalian di sini?" kaget pria berambut klimis yang mana adalah Leeteuk.

"Appa? Eomma? Hyung?" Chen tak kalah terkejut melihat kehadiran mereka bertiga karena pasalnya dua pria di sana tak mendukung impian menjadi seniman.

"Waahh, kebetulan sekali." Lontaran suara berat agak serak datang tiba-tiba menarik perhatian keluarga Seohyun. "Kalian sudah perkenalkan diri? Ah, pasti belum. Perkenalkan, Soo Man ah, dia pelukis muda dari negaraku. Lee Seo Hyun. Berkat lukisan yang terjual 225 ribu won, dia melaju ke kompetisi dan berhasil membawa dua lukisan kemari."

Ketiga pasang mata membulat mendengar prestasi yang disebutkan barusan. Namun, keterkejutan tak berhenti sampi di sana. 

"Ya, namanya cukup dikenal di Seoul karena selain melukis dia juga model dan lulusan terbaik. Dan Seohyun, kenalkan mereka adalah temanku, Lee Soo Man dan istri serta anaknya. Mereka juga dari Korea. Kami jarang bertemu dan terakhir bertemu sekitar bulan lalu di Singapura. Dia kebetulan ada urusan bisnis di sana."

Jleb!

*

Hyoyeon dan Sooyoung menyisir trotoar seraya menghabiskan es krim coklat. Mereka mengobrol tak henti sepanjang jalan. Mulai dari aktivitas masing-masing, resolusi, hingga hubungan TaeNy.

"Keluarga mereka bilang biarkan keduanya menjalani karir dulu agar memiliki tanggung jawab sebelum bangun rumah tangga. Kau tahu sendiri kadang Taenggo masih seperti anak-anak."

Sooyoung mengangguk setuju menghabiskan potongan es krim terakhir. "Oh iya, bukan kah sekarang pameran di museum sedang di buka? Seohyun pasti bahagia sekali. Dan  pasti sedang cerah di sana."

"Cerah apanya? Sudah malam."

"Paboya! Percuma lulusan sarjana. Seoul dan Amerika punya jarak waktu cukup panjang. Sekitar 13 jam. Jika sekarang jam 9 malam berarti..." Sooyoung mengamati jam tangan menghitung mundur 13 jam ke belakang. "Aaahhh berarti di sana jam 8 pagi."

"Wah benar juga. Waktu di sana lebih lambat belasan jam dari... Yoona?"

"Yoona?" heran Sooyoung mengernyit.

"Itu Yoona?" histeris Hyoyeon menunjuk punggung wanita berjalan menuju persimpangan. "Pasti dia!" optimisnya mengambil langkah kaki seribu.

Sooyoung terhenyak kemudian ikut berlari di belakang Hyoyeon sambil berseru. "Hyo, kau mungkin salah lihat. Berhenti, Hyo!"

Namun, lontaran Sooyoung diacuhkan bak terbawa angin. Hyoyeon terus berlari menghampiri wanita yang tertelan di persimpangan. Sayang, sosok berkemeja kotak-kotak tiba-tiba hilang setelah berbelok. Ditambah hiruk-pikuk makin memudarkan pandangan Hyoyeon mencari-cari seonggok tubuh yang dikira Yoona.

"Mana? Tidak ada, Hyo. Kau salah lihat."

Hyoyeon masih menebarkan pandangan berusaha menemukan motif kotak-kotak seraya mengikuti sisa-sisa jejak. "Tidak! Aku tak mungkin salah."

"Hyo, kita membicarakan maknae jadi bisa saja pikiran membawamu pada Yoona."

"Yoona keluar dari restoran sushi tadi. Pasti dia, Soo."

"Jika memang benar, Yuri dan Juran unnie tentu mencari kita untuk menanyakan maknae. Tapi apa? Tidak ada kabar apapun."

Jemari Hyoyeon menggaruk kasar helai rambut yang kini bercat semu putih. Dia seolah tak terima penuturan Sooyoung dan masih yakin wanita barusan adalah Yoona. Kaki pendek terus berjalan sambil sesekali menyapu sekeliling.

"Hyo, ayolah! Mungkin kebetulan mirip."

"Sooyoung? Hyoyeon? Kalian di sini ternyata." Sapa seseorang keluar dari butik yang tak lain adalah Tiffany.

"Fany, apa kau daritadi di dalam?"

"Hyo," tegur Sooyoung menahan kehisterisan Hyoyeon.

"Hei, ada apa? Kalian kenapa?"

"Fany, aku melihat Yoona lewat sini. Apa saat di dalam kau melihatnya?" tandas Hyoyeon bersikukuh bahwa yang dilihat memang wanita choding.

Tiffany menyipitkan mata lalu menggeleng pelan sembari ikut menebarkan pandangan mencari wanita lincah yang bak lem di sisi maknae mereka. "Mungkin kau salah lihat, Hyo."

*

Seohyun makan siang semeja bersama keluarga untuk pertama kali setelah bertahun-tahun tidak bertemu. Namun, bukan melepas kerinduan melainkan atmosfer asing di sana. Seohyun sendiri merasa jengah dan ingin sekali beranjak.

Chen melihat sang kakak hanya mengaduk nachos tanpa berniat memasukkannya ke mulut. Saat ada pelayan mengantar hidangan dessert dia sontak berseru, "Apa ada makanan korea di sini? Untuk kakakku."

"Tidak perlu. Terima kasih." Cegah Seohyun melempar senyum ramah sebelum kemudian pelayan pergi. "Aku hanya belum terlalu lapar, Chen."

"Seohyun, kapan kembali ke Seoul? Undurkan penerbanganmu dan tinggallah lebih lama di sini. Aku dan Chen bisa meluangkan banyak waktu mengajakmu jalan-jalan." ujar Leeteuk menyeringai senang.

"Aku justru ingin pulang lebih cepat sekarang." batin Seohyun berusaha tersenyum kecil tanpa berniat menjawab.

"Seohyun, nanti menginap di rumah saja. Perjalanan ke sini mungkin membuatmu lelah." sang kepala keluarga akhirnya membuka suara seraya menuangkan champaign.

Sepasang mata Seohyun sontak menajam lugas. Wajahnya terangkat memandang lurus sepasang suami-istri yang adalah orang tuanya. "Benar, Appa. Penerbangan Seoul dan Amerika sangat melelahkan. Berbeda jika urusan uang. Sejauh apapun pasti tidak lelah."

Lontaran barusan reflek membuat kedua orang tua terhenyak merasa tersindir. Tentu saja. Mereka tidak bisa menghadiri kelulusan Seohyun yang hanya beberapa tahun sekali, tapi bisa terbang lebih jauh ke Singapura karena bisnis. Hati anak mana tidak sakit mendengar kenyataan itu?

"Aku ingin kembali ke hotel saja karena sudah masuk akomodasi. Sayang, jika tidak dihargai apalagi kudapatkan karena usahaku sendiri." ujar Seohyun seolah memberi penegasan bahwa keberadaan dan popularitasnya berkat jerih payah yang tak pernah dipandang. Dia pun meraih tas dan bangkit.

"Noona, kita baru bertemu." tahan Chen menggenggam pundak sang kakak.

"Chen, aku butuh istirahat. Kita bisa mengobrol lagi nanti malam." Terang Seohyun tersenyum mengacak pelan rambut si bungsu. "Selamat tinggal semua." Pamitnya tanpa bersikap manis lagi.

"Noona, mengapa bersedih seorang diri?" batin Chen melihat kepergian Seohyun. Dia turut bangkit ingin menyusul.

"Chen!"

"Apa?" ketus Chen.

"Jaga nada bicaramu! Aku adalah orang tuamu."

"Sungguh? Kenapa aku tak merasa begitu? Bukankah sejak pengusiran kau bilang aku bukan anakmu lagi? Apa melihat pencapaian kami, baru menganggapku dan noona sebagai anak?"

Melihat sikap keterlaluan Chen, Leeteuk melepaskan pisau dan garpu ingin berdiri membentak.

"Tahan, Hyung! Karena jika kau bersuara, detik itu juga kuputuskan pita suaramu." ancam Chen memandang nanar berhasil memaku tubuh Leeteuk. "Cukup! Kupikir hanya aku yang mengalami ketidakadilan. Tapi ternyata noona lebih menderita. Dan Eomma, aku tak menyangka sampai hati membiarkan noona hidup sendiri di Seoul. Kalian sangat keji." pekiknya lalu berlari mengejar Seohyun.

*

Seorang wanita berblazer hitam memangku sebuah lotus plastik. Dia terus memandangi kelopak-kelopak lebar seolah mencari sesuatu. Namun, tak ada apapun di sana selain rangkaian plastik membentuk wujud mirip teratai.

"Cantik seperti Seohyunnie."

"Manusia harusnya seperti lotus. Meski hidup di genangan air, tapi indahnya tak ternoda."

Sedari tadi hanya menemukan kalimat itu dan terus diucapkan tanpa jemu. Bahkan nama Seohyun terus tersibak di kepala. Segala sesuatu entah waktu, keadaan, atau benda seolah menorehkan nama Seohyun.

Glek!

"Yoona ah!"    

-tbc-


nah loh! hahahahha.

oh iya, mungkin ada yang bertanya-tanya kenapa kok aku misahin lotus dan teratai? karena dua bunga itu memang berbeda. 

Continue Reading

You'll Also Like

753K 75.6K 53
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...
2.5K 223 12
Tak pernah terlintas di benak Azarin Mekha Juvenus, gadis yang kini genap berusia 17 tahun, untuk membina rumah tangga di usianya yang masih terbilan...
669K 32.2K 38
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...