Sepasang Pena Usang

By RansPublisher

680 28 0

(Telah terbit dalam novel SWEET SUMMER) Penulis: Premitaa "HIDUP saya yang datar mulai memiliki warna sejak s... More

Prolog
Goresan 2
Goresan 3

Goresan 1

147 7 0
By RansPublisher

"Mungkin, dengan menenggelamkan diri di lautan pekerjaan bisa membuatku melupakan dirimu dengan perlahan."

GETARAN ponsel dalam saku celemeknya membuat kegiatan Feronicha Diandra terhenti. Tangan kirinya telurur mengambil ponsel kemudian menjepitkan diantara telinga dan bahu setelah menggeser lingkaran hijau.

"Iya, Di?" tanyanya singkat, sambil melanjutkan pekerjaan yang terhenti.

"Aku butuh bantuanmu."

Alis Feronicha mengernyit, meletakkan adonan pancake di tangannya setelah mendengar permohonan kakaknya, Priska Diandra, dari seberang telepon. Sebelah tangannya terangkat mengambil ponsel yang tadi terjepit di antara telinga dan bahu sehingga kepalanya bisa ditegakkan kembali. Feronicha memberi isyarat pada Silvia untuk meneruskan pekerjaannya.

"Bantuan apa?" tanya Feronicha, serius.

"Temani aku ke butik Aunt Winda," kata Priska dengan tenang.

Feronicha mengangkat lengan kirinya melihat jam yang masih menunjukkan waktu makan siang. Feronicha mendesah pelan. "Aku tidak bisa meninggalkan café di jam makan siang. Kamu tahu itu, Di," ucapnya, pelan, melirik bagian depan café yang tampak ramai.

Banyak yang keluar masuk café-nya, sebagian besar sekumpulan anak SMA yang asik mengobrol dan tertawa membuat beberapa pengunjung tersenyum melihat mereka. Ah, dia merindukan masa putih abu-abunya.

"Hanya sebentar, Ra. Apa salahnya kamu meninggalkan café untuk hari ini?" tanya Priska dengan nada kesal yang menyadarkan Feronicha. "Kamu bisa menitipkan café pada Ridho."

Feronicha memutar bola matanya jengah. "Laki-laki itu sedang mengecek stok bahan makanan di pantry," jelas Feronicha.

"Oh, ayolah, Ra," desah Priska di ujung sana. "Aku tidak ada teman ke sana. Kamu adikku, apa salahnya membantu kakak sendiri?"

Apa Feronicha sudah mengatakan bahwa kakaknya itu sungguh menyebalkan? Jika belum, maka Feronicha akan mengatakan itu sekarang. Priska adalah manusia paling menyebalkan yang pernah dia temui. Di tambah dengan title pemaksa yang sudah di raihnya sejak kecil, membuat Priska terlihat sebagai gadis tidak menyenangkan. Ralat, sangat-sangat tidak menyenangkan.

Oh, baiklah! Mungkin dia sudah keterlaluan dalam menggambarkan kakaknya. Well, mungkin Priska tidak semengerikan yang Feronicha pikir. Hanya saja, sifat pemaksanya yang membuat dia terlihat sangat menyebalkan. Feronicha mengambil napas panjang, sebelum kembali berdebat dengan kakaknya. Semoga kali ini kakaknya itu bisa mengerti.

"Di, mengertilah, café sedang ramai saat ini," kata Feronicha, memindah ponsel ke telinga kirinya.

"Kamu tega melihatku pergi sendiri?" ucap Priska dengan nada lemah.

Feronicha memijat pangkal hidungnya. "Kamu bukan anak kecil lagi, Di!" desahnya.

"Ayolah, Ra. Hanya hari ini," kata Priska dengan nada memohon. "Please."

Feronicha memejamkan mata berpikir, kakaknya itu benar-benar keras kepala. "Oke," jawab Feronicha, "hanya hari ini," lanjutnya, mengacungkan jari telunjuk, walaupun Priska tidak bisa melihat.

"No problem! Sepuluh menit lagi aku akan menjemputmu," kata Priska dengan nada senang.

Feronicha menurunkan ponsel setelah Priska memutus sambungan telepon tanpa menunggu dirinya selesai mengucapkan salam. Ia melangkah menghampiri Silvia yang telah selesai memindahkan beberapa pancake yang sudah matang dari loyang ke beberapa piring. Feronicha mendesah kemudian menjatuhkan dagunya di meja dapur, menimbulkan suara yang tidak begitu nyaring, mengingat meja dapur itu berbahan stainless steel.

Silvia menatap Feronicha dengan tatapan bertanya. "Ada apa, kak?"

Feronicha menoleh dan tersenyum pada Silvia, masih enggan memperbaiki posisinya. "Jika Ridho menanyakanku, beritahu padanya aku pergi dengan Priska," kata Feronicha, tidak jelas.

Silvia merespon ucapannya, namun Feronicha tidak mendengar tanggapan Silvia. Tak lama, Feronicha tersadar dengan gelagat kebingungan Silvia, ia mengangkat alisnya kemudian bertanya. "Ada apa?"

Silvia menggaruk tengkuk, malu. "Kakak bilang apa?" tanya Silvia. "Suara kakak terdengar sedikit aneh," jelasnya, mendekatkan jari telunjuk dengan jempol kanannya namun masih menyisakan jarak.

Feronicha tertawa kemudian menegakkan kembali tubuhnya. "Maaf," ucapnya, menepuk bahu Silvia. "Jika Ridho menanyakanku, beritahu padanya aku pergi dengan Priska," ulang Feronicha lebih jelas.

Silvia tersenyum dan menganggukkan kepala. "Baiklah," kata Silvia dengan semangat. "Kakak tidak perlu khawatir. Aku akan menyampaikan pesan kakak pada kak Ridho."

Feronicha tersenyum kecil. "Kamu selalu bisa diandalkan," kata Feronicha sambil melepas celemek merah muda yang melilit pinggangnya. "Well, aku harus bersiap kalau tidak ingin para pelanggan ketakutan karena teriakan kakakku yang menggelegar itu," guraunya lalu melangkah meninggalkan dapur café. Sayup-sayup dia masih bisa mendengar suara tawa dari Silvia saat dirinya sudah berada di luar dapur.

***

HANYA memerlukan waktu satu jam untuk Feronicha dan Priska tiba di butik bernama 'Pram-Butique' yang terlihat ramai. Butik itu adalah milik desainer ternama Winda Prameswari, Aunt Geofandy Pradana, tunangan Priska. Priska dan Geofandy akan menikah satu bulan dari sekarang.

Setelah Priska mengatakan telah membuat janji dengan Winda, pegawai butik mengantar mereka ke ruang kerja Winda. Butik Winda di dominasi warna purple soft dengan berbagai macam gaun pesta yang berjejer rapi di setiap tempat, sehingga menampilkan kesan mewah dan elegan. Beberapa gaun pesta yang dibuat sepasang berada di depan etalase butik yang tertutup kaca besar, menarik minat para pengunjung untuk melihat koleksi butik Winda lebih jauh.

Priska dan Feronicha berhenti di depan pintu bertuliskan 'Private Room'. Mereka dipersilakan masuk setelah mendapat persetujuan dari Winda. Ruangan Winda tidak jauh berbeda dengan ruangan yang mereka lewati, masih mempertahankan warna-warna soft, ditambah beberapa lemari kaca, berisi berbagai macam gaun pesta dan jas yang di pakai untuk acara formal.

"Hai, sweetheart," sapa Winda sambil memeluk Priska hangat.

"Hai, Aunt," balas Priska sambil tersenyum lebar.

Winda melepas pelukannya pada Priska sebelum memandang hangat Feronicha yang tersenyum melihatnya. Winda tersenyum lebar, tangan kanannya terangkat menyentuh pipi Feronicha. Dia bisa melihat Feronicha merasa nyaman dengan sentuhannya.

"Kamu tampak lebih baik dari terakhir kita bertemu," kata Winda sambil sesekali mengusap pipi Feronicha. Aura kecantikan gadis di depannya itu sudah lebih mendominasi, jika di bandingkan dengan pertemuan terakhir mereka.

Feronicha tertawa kecil. "Yeah, I feel much better, Aunt."

Winda tersenyum lebar. "Aku bisa melihatnya. Sudah tidak ada kantung hitam dan guratan lelah menghiasi wajah cantikmu, sweetheart," ucapnya, menurunkan tangan yang sedari tadi mengusap pipi Feronicha.

Priska terkikik geli. "Jika saat itu Aunt tidak menasihatinya, mungkin dia sudah menjadi mayat hidup sekarang."

Feronicha mendengus, namun senyumannya masih tersungging sempurna. Feronicha mengingat kembali saat dia menghadiri pesta pertunangan Priska dan Geofandy. Dia datang bersama Ridho, kepala bagian dapur di café-nya sekaligus teman masa SMA Priska. Feronicha masih ingat di pesta itu dia hanya duduk diam saat para tamu berdansa diiringi alunan lagu lembut dari orkerstra atau sekadar ngobrol dan menikmati hidangan yang tersaji. Feronicha sangat lelah, hari itu café sangat ramai.

Ketika Feronicha akan tertidur di tengah pesta, Winda datang dan mengajaknya ngobrol. Alih-alih mengobrol, Winda justru menasihatinya tentang pentingnya menjaga kesehatan. Dan sejak saat itu, Feronicha selalu menyempatkan diri untuk beristirahat di tengah kesibukannya mengelola café.

Winda menggelengkan kepala pelan mendengar gurauan Priska. Wanita itu berbalik, melangkah menuju lemari kaca di samping meja kerjanya. Dia mengeluarkan gaun warna putih gading yang anggun dengan lengan panjang, kerut pada bagian kepala dan ujung lengan sempit. Dipercantik dengan adanya hiasan manik disekitar perut dan bagian bawah gaun yang menjuntai panjang serta motif renda di sekitar dada. Simpel namun terlihat elegan.

"Wow!" pekik Priska sambil menutup mulutnya. "I-itu indah, Aunt."

"It's beautiful, Aunt. I seriously," Feronicha membenarkan, membuat Winda tersenyum bangga pada mereka.

Winda melangkah ke arah Priska dan menyerahkan gaun itu. "Cobalah."

Gadis itu menerima dan menganggukkan kepala sebelum berlalu ke ruang ganti. Winda dan Feronicha hanya saling pandang lalu tertawa kecil melihat Priska yang tampak sangat antusias. Winda mengajak Feronicha duduk di sofa panjang yang berada di ruangannya, kemudian mereka berbincang sambil menunggu Priska selesai mencoba gaun rancangannya.

Priska keluar dari ruang ganti ketika Feronicha dan Winda terlibat obrolan yang menarik. Priska berkacak pinggang kemudian berdehem menyadarkan kedua orang di depannya. "Bagaimana?" tanya Priska ragu, melebarkan bagian bawah gaun dan memutar tubuhnnya.

Winda dan Feronicha mengamati Priska dengan tatapan menilai. Tak lama Winda tersenyum lebar sambil menganggukkan kepala yakin, dan Feronicha mengedipkan sebelah matanya sambil mengangkat dua jempol tangannya.

"Perfect! Aku yakin, kak Geo akan terpesona melihatmu, Di," gurau Feronicha.

Priska tersipu malu lalu mendengus pelan. "Stop it, Ra!"

Winda tertawa kecil melihat pertengkaran kedua saudara itu. "Melihat kalian, Aunt teringat dengan anak Aunt," katanya, memandang Feronicha dan Priska bergantian. "Perbedaannya adalah anak Aunt laki-laki, sedangkan kalian perempuan."

Priska tertawa kecil. "Well, mungkin Aunt bisa mengenalkan padanya," saran Priska, melirik Feronicha yang sudah menyipitkan matanya. "Dia belum memiliki kekasih, Aunt," kata Priska sambil berlari kecil menuju ruang ganti.

"Astaga," gumam Feronicha, menepuk dahinya pelan. "Jangan dengarkan, dia sudah gila," seru Feronicha, memandang Winda yang masih terkikik geli.

***

"SILVIA bilang, kamu pergi dengan Priska?"

Feronicha tersenyum melihat Ridho Bagaskara berjalan menghampirinya sambil memakai sarung tangan. Gadis manis itu menuangkan minyak dalam penggorengan sebelum berjalan ke arah lemari es dan membukanya.

"Didi memintaku menemaninya ke butik Aunt Winda," kata Feronicha sambil mengambil sayuran, bawang putih, dan bawang merah lalu memotongnya menjadi kecil-kecil.

"Aku cukup terkejut mendengar kamu meninggalkan café pada jam makan siang," gumam Ridho dengan nada heran.

Feronicha tertawa. "Kamu tahu bagaimana Didi," katanya. "Lagipula, aku tidak akan merugi karena menemaninya selama beberapa jam," seru Feronicha. Memanaskan minyak goreng lalu memasukkan potongan bawang putih dan bawang merah, menumisnya.

Ridho tersenyum. "Aku selalu kalah jika berdebat denganmu."

"Aku tahu itu!" sahut Feronicha, membanggakan diri. "Bantu aku memotong ayamnya, aku ingin membuat nasi goreng," katanya, menunjuk ayam yang sudah matang di dekat Ridho. Feronicha mengambil nasi lalu mencampurkan pada tumisan bawang yang sudah dia buat, beserta sayuran yang sudah di potong. Aroma khas tumisan bawang merebak ke seluruh penjuru ruangan.

"Aku pikir kamu tidak akan memasak nasi goreng lagi," ucap Ridho, mengambil ayam dan memotongnya.

"Kak Icha selalu memasak nasi goreng, asal kakak tahu," sahut Dani dari ambang pintu dapur.

Ridho menoleh. "Aku tidak bertanya padamu, Dani," ucap Ridho, menyerahkan potongan ayam pada Feronicha agar di tambahkan pada nasi goreng buatannya.

Dani mengangkat bahunya. "Aku hanya memberitahu pada kakak," bantah Dani, berjalan ke arah Feronicha dan Ridho. Dani tertawa kecil menyadari pandangan tidak suka dari Ridho. Well, dia sangat suka menggoda Ridho.

"Apa untungnya memberitahuku?" tanya Ridho.

Mata Dani menyipit dan senyumnya menusuk. "Hal itu bisa membuktikan bahwa aku lebih tahu kegiatan Kak Icha dari pada Kakak," godanya.

Ridho mendengus. "Baiklah, aku kalah dengan anak kecil," sahutnya, mengalah.

Dani tersenyum lebar. "Jika Kakak tidak ingin kalah denganku, jangan alihkan pandangan Kakak dari Kak Icha," gurau Dani.

Ridho tertawa. "Aku selalu memandangnya, asal kamu tahu," kata Ridho, melirik Feronicha yang masih sibuk memasak. Ya, Ridho selalu memperhatikannya, bahkan sejak pertemuan pertama mereka.

"Oh, baiklah," ucap Dani, mengangkat kedua tangannya sambil memutar badan membuat Ridho tersadar dan mengalihkan pandangannya dari Feronicha kepada Dani.

Feronicha terkikik mendengar perdebatan kecil dibelakangnya. "Kalian berdua, sudahlah!" sela Feronicha, mematikan kompor lalu menempatkan nasi goreng di beberapa piring.

Dani tertawa dan melangkah mengambil sepiring nasi goreng. "Aku ingin memberikan Yosita bagiannya. Boleh, Kak?" tanya Dani. "Dia belum mendapat makan siangnya, hari ini café sangat ramai."

Mata Ridho menyipit. "Sejak kapan kamu menjadi konsultan gizi Yosita?"

Dani menghela napas pelan. "Entahlah, aku juga tidak tahu."

"Bilang saja kamu ingin mendekati Yosita," tebak Ridho, menatap Dani jahil.

Dani mendekati Ridho, berbisik pelan. "Setidaknya aku sedang berusaha. Memangnya Kakak, mendekati saja tidak berani."

Ridho terkejut dan mengejar Dani yang sudah berlari keluar sambil tertawa. Dia menoleh mendapati Feronicha yang terkekeh hingga menutup mulutnya. Ridho berjalan menghampiri Feronicha yang menahan tawa sambil memandang dirinya dengan menaik-turunkan alisnya berulang kali. Ridho mengerutkan dahi lalu bertanya. "Ada apa?"

"Jadi ..." ucapnya, menggantung. "Siapa gadis itu?" goda Feronicha, menaikkan sikunya pada bahu Ridho.

Ridho mendengus pelan. "Jangan dengarkan, dia hanya membual," bantah Ridho. "Dan turunkan tanganmu dari bahuku," tambahnya.

Feronicha melepas tawa yang sempat mereda kemudian menarik kembali tangannya. "Okee."

Ridho mendengus lalu mengambil sepiring nasi goreng dan memakannya di belakang pantry. Feronicha mengikuti Ridho dari belakang dan duduk bersandar di punggung Ridho, untuk menemaninya. Sesekali laki-laki itu melirik Feronicha yang sudah meregangkan kedua tangannya sambil menguap. Ridho meletakkan sendok dan piringnya, sedikit menggeser posisi duduk hingga Feronicha terjerembab. Laki-laki itu memandang Feronicha lembut.

Ridho menyentuh pipi Feronicha. "Pulanglah, kamu terlihat lelah."

"Aku baik-baik saja."

Ridho mendekatkan wajahnya. "Aku akan menjaga café untukmu, trust me," bujuk Ridho.

Feronicha tersenyum, ia bangkit mendekati Ridho dan berbisik. "I never believe you," ucapnya, menarik telinga Ridho dan berlalu. "Well, aku akan menyapa beberapa pelanggan di depan."

Ridho mendesah ketika Feronicha sudah tidak bisa dijangkau oleh pengelihatannya. Gadis itu selalu memaksakan diri.

"Dasar,keras kepala."[]    

Continue Reading

You'll Also Like

610K 11.9K 19
-COMPLETED- 13 years ago the Romano manor was filled with the young mafia princess's giggles as her 'brothers' chased her around the house. Lit...
491K 14.1K 53
what happened when the biggest mafia in the world hid his real identity and married an innocent, sweet girl?
913K 81.4K 38
๐™๐™ช๐™ฃ๐™š ๐™ ๐™ฎ๐™– ๐™ ๐™–๐™ง ๐™™๐™–๐™ก๐™– , ๐™ˆ๐™–๐™ง ๐™œ๐™–๐™ฎ๐™ž ๐™ข๐™–๐™ž ๐™ข๐™ž๐™ฉ ๐™œ๐™–๐™ฎ๐™ž ๐™ข๐™–๐™ž ๐™ƒ๐™ค ๐™œ๐™–๐™ฎ๐™ž ๐™ข๐™–๐™ž...... โ™ก ๐™๐™€๐™๐™„ ๐˜ฟ๐™€๐™€๐™’๐˜ผ๐™‰๐™„ โ™ก Shashwat Rajva...
3.5M 106K 66
FOLLOW DULU BARU SECROL ! Sesama anak tunggal kaya raya yang di satukan dalam sebuah ikatan sakral? *** "Lo nyuruh gue buat berhenti ngerokok? Bera...