SIGNAL: 86

By Arabicca69

109K 17.6K 2.4K

[Misteri/Thriller] Bercerita tentang petualangan dua orang detektif kepolisian dari masa yang berbeda. Kisa... More

PEMBUKA
[Case 1: Home Sweet Home (?)]
1. HT Tua
2. Rumah (?)
3. Informasi Sang Letnan
4. Cerita Masa Lalu
5. Disza Anszani
7. Fakta
8. Olah TKP Lanjutan
9. Kronologi Tak Terduga
10. Juru Selamat
11. Mencari Sebuah Kepastian
12. Benarkah Yang Kita Lakukan Ini?
13. Jangan Kuatir
14. Kabar
[Case 2: Sex Interest (?)]
15. Sign
16. No Angels
17. Letter to You
18. Does God Really Exist?
19. Graveyard (?)
20. Am I Just Dreaming?
21. Treasure
22. Chaos
23. It's Okay
24. To Pieces
25. The Dog Named Hachiko
26. Curious
27. If Only I Could
[[ Jalinan ]]
28. Hopeless and Happiness
29. Hiatus
30. Press Release
30.2. Press Release
31. Tragic
32. Regret
[Case 3: Dust & Gold]
33. Berita Buruk
34. A Thing To Remember
35. A Gift
36. Rahasia Gambar dalam Gambar
[[ Jalinan ]]
37. Seseorang dari Masa Lalu
38. Breath In
39. Kenangan Dalam Sebuah Foto
[[ Jalinan ]]
40. Transmisi Terakhir
41. Transmisi Terakhir II
[[ Jalinan ]]
42. Peti Mati Tanpa Isi
43. Pesan yang Tak Sampai
43.2. Pesan yang Tak Sampai
44. Babak Baru
45. Sebuah Firasat
46. Tensitas
47. Teror
48. Teror [2]
49. Sebuah Fakta
50. Titik Akhir
51. Titik Akhir [2]
52. Kekalutan
53. Kembali
54. Kehilangan
55. Menelisik
55.2 Menelisik Bagian II
56. Kejutan

6. Lapor

1.9K 361 67
By Arabicca69

Dimas mengumpat ketika menyadari ternyata sejak tadi dia salah membawa HT. Benda tua dengan antena yang cukup panjang dalam genggamannya kembali berdengung, kemudian sebuah suara keluar dari dalamnya.

"Lapor ...."

Berulang kali penggalan kata itu mengudara. Dimas seperti merasakan de javu. Kejadian beberapa hari yang lalu pun kembali berputar dalam kepalanya.

Letnan Samsuri melaporkan dari TKP. Minta dukungan personil medis, telah terjadi pembunuhan satu keluarga di daerah ....

"Letnan Samsuri .... melapor masuk," ucap suara di seberang sana—lagi—dengan santainya.

Letnan Samsuri? Dimas tercengang seketika. Benar. Pria inilah yang sudah menipunya tempo hari!

Berani-beraninya ...!

Perasaan seperti sedang dipermainkan pun menumbuk dada Dimas hingga sesak. Dimas mendengus keras. Bersumpah, tidak akan termakan oleh bualan pria itu lagi. Namun, Dimas tidak bisa mencegah rasa penasarannya yang telanjur hinggap. Pria di seberang mengatakan kasus ini merupakan pembunuhan satu keluarga. Padahal kenyatannya, kasus yang sedang Dimas hadapi berupa penemuan tulang-belulang milik seorang anak kecil.

"Kenapa Anda menipu saya? Kasus ini bukan pembunuhan satu keluarga." Dimas menagih penjelasan.

Terdengar helaan napas yang cukup keras dari seberang.

"Saya juga tidak yakin, benarkah ini memang pembunuhan satu keluarga atau ... kasus bunuh diri ...," ucap pria itu kemudian. Nada suaranya terdengar bimbang dan putus asa.

Suara statis HT sesekali menginterupsi pembicaraan.

Dimas mengernyit bingung. Rasa penasaran yang sudah mencapai ubun-ubun membuatnya tidak mengerti dengan semua ini.

"Dari stasiun mana Anda? Jangan main-main!" tekan Dimas jengkel. Teriakannya membelah malam yang gelap dan sunyi. Dimas seketika merinding, menyadari dirinya hanya seorang diri di sana.

"Di mana Anda sekarang?" tantang Dimas kemudian, merasa ingin tahu seperti apa wajah seorang penipu yang telah mempermainkannya selama ini.

"Di TKP."

"Apa?" Dimas sedikit tergelak karenanya. Ternyata mereka sangatlah dekat.

Dimas berlari secepat yang dia bisa menuju halaman depan, tetapi dia tidak melihat ada seorang pun di sana. Dalam sedetik matanya menyambar daun pintu yang sejak tadi diam membisu.

TKP-nya ada di dalam sana.

Pikiran gila yang datang entah dari mana seolah memanggilnya untuk masuk ke dalam rumah itu.

Dimas nekat memutar kenop pintu.

"Inspektur!" Briptu Aryan datang di saat yang tepat. Namun sayang, teriakannya tak mampu menghentikan tindakan Inspekturnya. Bilah pintu telanjur terayun. Suara deritnya menelan malam, menyayat indera pendengaran kedua perwira polisi itu.

"Ha? Pintunya tidak dikunci?" Aryan keheranan.

Dimas masuk tanpa ragu, yang kemudian disusul oleh Aryan dengan was-was. Ini gila. Aryan tidak bisa tenang.

"Di mana Anda?! Saya sudah di dalam!" teriak Dimas sekencangnya.

Aryan terkejut bukan main ketika tiba-tiba petir ikut menyalak hebat di luar sana, mengalahkan teriakan Dimas yang terdengar garang dari ruang keluarga. Hujan langsung turun tanpa aba-aba. Mengguyur tanah dan rerumputan. Gelap dan dingin makin mengigit. Aryan menyiagakan senternya di depan. Mengikuti suara Dimas hingga langkah kakinya sampai di ruang keluarga. Aryan mematung beberapa saat, saat tanpa sengaja senternya menyorot sebuah lukisan abstrak yang didominasi oleh warna biru laut dengan satu titik hitam di bagian tengah-tengahnya. Titik hitam itu seolah melebur, membaur. Aryan memang tidak begitu mengerti soal seni, tetapi entah bagaimana lukisan itu mengingatkannya pada sebuah kutipan dalam sebuah buku yang pernah dibacanya. Akan tetapi, Aryan lupa siapa yang menulisnya ....

Jadikanlah hatimu seluas samudera, maka setitik racun yang jatuh ke dalamnya takkan berarti apa-apa,
tak pula sanggup mengubah warnanya ....

.

Suara berisik HT tiba-tiba lenyap dari pendengaran. Dimas mendesah keras sembari meremas rambutnya. Dia jatuh berlutut, tepat di depan TKP. Ditatapnya ceruk kecil pada lantai kayu, yang jika ditarik paksa, maka ruang rahasia itu akan terbuka lebar. Untuk memastikannya, Dimas bahkan nekat membuka ruang rahasia tersebut. Berulang kali berteriak ke bawah, namun hanya sunyi yang menjawabnya.

Sial. Lagi-lagi pria itu menipunya.

Dimas melempar HT di tangannya sekuat tenaga. Membuat Aryan sedikit berjengit saat HT itu mendarat tepat di bawah kakinya. Dipungutnya benda itu dengan hati-hati.

"Anda kenapa, Inspektur?" tanya Aryan khawatir.

Dimas memaki, "Sialan!" Membuat Aryan jadi makin kebingungan. "Brengsek! Dia sudah menipuku dua kali! Pria itu berkata dia ada TKP. Tapi nyatanya, dia tidak ada di mana pun, Yan!"

"Siapa yang berani menipu Anda, Inspektur?" tanya Aryan ragu. Semua orang sudah tahu bagaimana gawatnya perangai Dimas. Dia persis seekor banteng liar kalau sudah mengamuk. Aryan sendiri sudah pernah merasakan amukan Dimas sekali. Kapten Depari juga berkali-kali memperingatkan. Dimas itu orang yang ringan tangan, jadi jangan sampai membuatnya marah.

"Letnan Samsuri ...!"

Dahi Aryan mengernyit bingung. "Letnan?" ulang Briptu itu bingung. "Apa Anda tidak salah, Inspektur?"

Mendengar itu, serta-merta Dimas pun bangkit berdiri. Disambarnya kerah kemeja Aryan dengan penuh emosi.

"Inspektur," Aryan buru-buru menjelaskan sebelum tinju Dimas mendarat tepat di wajah tampannya. "Jaman sekarang ini saya rasa sudah tidak ada lagi perwira polisi yang memakai tanda kepangkatan lama."

Kedua mata Dimas seketika terpentang lebar. Perlahan-lahan cengkramannya terlepas dari seragam cokelat Aryan. Sembari memegang kepalanya yang mulait berdenyut  dia pun bermonolog dalam hati, kenapa tidak pernah terpikirkan olehnya selama ini?

Ucapan Aryan bagai pil pahit yang terpaksa ditelannya dengan susah payah. Benar, sudah lama sekali sejak TNI dan POLRI resmi dipisah. Urutan pangkat kepolisian juga telah diubah sejak tahun dua ribu dua.

Jadi, apa artinya ini semua? Apa mungkin Letnan Samsuri memang tidak hidup di masa sekarang, melainkan di masa lalu? Tetapi bagaimana mungkin? Dimas jelas mendengar suara pria itu keluar dari HT tua yang dipungutnya dari tempat pemusnahan barang bukti.

"Inspektur, lihat ini!" teriak Aryan tiba-tiba.

Dimas tersentak kaget. Pikirannya pun buyar seketika. Dilihatnya Aryan sudah berada pada posisi setengah berjongkok. Pecahan guci yang berserak di hadapan Aryan membuat Dimas ikut memicingkan mata. Sekilas jelaganya mengundang minat Dimas untuk mendekat.

Tidak akan ada asap, jika tidak ada api. Pun, tidak akan ada jelaga, jika tidak ada sesuatu yang dibakar di dalamnya. Dimas kembali mengingat. Guci tersebut pecah akibat ulahnya beberapa malam yang lalu. Sayangnya guci itu terabaikan oleh Tim INAFIS saat oleh TKP, karena tidak diaganggap penting, selain itu letaknya juga di luar TKP. Namun, siapa sangka ....

"Seseorang pasti pernah membakar sesuatu di dalam di sini." Aryan terlihat sangat yakin.

Tiba-tiba lampu menyala. Seluruh ruangan jadi terang-benderang.

Kondisi rumah yang bagaikan kapal pecah membuat Dimas langsung memekik, "Yan, pergilah ke lantai dua! Periksa apakah Haris dan keluarganya ada di sana!"

Aryan berdiri dan langsung menyongsong anak tangga. Sementara itu Dimas melangkah gontai mendekati sebuah guci keramik dengan ukiran yang rumit di bagian depannya. Dia sudah tidak yakin lagi dengan kewarasannya. Satu per satu guci yang ada di rumah itu, dihancurkannya hingga pecah berkeping-keping. Sepertinya Kapten Depari benar, Dimas memang butuh cuti.

"Mereka tidak ada, Inspektur!"
Aryan kembali turun untuk melapor. Mulutnya ternganga lebar. Dia tidak tahu lagi harus berbicara apa. Baru ditinggal sebentar, tahu-tahu bagian sudut ruangan telah penuh dengan pecahan guci.

"Lemari baju utuh. Sepertinya mereka kabur dengan terburu-buru."

"Apa lagi yang kamu tunggu? Beritahu Kapten Depari!"

"Siap, Inspektur!"

Dimas kemudian bersimpuh. Di antara pecahan guci yang terlihat mengenaskan itu, dia menemukan sisa-sisa kertas dan juga potongan sebuah foto yang belum habis dimakan jelaga. Tampak wajah dua orang anak kecil yang terlihat mirip satu sama lain sedang tersenyum manis di dalam potongan foto tersebut. Dimas bertanya-tanya, "Apa mungkin mereka kembar?"

Lalu, ditariknya sebuah kertas buram yang juga ikut terkubur di antara debu jelaga.

'sayang semuanya'

Kening Dimas berkerut dalam saat membaca tulisan di kertas itu.

_______________

Satu ... satu ... aku sayang Ibu ...
Dua ... dua ... juga sayang Ayah ...
Tiga ... tiga ....

"Mika, berisik tau nggak!" senggak Eja dengan mata separuh terpejam.

Ruang rawat inap pun kembali senyap saat Mika berhenti bersenandung. Bocah kecil itu melipat wajahnya. Eja mendecakkan lidah keras-keras. Percuma saja, isakan yang lama-kelamaan keluar dari bibir mungil Mika tak akan membuatnya makin peduli. Eja malah memarahinya.

"Abang mau tidur. Cari Bunda, sana!" usirnya tanpa belas kasih.

"Eja, jaat!"

Tangis Mika pun pecah seketika itu juga. Dia berlari keluar mencari Bunda yang entah berada di mana. Meninggalkan Eja yang sedang terbaring di atas ranjang pasien seorang diri. Begitu pintu ruang inap bergeser menutup, Eja mendengus jengkel.

"Dasar cengeng!" umpatnya.

Manik matanya menatap langit-langit dengan kecewa. Tiga hari terlewat begitu saja dan Dimas belum juga mau menjenguk. Dia berpikir, Dimas pasti sangat marah dan kecewa padanya. Apa yang telah dilakukannya kali ini memang sudah terlewat batas.

Eja meremas lengannya kuat-kuat. Bekas suntikan yang telah menghitam di sekitar area sendi lengannya mendadak terasa sangat gatal. Perih dirasakannya saat kuku-kukunya bergerak naik-turun untuk menggaruk bekas suntikan itu.

Hati kecil anak lelaki itu tiba-tiba terasa sangat kecut. Hubungannya dengan Dimas mungkin memang tidak akan pernah membaik. Dimas pasti membencinya, sangat membencinya, sampai-sampai dia tidak mau melihat wajah Eja sekali pun Eja mati mengenaskan di suatu tempat. Dimas tidak akan pernah bisa menerima kehadirannya. Memikirkan hal itu membuat Eja makin frustrasi. Air mata yang mengalir di pipi segera dihapusnya begitu mendengar langkah kaki seseorang mendekati pintu. Gerutuan Bunda masuk ke telinganya, tetapi tak benar-benar bisa diserapnya ke otak. Yang Eja ingat, Bunda hanya terus menyalahkannya karena sudah membuat Mika menangis.

_________________

"Yan, apa yang kau pikirkan saat membaca tulisan ini?"

"Hm?"

Aryan yang sedang terkantuk-kantuk di atas sofa ruang tamu terpaksa melirik potongan kertas di tangan Dimas. Wajahnya tampak sangat lelah. Jam di dinding masih menunjukkan pukul tiga dini hari, tapi Dimas seakan tak mengizinkannya istirahat barang sejenak. Inspektur itu terus membuatnya terjaga dengan berbagai macam pertanyaan rumit.

"Sayang semuanya?" gumam Aryan dengan suara serak.

Dimas mendengus. Aryan memang tidak bisa diandalkan. Bermenit-menit berlalu dia masih saja bungkam dengan wajah idiotnya itu.

Entah mengapa, tiba-tiba Dimas teringat pada adiknya. Mika sering menyanyikan sebuah lagu kanak-kanak. Hanya saja bagian lirik tengahnya selalu dia ubah seenak jidat. Dia bilang, dia lebih sayang Eja ketimbang Dimas.

________________

Dimas bangkit dari duduknya. Disibaknya gorden putih yang menutupi jendela depan. Di luar terlihat sangat sepi.

"Haris dan keluarganya tak juga kembali." Dimas bicara seorang diri.

Bahkan sampai pagi harinya, mereka tak juga kembali.

Bisa jadi mereka sudah pindah ke suatu tempat.

Insiden penemuan kerangka dalam rumah yang baru mereka tinggali ini pasti membuat istri dan anak Haris syok. Tetapi, mengapa tidak ada pemberitahuan perihal kepindahan mereka ke kepolisian sebelumnya? Padahal, keluarga kecil itu sudah dikenai wajib lapor sebagai saksi dalam kasus ini.

Apa mungkin mereka kabur? Tapi kabur dari apa kira-kira?

Begitu terburu-burunya, sampai seluruh pakaian pun ditinggalkan begitu saja. Mereka bahkan lupa mengunci pintu rumah.

Lagi-lagi Dimas membatin, ada apa ini?

______________

Tim INAFIS baru sampai sekitar pukul delapan. Beberapa mobil patroli serta mobil dinas kembali meramaikan halaman rumah tua milik Haris. Mengundang satu-dua orang warga sekitar yang turut merasa penasaran, termasuk sang kepala desa yang baru saja pulang dari perjalan dinas di luar kota.

Aryan terlonjak bangun saat mendengar suara berisik dari luar. Dilihatnya beberapa petugas berompi INAFIS masuk bergantian membawa serta peralatan olah TKP bersama mereka.

Mereka mulai menyisir ruangan. Di mulai dari lantai bawah hingga ke lantai atas.

"Jangan ada satu debu pun yang terlewat," perintah Dimas pada mereka.

Dimas mondar-mandir ke sana ke mari dengan raut wajah yang tampak begitu kusut akibat terjaga semalam suntuk. Dia menyugar rambutnya berulang kali. Dua kancing kemeja di dadanya terbuka, menampakkan kaos dalam yang dikenakannya. Membuatnya makin terlihat seksi—dengan kulit kecoklatan, tubuh atletis, serta rambut bergelombang yang tampak berantakan. Salah seorang petugas olah TKP wanita bahkan tak bisa berhenti memperhatikan Inspektur yang usianya masih terbilang cukup muda itu.

Aryan sempat mendengar obrolan Sang Inspektur saat berbicara melalui sambungan telepon dengan Kapten Depari. Dimas seperti sedang menyalahkan Kapten Depari atas kelalaian yang terjadi pada saat olah TKP sebelumnya.

"Kenapa tidak menyisir seluruh ruangan, Kapten?" tanya Dimas agak jengkel. Meski sempat beradu mulut, pada akhirnya Dimas hanya bisa mengangguk mahfum mendengar penjelasan dari sang Kapten.

Aryan lebih memilih melihat kondisi di luar saat terdengar suara ribut-ribut di halaman depan. Para polisi berseragam yang sedang berjaga di depan rumah terlibat aksi saling dorong dengan seorang pria berseragam dinas rapih. Rasanya baru kali ini Aryan melihat pria itu.

"Ada apa ini?" tanya Aryan pada salah satu petugas. Namun, kehadirannya dianggap malah angin lalu. Dia diabaikan di sana.

Aryan hanya bisa menghela napas, sebab mereka pun tampak kewalahan menghadapi aksi protes pria itu, yang tengah menagih penjelasan mengapa para polisi datang ke tempatnya tanpa membawa surat perintah.

"Mohon tenang dulu. Kita bisa jelaskan semuanya, Pak!" Aryan mengambil alih.

Barulah pria itu diam. Salah seorang petugas membisiki telinga kiri Aryan. "Jadi, Bapak ini kepala desa Karang Sari?"

Pria itu mengiyakan meski sebenarnya Aryan tak berbicara padanya. Sempat-sempatnya Aryan berjabat tangan di saat genting begini. Dia memang hendak mengunjungi rumah kepala desa. Namun terhalang, sebab beberapa waktu yang lalu Bapak Tindoan masih dalam perjalanan dinas ke luar kota dan tidak bisa ditemui.

"Tiga hari yang lalu kami mendapat laporan langsung dari penghuni baru rumah ini mengenai adanya penemuan kerangka manusia. Surat perintah juga sudah keluar. Jadi, kami segera lakukan olah TKP."

"Apa? Penghuni baru?" Pak Kades terkejut bukan main. "Saya kepala desa di sini. Kenapa saya tidak pernah tau kalau ada pendatang baru di desa saya?"

Aryan mengernyit heran. Kalau Bapak ini saja tidak tahu, bagaimana pula dia bisa tahu?

"Jadi, Bapak tidak tahu?"

Pria itu mengangguk tegas.

"Tapi, bagaimana bisa? Bapak Haris bilang dia membeli tunai rumah beserta tanah ini ...."

"Itu tidak mungkin, Pak Polisi," sergah Pak Kades cepat. "Rumah ini sudah lama terbengkalai. Pemiliknya juga sudah tewas lama sekali. Kalau pun dijual, siapa perantaranya? Saya merasa tidak menerima sepeser pun uang dari penjualan rumah dan tanah ini," terang sang Kades.

___________

Notes:

Salam dini hari. Saya update. Wkwk. Mungkin kalian pada bingung ya.
Well, akan saya jelaskan beberapa hal.

Setting Inspektur Dimas Armedy Chan diambil tahun 2020, sedangkan untuk bagian Letnan Syahbana Samsuri saya buat setting-nya tahun 2000. Walau agak sulit mendeskripsikan keadaan di saat itu. Lagipula bagian Letnan Samsuri belum banyak keluar.

Perubahan Pangkat kepolisisan terjadi di tahun 2001 (saya tidak begitu yakin. Mungkin sekitaran tahun 1998-2000). Jadi, dulu itu Polisi dan TNI masih tergabung dalam ABRI (ini jaman-jamannya Bapak Soeharto) dan untuk penyebutan kepangkatannya masih sama. Setelah Polri resmi melepaskan diri sekitar tahun 2000, penyebutan kepangkatannya juga diubah. Kalau kalian penasaran tentang kelanjutan ceritanya bisa liat di goole.

Untuk Bapak Kades. Biasanya kalau ada warganya yang jual tanah kan harus lewat persetujuan dan tanda tangan dari sang Kades. Nah, biasanya kades juga dapat komisi tuh. Makanya Bapak Tindoan heran. Kok bisa tanahnya kejual sedangkan dia merasa kagak mengantongi apa-apa. Wkwk. Doain aja semoga besok saya bisa update lagi. Supaya 'Case 1' bisa cepet selesai dan kita segera beralih ke 'Case 2'

Dan satu lagi, sebenarnya kalimat di bawah ini saya kutip dari tulisan seseorang. Tapi saya lupa siapa, jadi tidak bisa saya mention di sini penulisnya.

"Jadikanlah hatimu seluas samudera, maka setitik racun yang jatuh ke dalamnya takkan berarti apa-apa,
tak pula sanggup mengubah warnanya..."

Salam

Arabicca.

Continue Reading

You'll Also Like

don't hurt Lia (end) By el

Mystery / Thriller

1.3M 97.2K 73
"lo itu cuma milik gue Lia, cuma gue, gak ada yang boleh ambil lo dari gue" tekan Farel "sakit kak" lirih Lia dengan mata berkaca kaca "bilang kalo...
4.6K 453 17
𝐒𝐢𝐧𝐨𝐩𝐬𝐢𝐬: Baru saja Kayla memaki tokoh antagonis dalam novel 'Fall in Love' yang ia baca, Kayla tak menyangka, setelah kecelakaan, ia malah t...
93.4K 3.4K 49
Will you still love me when I'm be a monster? --------------- Shella yang dituntut sempurna oleh orang tuanya hanya dikenal sebagai cewek paling popu...