Memeluk Asa Karya Orina Fazri...

By Orina_Fazrina

550 41 7

Mengisahkan tentang Leo yang jatuh hati pada Ana. Juga segala hal yang mereka lalui selama mereka remaja dan... More

Prolog
1. Seperti Malaikat
3. Ada Apa Dengan Masa Lalumu?
4. Suaraku Berharap
5. Kisah Suram

2. Angan-Angan Aneh

54 5 0
By Orina_Fazrina

Bab 2

Angan-Angan Aneh

Hari-hari berikutnya sebisa mungkin Leo mencoba agar selalu menempel pada Ana. Dia sengaja membawakan buku yang harus Ana antar ke kantor, membantu membersihkan papan tulis, dan tidak jarang berusaha untuk pulang bareng juga. Minimal sampai gerbang karena arah rumah mereka berlawanan. Doa lebih memilih menahan malu dari sorakan teman-temannya, daripada tidak bisa dekat dengan Ana.

Setiap hari juga Leo melihat Ana berbeda. Kadang tertawa, kadang jadi pendiam, kadang terlihat merenung, kadang sibuk sendiri dengan buku di depannya, kadang melamun.

Saat Pak Guru yang mengajar matematika masuk –siapa lagi kalau bukan Pak Wagimin. Dia membawa lembar tugas siswa di tangannya. Soal yang kemarin Leo dan kawan-kawan sekelas kerjakan.

Leo sedikit was-was. Dia ingat dirinya tak begitu berhasil menjawab soal tersebut. Terlebih dia tak sempat menyontek karena Pak Wagimin hanya memberikan waktu lima menit untuk berpikir di setiap soalnya. Benar, setelah soal, langsung jawab. Lima menit kemudian Pak Wagimin itu akan menyebutkan soal baru lagi. Begitu seterusnya. Tak peduli bahwa sebagian besar siswa belum menyelesaikan soal sebelumnya.

Pak Wagimin berwajah kesal ketika membagi lembar jawaban yang telah diberi nilai merah. Beberapa siswa dia ceramahi habis-habisan. Namun, ketika giliran Ana, dia tersenyum bangga.

Pasti nilainya bagus… batin Leo.

“Leo!” panggil Pak Wagimin.

Begitu namanya disebut, Leo langsung bangkit dari kursinya. Melangkah gugup mendekati Pak Wagimin.

Pak Wagimin berdecak kesal. “Nilai kamu paling parah,” ujarnya nyaring. Tak peduli bahwa siswa lain bisa mendengar ucapannya yang cukup menusuk itu.

Leo hanya meringis. Dia tahu kelemahannya memang di bagian hitung-menghitung. Jadi dia pasrah saja ketika Pak Wagimin melemparkan pandangan kecewa.

“Jangan-jangan kamu tidak memperhatikan Saya?” duga Pak Wagimin itu sambil menatap Leo tajam di balik kacamata tebalnya.

“Saya memang lemah dalam matematika, Pak,” jujur Leo. Dia balas menatap Pak Wagimin dengan tampang memelas.

Pak Wagimin mendesah. “Belajar lebih giat lagi,” nasihatnya. Hanya itu. Mungkin karena dia sudah lelah memarahi siswa nilai rendah sebelum-sebelumnya.

Dalam hati Leo lega. Dia mengangguk lalu kembali kursinya.

Pak Wagimin melanjutkan penjelasan materi kemarin. Tapi Leo sama sekali tak bisa berkonsentrasi. Matanya, tanpa dia sadari, selalu mencari-cari sosok Ana.

Tuk!

Tutup spidol mendarat di kepala Leo.

“Perhatikan Saya!” teriak Pak Wagimin kesal. “Apa yang bisa kamu pelajari di belakang sana? Sudah nilai paling rendah! Tidak memperhatikan lagi!” sungutnya.

Siswa lain menahan tawa. Leo cuma meringis. Mati-matian dia berusaha menghentikan keinginannya menoleh ke belakang, ke bangku Ana. Jika tidak, entah apa yang akan dilempar bapak itu lagi.

Bagi Leo, detik di kelas itu berjalan sangat lama.

***

Akhirnya, waktu istirahat yang dinantikan Leo dan yang lainnya tiba juga.

Leo memilih berjalan-jalan di koridor. Sekalian mencari sosok Ana yang tidak ada di kelas maupun di kantin.

Pemuda itu mencari Ana ke perpustakaan, tempat yang menurutnya paling disukai orang pintar, tapi tetap tak menemukan Ana di sana. Leo lalu berbelok ke halaman samping sekolah. Tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang tengah duduk dengan tenang di bawah pohon sambil memandang langit.

Jantung Leo langsung berdebar hebat seketika. Kupu-kupu di hatinya semakin banyak dan kini memenuhi perutnya.

Leo mendekat dengan perasaan asing itu. Dia melihat wajah Ana yang murung. Ada apa dengannya? batin Leo bertanya.

Dengan perlahan Leo duduk di kursi yang sama dengan Ana, namun tetap memberi jarak dengan gadis itu.

“Sendirian?” tegur Leo, sekedar basa-basi.

Ana menoleh dan mengangguk. Mata sendu gadis itu tak bisa menyembunyikan kesedihan yang ada di sana.

Leo menggumam sebagai respon. “Lagi ngapain sendirian di sini?” tanyanya, mencoba agar bisa mengobrol lebih lama dengan pujaan hatinya.

“Lagi memandang langit…” sahut Ana pelan. Gadis itu perlahan menengadah. Memandang langit di atas mereka.

Leo ikut menengadah sembari bersandar di sandaran kursi. Dia melihat langit yang biru dan awan tipis di sekitarnya. “Apa yang menarik dari langit?” herannya.

Ana tersenyum. “Entahlah. Mungkin karena memberikan rasa tenang?” sahutnya ragu. Dia lalu mengalihkan pandangannya kepada Leo. “Kamu… kenapa ke sini?”

“Umm… itu…” Leo menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil melirik Ana malu-malu. “Karena kamu di sini...” jawabnya ragu dengan wajah bersemu.

Ana tersenyum tipis. Merasa lucu dengan jawaban Leo barusan.

Entah mengapa, Leo menyukai senyuman Ana kali ini.

“O, ya, apa nilai tugasmu tadi benar-benar buruk?” Ana menanyakan hal yang tadi didengarnya.

“Eh? Itu…” Leo tertawa malu. “Parah deh! Aku cuma di kasih bebek,” jawabnya jujur.

“Bebek?” ulang Ana dengan kening berkerut.

Leo mengangguk. “Nilai dua…” katanya sambil menulis angka dua di udara.

Ana menggumam. Senyum manisnya mengembang lagi. “Jangan terlalu dikhawatirkan. Itu wajar. Setiap orang punya kemampuan yang berbeda-beda. Nggak ada yang sempurna kok…” hiburnya sambil tersenyum lembut.

Dada Leo menghangat mendengarnya.

“Kamu juga bukan yang sempurna, kan?” tebak Leo. Dia memperhatikan reaksi Ana, sedikit khawatir kalau-kalau gadis itu tersinggung.

Ana menunjukan ekspersi terkejut. “Maksudmu?”

Leo langsung salah tingkah. “Habis,.. teman-teman bilang kamu pintar, cantik, baik, ramah, penolong, dan nggak pilih-pilih teman. Buat mereka kamu itu sempurna. Cewek idaman banget,” katanya jujur. “Tapi… itu kata mereka loh…” tambahnya.

Ana tertawa pelan. Ada kesedihan di raut wajahnya. “Itu karena mereka nggak tahu aja. Coba kalau tahu… mungkin mereka akan mencibirku sepanjang waktu.” Gadis itu tersenyum di akhir kalimatnya. Tapi entah bagaimana, Leo merasa senyumnya tak semenyenangkan saat dia bilang ke sini karena Ana ada di sini.

“Maksudnya?” Leo memutuskan bertanya meski ragu kalau Ana akan menjawabnya dengan jujur.

Ana hanya mengangkat bahu sambil tersenyum tipis.

Leo manyun. Detik kemudian dia memperhatikan Ana lagi. Gadis itu tampak merenungkan sesuatu. “Kamu… terlihat punya banyak beban...” simpul Leo akhirnya.

Ana menoleh ke arah Leo lagi. Dia tersenyum singkat lalu berkata, “Yah… banyak…” lantas kembali menatap langit.

Leo jelas penasaran dengan jawaban Ana barusan. Dia menatap Ana lekat. “Banyak? Misalnya?” tuntutnya.

Ana diam.

Leo memperhatikan dan menunggu. Ana tetap tak menjawab. Leo mengangkat bahunya sambil mendesah.

Sudahlah… putus Leo dalam hati. Dia tak akan memaksa. Kepalanya kembali menengadah. “Apa ada yang indah di langit sana?” gumamnya pelan. Tak yakin apakah Ana kali ini mendengar gumamannya yang bernada kecewa itu atau tidak.

Ana mengulurkan tangannya ke atas. Seperti mencoba meraih langit yang tinggi itu. “Nggak ada yang indah,” sahutnya pelan. “Hanya angan-angan yang tergantung.”

Leo cukup terkejut karena Ana menjawabnya. Dia mengeryit dan menoleh kepada Ana. Jelas terlihat gurat sedih di wajah gadis itu. “Boleh tahu angan-angan apa yang kamu maksud?” tanyanya hati-hati.

Ana tersenyum pedih. Matanya tampak menyiratkan luka. “Punya keluarga dan disayang banyak orang biar bagaimanapun…” lirihnya lalu menoleh ke Leo. Dia memaksakan senyuman.

Leo mendengus. “Angan-angan yang aneh,” ledeknya. “Dan sebaiknya kamu tidak perlu memaksa tersenyum kalau sedang sedih. Wajahmu jadi... gimana ya bilangnya?”

Ana mendengus. “Jelek maksudmu?” tebaknya.

“Bukan!” Leo buru-buru menyanggah.

Ana tersenyum lebar. “Kamu lucu,” pujinya.

“Makasih,” Leo terkekeh pelan.

Ana menengadah ke langit lagi. “Tapi sebaiknya kamu jangan menilai angan-angan orang lain dengan standarmu,” pintanya dengan suara pelan.

Leo seketika merasa bersalah. Dia hendak meminta maaf ketika Ana berucap lagi.

“Setiap orang berhak punya angan-angan,” kata Ana dengan wajah murung. “Mau bagus, jelek, indah, atau sederhanapun, itu hak setiap orang. Kamu atau orang lain tidak berhak menilai.”

Leo mengangguk sambil menahan sesal. “Benar juga…” ujarnya setuju. Kenapa aku tadi mengejek angan-angannya? Batinnya menyesal.

[Ana… Andai aku tahu angan-angan yang aneh menurutku adalah angan-angan yang tidak akan pernah bisa terwujud di kehidupanmu, aku pasti tak akan meledekmu. Maafkan aku Ana. Maaf karena tak tahu apa-apa soal dirimu...]

~*~

Pernah nggak kalian punya angan-angan yang kata orang itu aneh? Bisa cerita di sini.

Hm, besok lagi deh dilanjutin babnya. Semoga kalian betah baca cerita Leo, Ana, dan Wahyu sampai akhir 😊

Continue Reading

You'll Also Like

3.1M 261K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...
5.7M 243K 56
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
1M 46.2K 41
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...