Memeluk Asa Karya Orina Fazri...

By Orina_Fazrina

550 41 7

Mengisahkan tentang Leo yang jatuh hati pada Ana. Juga segala hal yang mereka lalui selama mereka remaja dan... More

Prolog
2. Angan-Angan Aneh
3. Ada Apa Dengan Masa Lalumu?
4. Suaraku Berharap
5. Kisah Suram

1. Seperti Malaikat

167 10 6
By Orina_Fazrina


Bab 1

Seperti Malaikat

Leo menatap cermin. Merapikan rambut landaknya yang menurutnya sangat cocok dengan wajahnya yang tampan. Dia tersenyum lalu bersiul dengan riang. Jelas saja, karena ini adalah kehidupan sekolah yang baru. Kehidupkan SMA yang sangat diidam-idamkan para remaja apalagi dia. Setelah melewati fase ini, dia akan disebut sebagai pria dewasa. Apalagi banyak ‘tetua-tetua’ yang bilang masa SMA adalah masa yang tak terlupakan.

“Leo?” panggil Laras, mamanya. “Cepat, Nak! Apa kamu mau terlambat di hari pertamamu?” sambung wanita empat puluh tahun yang terlihat lebih muda dari usianya itu, tak kalah semangat dengan anaknya.

“Iya.. Iya…” sahut Leo sambil keluar dari kamar dan mengikuti langkah Laras yang menuju dapur.

Leo menatap sarapan di depannya. Menu nasi goreng kesukaannya. Cepat dia duduk di kursi dan melahap sarapan itu.

“Kamu ini! Seperti tidak pernah makan nasi goring saja!” tegur Laras sambil tersenyum bahagia.

Usai sarapan Leo berdiri dan menyalami Laras. “Leo berangkat, ya…” pamitnya. Lalu mengambil helm dan kunci motornya.

Laras melepas kepergiannya di teras. “Jangan terlalu ngebut!” katanya. Laras tahu anaknya hobi mengendarai motor dengan kecepatan mengerikan.

Leo mengangguk sambil nyengir lebar. Tanda dia hanya mendengarkan permintaan mamanya tapi tak akan menurutinya.

“Leo, dengerin kata-kata Mama!” tegur Laras. Tanpa menyahut Leo langsung tancap gas.

“Anak ini!” geram Laras, lalu masuk ke dalam rumah.

***

Motor bebek Leo berhenti di daerah parkir. Dia melepas helm dan mengunci stang motornya lalu menuju ke koridor sekolah. Dia melihat siswa-siswi yang berseragam putih abu-abu. Senyum Leo mengembang seketika. Pemandangan di hadapannya ini menunjukkan bahwa sekarang dia memang benar-benar siswa SMA. Bahwa dia sudah remaja dan bukan anak kecil lagi.

Leo lalu melanjutkan langkahnya menuju kelasnya. Kemarin dia melihat hasil pembagian kelas yang dibuat sekolah secara acak.

Leo ada di kelas X ruang B. Dia menemukan kelas tersebut di sayap kanan bangunan sekolah ini. Dia masuk. Ternyata para siswa baru di kelas ini sebagian sudah berdatangan, membuat Leo kesulitan memilih tempat duduk.

Seorang laki-laki dengan rambut klimis, dan tampak tidak terpengaruh dengan gaya rambut masa kini –karena cowok itu masih menggunakan belah pinggir, melambai pada Leo. Walau tak kenal Leo mendekat.

“Cari bangku, kan? Ini kosong,” ucap cowok itu. Senyum lebar Leo segera tersungging. Cepat dia duduk.

“Terima kasih,” kata Leo senang. Dia lantas mengulurkan tangan. “Leo, dari SMP Nusa.”

Cowok yang duduk di samping Leo tersenyum dan menyambut uluran tangannya. “Joko, dari SMP Bima.”

“Nggak nyangka sepagi ini udah banyak yang masuk…” ujar Leo.

“Hm-mm,” Joko mengiyakan dengan gumaman. “Mungkin terlalu semangat memulai sekolah baru,” tebaknya.

Leo tertawa. “Aku salah satunya.”

Joko ikut tertawa. “Aku tidak. Habisnya, harus belajar lagi.”

Leo meninju bahu teman sebangkunya itu dengan pelan. “Itu memang tugas kita, kan? Sebagai pelajar Indonesia yang baik dan benar,” timpalnya sambil bercanda.

Joko mengangkat bahu dengan wajah manyun. “Kata ibuku juga begitu…”

“Hei… santai sedikit,” bujuk Leo. Dia merangkul bahu Joko seraya berkata, “Kita harus menikmati masa-masa ini! Kelak kita pasti merindukannya.”

Joko mengangkat bahu. Tak terlalu sependapat dengan ucapan Leo barusan. “Kamu kedengaran seperti orang tua…” gumamnya dan langsung mendapat pukulan dari Leo.

“Itu kenyataan yang nggak bisa kamu tolak,” sungut Leo.

“Sudahlah… Untuk apa kita mendebat ini?” Joko mengangkat tangannya tanda menyerah. Leo mengangguk dan mereka mengganti topik pembicaraan dengan kartun kesayangan mereka.

Tak berapa lama, seorang pria berusia sekitar empat puluhan bersama kacamata tebal menggantung di hidungnya masuk ke kelas. Kegaduhan yang tadi memenuhi kelas sirna seketika.

“Pagi anak-anak?” kata pria itu.

“Pagi, Pak!” sahut siswa di dalam, kompak.

“Perkenalkan, nama Bapak Wagimin. Bapak wali kelas kalian. Yang ikut MOS kemarin pasti kenal dengan saya.”

Beberapa siswa langsung mengiayakan.

Pak Wagimin tergelak. “Baiklah, apa kalian sudah saling mengenal teman sekelas kalian?”

“Belum semua, Pak!” teriak Joko kencang. Akibatnya seluruh siswa menoleh ke arah Joko. Yang ditoleh hanya menyunggingkan senyum lebar.

“Belum ya. Baik, kalau begitu, kita akan saling memperkenalkan diri. Mulai dari kamu, yang di pojok sana.” Pak Wigimin menunjuk seseorang siswi yang ada di pojok kanan.

Siswa-siswi mulai memperkenalkan diri. Leo memperhatikan mereka yang memperkenalkan dirinya sambil lalu. Ada beberapa yang menurut Leo masuk dalam daftar teman yang tidak disukainya karena nada suara terdengar sombong, atau langsung blak-blakan memamerkan kelebihan dan prestasi mereka.

***

Leo pulang ke rumah dengan wajah cerah. Laras yang sedang duduk di ruang tengah memandang heran.

“Sepertinya hari ini berjalan menyenangkan,” teguran Laras menghentikan langkah Leo.

“Ah, Mama.”

“Mau cerita sama Mama?” tanya Laras penuh harap. Semenjak menginjak remaja anak satu-satunya ini jadi jarang bercerita sesuatu lagi padanya.

Leo menggeleng. “Nggak ada yang perlu diceritain. Leo cuma senang karena sudah dapat teman baru, hehe…”

“Mama cuma berharap kamu nggak berteman dengan anak-anak nakal.”

“Iya-iya…” kata Leo lalu masuk ke kamarnya.

***

Hari pertama Leo sudah akrab dengan beberapa teman sekelasnya. Terutama teman sebangkunya, si rambut klimis dan yang di belakangnya, memakai kacamata minus dengan rambut ikal dan berkulit lebih putih dari mereka bernama Andre.

Di hari kedua ini kelas sudah mulai aktif belajar.

Leo mensejajari langkah Andre dan Joko yang terus melintasi koridor menuju ruang seni. Mereka masuk ke dalamnya dan langkah mereka terhenti tepat di dikursi kosong yang ada di bagian depan kelas.

“Hei, ingat nggak siapa cewek berambut lurus di sana?” tanya Joko sambil menyikut lengan Leo yang kebetulan tepat di sampingnya. Leo dan Andre menoleh ke arah cewek yang dimaksud.

Cewek itu memiliki mata yang bulat, hidung yang sedikit mancung, alis yang tebal, bulu mata lentik, dan berkulit putih. Cewek itu sedang tertawa bersama teman-temannya yang lain. Baru kali ini Leo melihat cewek cantik mau bergaul dengan orang yang bisa dikatakan tidak cantik. Bahkan kulit mereka jauh lebih hitam dari gadis itu, dan terkesan dari orang kelas menengah ke bawah. Saat itu juga Leo menilai bahwa cewek itu tidak hanya cantik diluar tapi juga cantik di dalam. Entah apa yang dibicarakan mereka, karena mereka serempak tertawa.

Leo tersenyum melihat pemandangan itu. Senyumnya mengembang lebar saat cewek putih itu tersenyum dengan manis. Ada lesung pipit di pipi kanannya. Tapi… kenapa Loe merasa tawa gadis itu tidak sungguh-sungguh? Terkesan ada banyak hal yang dia sembunyikan dari tawanya itu.

Hei, Leo, sejak kapan kamu jadi sok tahu? Tegur hati Leo. Kaget dengan tingkahnya sendiri yang mendadak sok tahu.

“Woi! Ingat namanya nggak?” tegur Joko yang merasa pertanyaannya diabaikan.

Andre mengurut dada karena terkejut. Cowok yang terkesan pintar dari luar itu menggeleng sebagai jawaban.

“Santai friend… Dia kan yang dipilih Pak Wagimin jadi ketua kelas kita gara-gara dapat nilai tertinggi untuk masuk ke SMA ini,” sahut Leo dengan nada tak suka sambil mengusap telinganya.

Joko mengangguk-anggukkan kepalanya. Senang akhirnya ada yang menjawab pertanyaannya itu.

Leo menatap Joko. “Memang kenapa?” herannya.

“Kau pasti nggak ikut MOS,” simpul Joko dengan yakin.

Leo dan Andre cuma nyengir kuda.

Joko berdecak meremehkan. “Sekedar informasi nih, cewek itu namanya Ana. Dia itu cewek hebat.” Dia menerangkan dengan penuh semangat, seolah mendapat info penting, “Sudah nilainya yang paling tinggi saat seleksi ke SMA ini, cantik, baik, dan kakak tingkat cowok banyak yang suka sama dia. Apalagi waktu dia nyanyi, suaranya merdu banget! Dia juga loh yang dapat predikat paling disukai temen-temen dan kakak tingkat!” lanjutnya menggebu.

Leo manggut-manggut. Diliriknya cewek itu lagi. Benarkan dugaanku, dia popular… bisik hatinya penuh kemenangan karena tak salah menilai.

Mereka telah duduk di bangku kosong itu. Mereka terus mendiskusikan Ana sampai akhirnya Leo bosan sendiri. Dia memilih bersandar di kursi dan melipat kedua tangannya di dadanya. Dalam hati dia berdoa semoga guru segera datang agar cerita tentang Ana segera berakhir.

Untungnya doa Leo dikabulkan. Guru yang mengasuh mata pelajaran seni suara ini telah datang.

Leo awalnya berpikir, cerita tentang kehebatan cewek itu akan terhenti, namun ternyata, gurunya itu malah membahas betapa merdunya suara Ana.

Leo memilih memainkan pena. Tak ada yang sempurna, Kawan… batinnya.

Lalu… sorakan membahana di ruang seni itu. Leo melihat ke samping dan mendapati Ana sedang berjalan ke depan. Pak guru yang mengasuh bidang studi ini tampak duduk di depan piano.

Seperti ada angin yang menari-nari di hati Leo ketika Ana mulai menyanyikan lagu Agnes Monica ‘Tanpa Kekasihku’. Merdu sekali. Tanpa Leo sadari dia menjadi bagian dari seluruh siswa yang terpesona.

***

Jam pulang, sebelum Leo melanjutkan ke aktivitas mencari ekskul yang cocok untuknya, dia ingin ke kantin dulu. Lapar. Di depannya dia melihat sosok Wahyu, teman sekelasnya. Leo cepat-cepat menyusul. “Mau ke kantin juga?” tanyanya.

Wahyu menunjukan tatapan dinginnya. “Bukan urusanmu!”

Leo terdiam untuk beberapa saat. “Eh, tahu yang jadi ketua kelas kita itu nggak?” Dia yakin topik ini menarik untuk di bahas karena sebagian besar siswa suka sekali dengan Ana. Siapa tahu pembicaraan dengan cowok dingin ini jadi lancar.

“Oh, Ana. Kenapa?” sahut Wahyu. Masih dengan nada dingin yang sama.

“Nggak apa-apa,” jawab Leo. “Kamu kayak yang lain juga, ya? Suka dengan Ana?” pancingnya.

“Nggak. Benci malah! Lihat dia ketawa rasanya mau muntah!” jujur Wahyu tanpa melihat ke arah Leo yang syok.

Ah… salah topik kayaknya… batin Leo. Dia jadi urung untuk bertanya lagi.

Tepat saat itu sosok Ana melintas. Langkah Leo langsung terhenti. Ana yang kebetulan melihat ke arahnya tersenyum manis. Leo membalas senyuman itu dengan ragu.

Kayaknya dia suka tebar pesona deh… pantas saja kakak tingkat cowok pada suka! Leo kembali menilai.

Ana mendekat. “Kamu ikut ektrakurikuler juga?”

Leo terkejut. Ada nada ramah di dalam suara Ana. “Mmm…” gumam Leo sambil menggeleng.

“Oh…” Ana memandang Leo. “Kamu cukup tinggi. Cocok kalau ikut basket,” usul Ana sambil tersenyum lembut.

Leo tersenyum sinis. “Apaan tuh ‘cukup’! Aku 170 cm tahu!”

Ana tertawa pelan mendengar protes Leo. “Tahu kok. Lihat aja, aku lebih pendek dari kamu, kan?” sahutnya mengalah. Masih dengan wajahnya yang ramah.

“Bukan aku loh yang bilang ‘pendek’!” Leo tersenyum penuh kemenangan. Kayaknya dia menyenangkan juga, batinnya. Lagi-lagi angin seperti menari-nari di hatinya.

“Aku pulang duluan ya. Dah…” pamit Ana.

Leo terdiam cukup lama hingga kahirnya, “Na?” panggilnya.

Ana berhenti dan berbalik. “Apa?”

Leo salah tingkah. “Anu… Mmm… Hati-hati!” usai mengatakan itu wajah Leo memerah. Ada apa denganku? Batin Leo panik.

Senyum lembut Ana mengembang. “Kamu juga.” Ana berbalik lagi dan mulai melangkah.

“Daaahh!” teriak Leo sambil melambaikan tangan.

Ana berbalik lagi. Dia membalas lambaian Leo sambil melangkah menjauhi cowok itu.

Leo tersenyum lebar hingga sosok Ana menghilang dari pandangannya. Dia lalu memandang lurus koridor yang dilaluinya. Mencari sosok Wahyu. Namun dia tak menemukannya. Akhirnya Leo memutuskan untuk ke kantin saja sendirian.

***

Leo baru pulang sekolah setelah makan di kantin. Dia menaiki motornya dan mengendara dengan santai. Tak sengaja matanya menangkap sosok yang ia kenali. Sosok cantik bernama Ana. Cewek itu tampak menolong seorang nenek menyeberang jalan dan membantu membawakan bawaan nenek itu.

Leo tersenyum. Dia menyadari kebaikan Ana dari senyum lembut yang cewek itu suguhkan. Gadis yang baik hati.

Leo terus memperhatikan. Kali ini Ana dihampiri pengemis kecil. Kalau Leo ada di sana, sudah pasti dia akan mengusir pengemis itu. Habisnya, pengemis jaman sekarang tidak ada yang bisa dipercaya. Tapi, Ana, dia malah menyentuh luka-luka di tangan pengemis kecil itu, lalu setelah itu mengajaknya ke sebuah warung. Ana tampak membeli makanan di warung itu. Mereka duduk di sana dan tampak pelayan membawa teh. Tak berapa lama makanan datang.

Leo terkesiap karena yang makan bukanlah Ana, tapi si pengemis tadi. Usai makan, Ana mengelus kepala pengemis kecil itu dan mengajaknya berjalan ke... Apotik?!

Leo terus mengamati. Ana tampak membeli beberapa obat. Lalu menyerahkannya pada pengemis kecil itu dengan senyum hangat menghiasi bibirnya.

Leo terheran-heran sekaligus kagum. Dia kembali mengikuti Ana, tapi, sosok itu naik ke bus dan menghilang. Dalam hati Leo akan menanyakannya besok pada Ana.

***

Pagi hari yang dinanti Leo dengan tidak sabar akhirnya tiba juga. Bayangkan saja, semalaman dia hampir tak terpejam mengingat kebaikan Ana, si malaikat berwujud manusia.

Leo lekas mandi, mempersiapkan diri dan keluar kamar.

Laras yang baru mau mengetuk pintu kamar Leo terkejut melihat anaknya sudah siap. “Tumben…” tegurnya.

Leo cuma tersenyum sambil buru-buru menuju meja makan. Sarapan kali ini osengan wortel campur tahu, kesukaan Leo juga. Dia memakannya dengan cepat. Pikirannya sudah sangat ingin bertanya langsung pada Ana.

“Ma, Leo berangkat,” pamitnya. Belum sempat Laras menjawab Leo sudah melesat ke motornya.

Tiba di sekolah, kelas masih sepi, tapi sosok Ana sudah ada di kursinya. Agak gelisah Leo duduk di kursinya. Tadi semangat untuk bertanyanya sudah 100 persen tapi kini menguap gara-gara gugup.

Jengah dengan rasa gelisah itu, akhirnya Leo mengalah. Dia berjalan mendekati kursi Ana. “Hai!” sapanya kaku.

Ana yang tadi membaca bukunya mendongak. “Hai!” balasnya hangat.

Leo duduk di kursi depan. “Umm… boleh tanya sesuatu?”

Ana memiringkan kepalanya. “Tanya apa?”

“Um… Begini… Aku melihatmu kemarin menolong dua orang. Satu nenek-nenek dan satunya seorang pengemis kecil.”

Mata Ana menyiratkan keterkejutan. “Kamu membuntutiku?”

Leo buru-buru menggeleng. “Tidak… Tidak! Kebetulan lewat saja, dan melihatmu,” jelasnya singkat. “Kembali ke pertanyaanku tadi. Kalau nenek-nenek, aku mengerti. Tapi… pengemis? Apa kamu tidak takut ditipu?”

Kening Ana mengeryit. Meski begitu dia menaruh buku yang dia pegang dan menatap Leo dengan lebih serius lagi.

“Maaf kalau aku lancang bertanya. Tapi… masalah ini menggelisahkanku, entah kenapa. Tidakkah kamu berpikir itu tipuan? Luka-lukanya… wajah memelasnya…”

“Kenapa begitu curiga?” tanya Ana dengan suara lembutnya. “Lagipula, aku sudah memastikannya. Lukanya sangat nyata. Jadi kutolong. Lagipula menolongnya tak akan membuatku miskin.”

Leo tertawa malu. Di hatinya tersimpan kekaguman baru pada sosok Ana. “Benar juga. Coba aku bisa melakukannya sepertimu. Aku sering berpikir begitu, hanya berpikir, tanpa bisa melakukannya. Karena pikiran sedikit uangku, ditambah sedikit uang dari orang lain, bukankah itu akan jadi banyak? Untung sekali dia. Begitu pikirku selama ini,” tuturnya.

Ana bersandar di kursinya dan tersenyum sangat lembut. Dada Leo berdesir karena senyuman itu.

“Yah… kadang pikiran buruk memang sering berkuasa. Tapi, aku membiasakan diri melawannya,” ujer Ana tenang.

“Bagaimana caranya?” Leo tampak antusias.

“Dengan memikirkan aku yang jadi pengemis itu. Bagaimana perasaannya kalau tidak dipercayai dan diusir. Setidaknya, agar yakin pengemis itu bukan penipu, aku memberi apa yang dia butuhkan. Kalau dia lapar, aku memberinya makan. Kalau dia haus, aku memberinya minuman. Kalau perlu obat, selagi aku bisa akan kubelikan dia obat. Kalau harus memeriksakan anaknya ke dokter, akan kubawa dia ke dokter. Yah… selagi aku masih bisa tentunya.”

Mata Leo berbinar. Kekaguman Leo makin besar, “Woa… aku tak pernah berpikir sepertimu.” Leo tak menyangka Ana benar-benar cantik diluar sekaligus di dalam.

Ana tersenyum. Leo membalas senyuman itu dengan senyum makin lebar.

[Ada rasa hangat di hati saat tahu betapa pedulinya dia pada orang lain. Ana… kamu telah mengajarkan sesuatu yang baru padaku. Kamu benar-benar seperti malaikat Ana. Malaikat cantik berwujud manusia dan bernama Ana.]

***

Leo jadi sering senyum sendiri di rumah. Dia terus saja teringat dengan sosok Ana. Senyumanya, suaranya, tawanya, kebaikannya, dan tingkah Ana lainnya.

Laras dan suaminya yang sedang menonton berita di televisi saling pandang dan tersenyum curiga.

“Ada yang istimewa hari ini?” tegur Laras.

Leo yang sejak tadi hanya duduk sambil tersenyum tidak jelas menoleh kaget. “Hehe…” dia tertawa gugup.

Laras memandang penuh selidik sambil memajukan tubuhnya. “Anak Mama sudah mulai besar nih…” godanya.

Leo tersipu. “Memang Leo sudah besar kok.”

Laras tersenyum penuh arti. “Kamu lagi mikirin cewek, kan?”

“Ng-Nggak!” sahut Leo panik. Lalu cepat-cepat pergi ke kamarnya. Kenapa Mama tahu? batinnya heran.

***

Karena kejadian saat pulang sekolah itu, Leo juga tak pernah bisa konsentrasi pada pelajaran. Ia selalu saja terbayang tentang segala hal tentang Ana.

Leo melirik Ana bagai sebuah kebiasaan. Ana yang merasa diperhatikan menoleh. Lalu tersenyum pada Leo dengan lembutnya.

Rasanya… kali ini bukan angin yang berputar-putar di hatinya, tapi kupu-kupu. Leo jelas menikmatinya. Jadi ini ya yang dinamakan suka? Batinnya.

[Inilah aku, Leo Pradinanta. Untuk pertama kalinya di usiaku yang ke-15, aku menyukai seorang gadis popular nan ramah dan baik hati bermana Ana.]

~*~


Ide cerita ini muncul saat aku selesai membaca komik Here We Are karya Obata Yuuki  sama novel 17th Years of Love Song karya kak Orizuka. Suka banget soalnya sama ceritanya. Dan pengen juga bikin cerita seperti itu.

Kalimat yang menginspirasi banget adalah "Dia baru 15 tahun. Kenapa derita yang ditanggungnya harus lebih besar dari tubuhnya?"

Pas nemu kalimat itu, aku langsung kepikiran deh penderitaan apa. Kalian bisa nebak nggak?

Well, cerita ini mungkin tak akan selucu atau semanis karya lain. Meski begitu, aku harap kalian tetap menikmatinya hingga akhir. 😊

Hm... Segini dulu, ya. Salam kenal dari Leo dan Ana. 😉


Continue Reading

You'll Also Like

1M 46.2K 41
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...
ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

2.2M 116K 59
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
9.7M 183K 41
[15+] Making Dirty Scandal Vanesa seorang aktris berbakat yang tengah mencapai puncak kejayaannya tiba-tiba diterpa berita tentang skandalnya yang f...
13.3M 1.1M 81
♠ 𝘼 𝙈𝘼𝙁𝙄𝘼 𝙍𝙊𝙈𝘼𝙉𝘾𝙀 ♠ "You have two options. 'Be mine', or 'I'll be yours'." Ace Javarius Dieter, bos mafia yang abusive, manipulative, ps...