Mantan Rasa Pacar [END]

By Arinann_

1.3M 85.6K 1.3K

[NEW COVER] Kisah antara Arkano Alfarezi Prasaja, si anak badung yang menjadi juara Olimpiade Matematika deng... More

Arkano Alfarezi Prasaja
Naura Salsabila Azzahra
Chapter 1: Mantan
Chapter 2: Mie Ayam
Chapter 3: Wawancara
Chapter 4: Pacar Baru Arka?
Chapter 5: Kesialan dan Kesalahpahaman
Chapter 6: Toko Buku
Chapter 7: Razia Dadakan
Chapter 8: Arka yang Sebenarnya
Chapter 9: Berantem
Chapter 11: Minta Bantuan
Chapter 12: Tragedi Foto
Chapter 13: Bertemu di Taman
Chapter 14: Keputusan
Chapter 15: Toko Buku 2
Chapter 16: Arka-Naura-Fiko
Chapter 17: Kerja Bakti
Chapter 18: Fakta yang Belum Terungkap
Chapter 19: Kejujuran
Chapter 20: Before-After UAS
Chapter 21: Class Meeting
Chapter 22: Keributan
Chapter 23: Flashback
Chapter 24: Membaik
Chapter 25: Kepastian
Chapter 26: Papa
Chapter 27: Gramedia Date
Chapter 28: Rapot
END: Jawaban Pertidaksamaan
Extra Chapter
APA KATA WATTPADERS?

Chapter 10: Kejutan

29.8K 2.7K 60
By Arinann_

Hening. Naura dan Natasya masih tidak mau mengeluarkan suaranya membuat Bu Hesty merasa geram.

"Jadi, apa yang membuat kalian bertengkar?" tanya Bu Hesty sekali lagi.

Mereka masih tidak mau menjawab. Bu Hesty menghela napasnya. Matanya menatap bergantian Naura dan Natasya yang duduk berdampingan di hadapannya. Sudah sekitar sepuluh menit sejak mereka sampai ke ruang penuh poin keburukan itu, tetapi tak ada tanda-tanda kedua siswi itu bersuara.

"Mau sampai kapan kalian berdua tutup mulut? Jika kalian tidak menjawab, Ibu akan tambah poin kalian menjadi dua kali lipat!"

Naura tersentak. "Jangan, Bu." Bu Hesty menatap Naura.

"Tadi Natasya duluan, Bu. Dia jambak rambut saya," ucap Naura.

Natasya tidak terima mendengar pengakuan Naura itu. "Kok gue, sih!"

"Loh, emang benar, kan? Tadi juga ngata-ngatain aku di depan teman-teman satu kelas. Udah jelas di sini kamu yang salah!"

"Lo-,"

Bu Hesty menepuk-nepuk mejanya. "Stop! Stop! Kenapa kalian jadi ribut lagi, sih?"

Naura dan Natasya saling melemparkan pandangan sinis.

Bu Hesty mengeluarkan catatan hitam yang biasa ia gunakan untuk menulis poin. "Sekarang kalian saling meminta maaf. Naura, minta maaf ke Natasya dan begitu sebaliknya," titah Bu Hesty.

"Dikira lagi lebaran apa, maaf-maafan," gerutu Natasya yang masih bisa didengar oleh Bu Hesty.

Bu Hesty menatap tajam Natasya. "Jika kalian tidak mau. Ibu akan menambah poin kalian menjadi tiga kali lipat!"

Naura meremas celana olahraganya dengan erat. Ia mencoba bersabar menghadapi Bu Hesty.

Poin, poin, dan poin. Selalu itu yang digunakan Bu Hesty untuk mengancam murid-muridnya.

"Bagaimana?"

Naura dan Natasya kompak menghela napas. Mereka pun dengan terpaksa berjabat tangan. Tida ada kata maaf yang terlontar dari kedua mulut gadis itu.

"Sudah, Bu. Sekarang sudah boleh keluar kan, Bu?"

Bu Hesty menggeleng. "Belum. Masih ada satu masalah lagi yang harus kita selesaikan."

Naura mengerutkan dahinya.

"Natasya, kamu harus jelaskan kepada ibu. Kenapa kemarin kamu memasukkan alat-alat make up itu ke dalam tas Naura?"

Naura tersentak. Dengan refleks, ia menoleh ke arah Natasya. Melihat gadis itu yang terdiam kaku. Naura tidak menyangka jika ternyata pelakunya adalah gadis di sampingnya.

***

Arka menghentikan sepeda motornya di depan rumah bernuansa Jogja. Rumah yang didominasi dari kayu jati serta bata merah sebagai dinding itu terlihat sederhana namun elegan. Beberapa pohon bongsai serta beberapa jenis tanaman senantiasa menghiasi halaman rumah membuat suasana di sana terasa asri dan sejuk.

Setelah melepas helmnya dan maletakkannya pada spion motor, Arka lantas turun. Arka melangkahkan kakinya menuju teras rumah. Sebelum masuk, ia melepas sandal yang dipakainya terlebih dahulu dan meletakkannya di rak yang ada di sana.

"Mas Arka!"

Arka yang hendak masuk ke dalam rumah seketika berhenti. Kepalanya menoleh ke belakang. Indra penglihatannya menemukan seorang pria paruh baya yang membawa sebuah sabit di tangannya berlari terpogoh-pogoh menghampiri dirinya.

Dia Pak Ujang, petugas kebersihan taman sekaligus suami dari Bi Lastri—pembantu di rumah Arka.

"Ada apa, Pak Ujang?" tanya Arka.

Pak Ujang menetralkan napasnya terlebih dahulu sebelum menjawab. Arka yang melihat raut wajah kelelahan Pak Ujang seketika terkekeh. Raut wajah Pak Ujang terlihat lucu.

"Pak Ujang, sih, pakai acara lari-lari segala. Jadi capek, kan? Untung enggak sesak napas," ucap Arka.

"Hampir sesak napas, nih, Mas." Pak Ujang mengusap peluh yang ada di pelipisnya. "Mas Arka tadi dari mana saja? Tadi dicariin sama Bapak sebelum berangkat ke kampus. Bapak tadi hampir marah-marah tau Mas Arka enggak ada di rumah. Pak Ujang jadi kena omelannya Bapak. Mas Arka pergi kemana, toh?" ucap Pak Ujang.

Arka mendengus geli mendengar apa yang dikatakan Pak Ujang. Sudah Arka tebak, papanya pasti akan marah-marah jika tau dirinya kabur dari rumah.

"Mas Arka jangan pergi lagi. Kata Bapak disuruh di rumah saja. Nanti jam sembilan ada guru les privat yang mau datang, Mas. Pak Ujang dikasih tugas buat ngawasin Mas Arka."

Arka menghela napasnya.

Pak Ujang memegang sabit dengan erat. Matanya menatap harap pada Arka. Pria yang sudah bekerja selama bertahun-tahun itu tau dengan pasti jika anak dari majikannya itu merasa keberatan. Namun, perintah Pak Prasaja tidak bisa dibantah.

"Mas Arka di rumah saja, ya. Sekali ini saja bantu Pak Ujang. Pak Ujang ndak mau dimarahin sama Bapak."

Arka ingin menolak. Rasanya ia tidak betah jika setiap hari dirinya harus berdiam diri di rumah. Namun saat melihat raut wajah Pak Ujang juga akibat yang diterima Pak Ujang jika ia tidak menuruti papanya, Arka merasa kasihan dan merasa bersalah kepada Pak Ujang. Mau tidak mau, Arka pun akhirnya menganggukkan kepalanya.

"Iya, Pak Ujang."

***

Berkali-kali Naura mencoba fokus pada materi yang tengah disampaikan oleh Pak Somad. Tapi sayangnya, fokus Naura terus berkeliaran keluar.

"Bu, kalau boleh saya tau, orang yang mengirim video pada ibu itu siapa?"

"Faradisa, anak kelas sepuluh MIPA 2."

Faradisa. Naura yakin seratus persen Faradisa yang dimaksud oleh Bu Hesty adalah Disa. Karena hanya dia yang memiliki nama Disa di kelas sebelah. Namun, yang sedari tadi Naura pikirkan adalah bagaimana bisa Disa mendapatkan video itu. Mengapa sikap Disa terhadapnya tiba-tiba berubah. Dalam arti, gadis itu mau membantunya dalam menghapus poin razia kemarin.

Naura bukannya tidak tau terima kasih. Hanya saja, ia merasa aneh. Seorang Disa yang tak pernah akur dengannya tiba-tiba saja membantu dirinya.

"Jangan lupa untuk tugas kelompok membuat makalah, besok harus sudah dikumpulkan di meja Bapak. Untuk bendahara kelas segera menarik uang pembayaran buku LKS. Sekian untuk pertemuan hari ini. Bapak akhiri, assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh! Terima kasih, Pak, ilmunya!" serentak murid menjawab. Pak Somad pun kemuadian keluar dari kelas.

Naura menegakkan tubuhnya. Kepalanya menoleh ke arah Lala. "Udah bel istirahat?" tanyanya.

Lala mengangguk. "Udah dari tadi kali, Ra," jawabnya sembari memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Lala menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kamu, sih, dari tadi ngelamun terus. Lagi mikirin apa, sih? Heran deh aku. Masalah kamu sama Natasya tadi? Bukannya udah clear, ya? Kata kamu poin razia kemarin udah dihapus sama Bu Hesty dan giliran Natasya yang dapat poin," cerocos Lala.

Naura membereskan buku-bukunya. "Bukan itu," ucap Naura.

"Terus?"

Naura menatap lurus Lala. "Kamu pasti enggak akan percaya sama apa yang akan aku bilang."

Lala menyerngitkan dahinya. Suasana di sekitar mereka tiba-tiba berubah menjadi sedikit serius. Lala mendekatkan kepalanya ke arah Naura. Seketika ia merasa penasaran. "Apa?"

Tidak ingin orang lain ikut mendengar Naura lantas berbisik di telinga Lala. Raut wajah Lala menunjukkan bahwa ia semakin penasaran. Beberapa detik kemudian, gadis berkepang itu memekik terkejut.

"What! Beneran dia itu Dis-"

"Shuut! Jangan keras-keras, Lala. Nanti Natasya bisa dengar. Bu Hesty bilang jangan sampai ada orang lain yang tau. Aku cuma kasih tau ke kamu."

Lala menutup mulutnya. "Maaf." Lirihnya. "Tapi itu beneran Disa?"

Naura mengangguk. "Bu Hesty sendiri yang bilang dan enggak mungkin juga kan kalau Bu Hesty bohong."

"Iya, sih."

"Tapi aku masih agak enggak percaya juga."

"Terus kamu mau gimana?"

Naura terdiam sejenak. Tak lama ia pun kemudian beranjak dari duduknya.

"Kamu mau kemana?" tanya Lala.

"Aku mau ke tempat Disa."

***

Rebahan, main game, makan camilan, ke kamar mandi, rebahan lagi, main HP, dan terus kembali pada rutinitas yang sama. Arka bosan. Laki-laki itu membanting ponselnya di kasur lantas mendesah kesal.

Arka beranjak dari tempat tidurnya. Langkahnya tergerak menuruni tangga rumah lalu berbelok ke arah dapur. Di sana, ia melihat ada Bi Lastri yang tengah mencuci piring.

"Mas Arka mau makan? Bibi habis goreng kerupuk tadi," ucap Bi Lastri yang melihat Arka yang berjalan menuju lemari es.

Arka menggeleng. "Enggak, Bi. Nanti aja. Arka belum lapar," ucapnya.

Bi Lastri mengangguk. Arka membuka lemari es. Awalnya, ia hanya ingin mengambil air dingin, tetapi saat ia melihat ice cream rasa coklat pada freezer, Arka lantas mengambilnya. Arka membuka bungkus ice cream itu lalu memakannya. Tepat saat dirinya ingin berbalik menuju kamar, suara bel rumah berbunyi.

Bi Lastri yang mendengar itu lantas segera membersihkan tangannya yang dipenuhi busa. Wanita paruh baya itu hendak berjalan menuju pintu utama, tetapi segera dicegah oleh Arka.

"Bibi di sini aja. Selesaiin cuci piringnya. Biar Arka yang buka pintunya," ucap Arka.

"Oh ya, Mas."

Arka melangkahkan kakinya menuju pintu utama. Sekilas, ia melihat jam dinding yang ada di sana menunjukkan pukul dua belas lebih lima belas menit. Sudah sekitar empat jam Arka menghabiskan waktunya di kamar. Ternyata guru les privat yang katanya ingin datang pukul sembilan tidak menampakkan batang hidungnya.

Bel rumah sekali lagi berbunyi. Membuat Arka semakin mempercepat langkahnya. "Iya, sebentar!"

Sampai di depan pintu, Arka pun segera membukanya. Arka terkejut saat melihat sosok yang berdiri di hadapannya itu.

"Mas Nara?" ucap Arka.

Terlihat sekali jika Mas Nara sama-sama terkejut melihat Arka berdiri di hadapannya.

"Arka?"

Arka menggigit sedikit ice cream-nya. "Mas Nara ngapain ke sini? Kok tau rumahku?"

Mas Nara mengerutkan dahinya. "Loh, bentar. Ini rumah Pak Prasaja, kan? Dosen-"

Mas Nara tak melanjutkan ucapannya saat melihat Arka menganggukkan kepalanya. Mas Nara melototkan matanya.

"Kamu anaknya Pak Prasaja?" seru mahasiswa itu.

Seolah tersadar, Arka ikut membulatkan matanya.

"Loh? Jangan bilang Mas Nara guru les privatnya?"

***

"Naura. Tunggu!"

Teriakan Lala yang terdengar di penjuru koridor itu mampu menghentikan langkah Naura. Naura menolehkan kepalanya ke belakang. Pandangannya seketika menemukan sosok sahabatnya yang tengah berlari menyusul dirinya.

"Ada apa?" tanya Naura setelah Lala sampai di sampingnya.

"Ikut," jawab Lala.

Naura mengangguk. "Yaudah ayo."

Mereka pun lantas kembali berjalan menuju kelas MIPA 2.

"Ra, kamu yakin kalau orangnya itu Disa? Aku enggak yakin deh. Kamu sama Disa kan enggak akur. Masa dia mau bantuin kamu sih? Enggak masuk akal tau enggak.." ucap Lala.

Naura sebenarnya juga berpikir seperti itu. Tapi...

"Eh, Ra. Itu Disa," tunjuk Lala ke arah lapangan sekolah. Naura mengikuti arah pandang Lala. Matanya menangkap Disa yang tengah berdiri di pinggir lapangan bersama Widya, salah satu anak Sepuluh MIPA 2 yang dikenal sedikit nerd. Naura dan Lala pun berjalan menuju lapangan.

"Disa," panggil Naura. Disa pun menolehkan kepalanya. Raut wajah yang tadinya tampak ceria karena tengah bercanda dengan Widya lantas berubah. Sorot matanya terlihat malas melihat Naura.

"Aku mau bicara sesuatu sama kamu."

Widya yang merasa penasaran lantas memposisikan dirinya di samping Disa.

"Apa?" tanya Disa.

"To the point aja. Benar kamu yang ngirim video itu ke Bu Hesty?"

Sekilas dapat dilihat Widya terkejut mendengar ucapan Naura. Gadis nerd itu dengan refleks menatap Disa.

Disa menatap lurus ke arah Naura. Gadis itu terdiam beberapa detik sebelum menjawab. "Tau dari mana kamu kalau aku yang ngirim?"

"Bu Hesty."

"Dis," bisik Widya memegang tangan Disa.

Lala mengerutkan dahinya melihat Widya. Ia merasa ada yang aneh dengan gadis itu. Kenapa Widya seperti merasa takut?

Disa tak menghiraukan Widya.

"Makasih, Dis," ucap Naura

"Untuk?" tanya Disa tak mengerti.

"Karena kamu udah bantuin aku. Makasih udah nunjukin video itu ke Bu Hesty."

Disa menyunggingkan salah satu sudut bibirnya.

"Aku enggak butuh makasih dari kamu."

Naura dan Lala tertegun. "Maksud kamu?"

Disa membuang pandangannya. "Jadi orang enggak usah kepedean, deh. Aku enggak pernah ada niatan buat bantuin kamu."

Naura tak mengerti apa maksud Disa.

"Tapi-"

"Video itu bukan aku yang punya. Tapi Widya. Dia yang rekam semua kejadiannya."

Naura dan Lala menatap Widya. Sedangkan gadis yang yang tengah menjadi pusat perhatian itu menundukkan kepalanya.

"Widya?"

Disa menoleh ke samping. "Kamu aja yang jelasin ke dia. Aku masih ada urusan, Wid. Aku pergi dulu."

Setelah mengucapkan itu, Disa pun melepaskan genggaman Widya dan berlalu dari sana.

Dia?

Naura berdecak. Ia sedikit tersinggung mendengarnya.

"Jadi kamu, Wid, yang punya video itu?" tanya Lala yang sudah kepalang penasaran.

Widya mendongak. Perlahan ia kemudian mengangguk. "Iya."

"Kok Bisa?"

Widya menghela napasnya. "Jadi, ceritanya kemarin sebelum bel istirahat aku ijin ke toilet. saat aku jalan di depan kelas kalian aku lihat Natasya jalan ke bangku depan sambil bawa barang-barang itu. Kabar kalau ada razia dadakan udah tersebar. Aku curiga Natasya mau nyembunyiin barang-barang itu ke tas orang lain. Jadi, aku rekam kejadian itu dan bilang ke Disa. Ternyata benar, kata Disa itu tas kamu. Akhirnya aku minta tolong Disa untuk ngelaporin itu ke Bu Hesty," jelas Widya.

Lala berpikir sejenak. "Terus kenapa tadi kamu kaya takut gitu Naura tau?"

Widya mendongak. Ah, ternyata Lala memerhatikan dirinya.

Widya menghela napasnya. "Sebenarnya Disa dan Bu Hesty sudah janji enggak akan bilang ke orang lain mengenai siapa yang ngelaporin Natasya. Tapi, ternyata Bu Hesty kasih tau ke Naura. Aku takut kalau Natasya juga tau pasti dia... Aku..." Widya tak melanjutkan ucapannya. Tetapi Naura dan Lala sama-sama paham.

Naura memegang tangan Widya. "Udah, kamu tenang aja. Bu Hesty enggak akan bilang ke Natasya kok. Aku yakin."

Widya menatap Naura. "Makasih Naura."

Naura tersenyum. "Aku yang harusnya bilang makasih ke kamu. Makasih, Wid. Secara enggak langsung kamu udah bantuin aku dari poin razia kemarin."

Widya ikut tersenyum. "Iya sama-sama, Ra."

***

Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore. Sudah sekitar tiga jam Arka belajar dengan Mas Nara. Namun, mereka belum selesai.

Banyak sekali materi pelajaran yang harus dipelajari oleh Arka. Baik itu dari semester ganjil atau genap. Namun, yang lebih diutamakan hari ini adalah materi-materi semester genap.

"Oksidasi reduksi sebagai reaksi penggabungan dan pelepasan oksigen. Kamu ingat dulu judulnya, Ka. Yang ini penggabungan sama pelepasan oksigen. Kalau yang kedua oksidasi reduksi sebagai reaksi pelepasan dan penerimaan elektron." ucapan Mas Nara terdengar jelas di penjuru ruangan.

Arka yang duduk di samping Mas Nara mengangguk.

"Kita bahas yang pertama dulu. Kalau yang pertama ini, oksidasi adalah peristiwa penggabungan oksigen oleh suatu zat. Nah, zat yang mengalami oksidasi disebut reduktor. Kebalikannya, reduksi adalah peristiwa pelepasan atau pengurangan oksigen dari suatu zat. Zat yang mengalami reduksi disebut oksidator."

Arka mengangguk.

"Yang kedua ini oksidasi adalah peristiwa pelepasan elektron. Pelepas elektron disebut reduktor. Sedangkan reduksi adalah peristiwa penerimaan elektron. Pengikat elektron disebut oksidator. Paham?"

Arka mengangguk lagi.

Mas Nara menatap Arka. "Dari tadi cuma ngangguk-ngangguk aja sebenarnya paham enggak kamu?"

"Paham."

"Coba kamu pahami contoh reaksi oksidasi ini. Terus jelasin," ucap Mas Nara memberikan tugas.

"Ya ampun. Mana paham aku, mas? Lihat reaksinya sedetik doang kepalaku udah pusing duluan," ucap Arka tak terima.

Mas Nara menjentik kepala Arka. "Lebay kamu."

Arka meringis pelan. Sedangkan Mas Nara menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Yaudah kalau enggak paham perhatiin baik-baik. Kalau ada yang enggak ngerti langsung tanyain aja."

"Iya."

Mas Nara kembali menjelaskan materinya kepada Arka. Kemudian baru menjelaskan reaksi-reaksi dalam oksidasi dan reduksi. Cara mencari oksidator dan reduktor. masih banyak lagi.

Arka mengerjakan soal latihan yang ada di buku LKS atau lembar kerja siswa. Setelah selesai ia perlihatkan kepada Mas Nara. Mas Nara mengecek jawabannya. Beberapa masih ada yang salah. Namun sebagian besar jawabannya benar.

Mas Nara meletakkan buku LKS Arka ke meja. "Kalau aja murid-murid yang aku ajar les semua kaya kamu, Ka. Enggak bakal capek aku. Lumayan lah, kamu cepet nangkap materinya," ucap Mas Nara.

"Kamu itu sebenarnya bisa, Ka. Cuma karena gara-gara kamu malas dan enggak sering buka buku buat mempelajari meterinya kamu jadi enggak bisa. Saranku mulai sekarang perhatikan guru di kelas, deh. Kata Pak Prasaja kamu tiga minggu lagi PAS. Aku yakin nilai-nilai kamu pasti bakal naik."

Tangan Arka tergerak untuk mengambil camilan. "Enggak semua orang bisa dalam waktu sesingkat itu, mas. Mustahil banget bisa mempelajari tujuh belas materi pelajaran dalam waktu tiga minggu. Cuma orang-orang berIQ tinggi yang bisa."

Mas Nara berdecak. "Memangnya IQ kamu berapa?"

Arka mengendikkan bahunya tidak tau. Cowok itu kemudian menyuapkan roti kering ke mulutnya.

"IQ enggak menjamin orang itu bisa atau enggak. Banyak kok orang-orang yang sukses walaupun IQ mereka dibawah rata-rata. Yang penting usahanya."

Mas Nara menepuk bahu Arka. "Positif thinking, dong. Kalau kamu mau kerja keras, Mas yakin kamu pasti bisa."

Arka tak menjawab. Ia lebih memilih menyodorkan camilannya pada Mas Nara.

Mas Nara berdecak. "Dasar. Lagi dibilangin juga." Namun, tak urung tangannya juga tetap mengambil roti kering yang ada di toples.

"Oh iya, Ka. Ada sesuatu yang mau mas tanyain ke kamu," ucap Mas Nara.

"Apa?"

"Sahabatmu namanya Galuh bukan?"

Arka menyerngitkan dahinya. Kenapa Mas Nara tiba-tiba tanya Galuh?

"Iya. Emangnya kenapa, mas? Kok Mas Nara bisa kenal sama Galuh?"

"Ada fotonya enggak? Aku mau lihat."

Arka mengambil ponselnya. Ia membuka folder fotonya dan mencari foto Galuh. Tak sulit menemukannya karena ada banyak foto Arka dan teman-temannya saat pergi bersama yang tersimpan di ponselnya. Arka menunjukkan salah satu foto itu.

"Orangnya tinggi. Yang berdiri di samping kiriku, mas."

Mas Nara mengamati wajah Galuh. Ia merasa asing dengan wajah itu.

"Ada apa sih, mas? Kok tiba-tiba nanyain Galuh?"

"Tadi pagi pas kamu jemput Naura. Mas bilang dia udah pergi duluan sama cowok kan? Kata Naura dia Galuh, sahabat kamu. Kok beda?"

Ah, ternyata itu...

Arka melempar ponselnya ke sofa. "Bukan. Dia bukan Galuh."

"Dia Fiko, anaknya kepala sekolah," lanjutnya.

"Oh." Mas Nara mengangguk-angguk. Saat ia hendak mengambil roti kering lagi, tak sengaja matanya menangkap raut wajah Arka berubah menjadi masam.

Mas Nara tersenyum penuh arti. "Ada apa nih? Cemburu kamu? Padahal tadi cuma tanya loh."

Arka mengalihkan pandangannya. "Enggak. Siapa juga yang cemburu? Lagian aku sama Naura udah enggak-"

Arka tersentak.

"Enggak apa?" tanya Mas Nara penasaran.

Arka mengumpat dalam hati. Hampir saja ia keceplosan jika dirinya dengan Naura sudah tidak ada hubungan lagi. Mas Nara kan belum tau jika dirinya dengan Naura sudah putus.

"Eng... Enggak marahan lagi. Iya itu. Udah enggak marahan lagi."

Mas Nara terdiam sejenak. Sedetik kemudian ia tertawa.

Arka meringis pelan. Telinganya tiba-tiba berubah menjadi merah. Ah, kenapa dirinya mengatakan itu? Tapi ia juga merasa lega. Untung saja ia bisa berpikir cepat.

"Yaelah, Ka. Cuma mau bilang kalian marahan aja pakai malu segala. Santai aja kali. Lagian wajar kan marahan sama pacar sendiri. Mas sama Kesya juga pernah."

Arka mengusap tengkuknya.

Mengenai hubungannya dengan Naura, apa ia bilang sekarang saja kepada Mas Nara? Tapi, ia ragu-ragu. Naura bilang, ia tidak boleh mengatakan pada Mas Nara.

"Mas Nara," panggil Arka.

Mas Nara mendongak. "Hm?"

Arka menggaruk tengkuknya.

"Soal tadi-"

Ucapan Arka terpotong karena tiba-tiba ponsel Mas Nara berdering. Mas Nara mengambil ponselnya. Senyumnya tersungging saat melihat nama yang tertera di layar.

"Ka, untuk hari ini sampai di sini dulu aja. Nanti kita bahas untuk jadwalnya. Mas masih ada urusan."

Mas Nara membereskan buku-buku yang ia bawa. Laki-laki berperawakan tinggi itu kemudian berdiri. "Mas pamit dulu, Ka."

Arka ikut berdiri. "Oh. Iya, mas."

Ah, mungkin besok saja ia mengatakannya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Hati-hati, mas."

***

Continue Reading

You'll Also Like

ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

6M 331K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
634K 24.9K 36
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
6.4K 1.5K 47
Katanya, kalau kita berhasil membuat 1000 burung kertas, satu keinginan kita akan terwujud. Namun, apakah itu juga berlaku untuk Jendra? Jendra ingin...
1.7K 324 9
Bagaimana jika suatu hubungan memiliki batas waktu? Dan batas itu, satu pihak yang membuatnya. ◍ ◍ ◍ ◍ AKW ◍ ◍ ◍ ◍ "Ka, mau ga jadi pacar Sera?" "Gu...