Journal Of Exaudi [Finished]

By jsztet

115K 3.5K 131

#2 Fiksi Dewasa [28/7/2018] #1 Boyxboyromance [4/8/2018] #4 Cerita Gay [8/8/2018] Apa jadinya jika kamu meni... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20

Chapter 9

5.5K 179 3
By jsztet

Memang tidak ada yang mengetahui hari esok akan seperti apa. Ketika kita menghadapi hari-hari yang buruk hari ini, percayalah hari esok pasti lebih baik entah bagaimana caranya. Dan kalian harus yakin dengan takdir yang sudah membawa kalian sejauh ini, seperti yang kualami sekarang.

Dulu, tak ada terbersit sama sekali di dalam kepalaku bahwa aku akan merasakan cinta dan bahagia yang teramat sangat seperti sekarang ini setelah kematian bapak. Namun, kini diriku dikelilingi oleh cinta dan kebahagian yang diberikan oleh orang-orang di sekitarku yang tak pernah aku harapkan sebelumnya.

Ayah semakin hari memperlakukan diriku seperti kekasihnya, dia belajar untuk mengerti bagaimana tentang emosiku dan apa kemauanku. Dan sama halnya dengan diriku, aku mencoba menahan segala ego dan mencoba mendengar serta memahami ayah lebih lagi untuk menjaga hubunganku dengannya.

Dan kini. Dengan kehadiran Arman di hidupku, aku merasakan perasaan yang dulu pernah hilang tumbuh kembali setelah sekian lama aku kubur hidup-hidup. Ditambah lagi, kini aku dan Arman bersekolah di sekolah yang sama yang membuat hari-hariku semakin bertambah semangat pastinya.

Dengan keadaanku yang seperti ini, aku yakin badai sekeras apapun dapat aku terjang dan aku masih tetap dapat berdiri kokoh layaknya pohon pinus di tengah gurun.

Pagi ini, ayah akan mengantarkan diriku seperti biasa ke sekolah. Dan seperti biasanya, dia akan mengecup kening, pipi, serta bibirku sebelum aku turun dari mobilnya. Sebuah kebiasaan baru yang kami biasakan setelah hubunganku dengan ayah sampai kearah itu, dan pagi itu aku sengaja menunggui mobil Ayah sampai dia berangkat ke kantor.

Namun sebenarnya, aku juga memiliki tujuan lain pagi itu. Aku ingin menunggui Arman untuk sampai ke sekolah ini, dan aku yakin bahwa dia yang masih tidak paham dengan situasi sekolah ini akan merasa tidak nyaman karena belum bisa beradaptasi. Dan sebagai teman yang baik, aku ingin membantu dia beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan juga teman-temanku.

Matahari pagi ini seperti bersembunyi dibalik tebalnya selimut awan, sehingga membuat suasana terasa sangat sejuk di sekitar sekolahku yang ditumbuhi oleh pepohonan yang rindang ini. Hawa dingin itu kemudian menyeruak masuk ke tubuhku dan membuatku sedikit menggigil ketika menunggu kedatangan Arman, namun hal itu tidak berlangsung lama.

Arman yang sedari tadi kutunggu kini datang menghampiri diriku dengan motornya yang agak tua tersebut, dia berhenti tepat di depan diriku yang sedari tadi menantikan dirinya. Dia mengenakan jaket jeans berwarna biru navy, jaket itu terlihat tebal dan membentuk lekuk tubuhnya serta menjadikan dia terlihat lebih seksi di mataku.

Dia mengenakan helm hitam serta memakai sarung tangan yang terbuat dari kulit yang juga berwarna hitam, dengan pakaian yang sangat ngepas membuat dia semakin seksi terlihat. Aku menenggukkan ludah, kuyakin banyak lelaki serta perempuan yang akan menyukai Arman.

"Selamat pagi mas, apa mas daritadi sedang menantikan kehadiran saya?" tanya Arman setelah dia melepaskan helmnya.

"Benar sekali mas Arman, saya menantikan kehadiran anda sampai saya kedinginan di luar sini" jawabku dengan bibir manyun.

"Hei, jangan marah begitu. Nanti ketampananmu akan hilang, dan kau akan cepat tua teman. Sekarang tunjukkan dimana aku hari memarkirkan motorku ini" perintah Arman.

"Baiklah akan kutunjukkan jalannya" ucapku.

"Ayo naiklah, kau bisa menunjukkannya sambil aku bonceng di belakang" perintahnya padaku kemudian.

Akupun menaiki motornya yang terlihat cukup gagah, walaupun tidak terbaru namun dapat memberikan kesan macho dan jantan kepada sang pengemudinya. Dan dari tempat aku duduk ini – di belakang Arman – aku dapat mencium aroma parfum yang dikenakan Arman, sangat harum dan jantan. Akupun merangkulkan tanganku ke pinggang Arman. Dan ketika motor itu jalan, kueratkan pelukanku ke perutnya. Perutnya sungguh rata dan terpahat keras!

Setelah kami sampai di tempat parkir yang dikhususkan untuk siswa sekolah ini, kamipun berjalan kembali ke lingkungan sekolah. Dan aku dapat melihat beberapa pasang mata melirik kearah kami selama kami berjalan menuju area sekolah, terutama para perempuan yang sedang memarkirkan motornya.

"Hei, kau sebenarnya berada di kelas berapa sih? Bagaimana aku akan mengantarkan dirimu jika kelasmu saja aku tidak tau?" tanyaku padanya.

"Oh iya benar, aku lupa memberitahumu. Aku ditempatkan di kelas XI IPA 2" ucapnya padaku.

"Kau anak IPA? Astaga, ternyata kau pintar juga ternyata, tidak seperti diriku sangat dungu dibandingkan dirimu" ucapku.

"Jangan merendah seperti itu teman, bukan berarti karena aku anak IPA aku akan memiliki otak yang lebih gemilang dibandingkan dengan dirimu. Banyak anak IPA diluar sana bahkan lebih dungu dan pemalas dibandingkan dengan anak IPS, dan itu hanya mitos jika anak IPA itu lebih baik dibandingkan anak IPS. Kita memiliki dunia kita masing-masing" ucap Arman.

"Ya, kau benar juga. Tapi sepertinya kita akan sangat jarang bertemu, karena kelas kita berada ujung ke ujung sekolah ini, dan asal kau tau saja sekolah ini luasnya lebih dari tiga kali lapangan bola kaki. Dan pasti sangat letih dan menghabiskan banyak waktu untuk menemani dirimu pas jam istirahat pelajaran nanti" ucapku padanya.

"Ya mau bagaimana lagi, apakah kau mau membiarkan diriku yang tidak mengenal siapa-siapa ini pergi ke kantin sendirian?" ucapnya sambil memelas.

"Baiklah, baik. Kau memang sangat hebat ketika membujuk orang lain, namun hanya hari ini saja. Aku harap kau bisa cepat beradaptasi dengan lingkungan sekolah ini, dan bertemu dengan teman baru pastinya" ucapku.

"Siap, 86!" ucap Arman sambil memberikan hormat kepadaku.

Jalan menuju kelas Arman memang cukup jauh dan meletihkan, karena kelasnya harus melewati beberapa blok gedung sekolah yang terdiri dari gedung kelas X, gedung guru, gedung Laboratorium dan juga kantin. Aku yakin, selama aku berjalan bersama dengan Arman tadi banyak mata yang memperhatikan kami berdua.

Terlebih kepada sosok Arman yang berada di sampingku ini, sepertinya dia memiliki daya tarik yang kuat kepada perempuan-perempuan di sekolah ini. Terutama adik kelas yang seperti wanita murahan yang sedang menjajakan dirinya di depan kelas mereka, beberapa dari mereka sangat terlihat jelas memperhatikan kami berdua dengan pandangan nanar dan sebagian dari mereka bahkan bertingkah tidak biasa ketika kami melewati mereka.

Dan di selama perjalanan kami menuju kelasnya, aku sempat juga memperkenalkan Arman kepada teman-temanku yang aku kenal. Baik anak kelas IPA dan juga anak IPS, dan sebagian juga ke beberapa kakak kelas dan juga pegawai yang ada disini. Dan jangan salahkan aku bahwa aku harus memperkenalkan Arman kepada mereka, salahkan kepada citra diriku di sekolah ini.

Aku merupakan wakil ketua OSIS II yang mengurusi tentang acara di dalam sekolah seperti Pentas Seni, Hari Guru, Hari Pendidikan, Konser Tahunan dan juga Prom Night. Dapat dikatakan bahwa diriku lumayan terkenal di kalangan siswa yang berada di sekolah ini, karena di setiap acara pasti namaku dipanggil untuk memberikan pidato atau disebutkan sebagai supervisor.

Jabatan ini mengantarkan diriku sebagai Siswa Terfavorit di sekolah mengalahkan senior kelas XI pada kala itu – sekarang mereka kelas XII – memiliki ketenaran dan kuasa di sekolah ini. Dan dengan jabatan ini pula, aku dipaksa untuk menjadi pribadi yang ramah dan juga terbuka. Dan yang pasti, hal-hal tersebut membuat diriku memiliki banyak teman dan juga kenalan di sekolah.

Sudah sekian banyak orang kukenalkan kepada Arman, mulai dari juniorku di OSIS, teman sekelasku, teman main ke kantin – yang isinya anak IPA dan juga IPS – yang beraneka ragam bentuknya, bahkan sampai kepada pegawai kebersihan toilet juga kuperkenalkan kepada Arman. Dan Arman tampaknya sangat antusias diperkenalkan kepada mereka semua, hal itu terlihat dari wajahnya yang selalu tersenyum lepas.

Matahari sudah semakin naik ke posisinya, dan aku yakin bahwa sebentar lagi kelas akan dimulai. Aku kemudian mengantarkan Arman dengan segera ke kelasnya, agar aku juga tidak terburu-buru kembali ke kelasku yang jauhnya minta ampun. Dengan langkah yang agak cepat, kuarahkan Arman ke kelasnya dan kuperkenalkan dia dengan orang yang kukenal disitu. Setelah semuanya beres, aku berjalan cepat kembali ke kelasku.

"Eh kamu darimana aja? Ga biasanya kamu datang agak lama kayak begini, kamu ga kenapa-napa kan?" ucap seorang gadis yang sedari tadi menantikan kedatangan diriku.

"Enggak, aku ga kenapa-napa kok. Kamu ga perlu khawatir dengan keadaanku, aku yakin akan baik-baik saja kalau kamu masih memperhatikan diriku seperti ini" ucapku padanya.

Dan sejurus kemudian, aku dapat melihat wajahnya tersipu malu memandang kearah diriku. Aku yakin dia sudah tergoda dengan ucapanku yang kini menenangkan dan juga menyenangkan hatinya itu, dan dia hanya bisa diam menatap kearah diriku dengan pandangan yang penuh arti.

Nama gadis itu Mutiara Ivena, kalian sudah mengenalnya. Dia adalah gadis baik yang membantu aku dan nenek ketika mengurus kakek dulu, dan keluargaku sudah menganggap tiara sebagai keluargaku juga. Tiara, begitulah kami memanggilnya di sekolah, di rumah ataupun di tempat lainnya. Panggilan itu diserukan kepadanya oleh siapapun yang mengenalnya, di berbagai keadaan dan juga kondisi.

Tiara, gadis yang sangat baik dan mengajarkan diriku tentang ketulusan dan juga pengorbanan. Dia mengajarkan diriku bagaimana merelakan sesuatu yang tidak akan pernah kembali lagi kepada diriku, seperti kematian kakek contohnya. Di masa berkabung dahulu, dia selalu datang setidaknya sekali dalam sehari untuk menghibur diriku.

Dia juga mengajarkan diriku tentang artinya pengorbanan, ketika aku harus rela meninggalkan lomba yang sedang aku kejar pada waktu itu demi mengurus nenek yang sakit karena bersedih ditinggal oleh kakek dulu. Padahal dengan persiapan yang sudah aku lakukan, aku yakin bahwa aku bisa memenangkan lomba tersebut. Namun, sudahlah. Aku mendapatkan hal yang lebih berarti daripada kemenangan lomba itu, yaitu kesehatan nenek.

Sosoknya yang baik itu tak lekang oleh waktu selama ingatan diriku, dan aku seharusnya berterima kasih teramat sangat kepada dirinya. Karena kalau bukan karena dia, mungkin aku tidak bisa semangat seperti sekarang – sebelum hubungan Ayah dan aku membaik – yang dapat menjalani hari dengan penuh semangat serta rasa optimis tentang hari esok.

Dan aku ingin kalian tau, bahwa Tiara adalah salah satu pertimbangan diriku untuk tidak pindah ke Jakarta. Aku sudah terlampau nyaman dengannya, dan aku tidak ingin kehilangan seorang sosok yang sangat menyenangkan, penuh aura positif serta jiwa yang optimis seperti dia.

Hubunganku dengan tiara, semakin erat terjalin oleh rajutan-rajutan kasih sayang yang sering kami bagikan. Hal itu dimulai ketika diriku dan dirinya berada di kelas yang sama ketika kami berada di sekolah menengah pertama. Tiara yang merupakan orang asing bagiku, hadir dengan pribadi yang sangat peduli kepada orang lain dan perangai yang menawan.

Wajar bila nenek membiarkan tiara untuk ikut membantu merawat kakek yang kala itu sedang menghadapi penyakitnya, dan hal itu merupakan hal yang paling berbekas di ingatanku. Dan entah sudah berapa kali aku menyebutkan tentang dia membantu kakek ketika dia sedang sakit, namun di titik itu, tiara adalah malaikat yang seperti dikirimkan tuhan di saat yang tepat dan di tempat yang tepat pula.

Namun tiara bagiku lebih dari itu, dia sudah seperti pasangan hidup yang belum aku miliki. Dan aku yakin, kalau tiara kuajak untuk menjadi pendamping hidupku dia pasti mau. Karena dia telah mengungkapkan perasaannya itu kepadaku, sungguh wanita yang luar biasa berani.

Di suatu senja sore, aku bersama dengan Tiara pergi berjalan-jalan ke kebun yang berada di sekolah kami dulu. Tiara dan aku sengaja tidak pulang sekolah lebih awal karena kami ingin menghabiskan waktu bersama pada saat itu, dan aku masih ingat segalanya tentang kejadian itu.

Kebun itu berisikan berbagai macam tumbuhan berwarna-warni yang tertata rapi, dan di kebun pula terdapat bangku yang sengaja di sediakan untuk orang yang datang ke tempat itu. Aroma wangi tumbuhan itu sangatlah semerbak, dan sangatlah memanjakan hidung kami.

Terlihat beberapa kupu-kupu berterbangan di bunga yang bermekaran diatas tumbuhan itu, dan terkadang aku juga melihat capung-capung sedang berkejar-kejar di udara. Mereka pindah dari satu tempat ke tempat lain, seperti sedang memburu harta karun nektar yang sudah disediakan oleh bunga-bunga tersebut.

Burung-burung juga berkicau riang dan gembira, mereka seperti membicarakan sesuatu tentang kami yang sedang duduk di tempat itu. Burung-burung itu terkadang berterbangan kesana kemari seakan ingin tau apa yang kami lakukan, dan beberapa diantara mereka juga membawa ranting yang aku tebak akan mereka gunakan untuk membangun sarang mereka.

Senja di ufuk sana juga seperti memperhatikan kami yang sedang tertawa dan bercanda bersama, senja itu juga tak beranjak dari posisinya seakan menunda tidurnya untuk menyaksikan sejarah yang akan mengubah hidup kami berdua.

Di keheningan, dapat aku lihat bahwa tiara hendak menyampaikan sesuatu yang teramat sangat serius. Yang mana sampai-sampai dia mengajak diriku untuk berbicara di tempat ini, dan di dalam keheningan ini juga aku dapat mendengar dengung dari lebah serta hembusan angin yang menerpa kulitku.

"Udi, aku mendengar bahwa kamu memiliki rencana untuk melanjutkan sekolahmu ke Jakarta. Apakah yang aku dengar itu benar?" tanya tiara memecahkan keheningan.

"Darimana kau tau hal itu Tiara, apakah aku pernah memberi tahu hal itu kepadamu sebelumnya?" jawabku.

"Oh tidak, aku mengetahui hal tersebut dari Ibumu. Dia mengatakan hal tersebut ketika kami sedang memasak bersama di rumah nenekmu, dan sepertinya ibumu sangatlah sedih mendengar keputusanmu itu" ucap tiara.

Aku tau, bahwa sebenarnya yang dimaksud Tiara adalah dirinya sendiri. Karena dia tidak biasanya ia mengungkit atau mengkambing-hitamkan nama orang lain ketika di pembicaraan serius seperti ini. Namun aku berusaha untuk mencari tahu hal tersebut lebih lagi.

"Ya, begitulah tiara. Aku merindukan teman-temanku disana, entah bagaimana kabar mereka disana. Ya kutau, aku ingin mendapatkan pengajaran yang lebih baik seperti dulu dan bertemu dengan teman-temanku kembali" ucapku.

"Namun bagaimana dengan teman-temanmu disini? Apakah kau tidak akan merindukan mereka? Apakah kau tidak pernah memikirkan mereka?" ucap tiara.

"Siapa yang kau maksud? Aku tidak memiliki siapapun disini. Aku sebatang kara disini, dan aku merasa tidak punya teman" jawabku dengan nada yang polos.

Aku melihat kearah Tiara, dan aku melihat dia menitikkan sedikit air mata diujung matanya itu. Aku dapat melihat dia mencoba untuk menahan emosinya agar tidak tumpah ruah pada saat itu juga.

"Jadi aku siapa bagimu, Exaudi? Apakah aku hanya benda mati bagimu? Apakah aku tidak kau anggap sebagai temanmu juga?" ucap tiara dengan nada sedih.

"Bukan begitu tiara, aku tidak bermaksud seperti itu. Kumohon kau jangan salah paham" ucapku mencoba untuk menenangkan dirinya.

Namun wanita dimana-mana sama saja, mereka memiliki kelenjar air mata yang sangat besar. Dan aku melihat air mata Tiara jatuh untuk pertama kalinya dalam hidupku, dan aku merasa sangat bersalah untuk hal itu. Karena akulah penyebab dia menangis seperti ini. Aku bingung dengan keadaan ini.

"Apakah kau tidak sadar, bahwa selama ini aku menyukai dirimu Exaudi. Aku menyukai dirimu!" ucap Tiara dengan nada yang keras.

Kerasnya suara tiara membuat burung-burung yang tadinya tenang menjadi terkaget ketika mendengar ucapan mutiara tersebut, dan seketika mereka terbang berhamburan kemana-mana. Suara itu juga mengagetkan diriku tentang kennyataan yang sekarang aku hadapi, bahwa Tiara menyukai diriku.

Entah antara aku bodoh atau tidak berperasaan, aku tidak menanggapi apapun yang diucapkan oleh Tiara. Aku hanya bisa terduduk bodoh disampingnya yang sekarang sedang terisak-isak tersebut, dan tak ada nafsu untuk menghibur dirinya seperti biasa.

Aku berusaha menenangkan pikiranku dan mengembalikan kesadaranku menjadi normal semula, namun hal itu tampaknya sia-sia. Karena semakin aku berusaha untuk mencoba membuat hati dan pikiranku tidak bergejolak, semakin aku bingung dengan diriku sendiri sekarang.

Tiara tampaknya terlampau kecewa dengan diriku yang sama sekali tidak memperdulikan perasaannya, dan dia mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri dan mengusap air mata yang sudah mengalir deras sedari tadi.

"Kurasa, kau memang tidak membutuhkan siapa-siapa di dunia ini. Termasuk diriku, dan aku hanyalah kau anggap benda mati ternyata. Senang mengenalmu teman, kuharap kau sukses di Jakarta sana nanti dan kembali menemukan TEMAN-TEMAN mu itu. Kuharap" ucapnya sambil berdiri hendak meninggalkan diriku.

Kulihat api emosi dari matanya, dan juga air mata yang hampir kering yang ada di pipinya. Dan disaat itu aku baru menyadari bahwa Tiara sudah marah besar dan kecewa terhadap diriku. Dan disaat itu juga aku kemudian memutuskan sebuah keputusan yang mengubah jalan hidupku saat ini, aku takkan pindah ke Jakarta.

"Tunggu tiara, jangan pergi dulu!" ucapku.

"Jangan kau halangi aku, mengapa pula benda mati seperti diriku ini kau urusi" ucapnya sambil berusaha melepaskan tanganku yang menggengam erat tangannya.

Sedetik kemudian aku menarik Tiara ke dalam pelukanku, lalu aku mengecup bibirnya. Entah darimana datang keberanian dan perlakuan itu, namun itu terjadi begitu saja.

"Aku tak akan pergi, Mutiara. Karena kini aku menyadari sesuatu yang lebih berharga untuk kujaga dan kupertahankan di tempat ini, yang belum tentu kutemukan di tempat lain. Sesuatu itu adalah engkau, Mutiara" ucapku sambil memeluk dan mengusap lembut kepalanya.

Di dalam pelukanku, dapat aku merasakan ada air mata yang menetes di bajuku. Dan aku yakin bahwa air mata itu bukanlah air mata kecewa atau kesedihan, namun air mata kebahagiaan yang ditumpahkan oleh mutiara karena keputusanku itu. Dan senja sore itu, aku berusaha menenangkan gadisku yang sudah sangat berarti bagi hidupku, lebih dari gadis manapun yang ada di bumi ini.

Dan di senja ini pula akan menjadi kenangan di dalam hidupku, bahwa ucapan seorang wanita hanya sebuah bualan untuk menjaga dirimu tetap berada di dekat mereka dan menjadikan dirimu benteng perlindungan mereka serta menjadikan dirimu kacung popularitas mereka.

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 123K 48
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
120K 2.9K 28
Cerita bagaimana perjalanan hidup Aldi seorang guru baru yang orientasi seksualnya gay lalu bertemu dengan guru tampan bernama Pa Egi. Hingga akhirny...
1.1M 94.1K 105
21+ Cerita ini ditulis karena dulu saya pernah mengunjungi sebuah desa yang sejujurnya saya menganggap itu surga dunia. Bukan, bukan karena di sana b...
234K 11.8K 34
Cerita lanjutan dan merupakan bagian akhir. Sepertinya agak dibikin panjang partnya. Gay themed stories. Bahasa campuran. Alur maju mundur cepat. B...