Journal Of Exaudi [Finished]

By jsztet

115K 3.5K 131

#2 Fiksi Dewasa [28/7/2018] #1 Boyxboyromance [4/8/2018] #4 Cerita Gay [8/8/2018] Apa jadinya jika kamu meni... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20

Chapter 5

7.5K 249 10
By jsztet

Langit seakan runtuh diatas kepalaku. Cahaya kasih dan hangatny cinta yang kurasakan dari ibu tiba-tiba sirna setelah dia menampar diriku. Seumur hidupku, wanita itu tidak pernah melakukan hal yang demikian. Bahkan untuk menggores kulitku saja tidak pernah rasanya. Kakiku menjadi layu, pipiku juga terasa sangat panas dan jiwaku kini semakin membara atas apa yang baru saja terjadi. "Apa-apaan ini bu? Kenapa ibu menampar diriku?" ucapku kepada ibu yang sedang naik pitam.

"Jangan pernah sekali lagi kamu memanggil ayahmu brengsek! Bagaimanapun dia adalah ayahmu! Kamu sudah jadi anak durhaka udi!" teriak ibu sambil menjambak rambutku.

"Sudah bu, sudah" ayah kemudian melerai ibu. Diriku segera melepaskan jambakan tangan ibu dan mendorong ibu sampai jatuh ke lantai. Aku menangis sejadi-jadinya sambil berlari keluar rumah. Air mataku berjatuhan dengan sangat derasnya, tak pernah ibu berbuat seperti itu sebelumnya. "Kenapa ibu bisa melakukan hal ini kepadaku? Tidakkah dia sayang lagi kepadaku?" teriakku dalam hati.

Diriku kemudian berlari sangat kencang, kulangkahkan kakiku kearah hatiku menuju. Di sepanjang perjalanan, aku hanya bisa tetap berlinang air mata sebab perasaan yang aku rasakan. Rasanya sungguh sakit seperti teriris-iris dengan pisau hatiku ini. Dan semua ini tidak akan terjadi jika bukan karena dia.

Ini pasti ulah lelaki itu, dia pasti sudah menghasut ibu dan membuat ibu menjadi seperti ini. Tapi kenapa ibu mempercayai lelaki itu? Apakah ibu sudah benar-benar tidak menyayangi diriku? Entahlah, semakin aku berlari semakin besar pula rasa benci yang aku rasakan kepada ibu, dia tega untuk memukul diriku.

Dia pasti sudah tidak menganggap diriku sebagai darah dagingnya lagi, dan memilih lelaki itu dibandingkan diriku. "Dasar pelacur! Perek! Wanita haus batang!" makiku dalam hati. Dan sekarang wanita dan pria itu kini sama buruknya di mataku, aku benci mereka, benci!

"Kenapa takdirku harus seperti ini pak?! Kenapa?!" teriakku di sebuah danau tempatku biasa untuk bersembunyi. Suaraku bergema dengan kuat di tempat ini, membuat banyak burung-burung berterbangan sebab kaget dengan suaraku itu. Kala itu danau terlampau tenang dan sepi, sehingga aku merasa bebas untuk berteriak sepuas mungkin.

"Takdir yang seperti apa teman?" ucap sebuah suara dari belakangku. Suara itu sangat aku kenal, suara Arman-ku.

Melihat arman yang tiba-tiba datang diriku seketika menangis tersedu-sedu, pikiranku kembali mengingat bahwa diriku akan berpisah dengan sahabatku satu-satunya ini. Seseorang yang dapat mengerti apa yang ada dipikiranku dan juga mauku. Seseorang yang dapat membuatku tertawa dengan candaan dirinya setiap hari dan mengajarkanku pelajaran yang berarti tentang hidup.

"Takdirku sangatlah buruk, teman. Aku sudah tidak memiliki bapak sejak diriku kecil. Segala ucapanku kini tidak pernah didengar oleh Ibuku dan sekarang mereka berdua selalu memaksakan kehendak mereka kepadaku. Hidupku kini sungguh terlalu menyedihkan" ucapku sambil tersedu-sedu.

Aku kemudian melihat kearah Arman dengan linangan air mata yang sudah sangat membasahi pipiku. Dia tampaknya berusaha dengan sangat untuk tersenyum kepadaku, entah mengapa dia tersenyum waktu itu. Aku rasa Arman yang mengerti dengan kondisi emosiku dan lantas menarik tubuhku ke pelukannya. Arman memiliki tubuh yang lebih besar dibandingkan diriku dan dengan tangkas dia menangkap tubuhku ke pelukannya dan memeluk diriku erat sambil berkata lembut.

"Aku tau bahwa takdir kita saat ini memang buruk, tapi bukan berarti kita memiliki kehidupan yang buruk kedepannya. Jika takdirmu denganku buruk, mungkin dari dahulu kita tidak akan pernah bertemu. Kita tidak akan pernah berteman sekarang atau mungkin kita sudah berpisah sebelum kita dapat bertemu" ucap Arman kepadaku dengan sangat lembut. Ucapannya yang sangat lembut beserta kata-kata yang dia ucapkan membuat hatiku semakin hangat.

"Teman, aku juga tau bahwa takdir terkadang terlalu kejam untuk kita. Tapi kita tidak bisa menyalahkan apa yang ditulis oleh takdir. Karena aku yakin disetiap cerita yang buruk yang dituliskan oleh takdir, pasti ada satu kisah manis yang terselip di dalamnya. Kau hanya perlu melangkah maju, menikmati setiap moment yang ada dan tetap yakin. Sekarang kumohon berhentilah menangis seperti perempuan begini, wajahmu menjadi terlihat sangat kusut seperti itu" ucapnya lagi sambil mengusap air mata yang jatuh ke pipiku.

Dia mengusap air mata di pipi ini dengan sangat lembut layaknya bapak dahulu, sangkin lembutnya membuat emosiku menjadi tidak karu-karuan. Air mataku terus-menerus jatuh seperti tak terbendung, dan tanganku bergemetar hebat karena perasaanku ini.

Arman kemudian menarik kedua tanganku ke dalam genggamannya, dia membawa tanganku tepat di dadanya dan aku dapat merasakan detak jantungnya. Akupun menatap matanya yang sangat lekat menatap diriku. Mata itu terasa sangat dalam menatap diriku dan mata itu seperti berbicara tentang perasaan Arman kepada diriku. Aku dapat melihat kepedihan, rasa sakit dan juga kehilangan yang tergambar sangat jelas di bola mata itu. Arman kemudian kembali mengusap air mata yang masih jatuh di pipiku, dan dengan lembut dia berkata.

"Aku tau, air mata ini kau jatuhkan untukku. Karena kau tidak mungkin mengeluarkan air mata ini hanya untuk orang yang paling kau sayang dan cintai, dan aku bahagia menjadi salah seorang yang engkau sayang" ucap Arman kepadaku.

Aku tenggelam dengan tatapan Arman padaku dan jantungku kemudian berdegup sangat kencang. Jantung Arman juga kurasakan berdegup sangat kencang di tanganku. Entah kenapa perasaanku sangat nyaman dengan suasana kami sekarang ini.

Arman mendekatkan wajahnya ke wajahku, dekat, semakin dekat dan semakin dekat. Hingga akhirnya kedua bibir kami menyatu, Arman mengecup bibirku pelan sambil mengelus pipiku. Dan sedetik kemudian dia melepas bibirku, sambil menatapku dengan senyuman. Tanganku kemudian memegang kepalanya dan mendekatkan bibirnya ke bibirku, dan aku kembali mencium Arman.

Bibir itu terasa sangat lembut kurasakan. Lembutnya seperti permen kapas dan terasa sangat manis juga. Aku menutup mataku menikmati segala rasa yang bercampur aduk di bibir, kulit dan juga perasaanku. Sungguh ciuman ini menenangkan diriku.

"Sekarang kondisimu lebih baik, teman" ucapnya sambil mengecup kening dan kelopak mataku. "Sekarang berhentilah menangis dan pulanglah, pasti orang tuamu akan mencari dirimu" perintah Arman kepadaku.

"Tapi mereka akan memindahkan diriku, aku tidak ingin berpisah denganmu teman. Aku tidak memiliki teman ataupun kenalan lain disana, dan aku juga pasti akan kembali sendiri lagi serta merasa sepi tanpa ada kehadiranmu" ucapku kepada Arman.

"Aku yakin, waktu dan takdir akan membawa dirimu kembali kepadaku teman. Percayalah kepada takdirmu sendiri seperti aku percaya takdirku sendiri. Dan takdirku mengatakan bahwa kau akan kembali padaku suatu hari nanti" ucap Arman kepadaku.

Kata-kata yang diucapkan Arman sangat indah dan sungguh meyakinkan, ucapannya itu membuat diriku kembali tenang dan dapat berpikir jernih kembali. Dan benar yang dikatakan Arman bahwa walaupun kami berpisah sekarang, kami dapat bertemu lagi suatu saat nanti di waktu yang akan datang.

Segala ucapan dari lelaki itu menyentuh lubuk hatiku yang paling dalam, terasa sangat indah dan juga tulus. Aku seperti merasakan sebuah perasaan yang teramat dalam di hatiku. Tanpa aku sadari, aku kini memang sangat menyayangi Arman sama seperti aku menyayangi bapak dahulu namun agak berbeda. Entah kapan aku mulai menyayangi dirinya seperti itu, namun perasaan itu sudah hadir entah darimana datangnya dan perasaan itu terus-menerus tumbuh di dalam hatiku.

Dahulu aku pernah mengungkapkan tentang segala yang kurasakan itu kepadanya, mulai dari perhatian yang saling kita bagi kepada satu smaa lain hingga ke rasa sayang yang seringkali kami tumpahkan kepada satu sama lain. Arman juga mengatakan hal yang sama kepadaku di suatu waktu dulu. Dia mengatakan bahwa dia memberi perhatiannya yang seperti ini hanya kepadaku seorang. Dan dia juga mengatakan bahwa dia menyukai diriku. Dia menyukai diriku yang terkadang bertingkah laku aneh, menyebalkan namun pintar dan juga dapat membuatnya tertawa.

Namun aku dan Arman beranggapan hal itu adalah hal yang wajar, sebab kami hanyalah sebatas teman. Kami berpikir bahwa kami menyayangi satu sama lain sebagai teman, tidak lebih dan juga tidak kurang. Dan aku juga tidak peduli dengan ucapan orang-orang yang tau tentang perasaanku kepada Arman. Karena aku memang benar-benar tidak ada urusan dengan mereka dan mereka juga sebaliknya.

Arman yang kala itu membawa gitarnya menyantikan sebuah lagu untukku. Dia mengatakan bahwa semoga lagu ini dapat menjadi kenang-kenangan untukku jika kalaupun memang takdir tidak membawa kami untuk bertemu lagi.

"Sampai jumpa kawanku

S'moga kita selalu

Menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan

Bersenang-senanglah Kar'na hari ini yang 'kan kita rindukan Di hari nanti..."

Arman menyanyikan lagu itu dengan merdu dan membuat air mataku jatuh kembali. Air mata ini bukanlah air mata kesedihan melainkan air mata bahagia karena diriku dan Arman dapat melepas perpisahan kami dengan lapang dada.

Setelah moment yang indah itu berlalu, Arman mengajak diriku untuk segera kembali ke rumahku karena hari sudah semakin sore dan menjelang malam. Akupun menuruti dirinya, dan seperti biasa dia membonceng diriku kembali ke rumah. Setelah kami mengucapkan salam perpisahan untuk terakhir kali saat itu, dia kembali pulang ke rumahnya.

Aku kemudian mengemas seluruh barangku yang akan aku bawa dan gunakan di rumah kakek nanti, dengan diantarkan oleh mobil ayah aku mengangkut semua barang yang aku perlukan untuk kebutuhan diriku sekolah nanti.

Di sepanjang perjalanan, aku hanya bisa diam dan berpura-pura tidur di dalam mobil. Aku terlalu malas untuk menanggapi segala yang diucapkan oleh lelaki itu kepadaku dengan suasana hatiku yang buruk ini. Perjalanan ini sungguh terasa sangat lama malam itu, membuat diriku melamun di bangku belakang penumpang. Aku melihat pemandangan yang berada di luar jendela mobil ini dan berusaha untuk membuat diriku tenang dan melupakan segala perasaan yang sedang kubawa ini, hingga kami akhirnya sampai ke rumah kakek dan nenek.

Sebelum ayah pergi kembali ke rumah, dia mengatakan bahwa dia akan sering datang kesini untuk mengawasi diriku dan juga perilaku diriku. Dan dia mengatakan bahwa dia tidak akan mengembalikan diriku ke rumah jika diriku masih bersikap buruk, diriku berpura-pura tidak mendengar segala ucapannya dan langsung acuh kembali ke kamarku.

Jujur saja aku tidak suka dengan perbuatannya kepadaku, dengan berkata sedemikian buruk tentang diriku kepada ibu dan menghasut ibuku sendiri untuk mengeluarkanku dari rumahku sendiri tampaknya tidak cukup membuat dirinya bahagia. Sekarang dia akan berlaku seolah mata-mata yang akan menjaga diriku 24/7, "Apasih maumu sebenarnya" gerutuku dalam hati.

Bagiku dia tetaplah orang asing, yang datang ke kehidupanku dan semakin merusak semuannya. Aku yakin dia sudah tertawa menang ketika dia berhasil mengeluarkan diriku dari rumahku sendiri. Sekarang aku yakin bahwa tidak ada lagi yang akan membuat hidupnya menderita, karena diriku yang dianggap duri untuk hidupnya telah pergi dari rumah itu.

Dan aku yakin bahwa dia mungkin juga akan membuat hal yang aneh kepada ibu, seperti membuat ibu mati perlahan sehingga dia dapat menguasai harta kami. Entah kenapa pemikiranku sampai sejauh itu, namun diriku sudah kepalang membenci dirinya dan tak pernah mengakui dirinya sebagai pengganti bapak hingga kapanpun.

Dia terlalu sering berlaku kasar kepadaku dari dulu dan selalu berpikir aku tidak dapat membalasnya. Nyatanya tidak, aku lebih pintar dari yang dia pikirkan dan aku bukanlah anak sembarangan untuknya. Dan dengan kepergianku ini, aku yakin dia pasti terbebas dari segala bentuk kenakalan yang aku lakukan kepada dirinya.

Di sisi lain, walaupun aku sangat tidak ingin kembali ke rumah kakek dan juga nenek, namun hal yang berbeda ditunjukkan oleh mereka. Mereka menyambut diriku dengan sangat senang hati, nenek bahkan menyiapkan makanan kesukaanku untuk menyambut kedatangan diriku.

Kalau dipikir-pikir, sikap kakek dan nenek berubah seiring dengan pertambahan usiaku. Mereka lebih mendengar perkataanku belakangan ini, dan mereka juga memikirkan pendapatku dalam mengambil setiap keputusan yang berkaitan tentang dirikui.

Disini, jika terkadang di saat diriku bosan, aku selalu menanami berbagai macam tanaman hias yang cantik di sekitar kediamanku. Sama seperti taman yang ada di dekat jendela kamarku yang ada di rumah ibu. Dan sekarang aku melakukan hal yang sama di kediaman kakek, mungkin sudah menjadi insting yang natural bagiku untuk menghabiskan waktu senggangku untuk menanami tumbuhan di sekitar kediamanku.

Dengan kepimdahanku di tempat yang baru, Ibu juga memindahkan diriku untuk bersekolah disini. Dan seperti yang dapat ditebak, kehidupan persekolahanku yang merana terjadi kembali. Dengan kendaraan yang sama, yaitu sepeda, aku pergi ke sekolah setiap harinya. Sekolah ini merupakan sekolah ibu dahulu ketika di usia yang sama seperti diriku, dan jarak rumah kakek dan sekolahku yang baru ini tidak terlalu jauh, dapat ditempu sekitar 15 menit menggunakan sepeda.

Diriku sekarang berada di kelas 2 SMP semester genap yang mana sebentar lagi aku akan naik ke kelas 3 SMP. Mungkin sudah waktunya untuk diriku untuk rajin belajar mempersiapkan diri masuk SMA favorit yang di daerahku berasal, Jakarta.

Aku sangat ingin kembali kesana, karena aku rindu dengan segala situasi dan fasilitas yang disediakan di kota itu sebenarnya. Dan juga kualitas pendidikan yang ditawarkan oleh kota itu sangatlah menggiurkan dibandingkan dengan yang diberikan disini, sebab diriku tidak akan berkembang disini.

Namun, salahkan situasi yang sangatlah tidak baik. Kejadian ketika aku SD kembali terjadi, diriku tidak memiliki teman sama sekali disini dan semua orang yang berada disini menganggap diriku sebagai orang asing. Aku juga dipandang sebelah mata oleh orang-orang disini karena terkadang aku tidak dapat menjawab pertanyaan yang diutarakan oleh guru.

Sepertinya ibu salah memasukkan diriku ke sekolah ini, sekolah ini sangatlah tegas dengan aturan mereka. Dan siswa yang bersekolah disini juga memiliki otak yang tergolong cemerlang, dan dibandingkan dengan diriku yang didik dengan asal-asalan dari dulu membuat diriku tidak dapat mengikuti pelajaran mereka.

Diriku yang tidak memiliki teman, bodoh dan putus asa ini harus lapang dada menerima peringkat terakhir di kelas dan hampir saja ditinggalkan oleh wali kelasku. Ibu juga marah-marah dengan hasil belajarku yang sangat buruk dan dia menyalahkan diriku karena tidak pernah fokus memperhatikan pelajaran ketika di sekolah. Wanita itu spertinya sangat tidak mengerti dengan keadaan anaknya sendiri. Aku yang terlalu malas mendengar ucapannya memilih pergi ketika dia sedang berbicara. Hidupku rasanya semakin terpuruk. Semua sumber kebahagiaanku sedikit demi sedikit diambil dan aku juga tidak memiliki teman yang dapat menjadi teman berbagi, tidak seperti dulu ketika masih Arman di sisiku. Diriku sekarang pasti akan mengungkapkan segala emosiku kepadanya, dan dia tetap mendengar setiap cerita yang kuceritakan dengan penuh amarah. Aku rindu lelaki itu, bagaimana dengan kabarnya sekarang ini.

Aku menjadi semakin putus asa dengan keputusan ibu yang akan memasukkan diriku ke pesantren jika aku tidak memiliki nilai cukup untuk bersekolah di Jakarta. Hidupku menjadi sangat berat terasa, hari demi hari aku paksakan diriku untuk belajar dan memahami berbagai materi yang diajarkan oleh guruku.

Dan ketika aku sudah mulai bisa fokus dengan sekolahku, kakek jatuh sakit. Dia mengalami stroke berat yang membuat dirinya tidak dapat lagi untuk bekerja dan mengurusi segala urusannya. Dan karena hanya ada dua orang di rumah itu, yaitu aku dan nenek, mau tidak mau aku harus membantu merawat kake. Aku merawat kakek ketika nenek sedang pergi mengurusi koperasi dan perkebunan kami dan aku bertugas untuk menemani dan memberikan kebutuhan kakek.

Aku tidak akan pernah mengeluh sebenarnya untuk mengurusi kakekku, namun dengan 2 tugas seperti ini membuat diriku tidak pernah benar-benar fokus dalam melakukan kedua-duanya sekaligus. Sampai akhirnya aku bertemu dengan mutiara, seorang gadis pindahan dari kota lain yang memiliki mata indah, kulit mulus dan senyum manis yang kebetulan teman sekelasku.

Mutiara juga merupakan pindahan dari Jakarta yang sedikit sulit beradaptasi disini, sama seperti aku dahulu. Dan entah mengapa, diriku yang biasa apatis dengan teman baru kini menjadi ingin tahu tentang siapa mutiara ini.

Mutiara memiliki nama lengkap Mutiara Ivena. Dia berusia lebih muda satu tahun dari diriku, hal ini terjadi karena dia bersekolah lebih awal dibandingkan dengan diriku. Ayahnya bekerja sebagai manajer bank di dekat kantor ibu. Dia mengatakan bahwa ayahnya biasa pulang larut malam seperti ibuku dulu sebelum menikah dengan ayah tiriku, karena memang jarak dari rumah ke kantor ayahnya agak jauh. Sedangkan ibunya hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa.

Sebulan berteman dengan tiara – begitulah kami biasa memanggilnya – aku dapat melihat bahwa tiara memiliki otak yang lumayan cerdas dan dapat dengan mudah untuk mengikuti pelajaran yang diajarkan oleh guruku.

Selain pintar, ternyata tiara juga jago dalam berdebat. Hal itu terbukti dengan dia memenangkan lomba debat se-daerah bersama dengan teamnya dari satu sekolahku. Dan jika sedang di kelas, tiara memiliki hobi membaca buku. Dan buku yang dibaca olehnya juga merupakan sebuah buku yang memiliki makna yang luas seperti filosofi dan juga politik. Hal itu membuat diriku semakin kagum kepadanya.

Kekagumanku kepadanya semakin bertambah ketika dia dengan sangat baiknya menawarkan bantuannya untuk mengajarkan diriku untuk belajar bersama yang akhirnya dia sering aku ajak ke rumahku untuk belajar dan sambil menjaga kakek yang sekarang hanya bisa berbaring di tempat tidur ataupun hanya duduk di kursi rodanya.

Tiara juga ternyata hebat dalam mengajari orang-orang seperti diriku, karena sekarang aku menjadi lebih mengerti dengan apa yang aku pelajari setelah diajari olehnya. Tiara merupakan seorang perempuan dengan perpaduan yang lengkap, dengan paras manis, pintar dan juga baik hati.

Berkat tiara, aku bisa mengerjakan semua kuis dan tugas-tugasku dengan baik. Kadangkala ketika kami belajar bersama, tiara juga membantu diriku untuk merawat kakek. Kakek merasa senang juga dengan kehadiran tiara, karena perempuan itu dengan lembut dan telaten membantu diriku untuk membersihkan dan merawat kakek.

Kehadiran tiara di tengah-tengah kami juga disadari oleh nenek ketika dia mendapati kami sedang bercanda – aku, kakek dan tiara – di sela-sela belajar kami. Nenek yang penasaran dengan sosok tiara langsung berkenalan dengannya pada saat itu juga, nenek langsung terkagum dengan kelembutan dan tutur kata yang diucapkan oleh tiara padanya kala itu.

"Halo-halo, eh ada temannya udi ya disini" ucap nenek ketika memasuki ruang tamu rumah ini.

"Eh iya nek, ini namanya tiara. Dia teman sekelas udi, dia kesini lagi membantu udi belajar matematika nih" ucapku kepada nenek dan langsung dilanjut oleh tiara.

"Halo nek, perkenalkan nama saya Mutiara Ivena. Saya pindahan dari Jakarta, ayah saya bernama Dito dan ibu saya bernama Mirna. Saya tinggal tidak jauh dari sini, hanya 5 menit kalau naik sepeda" tiara memperkenalkan dirinya dengan santun kepada nenek.

Dapat aku lihat nenek begitu terkesima dengan tutur kata yang diucapkan oleh tiara, nenek kemudian mempersilahkan kami untuk melanjutkan belajar kami dan beliau mengambil alih untuk mengurus kakek.

Nenek merasa terbantu dengan kehadiran tiara, seperti itulah yang diungkapkan nenek ketika berbicara tentang mutiara di meja makan ketika kami sedang makan malam bersama. Pada saat itu, tiara tidak mengunjungi kami karena dia sedang berlatih untuk lomba debatnya.

"Nak, itu temanmu baik sekali ya. Yang sering berkunjung kesini, sudah baik, pintar dan sopan lagi. Calon wanita-wanita yang berpendidikan, nenek sangat kagum dengan dia" ucap nenek padaku sambil tersenyum senang.

"Maksud nenek tiara?" tanyaku padanya untuk memastikan, nenekpun dengan antusias mengiyakan hal tersebut.

"Benar sekali, nenek terbantu sekali dengan kehadiran dia. Secara tidak langsung dia merubah cucu nenek yang awalnya sulit untuk diatur ini menjadi lebih baik, dan sekarang dia juga terlihat sangat tulus mengurus kakekmu. Jadi beban nenek seperti terangkat dua-duanya" ucap nenek sambil tersenyum.

"Jadi maksud nenek aku itu beban?" tanyaku dengan nada serius kepadanya, nenekpun langsung tertawa terbahak-bahak.

"Kamu memang tidak pernah berubah ya nak, selalu langsung berburuk sangka. Tentu saja tidak, kalian berdua merupakan harta terbesar nenek yang perlu nenek rawat dan jaga sampai akhir hidup nenek. Dan nenek akan mengorbankan segalanya demi kalian berdua, kekasihku dan juga cucu kesayanganku" ucap nenek dengan berlinang air mata sambil menyuapi kakek.

Aku melihat kakek juga mengangguk-anggukkan kepalanya dan meneteskan air mata, ruangan ini berubah menjadi penuh haru diiringi tangisan dan rasa sayang. Andaikan saja bapak masih ada disini, pasti aku akan melihat ibu mengurusi bapak seperti ini jika sakit. Tidak dengan pria brengsek itu.

Dan semester ganjil akhirnya berakhir, kini saatnya pembagian hasil belajar. Aku kini sudah kelas 3 SMP sekarang, dan ini merupakan momen terakhrku untuk meyakinkan ibu bahwa aku dapat bersekolah kembali ke jakarta.

Pagi itu, Ibu wali kelas mengumumkan yang mendapat peringkat pertama. Dengan mudahnya satu kelas dapat menebak siapa juara pertama. Siapa lagi kalau tidak ketua kelas kami yang juga merupakan ketua OSIS SMP ini. Walaupun seperti ada bau-bau kecurangan sebenarnya, namun tidak apalah dia berhak mendapatkan tempatnya itu. Oleh karena dedikasinya kepada OSIS sekolah kami ini.

Di peringkat kedua, ibu guru memanggil nama Mutiara Ivena yang menempati posisi tersebut. Aku dapat melihat wajah tiara sangat bahagia dan senang ketika mendapatkan peringkat tersebut. Aku juga merasakan hal yang sama, aku merasa bangga dengan apa yang diraih oleh tiara. Sebab menurutku dia sangat pantas untuk menerima hal itu.

Di peringkat ketiga, ibu guru kemudian memanggil namaku. Detak jantungku menjadi berdebar kencang ketika namaku dipanggil. Aku seperti tidak percaya bahwa aku mendapat peringkat ketiga dan bukan hanya aku yang tidak percaya rupanya. Rasa tidak percaya itu juga dirasakan oleh teman-teman sekelasku. Mereka tidak percaya bahwa aku dapat melangkahi mereka semua dan mendapat peringkat ketiga, padahal selama ini aku selalu berada di peringkat belakang paling jauh diantara mereka.

Kami bertigapun maju kedepan, dan ibu guru kemudian memberikan sertifikat penghargaan dan juga hadiah kepada kami bertiga. Ketika di depan kelas, tiara langsung memelukku. Dan kemudian dia berkata, "Selamat udi, kamu pantas untuk mendapatkannya". Akupun membalas,"Terima kasih Tiara, Terima kasih" sambil membalas pelukannya dengan lembut.

Continue Reading

You'll Also Like

38.8K 2.3K 29
🏳️‍🌈 GAY STORY Adrian, namanya terseret kasus penggelapan dana perusahaan yang sama sekali tidak ia lakukan. Tapi hakim sudah memutuskan Adrian seb...
522K 15.2K 51
Step Gunawan menaklukkan ayah kandungnya sendiri ,Dedy Irawan seorang tentara perkasa yang memiliki saudara kembar sepupuan bekerja sebagai polisi...
100K 2.3K 23
File PDF sudah tersedia
1.3M 95.7K 43
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...