Journal Of Exaudi [Finished]

By jsztet

115K 3.5K 131

#2 Fiksi Dewasa [28/7/2018] #1 Boyxboyromance [4/8/2018] #4 Cerita Gay [8/8/2018] Apa jadinya jika kamu meni... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20

Chapter 4

8.2K 271 9
By jsztet

Hubunganku dengan ayah tidak pernah membaik semenjak kejadian dia menampar pipiku. Sejak itulah aku semakin menganggap dia musuh bebuyutanku dan memiliki dendam yang tersembunyi kepadanya. Walaupun aku tidak pernah bercerita kepada ibu, bukan berarti aku secara sukarela ditindas olehnya.

Terlahir dengan memiliki akal yang selangit membuat diriku selalu mencari cara untuk membalaskan dendam yang kumilki kepada dirinya. Diriku yang masih terlalu kecil ini tidak mengetahui secara pasti bagaimana untuk membalskan dendam yang kumilki kepadanya, selain dengan kenakalan dan kejahilan yang sangat terselubung. Karena bagaimanapun juga, aku tidak bertanggung-jawab atas kenakalan yang sudah aku lakukan.

Pernah beberapa kali aku membakar kertas laporannya tanpa dia ketahui, dan mungkin dia terlalu malas juga mencari dokumennya itu sehingga dia tidak pernah menyadari bahwa diriku telah membakar dokumen-dokumennya tersebut.

Walaupun kami terlihat seperti ayah dan anak yang akur di depan ibu, kami selalu berkelahi ketika kami sedang berdua saja. Suatu kali, aku melempar kepala ayah dengan gelas melanin yang akhirnya membuat kepalanya menjadi bengkak. Dia tentu tidak diam saja, pada saat itu dia mengejar diriku namun kakiku yang cukup gesit tidak dapat terkejar olehnya. Aku berlari menuju kamarku dan langsung segera menguncinya, dia kemudian menendang pintu kamarku sembari berteriak memanggil namaku. Namun segera terhenti ketika mobil ibu sampai di depan pagar rumah.

Kadangkala aku juga mengerjai dirinya ketika aku bersama dengan ibu. Seperti menumpahkan kopi yang ada diatas meja dan mengenai laptopnya. Pada saat itu aku memang dimarahi habis-habisan oleh ibu karena sudah merusak laptop ayah, tapi pria itu tidak mungkin akan memukuli diriku di depan ibu. Pada saat itu dia hanya bisa menahan emosinya sembari langsung pergi ke kamarnya dengan wajah yang memerah seperti tomat busuk.

Aku juga pernah menyiram dirinya dengan susu yang aku bawa ketika aku akan pergi ke sekolah, yang kebetulan pada saat itu ibu membuatkan susu untuk aku bawa ke sekolah. Dan ketika di mobil, ayah mengatai diriku sebagai anak yang tidak memiliki aturan dan juga etika. Dia juga mengatai diriku sama seperti bapak, tolol tidak karu-karuan. Aku yang pada saat itu naik pitam mencari cara untuk balas dendam, aku kemudian berakal untuk menyiramnya dengan susu yang disiapkan oleh ibu. Ketika aku hendak turun dari mobil dan saat aku akan menutup pintu, aku menyiram tubuhnya dengan susu coklat ke baju putihnya. Aku yakin pada saat itu susu itu masih panas sehingga membuat dia menjerit di dalam mobil waktu itu. Akupun langsung lari masuk ke dalam sekolah ku, aku berlari sambil tertawa kegirangan dan juga senang.

Aku juga pernah melempar kepalanya dengan batu yang berbentuk seperti telur sampai kepalanya benjol dan mengeluarkan darah. Yang walaupun secara teknis bukan diriku yang melempar melainkan ibu dan kejadiaanya pada saat itu adalah ulang tahun ayah. Ibu, kakek dan nenek berencana untuk mengerjai ayah yang pada saat itu baru saja pulang kantor dengan melemparinya dengan telur, tepung dan juga kopi. Ibu menyiapkan beberapa telur yang masih bagus dan juga sudah busuk sebagai bahan untuk dilempar, telur-telur itu disimpan di dalam suatu wadah yang nantinya akan dikeluarkan oleh ibu sendiri.

Aku yang memiliki akal selangit memanfaatkan keadaan ini untuk mengerjai ayah, aku mengambil batu yang sangat mirip bentuknya dengan telur dan kemudian mewarnainya di sekolah. Lalu aku sisipkan batu itu di tengah-tengah telur, dan secara kebetulan batu itu dilemparkan tepat oleh ibu kearah kepala ayah dan kepalanya langsung mengeluarkan darah. Pada saat itu aku sangat senang dengan keadaan yang terjadi, namun aku berpura-pura khawatir dengan apa yang terjadi untuk menutup kecurigaan.

Dan ternyata hal itu berhasil, tidak ada yang curiga dengan diriku selama masa investigasi oleh ibu. Ibu justru menyalahkan tukang telur yang menjual telur tersebut dengan sangkaan sengaja memasukkan batu yang mirip dengan warna telur untuk menaikkan berat timbangan, dan aku benar-benar aman. Sebenarnya aku rada kasihan dengan tukang telur tersebut, namun aku sudah terlampau bahagia dengan apa yang terjadi.

Di lain kesempatan, aku juga sengaja merusak laptopnya dengan memasukkan virus kedalam laptopnya yang membuat semua datanya hilang dan tidak dapat digunakan, atas kejadian itu hampir saja dia dipecat oleh kantor tempatnya bekerja. Kala itu aku sudah duduk di bangku SMP kelas satu, diriku sudah mengenal komputer karena ibu sudah membelikannya sebagai media belajarku pada masa itu.

Diriku kemudian mencari cara lain untuk balas dendam kepadanya, dan kepala yang cemerlang ini mengeluarkan ide untuk mensabotase laptopnya. Aku kemudian mendownload sebuah virus komputer yang mematikan dari internet dan mencopy filenya ke flash disk ayah, kemudian diam-diam aku memindahkan file tersebut dan menjalankannya di laptop ayah.

Virus itu memang tampaknya sangat mematikan. Belum sampai 1 jam, semua data yang ada di laptop ayah sudah hilang semua, laptopnya juga terlihat error dan seperti tidak dapat digunakan. Akupun sengaja memasukkan virus itu ke komputerku dan membuat komputerku menjadi rusak juga, hal ini aku lakukan untuk menghilangkan jejak dan juga barang bukti dan dapat menyalahkan internet sebagai pelakunya.

Kejadian itu juga sepertinya meloloskan diriku dari tuduhan sebagai tersangka, karena alasan yang aku berikan terlihat masuk akal dan juga dapat diterima oleh mereka.

Namun walaupun begitu, aku tidak melihat perubahan yang signifikan atas sikap ibu terhadap diriku, malah semakin hari dia semakin dekat dengan ayah. Bagaimanapun aku membuat ayah terlihat buruk di depan ibu, namun tetap saja ayah lebih baik diperlakukan daripada diriku.

Hal ini membuat diriku iri dan juga cemburu atas perlakuan ibu tersebut, kenapa harus ayah yang diperlakukan lebih baik, kenapa bukan aku? Akukan anak kandungnya, sedangkan dia hanyalah suami baru-nya, aku sudah hidup lebih lama dengannya dibandingkan dengan pria itu.

Kejadian ini membuatku semakin terpuruk, aku kemudian mengingat masa-masa lampau ketika bapak masih hidup dan kami tinggal di rumah kami yang lama. Aku merindukan bapak, disaat yang seperti ini bapak biasanya selalu ada untuk menghibur diriku, bapak selalu membuatku tersenyum di setiap keadaan burukku dan dia selalu berusaha untuk membuatku tertawa dengan candaan anehnya.

Di setiap malam diriku selalu berdoa untuk bapak, dan aku juga berharap agar aku dapat ditempatkan dekat dengan bapak kelak, hanya itu harapan di setiap doa yang aku panjatkan.

Masa-masa kesedihanku ternyata tidak memiliki aturan waktu, aku terkadang menangis di rumah, aku menangis di kamar mandi, dan kadang aku menangis di ruang kelas. Teman-temanku tidak ada yang tau dan bahkan cenderung tidak peduli dengan apa yang aku alami, kecuali Arman.

Arman adalah seorang anak lelaki yang kebetulan berada di kelas yang sama denganku, dia duduk di paling ujung belakan sebelah kiri ruang kelas ini dan sepertinya dia terlihat seperti anak nakal. Dia selalu berpakaian tidak rapi, namun bersih dan wangi. Kulitnya memang tidak terlalu bersih dibandingkan diriku, mungkin karena dia tidak seorang anak manja seperti diriku yang selalu diantar jemput oleh 'supir'.

Dengan wajah yang datar dia mendatangi diriku, dia duduk di bangku sebelahku dan dia tampak menunggu kesadaran diriku untuk menyadari keberadaan dirinya. Dan aku memang sebenarnya sadar dengan keberadaannya, akupun pura-pura bangun sambil mengusap air mataku, semoga dia tidak sadar diriku sedang menangis barusan.

"Kau kenapa menangis?" ucapnya agak lembut.

"Tidak, siapa yang menangis. Dan lagian apa urusanmu denganku?" kataku dengan sedikit kasar.

"Sudah, jangan berbohong, ini air matamu masih tertinggal sedikit, kau menangis seperti habis diputusi oleh pacarmu" ucapnya yang sedetik kemudian mengusap air mata yang berada di pipiku.

Aku hanya bisa terdiam ketika dia mengusap pipiku dengan tangannya, tangannya agak kasar seperti orang yang telah bekerja keras seperti kuli bangunan. Aku kemudian menyadari bahwa tidak semua orang tidak peduli denganku, masih ada satu orang yang peduli dengan diriku, Arman ini contohnya.

Dibalik kepedihan hatiku, kini muncul setitik harapan bahwa masih ada orang yang mengerti tentang diriku dan bagaimana dengan keadaanku. Setelah sekian lama aku mencari seorang teman yang dapat diajak berbagi tentang masalah dan keluh kesahku, aku akhirnya menemukan arman secara tiba-tiba.

"Kau nanti mau pulang bareng? Kebetulan aku membawa sepeda dan aku bisa memberimu tumpangan sampai ke rumahmu nantinya" ucap arman kepadaku.

"Tapi apakah kau yakin akan mengantarkan diriku? Apakah rumahmu dekat dengan dirku?" tanyaku balik kepadanya.

"Iya tidak apa-apa, aku kasihan melihat dirimu yang sedang bersedih hati seperti ini" ucapnya padaku.

Akupun menyetujui permintaannya untuk mengantarkan diriku untuk pulang ke rumah bareng, dan akupun sebenarnya sudah mengingat jelas jalan yang cocok untuk dilalui sepeda untuk sampai ke rumahku.

Siang itu, aku dan Arman bercerita panjang lebar dari mulai pelajaran dimulai sampai pulang sekolah kami selalu bersama layaknya teman dekat. Dari cerita arman aku mengetahui bahwa dia sudah tidak memiliki ibu, ibunya sudah meninggal ketika melahirkan adiknya yang ketiga dan hal itu terjadi tiga tahun yang lalu.

Semenjak kematian ibunya, arman selalu berusaha untuk menjadi anak yang baik dan mematuhi semua perkataan ayahnya. Dia juga membantu ayahnya untuk mengurusi adik dan rumahnuya, di umurnya yang masih muda seperti ini dia sudah terbiasa untuk mencuci pakaiannya sendiri dan juga menyuapi adik-adiknya makan.

Ayah arman juga merupakan seorang guru di salah SMA di sekitar sini, sehingga dia hanya mengurusi adiknya hanya sampai ketika ayahnya pulang. Aku dapat menebak dia merupakan anak yang berbakti kepada orang tua, karena hal-hal yang demikian tidak akan mungkin dilakukan jika dia tidak berbakti kepada orang tuanya.

Akupun dengan sengaja bertanya mengapa ayahnya tidak menikah lagi, aku ingin mendengar apa alasan seorang pria seperti ayahnya arman tidak ingin menikah lagi padahal istrinya sudah meninggal. Namun sepertinya arman sangat risih dengan pertanyaanku itu dan dia memilih untuk tidak menjawab pertanyaanku itu dan mengalihkan perhatian dengan bertanya arah menuju rumahku.

Ya, sekarang aku berada di kursi belakang sepedanya yang tampak masih bagus. Aku langsung pulang kerumah tanpa menunggu ayah, yang aku yakin kini pasti dia sedang mengunggu diriku di depan gerbang sekolah. Arman yang mengayuh sepedanya, sedangkan diriku hanyalah seorang penumpang. Ini bukan pertama kalinya memang aku naik sepeda, namun suasana hatiku memang sedang sangat baik sekarang sehingga membuat diriku sangat bersemangat untuk pulang ke rumah tanpa memperdulikan ayah yang sudah menjemputku atau tidak.

Tak sampai berapa lama, kamipun sampai di depan gerbang rumahku. Akupun segera turun dari bangku penumpang dan membuka gerbang rumah yang agak tinggi ini, dengan sigap kusuruh dia untuk memasukkan sepedanya dan memarkirkannya di dekat taman kecil di depan jendela kamarku.

"Ini rumahmu? Besar juga" decak kagum terlihat dari wajahnya ketika melihat rumahku. "Ya begitulah, kami hanya tinggal bertiga disini dengan ayah dan ibuku" sahutku kemudian.

Akupun menyuruh dia untuk masuk dan segera menuju ke dalam kamarku, aku mengambil dua gelas minuman dingin yang ada di kulkasku yang terletak di dapur. Dengan segera aku mengantarkannya ke dalam kamarku, aku melihat dia tiduran telentang dengan tangan terkepal di belakang kepalanya.

"Apa orang tuamu jarang berada di rumah? Karena kalau demikian, aku yakin engkau pasti sangatlah kesepian" ungkapnya.

"Ya, kau benar. Aku memang sering merasa kesepian dengan situasi diriku saat ini, aku pergi dan kemudian pulang sekolah, makan siang bersama dengan orang-tuaku dan kemudian beraktifias sendiri sampai akhirnya diriku tertidur malam hari" jawabku kemudian.

Akupun memulai cerita panjang lebar mengenai kesepian yang aku alami serta pengalamanku tentang teman-temanku ketika SD dahulu, aku bercerita bahwa aku tidak memiliki teman yang sangat dekat dan sampai aku bawa ke rumah seperti ini, karena aku memang tidak terlalu berani membawa mereka sampai kerumah seperti yang aku lakukan. Aku mengatakan bahwa aku takut orang tuaku nanti marah, terutama ayahku.

Baru saja aku akan bercerita lebih tentang ayah, tiba-tiba dia datang entah darimana.

"Exaudi! Kau dimana?" teriaknya dari luar kamar yang kemudian langsung masuk ke dalam kamarku. Dia sepertinya agak terkejut melihat Arman yang berada di kamarku, namun dia langsung bersikap seperti biasa dan berpura-pura baik.

"Eh ada temanmu toh, ayo makan dulu, saya yakin kalian belum makan siang kan" ucap ayah.

Akupun mengajak Arman untuk makan bersama karena aku yakin bahwa dia sudah sangat lapar karena membonceng diriku tadi, namun dia menolak permintaanku itu dengan halus. Dia mengatakan bahwa dia pasti sedang ditunggu oleh adik-adiknya di rumah, dia harus menyuapi adiknya makan siang di rumah.

Mendengar hal itu, ayah semakin terkejut dan dia tersenyum sangat manis. Aku belum pernah melihat gesturenya yang seperti itu, apalagi dengan senyum yang sangat manis seperti itu, tidak pernah sama sekali. Ayahpun menawarkan dirinya untuk mengantarkan Arman sampai ke rumahnya, namun Arman juga menolak dengan halus dengan beralasan dia akan menggunakan sepedanya.

Aku berdua dengan ayah mengantarkan Arman sampai di depan rumah, setelah arman sudah agak jauh pergi ayah mengungkapkan rasa ingin tahunya tentang arman kepadaku.

"Siapa dia? Seperti anak yang baik, apakah dia temanmu?' tanyanya kepadaku dengan nada penuh penasaran.

"Ya kenapa memangnya? Apakah ada yang salah dengannya" jawabku.

"Tidak, dia seperti anak yang baik. Aku senang engkau berteman dengannya, well, setidaknya kau punya teman sehingga kau tidak akan terus-terusan berwajah masam dan kusut sepanjang waktu" ungkapnya ketus.

"Apa maksudmu? Ada apa memang dengan wajahku?" tanyaku balik padanya.

"Apakah kau tidak sadar dengan perubahan wajahmu itu? Kau sekarang lebih ceria dan lebih sering tersenyum jika melihat temanmu itu, mungkin dia sudah memberikan pengaruh ini. Dan aku bersyukur tidak melihat wajah masammu itu lagi sekarang, dan kuharap itu tetap bertahan" ujar ayah.

Kepalaku masih mencerna apa yang dimaksud oleh ayah, apakah memang benar wajahku berubah menjadi lebih cerah dan lebih enak dipandang? Bukankah diriku memang sangat indah untuk dipandang dari dulu? Pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku, sampai malam menjelang.

Esok harinya diriku terkaget melihat Arman yang sudah berada di depan gerbang rumahku dan memanggil-manggil namaku, awalnya aku tidak tau siapa yang memanggil namaku di depan gerbang rumah. Dan ketika ibu melihat keluar, dia datang membawa Arman. Ibu mengatakan bahwa Arman mengajak diriku untuk berangkat bersama ke sekolah, ibu mengungkapkan hal itu sambil mengerutkan dahinya.

Akupun segera bergegas menyiapkan semua barang-barangku yang akan aku bawa, dan segera pamit. Sebelum aku pergi, ibu meminta ayah untuk mengantarkan kami berdua, namun Arman menolak dan mengatakan bahwa dia akan membonceng diriku sampai ke sekolah dan dia juga datang kesini bukan untuk meminta tumpangan kepada diriku.

Ibu sama terkejutnya dengan ayah, aku melihat wajah mereka seperti orang yang habis memenangkan undian berhadiah, seperti belum percaya. Ibu kemudian melepas kepergian sampai ke depan gerbang, ibu menyuruh diriku untuk berpegang erat kepada Arman dan ibu meminta Arman untuk berhati-hati dalam mengendarai sepeda.

Arman kemudian menjemputku setiap hari dan ibu seperti senang melihat diriku memiliki teman baik seperti Arman ini, ibu mengatakan kepadaku bahwa diriku menjadi pribadi yang lebih baik, lebih sopan dan juga lebih baik dalam bertutur kata.

Awalnya aku tidak menyadari dengan apa yang dikatakan oleh ibu, namun aku semakin mendapati kenyataan yang sebenarnya dari teman-temanku sekelas. Mereka yang awalnya tidak mau berteman denganku kini mau berteman denganku, beberapa dari mereka kemudian mengungkapkan bahwa beberapa diantara mereka tidak ingin berteman denganku karena diriku selalu terlihat kacau sebelum berteman dengan Arman.

Dan kini bukan hanya teman-temanku yang berlaku lebih baik kepadaku, tapi guru-guruku juga dan Ayah. Entah kenapa ayah menjadi lebih baik kepadaku, dia sepertinya menjadi lebih peduli kepadaku dan sering berbicara kepadaku, dan tanpa aku sadari kami sering menghabiskan waktu bersama di malam hari hanya dengan bercerita, entah itu ekonomi, politik atau bahkan gosip tentang artis dan tetangga.

Pertemananku dengan Arman kemudian menjadi lebih baik hari demi hari, kami sering melakukan banyak hal berdua, dari belajar bersama, makan bersama, dan olahraga bersama. Arman juga pernah menginap di rumahku, dan ibu juga menyetujuinya dan dia juga seperti menganggap Arman anaknya sendiri.

Ketika aku tidur bersama Arman, dia selalu memeluk tubuhku dari belakang layaknya seperti bantal guling. Awalnya aku merasa aneh dan risih karena tidak biasa diperlakukan seperti itu, seperti entah apa diriku ini dibuatnya. Namun semakin hari aku semakin nyaman diperlakukan olehnya seperti itu, dan dia kemudian mencium keningku.

Hal seperti ini sepertinya hal biasa yang dia lakukan kepada adik-adiknya sebelum mau tidur, namun ini pertama kalinya ada anak laki-laki lain yang mencium keningku sehingga aku hanya bisa tersipu malu ketika Arman melakukan hal itu.

Pertemananku dengan arman juga semakin jauh, kami semakin sering menghabiskan waktu bersama. Dimulai dari jalan-jalan melihat tempat baru, berenang bersama di sungai atau danau, pergi ke hutan dan juga aku mencoba untuk merokok. Semua pengalaman baru yang aku lakukan bersamanya selalu dengan senang hati, tanpa pikir panjang dan kadang agak ekstrim. Merokok contohnya, walaupun sebenarnya aku tidak mungkin menceritakan hal itu kepada ibu.

Namun suatu hari ibu melarang diriku untuk bermain lagi Arman, dia mengatakan bahwa Arman adalah orang yang bertanggung-jawab atas semua perilaku burukku yang selama ini aku tunjukkan. Akupun bingung dengan pernyataan yang dikatakan ibu, aku merasa tidak melakukan hal yang salah ataupun melanggar aturan yang ada di rumah ini.

Ibu mengatakan bahwa diriku menjadi semakin pembangkan, susah untuk diatur dan juga menjadi lebih pemalas sehingga prestasiku menjadi turun, ibu juga mengatakan diriku sekarang sudah berani merokok. Aku yang mendapati ibu mengetahui hal tersebut menjadi terkejut. Akupun bertanya siapa yang mengatakan hal-hal yang diungkapkan ibu barusan, namun awalnya dia tidak memberitahukannya sampai akhirnya ibu mengetahui berbagai hal itu dari Ayah.

Sepertinya ayah sudah berhasil menghasut ibu dan menggangu ketenangan diriku lagi, akupun berusaha meyakinkan ibu bahwa diriku tidak melakukan hal yang dituduhkan ibu kepadaku. Namun ibu sudah kepalang terhasut dengan perkataan Ayah kepadanya, dan ibu semakin menjadi-jadi mengatai diriku.

Ibu menyebutku sebagai anak yang telah rusak, anak durhaka dan juga anak pembangkang, dan kata-kata itu terngiang di kepalaku. Kata-kata ibu tersebut entah kenapa membuat hatiku seperti teriris, air mataku kemudian jatuh kembali. Emosiku sangat tidak dapat aku tahan, dan akupun berlari ke kamar.

Di kamar aku menangis tersedu-sedu mendapati kenyataan bahwa ibu lebih percaya dengan kata-kata Ayah dibandingkan diriku anak kandungnya sendiri. Dan kesedihanku semakin bertambah ketika aku harus dipindahkan ke rumah kakek dan nenek, dan diriku dipaksa untuk bersekolah disana.

"Tapi bu, aku sudah bahagia disini. Aku memiliki banyak teman disini, dan aku sudah nyaman untuk berada disini" ucapku.

"Tidak, kamu akan tetap tinggal bersama kakek dan juga nenek. Kamu lebih baik tinggal disana daripada kamu berulah yang aneh-aneh" ucap ibu.

"Ya benar yang dibilang ibumu, sekarang kamu siapkan saja semua barang-barangmu nak" ucap Ayah.

"Diam kau pria brengsek, tidak ada yang menyuruhmu bicara. Ini hanya percakapanku dengan ibuku!-" belum selesai aku berbicara ibu sudah menampar diriku, Plak!

Continue Reading

You'll Also Like

39K 2.3K 29
🏳️‍🌈 GAY STORY Adrian, namanya terseret kasus penggelapan dana perusahaan yang sama sekali tidak ia lakukan. Tapi hakim sudah memutuskan Adrian seb...
119K 2.9K 28
Cerita bagaimana perjalanan hidup Aldi seorang guru baru yang orientasi seksualnya gay lalu bertemu dengan guru tampan bernama Pa Egi. Hingga akhirny...
2.6K 309 15
Raden adalah pacar Fahri, selama ini mereka selalu menunjukan perhatian lebih satu sama lain. Fahri dengan keikhlasanya, Raden dengan hartanya. Namun...
296K 8.6K 23
Apa jadinya, jika supervisormu yang seharusnya menjadi pembimbing kamu selama magang menjadi orang yang pertama kali menjatuhkan kamu ke dunia kelam...