Always Lin [Lai Guanlin]

By hilxlin

46.6K 3.6K 93

"Na, hatiku...sudah kamu bawa jauh bertahun-tahun lamanya. Dan sekarang, kamu minta aku buat menjauh dan melu... More

1: Tukang ngintip
2 : Ditebengin
3 : Nasgor
4 : Pujasera
5 : dejavu
6 : what is love?
7 : my answer is you
8 : jealous
9 : instagram?
10 : remidi?
11 : sick?hug?
12 : slap
13 : kesel,capekkk
14 : wedang ronde
15 : ternyata sahabat?
16 : jihoon sialan!
18 : cie ngebelain dia:')
19 : berantem??
20 : Lin, jangan pergi...
21 : jauh darimu..
22 : jatuh hati denganmu
23 : kamu percaya kan???
24 : sepan
25 : gimana apanya?
26 : Makrab
27 : kekunci!!
28 : asli ganteng
29 : Guanlinnnnn😈
30 : mistakes
31 : get sick
32 : dijengukin para cogan
33 : baikan
34 : surprised
35 : es kepal
36 : seriously,im sorry
37 : graduation
39 : nyeri lagi
38 : hangout
40 : what a fact?
41 : Sena?
42 : shocked
43 : nothing a reason
44 : let you go
46 : gagal?
side story- the bad night
47 : selamat ulang tahun
epilog

45 : hai Sena

704 47 0
By hilxlin

Sudah empat bulan berlalu sejak kejadian malam itu, juga kejadian yang membuat Guanlin merutuki dirinya sendiri. Dan hampir satu bulan ia tinggal di Bandung— tidak dengan Sena tentunya, namun Sena sering mengunjungi Guanlin yang tinggal di rumah neneknya.
Guanlin bekerja di salah satu perusahaan teman Ayahnya, menjadi arsitek pada satu projek yang sedang digarap.

Semua terasa berubah. Tak ada lagi sapaan dari gadis itu, setiap pagi, atau menjelang malam, membisikkan ucapan selamat pagi ataupun selamat tidur.
Tak ada lagi gelak tawa saat ia berhasil membuat kejutan kecil, ataupun candaan Guanlin padanya.
Impiannya membangun sebuah rumah tangga dengannya sudah hancur, tidak ada lagi impian untuk dirinya bekerja keras demi Nana.

Kemudian, sedikit perasaan benci pada gadis itu mulai tumbuh, lebih didominasi oleh rasa rindu tentunya.
Rasa benci, rindu, cinta, semuanya beradu didalam hati Guanlin. Terkadang, mengingat kembali kenangannya dengan gadis itu membuat dirinya tak sengaja tersenyum. Namun, senyum itu hilang lagi jika mengingat saat gadis itu memutuskan hubungannya begitu saja dengan alasan dijodohkan.

Tidak, Guanlin sama sekali tidak percaya jika itu benar. Ia tahu betul bagaimana seorang Nana. Buktinya, hubungan mereka sempat bertahan lama, meskipun akhirnya....

Hanya kesibukan pada pekerjaan yang membuat Guanlin cukup untuk sedikit melupakan gadis itu.

Sekarang, kesibukannya ia lakukan untuk demi masa depan dirinya dan Sena.

Ya, Sena tengah mengandung anak Guanlin. Usianya menginjak empat bulan. Dan mereka belum menikah.
Tentu saja, karena Guanlin sendiri masih tidak percaya jika Guanlin melakukan itu pada Sena pasca acara wisuda.
Ia tidak ingat apapun tentang malam itu, tapi Sena memberikan beberapa bukti padanya, jika mereka berdua melakukan itu.

Guanlin mengulur waktu pernikahan mereka lebih lama, dengan alasan ia harus bekerja lebih dahulu. Bagaimanapun, Guanlin harus mencari nafkah untuk Sena.
Tapi sebenarnya bukan begitu, Guanlin juga sedang mencari kebenaran, apakah memang betul ia melakukan itu pada Sena. Tidak, bukan berarti Guanlin tidak ingin bertanggungjawab, hanya saja Guanlin masih ragu.... hatinya tidak rela jika harus menikahi gadis selain Nana....
Semua yang ia lakukan sampai sekarang, tujuannya hanya untuk Nana.

Guanlin sama sekali tidak mencintai Sena. Ia hanya menganggap Sena sebagai teman baiknya.
Guanlin tahu, jika Sena menyukainya. Terlihat dari perlakuan Sena padanya, tapi Guanlin pura-pura tidak tahu. Karena, hatinya benar-benar ia jaga untuk Nana.

Guanlin menghela nafas, mengingat Sena yang selalu menuntut padanya untuk segera menikahinya.

Ia sibukkan diri pada pekerjaan, agar dapat sedikit mengurangi beban masalah yang ia hadapi.

Guanlin merasakan sebuah tangan melingkar di bahunya.
Siapa lagi kalau bukan Sena.

"Lin, kamu sibuk banget?" Tanya Sena.
Membuat Guanlin sedikit risih dengan perlakuan Sena.

"Hmmm, kamu bisa liat sendiri kan?"
Balas Guanlin tanpa berbalik menatapnya. Pandangannya hanya tertuju pada layar laptop dihadapannya, juga beberapa berkas yang menumpuk.

Sena berdecih didalam hati, mengapa Guanlin selalu cuek padanya. Padahal terkadang, Guanlin mulai bersikap manis padanya. Ia pikir, Guanlin masih menyimpan hati untuk Nana, bukan untuknya, atau mungkin belum??

"Lin."

"Apalagi?"

"Kita....jadi nikah kan?" Tanya Sena, mulutnya lelah untuk terus menanyakan hal itu. Guanlin tak kunjung memberi kepastian, meskipun Guanlin memang benar-benar akan bertanggungjawab.

Guanlin menghela nafas, "aku udah ngomong soal ini sama orangtuaku, tunggu beberapa waktu lagi, nggak lama kita akan nikah."

Dalam hati Sena bersorak senang. Membayangkan pernikahannya dengan Guanlin. Berharap ia akan mencoba membuat Guanlin perlahan mencintainya, memberikan cinta pada Guanlin setiap harinya.
Padahal ia tidak tahu, jika perbuatannya ini akan membuat seseorang benar-benar terluka...

"Beneran?" Tanya Sena lagi, Guanlin mengangguk.

"Terus, kapan aku dibawa ke orangtua kamu? Aku juga pengen ketemu calon mertua aku, hehe." Ujar Sena dengan cengirannya. Masih dengan memeluk Guanlin dari belakang.

Guanlin sedikit tertegun dengan ucapan Sena. Ada hal yang ia takutkan jika membawa Sena ke Jakarta.
Ya, tentu saja gadis itu. Bagaimana jika Nana menyaksikan dirinya membawa gadis lain ke rumahnya. Bagaimanapun jika Nana menyaksikan dirinya sedang duduk bersama gadis lain di pelaminan.
Akankah gadis itu menangis? Bahkan terluka?

Tapi... Persetan dengan semua itu. Bahkan, mungkin gadis itu sudah tak perduli lagi dengannya, pikir Guanlin.

Guanlin mengangguk, sedikit menolehkan kepalanya. "Besok aku bawa kamu ke Jakarta,"

"Serius?" Tanya Sena semangat. Dan Guanlin hanya menjawab dengan anggukan.

"Nanti malem kita langsung berangkat."
Ujar Guanlin datar, seraya melirik arlojinya.

"Berarti aku harus siap-siap sekarang ya, aku pulang dulu, mau beresin barang-barang." Ujar Sena, lalu mengecup puncak kepala Guanlin.

Guanlin terdiam membisu. Ia tidak suka jika ada orang lain berlaku seperti itu, jika bukan Nana.

Guanlin beralih menatap Sena, "Kamu hati-hati, jangan terlalu capek. Kasian yang ada didalam perut kamu."

Seketika pipi Sena memanas. Ia senang saat Guanlin sedikit-sedikit mulai perhatian padanya.
Tidak, Guanlin memang perhatian. Tapi perhatiannya kali ini, sungguh membuat
Sena bahagia, juga berdebar kencang.

"Iya, aku pasti nggak bakal ngelakuin yang capek-capek kok. Aku pulang dulu ya, bye." Ujarnya lalu pergi dari ruang kerja Guanlin yang ada dirumah neneknya.
Lalu Guanlin pun ikut bersiap.


























Perjalanan sekitar memakan waktu sampai setengah hari, kini Guanlin tengah membelokkan mobilnya menuju halaman rumahnya di Jakarta.
Kenangan lama muncul lagi saat dia melihat ke arah balkon kamar disebelah kamarnya.

Oh, ayo Lin. Sulit sekali sih, buat ngelupain dia..

Kemudian diliriknya Sena yang tertidur pulas di bangku penumpang disampingnya.

"Sen, bangun, udah nyampe." Guanlin menggoyangkan sedikit bahu Sena, sesekali mengusap surainya.

Sekosong apapun perasaannya pada Sena, ia tetap harus memberikan perhatian padanya, juga calon anaknya.

Sena sedikit melenguh, kemudian matanya perlahan terbuka.

Ia melirik Guanlin yang tengah menatapnya, sambil tersenyum.
Rasanya ada berjuta-juta kupu-kupu yang terbang di perutnya. Melihat Guanlin yang tengah tersenyum padanya, sungguh luar biasa bagi Sena— mengingat Guanlin yang jarang tersenyum seperti itu akhir-akhir ini.

Sena ikut tersenyum.

"Ayo turun." Ujar Guanlin seraya melepaskan sabuk pengamannya.
Sena melakukan hal yang sama.

Setelah mengambil koper yang ada di bagasi mobil, mereka berdua langsung masuk kedalam rumah.

"Bunda, Guanlin pulang." Teriak Guanlin pelan saat kakinya menginjakkan di lantai rumah, tempatnya tumbuh dewasa.

Ibunya yang menjelang usia 50 an, muncul dari dapur. Tersenyum hangat ke arah mereka berdua.

Ibunya langsung memeluk Guanlin cukup lama, sampai Guanlin berbicara.
"Bun, ini ada Sena."

Ibunya sedikit terperanjat, lalu beralih menatap Sena.

"Tante, aku Sena." Ujarnya sopan.
Ibunya tersenyum dan membelai Sena lembut.

"Tante Ibunya Guanlin, panggil aja Tante Yoona." Ujar Ibunya dengan senyum hangat yang tak pernah hilang.

Guanlin sempat tertegun, saat Ibunya memperkenalkan diri. Membiarkan Sena memanggilnya dengan sebutan'Tante' padahal dia adalah calon menantunya.
Kenapa dia tidak biarkan Sena memanggilnya dengan sebutan 'Bunda' seperti saat dia berkenalan dengan Nana beberapa tahun yang lalu?
Entahlah, Guanlin tidak tahu. Hanya Bundanya yang tahu.

Ibunya menggiring mereka berdua menuju ruang tengah.

"Udah masuk berapa bulan, Sen?"
Tanya Ibunya. Guanlin sedikit melirik kearah Sena yang sedang tersenyum Senang.

"Empat bulan, Tan." Jawab Sena.

"Sehat terus, ya. Eh Lin, kamu siapin kamar buat Sena, kamar kamu udah bersih, Mamah udah bersihin setiap hari." Titah Ibunya.
Tidak mungkin kan, kalau Guanlin dan Sena harus tidur berdua dalam satu kamar, pikir Ibunya.

Guanlin mengangguk lalu berjalan menuju kamar yang ada di lantai satu, dekat dengan kamar Ibunya.
Lantai atas memang ada beberapa kamar, namun belum disediakan tempat tidur. Hanya ada kamar Guanlin.

"Udah periksa kandungan belum Sen?" Ucap Ibunya Guanlin.

Sena menggeleng pelan, "belum, tapi hari ini seharusnya ada jadwal buat periksa."

"Yaudah nanti sore ke Dokter aja, gimana? Nanti Tante ikut." Ujar Ibunya dan langsung diangguki oleh Sena dengan senangnya.

Ada perasaan lain saat Yoona melihat Sena, berbeda saat dia menatap Nana.
Dimatanya, Nana benar-benar sudah ia anggap sebagai anak gadisnya yang lucu, manis, selalu ia sayangi. Ia ikut haru saat tahu, Nana membuat keputusan seperti itu. Perasaan sayang pada anak itu masih melekat sampai sekarang di hati Yoona.



***



"Nana, aku ke kampus dulu bentar, ya. Mau ngasih tugas ke dosen, nanti aku kesini lagi, nggak apa-apa kan?"
Tanya Renjun pada Nana yang tengah memakan buah apelnya diatas brankar.

Nana mengangguk. Renjun tersenyum seraya mengusap lembut Surai hitamnya yang sekarang di potong sebahu.

"Yaudah, bye. Kalo ada apa-apa panggil suster aja ya."

"Iya," jawab Nana sambil memandangi punggung Renjun yang mulai menjauh.

Perasaannya selalu tertekan saat mengingat lelaki itu. Ia tidak yakin, apakah ia harus benar-benar melupakannya atau tidak. Usahanya untuk melupakan lelaki itu berakhir entah bagaimana, semuanya beradu satu dalam benak Nana. Rasa bersalah, menyesal, takut, malu, juga rasa cinta...

Terkadang, ia berfikir. Ataukah ia harus membuka sedikit hatinya untuk Renjun.
Ia tidak tahu, rasanya...hatinya sudah benar-benar dibawa jauh oleh Guanlin.

Sudut bibirnya terangkat sedikit.
Kenapa ia mengingat kembali lelaki itu, apakah dirinya merindukan dia? Entahlah, Nana tidak tahu perasaan apa ini.

Saat rasa bosan melanda dirinya karena ditinggal Renjun sendirian, Nana memutuskan untuk pergi ke kantin rumah sakit untuk membeli beberapa makanan yang ia inginkan, seperti coklat.

Perlahan ia turun dari ranjang, lalu meraih kursi roda yang ada disitu. Ada tempat sendiri untuk membawa selang infusnya.

Ia dorong sendiri roda yang ada di kanan-kiri nya. Perlahan, ia keluar dari kamar menuju kantin rumah sakit.

Beberapa kali ia tersenyum pada pasien yang ia lihat, mungkin ia hampir kenal dengan pasien yang ada didekat kamarnya, mengingat ia hampir sudah cukup lama di rumah sakit ini.

Setelah membeli beberapa coklat dan susu kotak, ia kembali lagi menuju kamarnya.

Saat baru berbelok, seseorang menyenggol kursinya tanpa sengaja, membuat beberapa coklatnya jatuh ke lantai.

Nana hanya mendengus sebal, lalu ia sedikit menunduk untuk mengambil coklatnya.

Namun, tangan seseorang meraih coklatnya. Nana mendongakkan wajahnya, dan melihat sosok perempuan dihadapannya.

Perempuan dihadapannya sedikit terkejut melihat Nana. Sedangkan Nana, eskpresi wajahnya biasa saja, mengingat dia tidak kenal Seseorang dihadapannya.

"Ini, maaf aku nggak sengaja menyenggol. Aku nggak melihat kamu ada disini tadi," ujar perempuan itu dengan nada penyesalan.

Perempuan itu adalah Sena. Namun Nana tidak mengenalnya.
Sena tertegun melihat keadaan Nana.
Terduduk di kursi roda, badannya yang terlihat kurus, rambutnya tak sepanjang dulu saat ia sering melihat fotonya di wallpaper phonsel Guanlin.

Ada apa dengan Nana sebenarnya? Sena sungguh bingung, ada sedikit perasaan bersalah pada gadis itu, mengingat Sena yang mencoba merebut Guanlin darinya.
Apakah dia penyebab Nana seperti ini?

Nana menerima coklat tadi, lalu tersenyum kecil pada Sena.
"Nggak apa-apa, jangan merasa bersalah, kan nggak sengaja."

Sena masih terjongkok dihadapan Nana.
Memandang gadis itu tak percaya, sedangkan Nana hanya menatap Sena dengan wajah bingung.

"Kamu nggak apa-apa?" Tanya Nana pelan, saat menyadari perempuan dihadapannya menatapnya aneh.

Sena sedikit terperanjat.

"Nggak apa-apa."

"Kamu...pasien disini..?" Tanya Sena pelan. Dan Nana hanya mengangguk.

"Boleh, aku anterin ke kamar kamu? Sebagai permintaan maaf aku tadi,"
Ujar Sena penuh harap.
Ia ingin mengetahui ada apa dengan Nana.

"Emmmm boleh," ujar Nana setelah menimbang-nimbang, ia butuh bantuan saat ini.

Sena tersenyum lalu berbalik ke belakang kursi roda untuk mendorong Nana pelan.

Hatinya bergejolak, ia ingin mencoba meyakinkan apakah ini benar-benar Nana.
"Nama kamu siapa?"

"Aku Nana, Kim Nana." Ujarnya sedikit berbalik badan kebelakang, memandang Sena dengan tangan yang terulur, tak lupa dengan senyum manisnya.

Sena tak menyangka, bertemu dengan orang asing pun, Nana bersikap baik. Pantas saja Guanlin benar-benar mencintainya.

Sena menyambut uluran tangan Nana.
"Aku, Sena."

"Senang kenalan dengan kamu, Sen."

"Ah iya?" Nana mengangguk.

"Aku juga senang kenalan sama kamu, Na." Ujar Sena, sedikit air mata penuh di pelupuk matanya.
Ia merasa bersalah, membuat Guanlin seperti sekarang. Memaksa Guanlin agar bersamanya, sementara ada gadis lain yang begitu baik, yang mungkin masih mencintai Guanlin.

"Kamu, ngapain ke rumah sakit, Sen?"
Tanya Nana tanpa ragu.

Ada sedikit keraguan untuk menjawabnya, "a-aku periksa kandungan."

Sena yang mendorong kursi roda Nana sedikit bingung, karena tak ada respon dari Nana. Dilihatnya Nana sedikit menundukkan kepalanya dan menatap kosong lantai dihadapannya.

Perubahan wajahnya mudah berubah, ada apa sebenarnya? Apa aku salah bicara?

"Nana?" Sena sedikit mengguncang bahu Nana.

Nana terperanjat, lalu melirik Sena.

"Enngg, kamar aku diujung sana, sampe sini aja, makasih ya." Ujar Nana seraya menunjuk kamarnya.

"Enggak, aku anterin kamu sampe kamar." Ucap Sena seraya mendorong kursi roda Nana.

Saat sampai didepan kamar Nana, Sena justru duduk di kursi tunggu, seraya menatap Nana.

"Nana?"

"Hmm?"

"Aku pengen bicara lebih banyak sama kamu, kamu orangnya baik." Ujar Sena membuat Nana terkekeh.

"Kamu bisa aja. Mau bicara apa? Aku nggak pinter bercerita, kalo kamu tanya, entar aku jawab deh." Ucap Nana.

"Beneran?" Nana mengangguk.

"Oh iya, sekarang kamu masih kuliah? Atau udah lulus?" Tanya Sena.

"Udah lulus dan  aku punya cafetaria sendiri. Tapi beberapa bulan terakhir, aku pegangin cafetaria itu ke Kakak aku buat diurus sementara. Kalo keadaan aku sudah membaik, cafetaria nya aku lagi yang urus."

Deg

Ini benar-benar Nana.

Cafetaria itu...yang sering Guanlin ceritakan padaku.

Sena melirik cincin yang melingkar di jari manis Nana.

Apa Nana juga sudah menikah dengan lelaki lain? Bagaimana bisa? Apakah ia sudah benar-benar melupakan Guanlin?

"Maaf kalau aku lancang, Kamu.... udah nikah?" Tanya Sena penuh kehati-hatian.

Nana menatap cincin itu. Sedikit mengingatkan pada lelaki itu.

Nana menggeleng pelan, "belum, aku belum menikah." Nana tersenyum hambar. "Ini dari seseorang yang aku sayangi, tapi...aku nggak tahu, apa dia masih mencintai aku."

Hati Sena sedikit ngilu, seseorang yang dimaksud Nana pasti Guanlin.

"Lalu, kenapa kalian nggak menikah?"

Sedikit lama Nana tidak menjawab, sekuat tenaga Nana mencoba untuk tidak menangisi lelaki itu.
"Aku yang memutuskan hubungan ini."

"K-kenapa?"

"Ada alasan lain yang nggak bisa aku jelaskan ke dia."

Sungguh, Sena benar-benar merasa bersalah. Ia tahu bagaimana perasaan Nana, karena dia sesama perempuan.
Air matanya hampir meluncur bebas.
Tapi ia tahan.

"Maafin aku, aku...nggak tahu.."

"Nggak apa-apa, mungkin ada jalan yang lebih baik dari ini." Potong Nana.

"Maafin aku." Lirihnya lagi.

"Hey, nggak apa-apa Sen. Jangan merasa bersalah gitu, lagian aku sendiri nggak kenapa-kenapa." Ujarnya lagi. "Aku lega bisa cerita begini ke orang lain."

Maafin aku...aku rebut Guanlin dari kamu.

Maafin aku...yang memaksa Guanlin buat nikahin aku.

Maafin aku...yang mengambil kesempatan ditengah-tengah masalah kalian.

"Kalo nggak keberatan, kamu sakit apa? Kenapa bisa dirawat disini?"

Nana menatap Sena.
"Tentang ini, cuma aku dan keluarga aku yang tahu, bahkan, aku sembunyikan ini dari pacar aku. Ah, maksudku mantan pacar."

"Tapi karena aku rasa, kamu itu baik, meskipun aku baru kenal kamu. Aku bakal kasih tahu sama kamu." Tambah Nana.

Sena menatap Nana tak percaya.

Semudah itukah ia percaya pada Sena?

Ah, ia lupa jika wajah innocent nya mampu menipu siapa saja.

"Kenapa kamu bisa langsung percaya sama aku?"

"Kamu orangnya friendly, dari gaya bicara kamu udah kelihatan." Nana terkekeh dengan ucapannya.

Sementara Sena, menatap Nana penuh heran.

"Aku...ada kista yang tumbuh disalah satu indung telurku. Udah jadi kanker, carsinoma ovarium." Ujar Nana pelan.

Seketika jantung Sena mencelos begitu saja.
Apa yang ia dengar baru saja sungguh mengejutkan dirinya.
Di usia yang masih muda, Nana memiliki kanker seperti itu.

"Aku divonis tidak bisa punya keturunan. Tapi, setelah dioperasi kemarin, dokter bilang, indung telur yang satunya lagi tidak ditumbuhi kista, jadi... mungkin masih ada harapan untuk aku punya keturunan." Ucap Nana, pandangan kosong.

Air mata Sena benar-benar sudah menetes. Ia tidak menyangka, ternyata Nana lebih menderita dari apa yang ia kira.

Nana menyadari jika Sena menitikkan air matanya. Tangannya terulur untuk mengusap air mata itu.
"Hei, kenapa nangis?"

Sena menggeleng pelan.
"Aku nggak nyangka, di usia kamu yang masih muda, indung telur kamu harus diangkat."

"Aku juga kadang berpikir begitu."

"Semoga kamu sehat selalu, dan bisa mempunyai anak yang banyak."
Sena menatap Nana penuh haru.
Nana mengangguk. "Makasih banyak atas doanya."

"Berapa usia kandungan kamu?"
Tanya Nana.

"Empat bulan." Jawab Sena seraya memandang perutnya yang belum terlalu membuncit.

"Oh iya, suami kamu mana?"
Tanya Nana membuat Sena tertegun kembali.

Bagaimana ia harus menjawabnya?
Bagaimana jika ia tahu bahwa calon suaminya adalah Guanlin?

"Emmmm ada, tadi masih didepan kayaknya." Bohongnya.

"Harusnya orang hamil kayak kamu ada yang—" ucapan Nana terpotong saat seseorang datang dan berbicara pada Sena.

"Sena. Kamu dari mana aja, aku udah tunggu dari tadi, taunya disini." Ucap seorang pria tadi dengan nafas sedikit terengah-engah karena tadi setengah berlari untuk menghampiri Sena.

Sena sangat terkejut akan kedatangan Guanlin disini. Ia menoleh pada Nana dan Guanlin secara bergantian, pandangan mereka berdua bertemu—meski hanya saling diam membisu.

Keduanya masih sama-sama diam dalam waktu yang cukup lama. Seakan ingin saling berbicara namun tertahan.
Sampai kemudian Nana yang membuang muka dan segera memasuki kamarnya tanpa memperdulikan Sena, ataupun Guanlin lagi.

Nana mengunci pintu dari dalam, ia tak segera pergi ke ranjangnya, ia masih duduk di kursi roda yang bersandar pada daun pintu.

Ia merasa malu, takut, terkejut saat melihat Guanlin disana. Ia juga merasa sakit, saat baru saja ia mengetahui bahwa Guanlin mungkin adalah suami Sena—perempuan yang baru saja ia kenal.

Sekuat tenaga, Nana tahan untuk tidak menangis disini, ia tahu Guanlin masih terdiam disana.
Samar-samar Nana mendengar  percakapan dari luar.

"Lin.." lirih Sena.

"Ayo pulang," ujar Guanlin pelan, tanpa menghiraukan panggilan Sena.

"T-tapi, Lin. Kamu—bicaralah sedikit dengan d-dia," Sena dengan berat hati mengucapkan kata-kata itu. Ia takut menyinggung hati Guanlin, juga ia takut jika Guanlin sewaktu-waktu akan kembali pada Nana dan meninggalkannya.

Guanlin menghela nafas panjang, "Ayo pulang sekarang." Ujarnya lalu melangkah mendahului Sena yang masih terpaku disitu.


Sena memandang pintu kamar rumah sakit itu sekali lagi sebelum pergi. Ingin sekali ia mengetuk pintu dan memohon untuk berbicara pada Nana, lalu ia meminta maaf.
Tapi ia juga memikirkan sisi buruknya—Nana akan menganggap dirinya benar-benar bersalah karena sudah merebut Guanlin darinya padahal dia sendiri tahu, Guanlin memiliki hubungan dengan Nana.

Sementara didalam, Nana sudah tidak tahan untuk menahan air matanya yang sejak tadi ia tahan. Semuanya terasa menyakitkan. Ada rasa menyesal karena telah meninggalkan lelaki itu—terlebih saat ia tahu jika Guanlin sudah menikah dan istrinya itu tengah mengandung buah hati mereka.

Guanlin sudah mendapatkan keluarga kecil yang sempurna.

Luka bekas operasi, luka hatinya, semuanya terasa pedih dalam satu waktu Benar-benar menyakitkan.


***

Hampir end hahaha:> sorry for late update

Continue Reading

You'll Also Like

6.1M 707K 53
FIKSI YA DIK! Davero Kalla Ardiaz, watak dinginnya seketika luluh saat melihat balita malang dan perempuan yang merawatnya. Reina Berish Daisy, perem...
7.4M 227K 46
Beberapa kali #1 in horror #1 in thriller #1 in mystery Novelnya sudah terbit dan sudah difilmkan. Sebagian cerita sudah dihapus. Sinopsis : Siena...
1.1M 116K 55
Ketika menjalankan misi dari sang Ayah. Kedua putra dari pimpinan mafia malah menemukan bayi polos yang baru belajar merangkak! Sepertinya sang bayi...
1.7M 68.7K 43
"Setiap pertemuan pasti ada perpisahan." Tapi apa setelah perpisahan akan ada pertemuan kembali? ***** Ini cerita cinta. Namun bukan cerita yang bera...