Mawar Tak Utuh

By hayelaw_

6.3K 63 3

Arana tak bisa apa-apa ketika ibu tirinya memaksanya menikah dengan Galih demi memadankan kondisi ekonomi mer... More

Pacarnya

Dia

572 36 3
By hayelaw_

"Keluarga Galih itu kaya-raya! Kamu beruntung dipilih sama keluarga mereka! Asal kamu tau, banyak cewek-cewek ngantri cuma untuk ngemis agar mereka bisa menjadi istri Galih!"

Risa, wanita 54 tahun itu membentak Arana kasar. Tak peduli dirinya lagi sakit. Yang penting bentakannya membuat Arana mau menurut.

Ini menyakitkan, sungguh. Bagaimana mungkin ibu tiri Arana tega menjodohkan Arana hanya untuk tujuan memperbaiki ekonomi yang kini kian merosot?

"Astaghfirullah, Ibu. Rana masih dua puluh tahun, masih pengen bebas kuliah. Kan, aku udah bilang, aku insya Allah pasti bisa ngasih Ibu duit tiap bulan. Aku, kan, juga kerja."

"Alasan kamu itu-itu terus! Kamu pikir kerja di toko buku bisa biayain hidup Ibu, apa? Untuk biaya kamu aja nggak kesampaian, malah ngimpi mau ngasih Ibu tiap bulan!"

Lagi-lagi Arana menangis karena ucapan ibu tirinya.

"Rana pengen menikah karena Allah, Bu, bukan karna harta."

"Kan Ibu yang nyuruh. Kalo kamu nggak nurut berarti kamu durhaka!"

"Astaghfirullah, Bu ....”

"Sudah! Besok pagi keluarganya datang. Awas kalau kamu nggak siap-siap. Sekarang sana tidur!" bentak Ibu seraya menutup pintu kamar Arana kasar.

Arana melepas mukenanya. Di tepian kasur, dia menutup wajahnya, menangis tanpa suara.

Andai saja ayah kandungnya masih hidup, pastilah beliau menentang keputusan ibu tirinya. Ayahnya yang bijak, tak mungkin mengamanatkan anak tunggalnya dengan laki-laki yang shalat saja diragukan. Ayahnya tak akan mungkin sembarang memilih menantu. Namun, andai hanya tinggal andai. Ayahnya sudah berada di bawah tanah sejak Arana SD.

Ibu kandung Arana juga sudah meninggal sejak melahirkan dirinya. Dia dibesarkan oleh Risa, istri kedua ayahnya yang jarang berlemah-lembut. Namun, sekasar-kasarnya Risa, Arana tetap sayang. Karena berkat wanita itulah Arana masih bisa sekolah hingga kuliah.

Mungkin karena sakit, Risa terpaksa menyuruhnya menikah. Risa tak mampu lagi menanggung biaya pendidikan Arana. Walaupun dengan cara yang salah, Arana yakin Risa melakukan itu untuk kebaikan Arana. Namun, ini tetap membuat hatinya perih.

Arana benar-benar berharap pagi tak muncul, agar dia bisa terbebas dari perjodohan yang pelik.

🥀

Bukan Arana tak kenal dengan Galih. Mereka malah satu angkatan di SMA yang sama, dulu. Galih yang langganannya ruang BK siapa pun tahu. Termasuk Arana yang bahkan pernah jadi bahan bully-an laki-laki itu.

Laki-laki itu pernah menarik hijabnya dari belakang di depan orang ramai. Kejadian memalukan itu tak akan mungkin bisa Arana lupakan. Dan kini, cowok degil itu tengah berkutat dengan ponselnya di saat ortunya dan ibu Arana larut dalam pembicaraan serius.

Sementara itu, Arana menatap Galih dengan tatapan dingin. Dia tak habis pikir dengan tingkah laku Galih yang tak berubah; masih tidak bisa sopan.

Kalau saja Risa tak bersahabat dengan mamanya Galih, pasti Arana tak akan dihadapkan dengan situasi yang membuatnya ingin kabur ke hutan.

Dan, tiba-tiba saja, Galih terpingkal sendiri—di depan layar ponsel yang masih dia mainkan, membuat semua pasang mata beralih padanya.

"Galih!" sahut Ayu. Wanita berkhimar lebar itu menepuk lengan anaknya kasar. "Simpan dulu handphone-nya!"

Galih tak mengindahkan titah mamanya. Seakan-akan dirinya tuli.

"Galih." Suara dingin Ridwan, pria berbadan kekar yang duduk di samping Ayu segera membuat Galih buru-buru menyimpan ponselnya, disusul dengusan tidak suka.

Suasana berubah sedikit canggung. Namun, senyum milik mamanya Galih membuat kebekuan di ruang tamu rumah Arana seketika mencair.

"Kami berharap kalau Galih sudah nikah, dia bisa berubah. Istrinya cantik dan sholehah," ujar Ayu lembut.

Ridwan, suaminya mengangguk setuju. Risa terkekeh. Sementara Arana tersenyum getir di balik cadarnya.

"Sholehah apaan. Paling cadarnya cuma buat topeng. Secara kan sekarang jamannya cadar tapi teroris," ketus Galih enteng yang refleks disambut tatapan maut dan hardik dari sang papa.

"Jaga mulut kamu Galih!"

Galih memutar matanya jengah. Tepat saat itu, tak sengaja tatapannya bertemu dengan sepasang iris cokelat almond cerah Arana. Sempat termangu sebentar, dia akhirnya menyeringai seolah meremehkan.

Dada Arana mencelos rasanya. Apa dia benar-benar akan menikah dengan laki-laki seperti Galih?

Beberapa hari setelahnya, acara akad serta pesta resepsi yang diadakan dalam satu hari telah selesai. Dekorasinya simpel, namun mewah. Banyak tamu undangan yang berdecak kagum ketika datang, tetapi decakan kagum mereka lebih tertuju pada mempelai wanita, Arana, perempuan cadar bergaun putih yang jadi sorot perhatian karena keanggunannya.

Setiap bersalaman, mereka pasti memuji Galih dan Arana. Galih hanya terkekeh, sementara Arana hanya tersenyum getir di balik cadarnya.

Di depan para tamu, Arana melihat jelas raut antusias Galih menyambut para tamu, seolah-olah dirinya yang paling bahagia dan menginginkan pernikahan itu. Namun, siapa yang tahu, di balik tawa cerianya ... tak ada setitik pun kata yang terlontar di antara mereka selama bersanding.

Tak ada. Dan Arana pun tak berharap sama sekali ada perbincangan di antara mereka walaupun cuma kata sederhana seperti, "Capek, nggak?"


Sekarang, Arana berada di dalam kamar Galih yang sudah dihias sedemikian rupa—khas kamar pengantin. Sementara Galih masih di luar, menemani genk bandit masa SMA-nya dan teman-teman kuliahnya yang semuanya masih lajang. Galih adalah pencetak rekor sold out tercepat di antara teman-temannya.

Sudah hampir setengah jam Arana berada di kamar mandi setelah shalat Isya. Air kran sengaja dia nyalakan, membuat air bak meluap penuh. Dirinya bersandar di dinding bak yang membuat kaus putihnya kuyup. Membuat sekujur tubuhnya licin dilengketi air.

Air matanya terus mengalir dari tadi, tanpa henti, membuat kepalanya sakit dan matanya jadi bengkak. Bibirnya pucat kebiruan. Dia peluk kedua kakinya. Dia tumpukan pula dagunya ke lutut. Matanya menatap kosong lantai keramik yang dialiri air.

Hatinya perih. Dan, dia memilih meluapkan sayatan perih itu dengan menangis di kamar mandi.

Arana selalu begitu. Beralasan ingin mandi, tapi yang dia lakukan malah menangis sampai sesak di hatinya ringan. Dia terlalu malu menangis di ruangan di mana orang-orang bisa memergoki dirinya. Kalau tak saat salat, menangis di kamar mandi menurutnya lebih nyaman.

Namun, kali ini, entah kenapa Arana rasanya ingin berteriak. Masalahnya, tak mungkin dia nekat berteriak bebas di kamar mandi. Kalau teriakannya didengar dan membuat orang panik, bagaimana?

“Woi!” Suara Galih bersamaan ketukan pintu kamar mandi terdengar dari luar. “Lama banget lo, elahh. Gue mau mandi nih, gerah.”

Arana terkesiap. Tanpa menjawab seruan Galih, dia segera meraih gayung lalu menyiram tubuhnya. Saat dia bangkit melihat wajahnya di cermin, lagi-lagi dia tersenyum getir. Apa kata suaminya jika melihat Arana dalam keadaan amburadul dengan mata bengkak begini?

Setelah melepas kain basahan, Arana lekas memakai handuk kimononya, lalu menutupi rambut basahnya dengan hijab sorong. Bagaimanapun, dia belum siap total memperlihatkan auratnya—pada suami sah yang sama sekali tak dia cinta.

Itu salah besar. Semoga Tuhan memaafkannya.

Arana akhirnya membuka pintu kamar mandi. Di depannya sudah berdiri sosok jangkung berkulit lebih cerah dari dirinya. Wajah laki-laki itu mulus tanpa noda. Alis matanya tebal, hidung mancung serta bibir ranumnya merah muda. Urat lehernya terlihat, jakunnya juga jelas. Terlihat menawan, namun sorotnya pada Arana membuat hatinya terasa sangat tidak nyaman.

Arana mengalihkan pandangan ketika sorot mata laki-laki itu menajam.

“Ngapain, sih, lama amat di kamar mandi? Simulasi bunuh diri?"

Arana bergeming. Karena merasa tak mungkin Arana akan berbicara padanya, Galih langsung berdecak sebelum menyuruh Arana untuk minggir.

Arana hanya bisa termangu ketika Galih melewatinya dengan sedikit senggolan kasar di lengan. Tepat saat dia keluar dari kamar mandi, Galih menutup pintu kamar mandi itu dengan kasar. Kening Arana mengernyit saat dia menoleh ke belakang. Dia tak bisa memahami; mengapa Galih sangat membencinya?

Arana tahu Galih tak mungkin menyukai perjodohan ini. Namun, bukankah mereka bisa membicarakan tentang mereka baik-baik? Setidaknya, kalau tak bisa saling mencintai, mereka tak harus menjadi musuh, bukan?

Continue Reading

You'll Also Like

515K 2.9K 24
Warning ⚠️ 18+ gak suka gak usah baca jangan salpak gxg! Mature! Masturbasi! Gak usah report! Awas buat basah dan ketagihan.
7.2M 351K 75
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
2.9M 302K 50
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
1M 106K 27
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...