Era Yang Mati

By TerraNovus8

8.9K 1.1K 308

Berlatar di awal dekade 2020, Era Yang Mati mengisahkan perjuangan suatu keluarga dalam pandemi yang mengaki... More

PROLOGUE
CHAPTER I: Beginning of an End
Yang Hilang Pt.1
Yang Hilang Pt.2
Worst Day of My Life Pt.1
Worst Day of My Life Pt.2
The Wildfire
All Hell Seems to Break Loose
On The Same Page
CHAPTER II: Rights to Live
Guilt
Tyrants
Uprising
Fallen Pt.1
Fallen Pt.2
Truth May Hurt Pt. 1
Truth May Hurt Pt.2
War of Rights Pt.1
War of Rights Pt.2
Death has Arrived
As Death Passes By
Pengumuman Pindah!
Chapter III: The End of Time
Penyintas
Dead End
By The Fire
14 Hari Pt.1
14 Hari Pt.2
Trauma
Malaikat Maut Pt.1
Malaikat Maut Pt.2
Repay Us

Bawa Kami

306 41 17
By TerraNovus8

"Ma-... Maafin saya tadi..." ucap Ayah.

Dia mengeluarkan ucapan pertamanya sejak tiga setengah jam terakhir duduk di sampingku tanpa bicara sepatah kata pun.

Ibu menatap Ayah dengan sedikit kerutan pada pipi kirinya, lalu menggenggam tangannya. Sely tak menghiraukan Ayah, entah apa yang mereka berdua lalui. Aku cukup menoleh ke arahnya, mencoba setidaknya menghormati ucapannya, tanpa perlu tahu kepada siapa sebenarnya maaf itu dituju.

"Nah itu kayanya tuh, pertigaan bentuk 'Y' katanya."
Terangku pada Aldi saat kami berada di sebuah pertigaan berbentuk "Y", sesuai informasi yang diberi Reka.

"Satu arah?" tanya Aldi.

"Iya terobos aja lawan arah, tabrakin aja udah itu motor-motornya," balasku. Kami perlu mengambil jalur kanan pada pertigaan yang diperuntukan untuk arah sebaliknya, demi mempersingkat perjalanan. Mobil, motor, dan mayat berserakan di jalan dua lajur tersebut, namun ada celah di bahu jalan untuk kami lewati.

"Lah ada mayat lagi di depan, gabisa lewat mana-mana lagi," keluh Aldi.
Beberapa mayat tergeletak di trotoar, sementara kedua ban di sisi kanan mobil perlu menaiki trotoar.

"Ya... udah," kataku.
Sely dan Aldi menoleh kebelakang, menatapku.

"Lindes aja," sahut Sely.

Aldi menoleh ke Sely sejenak, lalu kembali menatapku.
Aku mengangkat alis kananku, tanda kami tak bercanda.

"Ugh. Marilah."
Celoteh Aldi lalu menginjak pedal gas.

Kretek...
Splat! Srrrt...
Bunyi tubuh mayat yang perlahan hancur dilindas APV kami.
Aku bisa mendengar darah mengucur keluar darinya, diikuti organ dalam tubuhnya yang terseret ban mobil ini.

"Iyuuuh," keluh Dinda.
Wajah seisi mobil ini mengeras, mendengar suara menggelikan tadi. Ayah tak menampilkan ekspresinya, ia menyaksikan mayat itu terlindas lewat jendela. Sementara Fitri menutup kedua kupingnya di belakang.

"Nah, abis pertigaan ada pertigaan lagi nih. Di pin-nya sih ambil kanan, terus di sebelah kiri travelnya," ujarku.

Sedari awal perjalanan kami, aku terus menggenggam ponselku untuk navigasi manual melalui peta dalam fitur share location pada WhatsApp. Setelah perbincangan pertamaku dengan Reka dan Baron, aku sempat meminta nomor ponsel Reka. Sejak pukul sebelas lima belas tadi, pesanku ke WhatsApp Reka hanya centang satu. Posisi terakhir mereka dari live location, yaitu di daerah Bintara, Bekasi yang berbatasan dengan Jakarta Timur.

"Ya ampun. Abis ada apa ini jalanannya..." ujar Ibu.
Jalan yang sedang kami lalui kami sangat berantakan, mayat bergeletakan dan ditumpuk di tengah jalan di antara mobil-mobil yang terbakar. Kobaran api lebih terang dari lampu-lampu jalan.

"Masih pada kebakar itu loh..." sahut Sely.

"Berarti masih... Baru dong?" sambung Arfan.

"Maju aja yang cepet. Awas tapi Di, jangan sampe kegelincir ke got."
Kata Ayah yang mulai berbicara kembali.

Aldi menggeser verseneling ke D2, ia menginjak pedal gas sedikit lebih dalam, mempercepat laju mobil kami. Kami berusaha melalui kobaran api di tengah jalan secepat mungkin, menghindari panas dan kemungkinan ikut terbakar.

Gruduk, Gruduk, Gruduk...
Suara dari sisi kanan mobil melalui trotoar yang bergelombang, dan sesekali melindas benda besar.

Pertigaan yang dimaksud Reka mulai terlihat, jalanan mulai kosong dari mobil terbengkalai. Aldi memperlambat laju mobil kami saat mendekati pertigaan. Sesaat hendak membelokkan mobil ke kanan, beberapa orang muncul dari balik tembok di sisi kanan pertigaan.

Prak! Prang!
Whoosh!
Bunyi batu yang tetiba menghantam kaca depan mobil kami, disusul dengan sebuah botol molotov yang sontak mengobarkan api di bagian depan mobil.

Aldi membanting stir kekiri.

Ciiiittt!
Bunyi decitan ban ketika mobil tiba-tiba dialihkan ke kiri, melawan daya laju kami sebelumnya.

BRUG!
Roda bagian kanan mobil menghantam keras trotoar. Sisi kiri mobil terangkat beberapa detik, tubuh semua yang di dalam ikut terangkat ke arah kanan.

Duar!
Ban belakang kiri meledak seraya sisi kiri mobil menghantam aspal setelah terangkat.
Mobil kami terputar, hingga membelakangi gerombolan orang itu. Kini sisi kanan mobil berada di pinggir trotoar, sisi kiri mobil tempatku duduk berada di jalan. Jerit histeris orang seisi mobil mengiringi guncangan.

Aku berusaha mengembalikan fokusku secepat mungkin dari guncangan keras itu. Melihat ke belakang, orang-orang mendekati mobil kami dari sisi kiri dengan senjata tajam. Aku segera membuka pintu dengan memegang pistol di tangan kanan.

"DIAM! JANGAN MAJU LAGI!" tegasku.
Aku mengacungkan pistol P220 dengan kedua tangan, sejajar dengan hidung. Gerombolan orang itu berhenti, arah laras pistol aku pindahkan dari satu orang ke yang lain secara bergantian, mereka saling menatap satu sama lain.

"Senjata boongan itu," tampik salah satu bandit.

"Ooh, mau coba? Mau di kaki apa kepala?" balasku.

Sely menyusul keluar dari pintu depan.
"RI AWAS!"
Dia menarik bajuku ke belakang, merapatkanku ke pintu yang terbuka di belakangku.

Bzzt!
Prak!
Bunyi desis kencang seperti suara ban kempes dari arah belakang mobil. Sebuah lubang kecil tampak menembus kaca mobil hingga kaca jendela pintu di sampingku.

Seseorang di belakang mobil baru saja menembakku dengan senapan angin, dan meleset.

"Maju aja!"

"MAJU WOY!"

Bentak beberapa bandit yang tadi terhenti di tengah pertigaan. Tiga orang berlari ke arahku, mengangkat senjata tajam di atas kepala mereka.

Dar! Dar!
Dua timah panas aku lontarkan ke arah dada bandit yang terdepan, sebelum ia berada di jarak serang. Peluru .45 ACP yang memiliki daya henti lebih kuat dari 9mm sontak merubuhkannya. Tubuhnya tergelincir ke samping, menjatuhkan temannya yang berlari di sebelahnya.

Dor!
Bunyi shotgun menyalak bersamaan dengan pistolku.
Ayah keluar dari sisi kanan mobil, dan menembak orang dengan senapan angin.
Aku melihat melalui kaca mobil, orang yang ditembak Ayah memuntahkan darah dari bagian belakang perut, potongan ususnya ikut terlempar keluar.

Dar!
Aku menembak dahi bandit yang sedang berusaha berdiri setelah tertimpa tubuh bandit yang pertama aku tembak, wajahnya langsung menghantam aspal. Semburan darah beserta serpihan kecil otak keluar dari belakang kepalanya.

Dar-Dar-Dar!
Sely menembaki kaki satu orang lagi yang juga tengah berlari ke arah kami, desis peluru yang melintas dari belakangku ikut menyaru. Orang itu tersungkur, kepalanya menghantam lampu belakang mobil.

"Mundur! Mundur!" perintah Ibu.
Ayah membuka tembakan kedua ke arah kerumunan bandit. Aku dan Sely mundur ke bagian depan mobil yang dilahap api. Sementara para bandit yang sebelumnya bergerombol, berusaha menyebar untuk mengepung, sebagian hendak menyulut molotov.

Dor!
Klik!
Peluru di dalam shotgun habis.
Saat Ayah tergesa-gesa mengisi peluru, aku melihat orang yang tadi ditembak Sely bangun kembali, meraih senapan berburu lalu mengarahkan larasnya ke Ayah.

Dar!
Prang!
Aku menembak kepala orang bersenapan itu menembus kaca mobil, dan memecahkan kaca depan.

"AAARGGH! ANJING!"

"BANGSAT MATI LU!"

Enam orang di depan aku dan Sely melemparkan senjata tajam mereka pada kami.
Di belakang mereka, ada seseorang memegang botol molotov yang siap dilempar. Aku yang berlindung dua meter dari depan mobil, menonjolkan tubuhku untuk membidik secepatnya.

Dar! Dar!
Dua peluru terlontar ke dada orang yang akan melempar molotov. Tubuhnya terdorong ke belakang, botol molotov itu terjatuh dan membakar tubuhnya.

Dor!
Bunyi shotgun mulai menyalak lagi, disertai beberapa kali tembakan pistol.

Aku menoleh ke Sely, ia berlutut di depan mobil yang tengah terbakar.
"Gapapa Sel?" tanyaku.
Sely mengangguk, tidak ada luka di tubuhnya dari lemparan senjata tajam tadi.

"Sely, Ari! Ke sini! Awas nanti meledak!"
Perintah Ibu yang berlindung di balik dinding sebuah minimarket bersama Ayah dan Arfan bersaudara.
Semua berhasil keluar dari mobil tanpa terluka, tas penuh makanan yang dibawa Sely juga berhasil dibawa keluar disaat kami menembaki bandit.

Aku dan Sely menghampiri mereka.

Dar-Dar-Dar!
Ibu menembak pistol sebanyak tiga kali, melindungi kami yang sedang menghampiri mereka.

Prak!
Wuzz!
Sebuah molotov meledak di hadapan Ayah, api menjalar di dinding serta trotoar depan kami.

"Eh awas!"

"Mundur aja mundur kita!"
ujarku.

Dar! Da-da-dar!
Rentetan tembakan berkali-kali berbunyi dari depan kami.
Para bandit yang menyerang kami tiba-tiba berlarian ke jalan yang sebelumnya kami lalui dan meninggalkan kami, seraya tembakan bertubi-tubi menghujani mereka.

"Waduh, siapa tuh?" tanya Ibu.

"Polisi bukan?" sambung Sely.

Aku mengintip dari balik dinding tempat parkir minimarket ini, lalu baru tersadar bahwa ada plang shelter travel yang disebut Baron kemarin. Plang itu berjarak kurang dari seratus meter dari posisi kami. Seseorang muncul tepat dari dalam pagar kantor penyedia travel.

"Kaya tau badannya..." pikirku.
Tubuhnya beserta siluet senjata laras panjang terlihat jelas di bawah pencahayaan lampu jalanan, tapi wajah atau pakaiannya samar-samar.

"HEI!"

"EH! RI JANGAN!"
Ucap Ibu meresponku yang tiba-tiba ke tengah jalan dan memanggil orang itu.

"HOI! JANGAN TEMBAK!" sorakku.
Aku mengangkat dan melambaikan kedua tangan, sosok itu menodongkan senjatanya ke arahku sambil berjalan menghampiri.

"Haduh semoga ga salah orang, mati gua kalo salah..." batinku.

"ARI?"
balas orang itu.

"OY!"-Aku terkikih-kikih-"BAR!" sapaku.
Sedikit lega rasanya karena Baron yang muncul, entah bagaimana cara dia mendapatkan senapan serbu yang ditentengnya itu.

"Bu! Baron Bu!" ujarku.
Ibu lalu menghampiriku, diikuti yang lain.

Sosok perempuan yang juga menenteng senapan, menyusul muncul dari balik pagar bangunan travel ketika kami menghampiri Baron.

"A man with his word." (Orang yang menepati janjinya.)
Puji Baron disertai wajah senang, sambil berjabat tangan gaya anak muda denganku.

"Told you, twenty four hours..." (Kata gue dua puluh empat jam kan...)
pungkasku.

"Kalian gapapa?" tanya Ibu.

"Gapapa kok Mbak Mel,"-Reka bersalaman dengan Ibu-"Tapi..."
imbuh Reka.

"Lutfhi?" tanya Ibu.

Reka dan Baron menatap Ibu, lalu menggelengkan kepala mereka perlahan. Ibu pun mengerti, lalu mengelus lengan Reka. Wajah Reka nampaknya sedang memakul beban, berbeda dari pertama kali aku mengenalnya. Aku ikut menepuk pundak kiri Reka, dan pundak kanan Baron.

"I know it's sucks. Just... Try not to be hard on your self." (Gue tau rasanya gaenak. Tapi coba... Jangan bebanin diri sendiri.)
Cakapku pada Reka dan Baron. Kini, kami semua dihantui rasa bersalah masing-masing. Yang setidaknya bisa kami lakukan, adalah fokus melihat ke depan dan bekerja sama demi keselamatan.

"Ini Sely ya?" tanya Baron.

"Iya, anak kebanggaan Mbak," sanjung Ibu.

"Hah? Terus gue engga?"
Keluhku dalam hati.
Sely menghampiri kami, lalu bersalaman dengan Baron dan Reka.

"Kenalan nanti, kabur sekarang boleh?"
Celoteh Sely yang meniru perkataanku malam tadi.
Sely menunjuk ke arah jalan tol layang di belakang kami.

Mayat-mayat hidup berjatuhan dari atas, mereka seolah begitu tertarik pada suara bising dari tembak-menembak tadi, dan tak menghiraukan jalan di depan mereka. Di bawah jalan tol layang ada ratusan... Mungkin, ribuan mayat hidup memenuhi jalan raya yang lekat dengan bunyi khas tangis mayat hidup. Gerombolan mayat setengah berlari ke arah kami, saling menyerempet.

"Ayo! Ayo! Mobil shuttlenya ada, tinggal jalan!" ajak Baron.

Kami segera berlari ke shelter milik jasa travel itu untuk mengambil mobil mikrobis.
Aku melihat ada tiga mobil lain yang tak terpakai selain mobil yang dituju Baron.

"Eh, itu mobil sisanya masih banyak, ayo cabut aki-nya buat cadangan."
Saranku pada Ayah, Arfan, dan Aldi, sementara Baron hendak membantu memuat bawaan kami ke dalam mobil.

"Tapi gue gangerti mesin mobil,"
kata Arfan.

"Udah, gausah! Udah ada satu di dalem kok,"-Baron membuka pintu belakang mobil-"Udah, masukin muatan aja. Simpen di belakang," perintah Baron.

Aku membantu mengoper barang-barang kami pada Dinda dan Fitri yang telah berada di bangku tengah, mereka merapihkan tas-tas kami di antara bangku-bangku pada bagian belakang mobil. Sementara Reka duduk di depan menyalakan mobil, dan yang lain bergantian masuk ke dalam mobil lewat pintu tengah.

"Jadi... Gimana ceritanya lo bisa dapet senapan serbu kaya begini?"
tanyaku.

"Lo tau Komodo Armaments?" sahut Baron.

"Sering denger... Pabrik senjata swasta itukan?"

"Nah, pabriknya ga jauh dari sini, ga nyampe tiga kilo,"-Baron menutup pintu belakang-"Gue lewat situ kemarin, dan kebetulan banyak yang ngejarah juga..."
kisah Baron. "Gue ikutan aja deh tuh masuk, dapet aja ini tiga senjata sama sekotak isi delapan magasin, satu mag gatau deh berapa isinya."

Aku naik ke dalam mobil, dan duduk di belakang kursi pengemudi. Baron menyusul duduk di bangku pengemudi beberapa detik kemudian.
"Tiga puluh," ucapku.

"Hah?" sahut Baron.
Baron menurunkan rem tangan, lalu memindahkan gigi mobil ke satu.

Brrum...
Mobil dibawa melaju menuju gerbang keluar.

"Satu magasin senjata basis AR-15 isinya tiga puluh peluru, 5.56mm."
Terangku, menjelaskan peluru yang digunakan untuk senapan itu. Yang Baron dan Reka jarah adalah senapan serbu D5 buatan Komodo Armaments, senapan itu berbasis AR-15 yang sangat universal di dunia, terutama barat.

"O-okay, Mr. Knows Everything."
Balas Baron secara sarkastik. "Siap tempur nih kita kalo gini," imbuhnya.
Wajahnya berusaha menampilkan ekspresi bergurau, tapi aku bisa melihat ia menyembunyikan perasaan lain.

"Tapi benar juga,"
pikirku.

Kami termasuk sangat beruntung. Baru hari kedua, sudah dapat tujuh pucuk senjata api beserta pelurunya. Mengingat sulitnya mendapat senjata api di Indonesia pada hari-hari normal. Sebagian besar orang mungkin hanya bermodal senapan angin, senjata tajam, hingga molotov seperti bandit yang tadi menyerang kami, beberapa mungkin dapat membuat bom rakitan untuk perlindungan diri, atau menjadi anarki.

"Astaga banyak banget," ucap Ibu.
Kami menoleh sisi kanan mobil, ribuan mayat hidup kini hanya berjarak sekitar dua puluh meter dari gerbang yang baru kami lalui. Baron membelokkan mobil kekiri, lalu menginjak gas menjauhi gerombolan mayat.

"Fiuh..."
hela nafas Sely.

"Next destination? " (Tujuan berikutnya?) tanya Baron.
Dia menyalakan radio mobil, sambil memasang sebuah flashdisk dengan label "Country".

Take me Home, Country Roads oleh John Denver, bermain di latar sebagai lagu pertama dari playlist flashdisk yang sudah pasti hanya berisi musik Country.

Seisi mobil saling memandang satu sama lain dengan muka sedikit lega.
"Sukabumi..."
balas kami serentak.

"Tapi lewat Karawang dulu, kan?" potong Aldi.

"Ooh iya hampir lupa kita ngomongin itu," kata Sely.

"Yaudah tenang, kita ga akan bisa lewat tol Jagorawi juga. Bogor, puncak pasti macet ga bergerak,"-Baron menatap Aldi dan saudara-saudaranya dari cermin di tengah mobil-"Jalur paling dekat juga lewat Purwakarta," terangnya.

Aldi dan saudara-saudaranya tampak sedikit lega.
"Tapi jangan lewat tol lah," kata Ayah.

"Iya ga akan," balas Baron.

"Ini lagi charge handphone,"-Reka menunjukan ponselnya tercolok dengan charging port mobil-"Biar bisa liat Google buat cari jalan tikus," jelas Reka.

"Yaudah, fokus aja Bar... Hati-hati masih gelap gini," sela Ibu.

"Bawa aja kita Bar," sahutku.

Baron menganggukkan kepalanya, sambil mengikuti irama musik yang berputar.
"Kami datang, rumah baru..."
celoteh Baron.

* * * * * * * * * *

Continue Reading

You'll Also Like

13.3K 1.4K 155
Bertani di masa kiamat: Saya mengandalkan ruang untuk menimbun jutaan barang https://www.69shuba.pro/book/48552.htm Penulis: Anggur Qijiu Kategori: R...
2.4M 189K 72
Hi guys. Ini cerita kedua saya^^ (Buat kalian yang gasuka Red flag,kalian bisa langsung tinggalin lapak ini ya☺️Kalo kalian gasuka,gaperlu komen-kome...
2.4M 210K 68
[FOLLOW SEBELUM BACA] Refara, seorang gadis cantik yang hidup sebatang kara. Sejak kecil ia tinggal di panti asuhan dan memutuskan untuk hidup mandir...
SAMA AKU AJA By Ry

Science Fiction

1.3M 61.6K 35
🌹 🌹 🌹 🌹 Oya. Cerita ini aku private! So, yang mau baca, bisa follow terlebih dahulu 😄 Muachhhh...