Bae x Lee

Av peachylight10

29K 2.9K 555

JINHWI SHORT STORY ONE SHOOT BxB Sider hargai aing pls :) Mer

Jin x Hwi
Paper Heart
Paper Heart (2)
Chatroom
HAPPY JINYOUNG DAY
소나기
Chatroom 2
HAPPY 1K+ READERS🎉
Chatroom 3
Chatroom 4
Paper Heart (3)
Chatroom 5
Paper Heart (4)
CHATROOM CEK
KEPUTUSAN
Chatroom 6
Paper Heart (5)
PERHATIAN
Sayap Pelindung (다시만나)
Say Hello To You

You And The Sandglass

1.2K 168 93
Av peachylight10

Katakanlah waktu yang kita miliki hanya sebatas pasir yang turun dari gelas. Didalam waktu yang singkat itu, aku ingin menyampaikan segalanya padamu. Tentang aku, tentangmu, dan tentang kita. Aku ingin menyampaikan segala kata yang tak dapat ku ucap hingga detik ini. Agar aku tidak menyesal dikemudian hari. Agar aku tahu bagaimana harus melangkah. Agar aku mengerti, apakah aku harus berhenti atau menjalaninya sampai akhir.

Tapi jika nanti butir pasir terakhir telah jatuh dan aku belum berucap satu patah kata pun, ketahuilah. Mataku telah mengatakan segalanya. Bahasa tubuhku telah menunjukkan semua yang tersimpan. Dan senyuman di akhir waktu itu telah memberitahu keputusanku.

***
"Bae Jinyoung-shi." panggilan tersebut lantas mengalihkan atensi Jinyoung yang sedari tadi sibuk dengan layar ponselnya.

Jinyoung segera menyimpan ponselnya kemudian beranjak memasuki sebuah ruangan bernuansa putih. Netranya menangkap figur seseorang yang berpakaian serba putih dengan kacamata bertengger di hidungnya.

"Eoh, Jinyoung-shi. Silahkan."

"Dokter aku tidak bisa berlama-lama. Bisa langsung pada intinya?"

Figur seorang Dokter ber name tag Kwon Hyunbin itu tersenyum sekilas. Lantas mengambil beberapa berkas di laci mejanya.

"Baiklah karena kau tidak ingin bertele-tele. Aku akan langsung pada intinya." Dokter Kwon membuka pembicaraan. Sementara Jinyoung masih diam menunggu Dokter Kwon melanjutkan.

"Dayoung tidak sepenuhnya bisu. Dia bisa bicara. Kami sudah melakukan beberapa tes dan hasilnya Dayoung baik-baik saja. Anakmu sehat Jinyoung-shi." terang Dokter Kwon.

"Tapi sejak kejadian itu, Dayoung sama sekali tidak pernah berbicara. Dia bahkan selalu menggunakan bahasa isyarat saat memintaku melakukan sesuatu. Ku pikir pita suaranya rusak karena benturan yang ia alami." keluh Jinyoung.

"Dayoung tidak bisu. Pita suara dan organ dalam tubuhnya baik-baik saja. Benturan yang ia alami beberapa waktu lalu tidak berefek apapun. Ini catatan kesehatan Bae Dayoung." Dokter Kwon kemudian menyerahkan beberapa berkas yang berisi riwayat kesehatan serta hasil pemeriksaan kepada Jinyoung.

"Dari hasil tes ini, kesimpulan yang bisa kami berikan sebagai pihak medis adalah Dayoung trauma. Ia mengalami trauma berat akibat kejadian yang menimpanya. Sehingga ia memiliki ketakutan untuk bicara. Masalahnya ada pada kondisi psikis Dayoung. Jika anda ingin putri anda sembuh, sebaiknya anda melakukan terapi. Ada baiknya anda segera menemui Psikiater." penjelasan Dokter Kwon sukses membuat bahu Jinyoung merosot.

Rasanya beban yang ada dipundaknya semakin bertambah berat. Seakan-akan penderitaannya tidak cukup hanya sampai disini. Pikirnya, sampai kapan Tuhan akan menghukumnya?

'Tiba-tiba aku merindukanmu.'

.

4 tahun yang lalu

Pukul enam sore, Jinyoung sudah berada di gedung apartemennya. Langkah kakinya terhenti begitu dirinya hendak menutup kembali pintu yang tadi ia buka sebelum melangkah masuk. Didapatinya seseorang telah menghadangnya sambil bersedekap dada. Jinyoung menatap datar sosok itu, hendak melanjutkan langkahnya menuju kamar sebelum sebuah suara kembali menghentikannya.

"Aku hamil."

Suara datar itu sukses membuat Jinyoung mengalihkan atensinya pada sosok itu.

"Candaanmu tidak lucu, Daehwi-shi." balas Jinyoung tak kalah datar. Meski hatinya bergemuruh takut.

"Kau pikir aku main-main?"

Jinyoung masih berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Memasang wajah datarnya sambil menata perasaannya.

"Lalu aku harus apa?"

Pertahanan Daehwi runtuh. Air mata yang mati-matian ia bendung kini luruh seketika. Kalimat terakhir Jinyoung benar-benar membuatnya terluka.

Tidak adakah sedikit rasa bahagia di hati lelaki itu? Bahkan tersenyum pun ia tidak. Bukankah ini kabar gembira? Bukankah ini yang selama ini menjadi tuntutannya? Lantas mengapa ketika Daehwi mampu mewujudkannya, dirinya malah acuh tak acuh?

Apa Jinyoung kecewa? Apa lelaki itu tidak lagi menginginkan anak?

"Kau yakin itu anakku?"

Dan pertanyaan Jinyoung sukses menyambar hatinya. Membuat emosinya memuncak.

"Jaga bicaramu Jinyoung. Kau pikir aku ini istri macam apa?"

Nada bicara Daehwi tak setenang dan sedatar sebelumnya. Air matanya kian menderas seiring dengan hadirnya isakan-isakan yang sejak tadi ia tahan. Sementara disisi lain Jinyoung masih mempertahankan ekpresi datarnya. Berusaha untuk tidak ikut terbawa emosi.

"Bagaimana caramu membuktikan kalau bayi yang ada diperutmu itu adalah anakku?"

Jinyoung masih gencar mengelak. Dirinya masih belum sepenuhnya mengerti dengan situasi. Meski hatinya kacau tak berbentuk, wajahnya masih mampu menyembunyikannya.

"Bae Jinyoung, kau gila! Kau yang melakukannya padaku dan kau memintaku membuktikan? Kau lah buktinya! Kau pikir aku ini istri macam apa? Kau bahkan selalu mengurungku disini bagaimana bisa aku melakukannya dengan lelaki lain?"

Daehwi tidak sanggup lagi. Pertahanannya luluh lantak. Dirinya bahkan tak sanggup lagi untuk sekedar berdiri.

"Bisa saja kau mengundang lelaki lain kesini."

Kali ini Jinyoung kelewatan.

"Aku tidak sekotor itu, Jinyoung. Kalau memang kau tidak menginginkan anak ini, biar aku yang membesarkannya sendiri."

Daehwi hendak beranjak menuju kamarnya ketika suara Jinyoung menginterupsi.

"Lahirkan anak itu, setelahnya kita lakulan tes DNA."

Daehwi menatap sendu punggung Jinyoung yang kini menjauh dari pandangannya. Dirinya tak mampu lagi berkata-kata.

'Apa mencintai sendirian memang semenyakitkan ini?'

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Sembilan bulan setelahnya Daehwi melahirkan seorang anak perempuan yang sangat manis. Wajahnya benar-benar menyerupai Jinyoung. Pertama kali melihatnya, Daehwi bahkan tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis. Teringat akan perjuangannya sendiri membawa anaknya kedunia.

Sembilan bulan Daehwi mengandung, sembilan bulan itu pula Jinyoung dan Daehwi tidak pernah saling berbicara. Tepatnya setelah kejadian itu. Baik Jinyoung maupun Daehwi masih tinggal di apartemen yang sama. Meski begitu keduanya hampir tidak pernah bertemu. Jinyoung akan berangkat pagi-pagi sekali dan pulang larut malam. Sedangkan Daehwi akan bangun agak siang dan tidur cepat dimalam hari. Soal kamar, keduanya memang tidak pernah lagi sekamar sejak kejadian itu. Daehwi memutuskan untuk tidur di kamar tamu dan tak pernah kembali lagi ke kamarnya dan Jinyoung.

Selama kehamilannya, Daehwi begitu menderita. Di awal kehamilannya, sosok pria manis itu bahkan tidak bisa memenuhi keinginan anaknya. Dirinya terlalu malu jika meminta tolong pada Jinyoung. Ah, Jinyoung bahkan mungkin tidak akan mau menolongnya.

Saat usia kandungannya memasuki tujuh bulan, Daehwi semakin menderita. Dirinya sempat mengalami pendarahan akibat terjatuh dikamar mandi. Beruntung ia dan bayinya baik-baik saja meski harus istirahat total selama seminggu. Selama seminggu itu pula, Jinyoung benar-benar tidak pulang kerumah dengan alasan dinas luar negeri. Daehwi berusaha untuk tetap tidak peduli. Meski hatinya juga terluka. Tapi ia bisa apa?

Daehwi lebih beruntung saat Somi, sahabat perempuannya selalu ada disaat dirinya kesulitan. Selama ini, wanita itu cukup berjasa di hidupnya. Terutama saat-saat kehamilannya. Hingga saat melahirkan pun Somi yang mengantar Daehwi kerumah sakit. Mengurus administrasi bahkan menemani hingga proses persalinan selesai. Somi juga yang memberitahu ibunya Daehwi di Amerika. Ibunya sangat senang meski tidak bisa ke Korea dalam waktu dekat.

Sementara Jinyoung mengetahui hal tersebut dari Woojin, sepupu Daehwi yang tinggal di Korea. Saat itu Somi mengabari Woojin, tapi tidak dengan Jinyoung. Pikirnya, Jinyoung terlampau tidak peduli untuk sekedar tahu tentang kondisi Daehwi. Dirinya bahkan lebih memilih melakukan pertemuan dengan para koleganya ketimbang menemani Daehwi melahirkan. Meski Jinyoung sendiri kurang yakin, tetapi jauh di lubuk hatinya ada sedikit keinginan dan harapan untuk melihat anaknya.

"Silahkan diberi nama, tuan." ucap salah seorang perawat.

"Namanya Dayoung. Bae Dayoung."

Daehwi masih cukup tahu diri bahwa dirinya dan anaknya masih bagian dari keluarga Bae.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Bae Jinyoung benar-benar gila. Dirinya terlampau tidak percaya pada Daehwi. Satu tahun setelahnya, tepatnya saat Dayoung berusia dua tahun perhitungan Korea, Jinyoung benar-benar melakukan tes DNA. Padahal dirinya telah mendapati rupa Dayoung yang sangat mirip dengannya ketika Daehwi baru pulang dari rumah sakit setelah melahirkan dulu. Hasilnya tentu saja Dayoung benar-benar positif anak Jinyoung.

Entah Jinyoung harus bahagia atau justru sedih. Dirinya merasa tertampar oleh selembar kertas hasil tes tersebut. Rasa sesal membuncah dihatinya. Dirinya merasa begitu berdosa. Pada Daehwi. Pada Dayoung, anaknya.

Daehwi mencelos begitu mendapati hasil tes DNA anaknya dengan Jinyoung di atas nakas. Dirinya bahkan tidak tahu, Jinyoung benar-benar melakukannya. Daehwi kecewa. Ia kecewa karena Jinyoung melakukannya. Ia kecewa karena Jinyoung tidak pernah percaya bahkan saat dirinya telah melihat sosok Dayoung dengan kedua matanya sendiri.

Tetapi ia bukan manusia yang punya hati sekeras batu. Daehwi bahkan lebih rapuh dari daun layu yang jatuh ke bumi. Dirinya tidak bisa membenci angin yang menjatuhkannya. Rasa kecewanya pada Jinyoung dengan mudahnya meluap kala mendapati perubahan sikap Jinyoung pada Dayoung. Lelaki itu memulai perannya sebagai sosok Ayah bagi Dayoung. Menyisakan senyum mengembang di wajah Daehwi kala melihat keduanya bersama. Meski sikap Jinyoung pada Daehwi tetap sama -acuh tak acuh, Daehwi lega. Setidaknya anaknya tetap mendapatkan cinta dari sang Ayah. Daehwi cukup tahu diri. Bahwa cinta tidak bisa dipaksakan. Meski hatinya menjerit, menuntut Jinyoung untuk meminta maaf padanya atas segala perlakuannya. Nyatanya dirinya hanya bisa diam tak bersuara.

Disisi lain Jinyoung mulai berubah. Dirinya sadar akan tanggung jawabnya sebagai seorang Ayah. Jinyoung lega saat Daehwi masih melekatkan marga Bae pada Dayoung. Padahal dirinya bahkan belum yakin saat itu. Jinyoung juga beruntung saat Daehwi mengetahui hasil tes tersebut, ia tidak menampar Jinyoung. Daehwi bahkan masih mengizinkan Jinyoung menyentuh Dayoung. Perasaan bersalah semakin menguasai hatinya. Jinyoung bahkan kelewat malu untuk sekedar menyapa Daehwi. Dirinya bingung bagaimana harus bersikap didepan Daehwi.

Jinyoung sadar, dirinya tidak pernah sekalipun membuat Daehwi tersenyum. Sejak awal keduanya menikah, Jinyoung tidak pernah sama sekali membuat Daehwi bahagia. Jinyoung bahkan membiarkan Daehwi mencintai dirinya sendirian. Jinyoung selalu bersikap dingin meski Daehwi selalu menyambutnya dengan hangat. Daehwi memberikan segalanya untuk Jinyoung meski Jinyoung bahkan tidak pernah sekalipun tersenyum padanya.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Beberapa bulan hubungan Jinyoung dan Dayoung semakin membaik. Daehwi lega. Meski Jinyoung masih terkesan kaku dan dingin kepadanya. Meski rasanya sakit saat dirinya tak kunjung dicintai setelah apa yang ia terima selama ini. Setidaknya hatinya menghangat setiap kali mendapati Jinyoung memeluk Dayoung.

Rasanya seperti...

Ia juga dicintai.

Setitik harapan muncul disudut-sudut gelap di hatinya. Sebuah keinginan untuk dicintai, sebuah isyarat yang meminta untuk dilindungi. Sebelum dunia benar-benar berakhir.

"Jinyoung, bisa kita bicara?"

Jinyoung yang sejak tadi asyik bersama Dayoung mengalihkan atensinya.

"Bicara apa?"

"Ada baiknya kita bicara di kamarku saja. Rasanya tidak etis jika berbicara seperti ini." sementara Daehwi berlalu dari pandangan Jinyoung.

.

"Ada apa?" tanya Jinyoung.

"Kau to the point sekali, Jinyoung." Daehwi terkekeh hambar. Sementara Jinyoung salah tingkah.

"Sudah lama, ya. Kita tidak saling bicara."

Jinyoung masih diam menunggu Daehwi melanjutkan.

"Dulu, saat awal-awal pernikahan. Ku pikir kau memang orang yang cuek dan tidak pandai berekspresi. Aku selalu mencoba untuk mengajakmu bicara. Menyapamu setiap pagi, mengantarmu keluar, menyambutmu sore hari dan menyiapkanmu makan malam. Semua tugasku sudah ku lakukan dengan benar. Tapi kau bahkan masih saja dingin padaku. Awalnya ku kira kau lelah karena pekerjaanmu banyak sehingga kau tidak punya waktu untuk menanggapiku. Hingga orangtuamu menyinggung soal anak, aku mulai mengerti. Aku bahkan dengan senang hati memberikannya padamu. Tapi aku tahu, kau tak akan mau melakukannya denganku. Terlebih aku bukan orang yang kau cintai. Kau melakukannya atas dasar perintah. Bukan karena kau benar-benar mencintaiku. Rasanya sakit Jinyoung. Rasanya sakit saat kau memberikan segalanya dengan penuh cinta kepada seseorang yang bahkan tidak menginginkanmu."

Daehwi mengambil jeda. Sementara Jinyoung, hatinya mencelos. Sebegitu menderitakah Daehwi selama ini?

"Aku bahkan tidak mengerti bagaimana bisa kau meragukan anakmu sendiri."

Hati Jinyoung seolah diremas. Daehwi berhasil menamparnya habis-habisan dengan kata-katanya.

"Maaf."

Daehwi menoleh kearah Jinyoung. Pandangannya menyendu. Ada perasaan lain dihatinya. Meski kata maaf dari Jinyoung yang ingin ia dengar selama ini. Entah mengapa ia merasa aneh, rasanya ia justru merasa bersalah.

"Semuanya sudah terjadi. Biarlah jadi masa lalu. Yang lebih penting adalah masa sekarang."

"Jinyoung, jagalah Dayoung."

Jinyoung yang sejak tadi tidak berani menatap Daehwi mendongakkan kepalanya. Netra keduanya bertemu.

"Apa?"

"Aku memintamu menjaganya. Aku yakin kau bisa. Ini permintaan pertama dan terakhirku padamu. Jaga Dayoung dengan baik. Jangan sampai ia terluka dan menderita seperti aku. Cintai dia. Setidaknya jika sampai detik ini kau belum juga mampu mencintaiku, ku mohon cintailah Dayoung dengan segala yang kau punya. Hanya dia satu-satunya kenangan yang kita miliki."

"Aku tidak mengerti maksudmu, Daehwi. Memangnya apa yang akan kau lakukan?"

Daehwi diam. Sementara Jinyoung semakin bingung dengan situasi yang ada. Daehwi beranjak keluar kamar. Meninggalkan Jinyoung dengan sejuta tanda tanya.

Sikap Daehwi yang tiba-tiba tentu saja aneh dimata Jinyoung. Tapi tidak bagi Daehwi. Bukan tanpa alasan Daehwi pergi keluar begitu saja. Pemuda manis itu ingin membiarkan Jinyoung tahu dengan sendirinya. Tanpa perlu dirinya berucap. Karena ia sendiri telah memberi isyarat melalui apa yang ia sampaikan.

Bahwa butir pasir terakhir akan segera jatuh. Dan waktu yang ia miliki akan segera habis.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Dua minggu setelah Dayoung melakukan pemeriksaan

Jinyoung akhirnya benar-benar membawa Dayoung ke Psikiater untuk konsultasi. Kondisi Dayoung juga tidak lebih baik dari sebelum ia diperiksa oleh Dokter Kwon. Namun, beberapa hari terakhir Jinyoung tidak bisa tidur dengan nyenyak karena Dayoung.

Anak perempuan itu sering menangis disudut kamar setiap malam. Membuat Jinyoung terbangun ketika mendengar isakan kecilnya. Jinyoung terlalu menyanyangi putri kecilnya sehingga ia seratus kali lebih sensitif dan kelewat peka terhadap suara kecil Dayoung. Anak itu tidak pernah seperti ini sebelumnya. Membuat Jinyoung khawatir setengah mati. Terlebih putri kecilnya itu sama sekali tidak mau membuka suara.

"Seperti yang ku katakan pada pertemuan kita minggu lalu. Dayoung mengalami perang batin. Diusianya yang masih terlalu muda membuatnya sulit memahami apa yang terjadi didalam dirinya. Awalnya dirinya hanya takut untuk berbicara karena otaknya melarang. Maksudku adalah keinginan tubuh dan perintah otaknya tidak sinkron. Saat ini, tubuhnya mulai bereaksi dan emosinya mulai terlihat. Ia seolah berontak pada perintah otaknya yang menuntutnya untuk tidak bicara. Pada anak seusianya memang umumnya hanya diekspresikan dengan tangisan. Tetapi jika ini berlanjut, kemungkinan respon yang akan ia tunjukan berdampak buruk pada dirinya sendiri." Jinyoung nampak masih mencerna penjelasan Dokter Ha, Psikiater yang ditemuinya.
"Dia terjatuh dan membentur tangga. Masalahnya bukan pada efek dari benturan itu. Tetapi pada penyebab dirinya bisa terjatuh dan mengalami benturan tersebut. Penyebab mengapa dirinya pergi meninggalkan kelas dan berlari menuruni tangga begitu saja."

Jinyoung semakin bingung. Dayoung sudah diperiksa oleh Dokter Ha semenjak minggu lalu. Keduanya berinteraksi melalui bahasa isyarat. Yang tentunya bukan yang Jinyoung pahami. Jinyoung hanya memahami Dayoung dengan bertanya pada Dayoung dan Dayoung akan menjawab dengan anggukan atau gelengan atau menunjuk sesuatu jika ada yang diinginkannya. Hanya sebatas itu. Selebihnya ia tidak mengerti apa yang terjadi. Dayoung terlihat lancar menjelaskan semuanya menggunakan gerakan tangan. Sementara Dokter Ha membalas dengan melakukan hal yang sama. Jinyoung bahkan heran bagaimana bisa Dayoung melakukannya.

"Dari apa yang ia sampaikan padaku, kemungkinan Dayoung mengalami skizoferenia."

Jinyoung terkejut bukan main. Matanya hampir saja keluar dari tempatnya.

"Maksudmu putriku gila?!"

Dokter Ha memberi gestur untuk tetap tenang pada Jinyoung.

"Tenanglah. Ku bilang tadi itu hanya kemungkinan. Lagipula Skizoferenia bukan berarti gila. Kau pun bisa mengalaminya tuan. Gejala yang dialami Dayoung sangat mirip dengan penderita Skizoferenia. Dayoung juga mengalami hal yang kita sebut dunia khayalan. Dari apa yang Dayoung bilang, dia berbicara pada seorang lelaki. Ia tidak tahu siapa sosok itu tetapi katanya wajahnya sangat cantik dan lembut. Sosok itu seolah menghampirinya dan membuatnya ingin mengikuti kemanapun ia pergi. Dan ini tidak terjadi sekali. Artinya Dayoung sudah lama mengalami hal ini. Pada saat kejadian itu, Dayoung bilang saat itu ia mendengar sosok itu memanggilnya. Kemudian menyuruhnya menjadi anak yang baik dan penurut. Setelahnya ia pergi dan menghilang. Dayoung tidak mengerti maksud orang itu, tetapi ia merasa sedih ketika orang itu perlahan menjauh. Dayoung pikir sosok itu nyata lalu ia mengejarnya dan akhirnya ia terjatuh dari tangga. Saat ku tanya mengapa ia tidak mau bicara, dia bilang 'temannya'itu sudah pergi dan ia tidak memiliki alasan untuk bicara. Ini merupakan kasus yang sangat tidak biasa. Seperti skizoferenia tetapi bukan yang pada umumnya. Sepertinya sosok yang muncul dalam khayalan Dayoung adalah sosok yang sangat ia rindukan dan ia inginkan kehadirannya. Ku pikir, sosok itu adalah ibunya." jelas Dokter Ha. Ada sedikit sengatan di dalam dirinya kala Dokter Ha menyinggung soal ibu Dayoung.

'Daehwi, kau kah itu?'

"Tetapi kau tidak perlu khawatir. Sosok itu hanya bayangan yang terbentuk akibat perasaan Dayoung. Bukan nyata. Beberapa orang berpikir sosok khayalan itu benar-benar ada. Pada kenyataannya itu hanya fatamorgana yang kita ciptakan sendiri. Ku rasa mempertemukan Dayoung dengan ibunya tidak ada salahnya. Malah besar kemungkinan Dayoung mau bicara." seolah membaca pikiran Jinyoung, Dokter Ha kembali menjelaskan.

"Ibunya, sudah meninggal sejak usianya kurang dari tiga tahun."

"Bawalah Dayoung menemui ibunya di makamnya. Setidaknya dengan begitu ia akan merasa lebih dekat dengan sosok sang ibu."

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Tuan Daehwi pernah mengalami pendarahan hebat saat usia kandungannya memasuki tujuh bulan. Ada kerusakan yang cukup fatal pada rahimnya tetapi ia dan bayinya masih bisa bertahan. Saat itu kami memutuskan untuk mengangkat bayinya mengingat kondisi kesehatan Tuan Daehwi yang terus menurun. Tetapi Tuan Daehwi menolak keras bahkan meminta kami menyelamatkan bayinya. Tetapi kondisi saat itu tidak memungkinkan kami untuk melakukan operasi. Jadi kami memutuskan untuk menunggu hingga usia kandungannya sembilan bulan. Selama itu, Tuan Daehwi melakukan beberapa pengobatan untuk menjaga stabilitas. Kita beruntung karena Tuan Daehwi masih bertahan setelah melahirkan. Meskipun kondisinya terus menurun. Kami akhirnya memutuskan untuk mengangkat rahim Tuan Daehwi demi keselamatan nyawanya. Namun setelahnya, Tuan Daehwi mengalami komplikasi. Satu ginjalnya juga tidak berfungsi dengan baik akibat terlalu banyak mengkomsumsi obat-obatan dan pola makan yang tidak teratur. Tuan Daehwi masih bisa bertahan meski hanua dengan satu ginjal. Kami juga memberhentikan penggunaan obat-obatan untuk tubuhnya. Meski akibatnya kondisi fisiknya tidak lagi sekuat dulu. Setidaknya Tuan Daehwi bisa bertahan untuk beberapa tahun. Hingga dua tahun setelah melahirkan, Tuan Daehwi meninggal dunia karena kerusakan organ. Selama ini Tuan Daehwi mengetahui semuanya, tetapi ia melarang kami untuk memberitahu pihak keluarga. Hingga tubuhnya tidak mampu bertahan lebih lama. Ku rasa penjelasanku sudah cukup jelas, Tuan."

Jinyoung terpaku mendengar seluruh pernyataan dokter. Pikirnya, bagaimana bisa ia tidak tahu bahwa Daehwi semenderita itu?

Bagaimana bisa ia tidak tahu perjuangan Daehwi. Demi melahirkan anak yang bahkan saat itu ia ragukan. Istrinya itu bahkan mengorbankan nyawanya sendiri. Daehwi mungkin masih hidup jika saja ia lebih memilih dirinya sendiri ketimbang bayinya.

Setelah perbincangannya hari itu, Jinyoung mendapati Daehwi tergeletak di dapur. Di genggamannya terdapat botol kecil yang berisi beberapa pil pereda rasa sakit. Meski dokter melarangnya mengkonsumsi obat-obatan dan menyuruhnya menerapkan pola hidup sehat, tetap saja Daehwi tidak bisa menahan sakitnya. Ia tidak lagi hanya merawat dirinya sendiri tetapi juga bayi kecilnya. Ia tidak bisa terbaring lemah sementara bayi kecilnya menangis kelaparan. Daehwi tidak punya pilihan.

Sementara Jinyoung yang panik tak terkira langsung membawa Daehwi ke rumah sakit. Daehwi sempat koma selama empat hari. Selama empat hari itu pula Jinyoung tak beranjak dari tempatnya. Duduk di samping ranjang Daehwi. Menggenggam erat tangan lentik Daehwi yang dingin. Hatinya begitu miris melihat benda-benda asing terpasang ditubuh kurus istrinya. Air matanya tak berhenti mengalir. Seluruh rasa bersalahnya meluap. Jinyoung tak sanggup lagi menyembunyikan semuanya. Semua rasa bersalahnya. Semua sesalnya. Dan semua perasaan yang selama ini ia pendam sendiri yang bahkan baru ia sadari. Empat hari itu cukup membuka mata Jinyoung. Menyadarkannya, betapa sempurna sosok yang terbaring lemah dihadapannya. Membuatnya melihat kedalam sudut-sudut gelap di hatinya. Membuatnya tahu, ada secercah harapan yang selama ini ia timbun. Harapan yang membuatnya ingin mencintai dan dicintai. Harapan untuk hidup bahagia bersama keluarga kecilnya. Meski kini harapan itu sudah tiada. Kepergian Daehwi seolah membawanya pada penyesalan tiada tara. Rasa bersalah yang membunuh.

Namun Jinyoung sadar. Dirinya tidak harus berlarut dalam rasa bersalah dan penyesalannya. Menebus dosalah yang harus ia lakukan. Memperbaiki sisa hidupnya. Memenuhi keinginan orang yang selama ini mencintainya. Memulai kembali pasir waktu dari awal. Hingga butir pasir terakhir jatuh. Bersama kenangan satu-satunya yang ia miliki bersama Daehwi. Bae Dayoung.

'Neomu saranghae. Jeongmal mianhae. Gomawoo, Bae Daehwi.'

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Jinyoung memutuskan untuk membawa Dayoung ke makam Daehwi. Membawanya bertemu dengan sang ibu untuk pertama kali. Selama ini, Dayoung tidak pernah ia bawa ke makam Daehwi. Dayoung bahkan tidak tahu dirinya memiliki seorang ibu. Selama ini, hanya Jinyoung yang rutin mengunjungi makam Daehwi dua kali dalam sebulan.

Bukan Jinyoung tidak ingin Dayoung tahu tentang Daehwi. Hanya saja Jinyoung selalu merasa waktunya belum tepat. Terlebih dirumah hanya ada satu foto tentang Daehwi. Foto pernikahan. Selain itu tidak ada satu pun, bahkan foto Daehwi dengan Dayoung pun tidak ada. Daehwi terlalu sibuk menjaga putrinya sampai ia tidak memiliki waktu untuk memotret dirinya dan anaknya sendiri. Sehingga agak sulit bagi Jinyoung memberitahu anaknya soal Daehwi. Sedangkan Dayoung hanya tahu sebatas,

'Dayoung Appa, Bae Jinyoung. Dayoung Eomma, Bae Daehwi.'

Selayaknya anak tk tahu. Selebihnya ia tidak mengerti.

Dayoung mengetuk lengan Jinyoung. Memberi gestur ingin bertanya kemana mereka akan pergi. Sementara Jinyoung hanya tersenyum.

"Ke tempat seseorang yang kau rindukan."

.
.
.
.
.
.
.
.

"Dayoung-ah. Ini makam eomma. Tempat eomma istirahat." suara Jinyoung bergetar.

Sementara Dayoung memerengkan kepalanya. Menatap foto Daehwi yang terpajang diatas nisan. Jinyoung meletakkan bunga yang tadi ia beli diatas makam Daehwi. Berdoa sebentar. Lantas menuntun tangan Dayoung untuk menyentuh bingkai foto Daehwi.

"E-eomm-ma." ucap Dayoung terbata-bata.

Jinyoung terkejut. Dia tidak menyangka bahwa Dokter Ha benar. Mempertemukan Dayoung dengan Daehwi ternyata mampu membuat Dayoung kembali bicara. Kini Jinyoung dapat melihat betapa rindunya Dayoung pada Daehwi melalui tatapan matanya. Sepertinya Dokter Ha benar. Sosok itu adalah Daehwi.

"Dayoung, kau bisa bicara?"

"Eomma. Eomma." Dayoung memanggil Daehwi berkali-kali. Meski hanya kata 'Eomma' Jinyoung lega. Dayoung sudah bisa bicara.

"Dayoung rindu Eomma?" tanya Jinyoung.

Dayoung mengangguk. Anak itu lantas mendekatkan dirinya dengan figura foto Daehwi. Mengusap wajah dalam bingkai itu pelan.

"Eomma, yeoppeuda."

Jinyoung semakin terkesima. Dayoung benar-benar bicara sekarang.

"Appa, dimana Eomma? Kenapa hanya fotonya saja? Eomma yang kulihat waktu itu jauh lebih cantik daripada di foto."

Dan darah dalam tubuh Jinyoung berdesir seketika. Ia tidak mengira Dayoung akan bertanya dengan kalimat sepanjang itu padanya. Pikirnya, Dayoung akan bisa bicara lagi dalam waktu yang cukup lama. Ternyata putrinya itu memang benar-benar bisa bicara sekarang. Sepertinya merindukan seseorang itu sangat berat, sampai kau bahkan tidak bisa berkata-kata.

Hati Jinyoung mencelos. Dirinya seolah ditampar lagi dan lagi.

"Eomma, harus pergi ketempat yang sangat jauh." jawab Jinyoung.

"Apa Eomma pergi sendiri? Kenapa Dayoung tidak diajak?" pertanyaan Dayoung sukses membuat hati Jinyoung jatuh ke dasar jurang.

'Jika kehilangan Eomma-mu saja sudah membuatku hidup tanpa setengah nyawa. Bagaimana jika dirimu pergi bersamanya?'

"Dayoung-ah. Eomma, pergi ketempat yang tidak akan pernah bisa kita capai. Ketempat paling tenang dan paling indah yang pernah ada. Pemilik alam semesta telah meminta Eomma untuk beristirahat dengan tenang disana. Eomma bilang, Appa dan Dayoung harus tetap disini. Berbahagia. Baru saat waktu kita untul berbahagia sudah habis, kita akan menyusul Eomma. Dan kita akan berkumpul bersama lagi." air mata Jinyoung menetes. Sementra Dayoung masih memahami kalimat-kalimat Jinyoung.

"Jadi Eomma menunggu kita? Apa kita masih lama?"

Jinyoung tersenyum.

"Hm. Tentu saja Eomma menunggu kita. Soal kita, biarkan Pemilik semesta yang menjawabnya nanti. Intinya, kita harus membiarkan Eomma beristirahat. Jika Dayoung rindu Eomma, kita bisa kesini menjenguknya."

Dayoung mengangguk imut. Membuat Jinyoung tak tahan untuk tidak mendaratkan ciuman sayang di kedua pipi berisi milik Dayoung.

'Daehwi. Kau melihatku? Aku datang bersama Dayoung. Bersama satu-satunya kenangan yang kita miliki. Apa kau menjenguk Dayoung kemarin? Dayoung sangat merindukanmu. Datanglah lagi jika kau sempat. Tapi jika kau akan pergi, berpamitanlah agar Dayoung tidak mogok bicara. Haha.
Daehwi. Kau mendengarku? Aku minta maaf padamu. Aku tidak menjaga Dayoung dengan baik akhir-akhir ini. Maafkan aku.
Daehwi. Aku bersyukur atas kesempatan kedua yang Tuhan berikan padaku. Aku bersyukur karena masih bisa memulai kembali pasir waktu. Aku tak akan menyia-nyiakannya lagi. Aku tak akan diam saja ditempatku ketika butir-butir pasir perlahan jatuh. Aku tak akan melewatkan setiap detikku yang berharga. Aku akan bahagia. Bersama Dayoung, satu-satunya kenangan yang kita miliki. Berbahagialah.
Daehwi. Kini aku mengerti, bagaimana rasanya mencintai sendirian. Kini aku mengerti, betapa rapuhnya dirimu saat mencintaiku. Betapa terluka dan menderitanya dirimu ketika aku menutup mata dan telingaku tanpa peduli bagaimana dirimu.

Kini giliranku. Mencintai dua hati sendirian. Kini biar aku. Mencintaimu dan satu-satunya kenangan yang kita miliki. Sendirian.

Sampai jumpa, Bae Daehwi.
Kami merindukanmu.
Dan aku,

Aku mencintaimu.' -Bae Jinyoung













'Eomma, tersenyumlah. Tunggu kami. Kami berjanji akan segera menyusulmu. Agar kau tidak sendirian lagi.' Bae Dayoung.

























.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Surat kabar Seoul
-dd/mm/yy

"Sebuah bus pariwisata menabrak pembatas jalan dan mengakibatkan 9 orang pejalan kaki ikut tertabrak. Para penumpang berhasil selamat meski harus dilarikan kerumah sakit. Sementara 2 orang pejalan kaki yang ikut tertabrak meninggal dunia. Kuat dugaan, kedua korban merupakan ayah dan anak."









***

Hello anyyeonghaseyo
Finally di up juga
Ini udah lama banget sebenernya diketiknya. Dan udah lama banget nyampah :( gatau kenapa kayak ga pengen nge up aja.
Tapi tadi entah dorongan dari mana aku buka chap ini trus aku rombak dikit. Yg tadinya cuman 1,5k words jadi 3,9k words

Baksuuu👏👏

Aneh ya?
Iya abis dirombak soalnya.
Gaje?
Iya juga. Soalnya abis diubah dikit bagian tengahnya, kebawahnya berubah juga :(
Tapi ya gpp lah dripada gak update samsek heheh ya gak

Anyway
Gue lagi galau
Doi gak peka
Dikode juga percuma
Kan gue gak punya doi :(

Apasi :(

Intinya acu lagi galau makanya apdetannya syedih syedihh :"

Syedih vote blm nyampe 1k :"
Yg baca udah 5k+

Gadeng :v

YAYYYY 5K VIEWS🎉🎉
TERIMAKASIH BANYAKK YEOROBUN
TERIMAKASIH READERNIM DAN SIDERNIM KU TERCINTAHHH 💞💞

TETEP DUKUNG WORK INI YA

DAN JANGAN LUPA VOTE AND COMMENT AND SUBSCRIBE YA HEHEH

ADD KE LIBRARY BOAR DAPET NOTIF HEHEHEH

INI CAPSLOCK GABISA MATI :(

LAFFYUU❤❤





Oiya, mau bikin vote kya di ig dungs

Kalian prefer ke

Paper Heart

Chatroom

Silahkan isi kolomnya ya

And dont forget to pencet tanda bintang okay😉😘

📌Park Sabiel

Fortsätt läs

Du kommer också att gilla

46.3K 2.9K 35
" maaf untuk sebelum nya judul nya aku ganti " 🔞🔞🔞 Tidak bagus di baca untuk anak di bawa umur!!!
456K 5.2K 26
Hanya cerita hayalan🙏
926K 59.7K 37
SLOW UPDATE Kisah tentang seorang bocah 4 tahun yang nampak seperti seorang bocah berumur 2 tahun dengan tubuh kecil, pipi chubby, bulu mata lentik...
316K 17.2K 19
[VOTE AND COMMENT] [Jangan salah lapak‼️] "Novel sampah,gua gak respect bakal sesampah itu ni novel." "Kalau gua jadi si antagonis udah gua tinggalin...