Pelangi Tengah Malam

By naiqueen

428K 59.6K 6.8K

Annamaraluna Tejakusuma tidak pernah ingin menjadi penerus Tejan Investama, namun perusahaan rokok keluarga y... More

1. Menjelang Ajal
2. Mimpi buruk
3. Pertemuan kembali
4. Saran
5. Sumber kebencian
7. Yang lebih baik
8. Serangan
9. Si Cantik
10. Presumption
11. Between Camouflage and Allegation
12. Miliknya
13. Confession
14. Hati ke hati
15. Bangga
16. Menyambut badai
17. Ice Cream Monsters
18. Wanita Ular
Duuuuuh!!!
19. Gosip
20. Ingin menyerah
21. Rahasia
22. Sesederhana itu
23. The Deal
24. Kegemparan (1)
25. Kegemparan (2)
26. Confrontation
27. Past and Future

6. Masa yang terlewati

14.7K 2.1K 157
By naiqueen


Luna tidak membuang waktu untuk meragu. Dengan tenang dia kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian setelah sebelumnya memberi perintah pada asisten rumah tangganya untuk mempersiapkan salah satu mobil untuknya.

Dalam perjalanan Luna termenung memikirkan apa yang sebaiknya dia katakan agar El setuju membantunya.

El jelas lawan yang alot dalam bernegosiasi, dan jelas bukan tipe yang mau mengalah meski untuk perempuan sekalipun. Luna paham itu dengan baik, bahkan sejak kali pertama interaksi mereka terjadi.

Mengingat hal itu senyuman Luna tergurat di bibir, sementara  kenangan masa lalu menyeruak dalam ingatan yang tidak pernah dia lupakan, kenangan dari  masa empat belas tahun yang lalu;

Luna membuka pintu mobilnya begitu melihat yang sedang ditunggunya melesat melewati pintu gerbang sekolah.

Dengan mata lebarnya yang awas gadis berkulit eksotis itu memindai kombinasi angka dan huruf yang tercetak pada plat hitam di bagian depan motor besar yang baru saja menepi ke parkiran.

B 17 MS

Identik. Tidak salah lagi.

Dipejamkannya mata sambil menarik nafas panjang saat melihat empunya motor melepas helm dan menjauh dari kendaraan yang sudah terparkir aman di bawah naungan bayangan pohon angsana yang sedang berbunga.

Rasanya tidak mungkin jika Marshel bisa senekat itu. Meski demikian Luna tahu, dalam keputusasaan seseorang dapat melakkan apa saja tak peduli sekalipun dia sudah memiliki banyak hal yang dia dapatkan tanpa harus berjuang dengan susah payah. Dan Luna merasa Marshel memiliki lebih dari cukup alasan untuk berbuat nekad.

Luna kembali membuka mata, pemandangan dramatis memanjakan inderanya ketika melihat beberapa putik kecil berwarna kuning yang terjatuh mendarat di rambut gelap Marshel.

Tanpa berpikir dua kali Luna mendekati dengan langkah gesit yang sangat bertentangan dengan tubuh mungilnya yang terlihat rapuh.

“Shel!” dia berseru hingga pemuda itu berbalik menghadapnya dan tersenyum saat mengetahui siapa yang telah menyela keinginan untuk cepat masuk ke kelas.

“Hei!” kalimat itu tidak terselesaikan karena Luna keburu menyambar lengan Marshel dan menariknya ke arah mobil. “Wohoo… ada apa ini?”

“Aku mau bicara. Di Mobil.”

“Tapi,”

“Nggak lama,” Luna memastikan dengan cepat hingga tak ada penolakan yang harus dia hadapi.

“Ada apa?” Marshel langsung bertanya begitu mereka sudah masuk ke dalam mobil.

“Kemarin Shubuh, apa kamu main ke Senen?”

Marshel menatap Luna dengan alis tertaut, sedetik setelahnya dia tergelak pelan, “Cuma karena itu lo sampe nyeret gue ke sini?”

Luna menggeleng tegas. “Bukan cuma itu, tapi ini awal dari apa yang ingin aku cari tahu darimu.”

“Ngapain gue ke Senen pagi buta?”

“Jawab aja, please?”

“Nggak Lun, nggak. Gue langsung berangkat ke sini dari panti.”

“Panti!” Luna tercengang.

Cowok itu mengangguk, “Gue nginep di panti sejak Sabtu.”

“Kenapa?”

“Lo tahu sendiri alasannya apa.” Wajah muramnya membuat Luna menggigit lidah untuk menahan kata-kata yang ingin ia ucap.

Sudah bukan rahasia jika Marshello Andika Halim adalah anak pungut keluarga Halim. Ironisnya, diantara sekian banyak orang, justru Luna yang paling tahu kebenaran yang di sembunyikan di rumah mewah milik generasi ketiga keluarga pendiri pabrik sigaret terbesar di Indonesia itu.

Bagaimanapun mereka masih satu keturunan, dan sudah sejak lama Luna mengetahui jika Marshello yang selama ini di duga orang lain sebagai anak pungut keluarga itu faktanya adalah anak hasil hubungan gelap Tuan Tanoto Halim dengan anak ART keluarga Halim sewaktu masih remaja.

“Kenapa kamu nggak ke rumah aku?”

Marshel menggeleng tapi tidak mengatakan apa-apa.

Luna menatap Mars dengan mata lebarnya yang penuh simpati, “Karena di sana ada El, jadi kamu lebih memilih untuk ke panti?”

“El sudah kayak sodara sama gue Lun. Gue juga ngerasa tenang kalo ada di dekat dia.”

Perlahan Luna menghembuskan nafas. Kedekatan Marshel dengan Ciel, anak ibu pemilik panti asuhan tempatnya di besarkan memang tidak perlu dipertanyakan lagi. Bahkan ketika dipaksa masuk ke sekolah elit tempat mereka berada sekarang, Marshel menolak mentah-mentah dan baru bersedia ketika Tuan Tanoto Halim mengatakan jika dia juga akan membiayai pendidikan El di tempat yang sama.

Perlahan Luna mengangguk, “Tapi kamu nggak perlu sungkan buat mencari aku jika kamu butuh temen selain El.”

Marshel tersenyum dan balas memandang gadis di depannya dengan mata yang menyiratkan rasa terima kasih mendalam. “Thanks ya Lun,” diulurkan tangannya untuk mengelus puncak kepala Luna perlahan, tindakan yang tidak berarti bagi cowok itu, tapi bagi Luna… kebalikannya.

“Tapi kamu yakin kamu enggak pergi ke Senen kemarin?” Luna kembali bertanya.

“Nggak! Yang kemarin ke sana itu pas Shubuh... mungkin, El.”

Nafas Luna terhenti. “El! Ciel Alferro?”

Marshell mengangguk. “Lo pasti lihat motor gue ya? El tuh yang pinjem buat nganter pengurus panti yang mau belanja kue jajanan pasar untuk anak-anak.”

Penjelasan itu harusnya bisa menenangkan hati Luna yang gelisah sejak kemarin. Tapi nyatanya tidak. Di benaknya kini kemungkinan lain yang sangat mustahil berputar-putar, menggoda untuk di cari tahu. Dan Luna sadar memang itulah yang harus dia lakukan, meski entah kejutan macam apa yang akan dia hadapi sebagai jawaban.

Mengingat siapa El, rasanya sukar untuk dipercaya oleh Luna jika apa yang dilihatnya tanpa sengaja sewaktu mengantar pengurus rumahnya berbelanja adalah ulah pemuda itu.

Tak butuh waktu lama bagi Luna untuk menemukan El.

Bukan saja karena El terkenal di sekolah, melainkan karena ada satu ruang khusus di sekolah mereka yang seakan di kultuskan khusus untuk kepentingan lelaki itu.

Ruangan OSIS berada diantara perpustakaan dan ruang guru. Tidak terlalu mencolok, tertutup, dan memiliki kesan elegan namun suram yang selalu berhasil membuat Luna gelisah tiap kali lewat di depannya. Karena itu pula, Luna tidak pernah bisa tahan berada di dekat El meski pemuda itu teman baik Mars.

Ketika Luna tiba di koridor yang menuju ke ruang OSIS dia melihat El tengah mendorong pintu berdaun ganda itu dengan sisi kiri tubuhnya.

Luna pernah beberapa kali menyaksikan El membuka pintu ruangan, dan sepertinya mendorong dengan sisi tubuh adalah salah satu dari sekian banyak kebiasaan El yang dianggap keren oleh sebagian besar siswi sekolah mereka.

El tidak melihat kehadiran Luna karena posisinya yang membelakangi, juga tidak mendengar langkah gadis itu karena headset putih yang menyumpal telinganya, meski begitu entah karena apa dia berbalik ketika Luna sudah memendekkan jarak diantara mereka.

Dengan tampilan fisiknya, El akan menjadi spesimen paling menarik untuk dikagumi oleh ahli anatomi manapun. Pada bentuk dahi dan tulang pipinya yang elegan, pada bibir yang terpahat sempurna hingga ke sudut-sudut yang membentuk lekuk kejam, pada hidung sempit dan tinggi yang menyempurnakan kedewaan penampilan, dan pada satu bagian yang sanggup membekukan musim semi atau malah mencairkan es di kutub. Matanya.

Mata El adalah apa yang selalu memikat gadis-gadis. Magnet itu tajam dengan iris gelap yang memancarkan keramahan dan perhatian tulus bahkan terhadap sesuatu yang sepele sekalipun. Ada penghargaan di sana, berbaur dalam tipisnya kesan angkuh yang terasa tak nyata. Bagai sebuah misteri yang sengaja dia sembunyikan.

Tidak semua gadis bisa melihat keangkuhan dan misteri dalam mata El, hingga tidak mengherankan jika selalu saja ada yang menangis karena hati mereka yang tidak sengaja, El patahkan.

Tentu saja Luna bukan salah satu diantaranya sememikat apapun El, secara fisik.

Luna sampai di depan El tepat ketika pemuda itu sedang melepaskan headset. Di bibir El terukir senyum tipis yang menurut Luna lebih menyerupai ejekan ketimbang perhatian ramah.

“White musk,” desis El samar hingga tidak ada yang bisa mendengar selain Luna.

“Apa!”

“Parfum kamu.”

“Sebenarnya bukan parfum, tapi body cologne,” Luna membenarkan.

“Yah, The Body Shop, bukan?”

Luna mendengus sambil tersenyum, “Aku tidak tahu kamu bisa mengenali parfum sampai sejauh itu El. Tapi harus aku akui, itu mengesankan.” Kata-kata Luna membuat pemuda itu menyeringai makin lebar.

“Bisa kita bicara?” tanya Luna tanpa basa-basi.

“Oke, silahkan.”

“Bukan di sini maksudku, kita butuh tempat yang sedikit lebih terjamin privasinya.”

“Tuan Puteri, ini sekolah bukan istanamu. Di manapun kita bicara, itu tidak masalah bagiku.”

Luna menatap El lekat-lekat, menunjukkan ketegasan sikap yang nyaris terasa angkuh di mata El. “Setelah kamu tahu apa yang akan kubicarakan kamu pasti akan setuju denganku. ”

El memutar mata sambil mengangkat bahu seolah mengatakan ‘terserah’, tapi kemudian dia membuka pintu ruang OSIS sedikit lebih lebar dan mempersilahkan Luna untuk masuk lebih dulu.

Begitu masuk Luna memeriksa sekelilingnya melalui tatapan. “Apa ruangan ini ada CCTV-nya?”

Aku tidak tahu. Coba tanya Ayahmu, sebagai donatur tetap tempat ini aku yakin dia pasti tahu digunakan untuk apa saja uangnya.”

Luna menghela nafas lalu mengembalikan tatapan pada El dengan ketenangannya yang bersahaja. “Aku tidak akan bicara dengan suara keras kali ini El, jadi bisakah kamu tunjukkan tempat duduk yang memungkinkan untuk kita  berbicara dengan suara pelan.”

Senyum nakal terkembang di bibir El, “Kamu ingin berbisik-bisik denganku ya Princess. Wah! Sebelumnya di sini tidak ada yang menawarkan dengan terang-terangan begitu. Kamu selalu saja berbeda dari kebanyakan gadis Luna, mengagumkan.”

“Tunjukkan saja tempatnya, please!” pinta Luna semakin tidak sabar. 

El mengangguk. Sambil tersenyum dia membimbing Luna memasuki ruang rapat pengurus yang letaknya lebih di belakang.

El menarik dua kursi terdekat untuk diri sendiri dan Luna yang anehnya terlihat semakin gusar saat mereka berdekatan.

Gadis itu menggigit bibir bawah lalu ganti menggigiti kuku jari tengah tangan kanannya sebelum menggeleng-gelengkan kepala sambil mengernyit tak suka. “El,”

“Iya Tuan Puteri?”

“Bisa turunkan pewangi ruangan dari sana,” Luna menunjuk penyejuk ruangan yang pemuda itu hidupkan saat mereka masuk tadi.

El mengikuti arah yang ditunjuk Luna sambil mengernyit. “Kenapa? Apa yang salah dengan aroma lavender?”

“Aku nggak suka.”

Tanpa banyak bicara El bangkit dari tempat duduknya dan memanjat ke salah satu kursi untuk menjangkau bungkus pengharum ruangan yang diributkan oleh Luna. Sekejab kemudian El sudah kembali lagi ke sebelah Luna setelah sebelumnya melempar pengharum itu ke kotak sampah.

“Terima kasih,” Luna benar-benar mengatakannya dengan tulus. “Tapi kamu tidak perlu membuangnya.”

“Tidak masalah, jika kamu tidak suka maka aku tidak akan memakainya lagi.”

“Tidak perlu seperti itu, lagipula aku tidak selalu datang ke sini setiap waktu.”

El tersenyum. “Firasatku justru mengatakan sebaliknya, Tuan Puteri. Kamu akan sering main ke sini mulai hari ini.” Senyum yang terkembang di bibir El terlihat seduktif, terlalu matang untuk ‘bocah’ seusia mereka hingga terasa nyaris mengejutkan. Anehnya Luna hanya bisa menanggapi keramahan El dengan kernyitan di dahi.

“Jika kamu pikir aku ke sini karena ingin menyatakan cinta maka kamu salah.”

Senyum El tidak berubah, menjelaskan betapa tinggi rasa percaya diri yang dia miliki. “Jadi apa harus aku yang mengatakannya lebih dulu?” jelas, pria didepannya akan jadi playboy di masa depan, pikir Luna dalam hati. "Kupikir aku tidak akan keberatan juga!"

“Tidak perlu.”

“Benarkah?”

“El,” Luna mendesahkan nama lelaki di sampingnya perlahan, “Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan.”

“Silahkan, aku sudah menunggumu sejak tadi.”

Luna mengeluarkan ponselnya dari saku, menaruhnya di atas meja kemudian menarik punggunhnya hingga bersandar sepenuhnya ke punggung kursi.“Minggu Shubuh kemarin, apa kamu yang memakai motor Mars di Senen?”

Ekspresi di wajah El nyaris tidak berubah. Tapi Luna begitu teliti untuk mengabaikan gelombang keterkejutan yang memancar keluar dari mata El sebelum berhasil dia kuasai.

Pemuda itu memiringkan kepalanya dan balas menatap Luna, meneliti. “Begitulah.”

Luna menghela nafas panjang sekali lagi, matanya tak lepas memandang El yang juga balas menatapnya seakan menunggu-nunggu apa yang ingin gadis itu katakan selanjutnya. “Hari itu, aku ada di sana. Diparkiran.”

“Oh ya! Kamu melihatku?” meski di bibir El senyum itu masih terkembang, pada mata dan getar suaranya Luna bisa membaca sesuatu yang berbeda. “Kenapa tidak memanggil?”

Luna menggeleng, “Tidak memungkinkan. Karena aku sedang di dalam mobil,  kamera ponselku menyala dan aku sedang merekam apa saja yang ada di luar jendela, saat…,” Luna tidak mampu meneruskan kata-katanya.

“Teruskan saja Luna,” suruh El. Suaranya berubah kasar, dan pancaran sinar di matanya berubah kelam, dingin, juga keji.

“B  17 MS,” sebut Luna datar, “Aku hapal kombinasi itu di luar kepala, El. Dan apa yang kamu lakukan saat kamu ulurkan tangan untuk menarik kalung emas yang di kenakan pengurus rumahku?”

Kata-kata itu berdengung di telinga Ciel. Bukan saja karena dia sama sekali tidak menyangka perbuatan kriminalnya memiliki saksi. Seakan kurang mengenaskan, saksi itu bahkan mengenalnya cukup dekat hingga bisa memburunya secara pribadi seperti ini.

“Itu bukan urusanmu,” El mendadak berubah ketus dan dingin.

“El!”

“Jika kau hanya menemuiku hanya untuk meminta pertanggung jawabanku, maaf… aku tidak bisa. Kalung itu sudah kujual di penadah, pagi itu juga.”

“Bukan itu yang aku mau,” faktanya bahkan sebelum datang kesini Luna sudah membereskan masalah kalung itu dengan pengurus rumahnya.

“Jadi apa? Kau ingin menyeretku ke kantor polisi? Silahkan saja, aku tidak keberatan. Tapi sebelum itu terjadi, silahkan keluar dari sini, kurasa pembicaraan ini sudah cukup.” Kemarahan yang meluap dari tubuh El membuatnya berdiri dan berbalik hendak pergi, tapi cekalan kuat tangan Luna dipergelangan tangan kiri El menghentikan gerakan pemuda itu.

Masih sambil menggenggam pergelangan lengan Ciel, Luna berdiri. “El, tolong jangan ulangi lagi. Motor Mars itu sudah di modif dengan beberapa ciri yg khas, terlalu mudah untuk di kenali.”

El mendengus sinis, “Kamu mengkhawatirkan sesuatu menimpa Mars bukan?”

“Ya.”

“Aku mengerti.”

“Dan juga kamu.”

Kepala El bergerak untuk menoleh ke belakang, pada Luna yang masih memegangi lengannya kuat-kuat. “Kamu melarangku?”

“Untuk kebaikanmu sendiri, tolong jangan diulangi.”

El tersenyum sinis, “Haruskah aku berjanji padamu?”

Luna menggelengkan kepala pelan, “Berjanjilah pada dirimu sendiri, jangan pernah berbuat bodoh lagi. Ingat satu hal, kalau ada seseorang yang diciptakan untuk sukses diantara semua siswa di sini, kamulah yang paling berhak.”

“Omong kosong! Masa depanku ditentukan oleh jumlah recehan yang bisa kukantongi, dan karena aku bukan dari keluarga seperti keluargamu dan keluarga Mars… tentunya tak ada masa depan untukku.”

“Meski kamu pikir demikian, aku tetap tidak ingin kamu berakhir menjadi sampah atau kriminal El.”

“Itu sama sekali bukan urusanmu Luna,” geram El marah. “Jadi jangan ikut campur.”

“Maaf, tidak bisa.” Luna melepaskan cekalannya di lengan El. Sambil mundur satu langkah kebelakang ditatapnya El serius, “Mulai sekarang, aku akan mengawasi.”

Sebelum mengakhiri percakapan itu Luna memberi seulas senyum yang membuat El tertegun, saat dia tersadar Luna sudah melangkah dari ruangan diiringi tatapan tajam El yang menyiratkan  amarah berselimut rasa malu, rendah diri, juga perasaan dikendalikan.

Apa yang saat itu Luna sepenuhnya abaikan.

Kurang dari setengah jam Luna tiba di kawasan dekat mauloseum keluarga Tejakusuma berdiri. Makam artistik dan berukuran masif itu dibangun di kaki gunung Klothok pada areal seluas dua hektar yang sekelilingnya dipagari dan dijaga oleh empat satpam yang bertugas jaga bergantian siang dan malam.

Ketika Luna tiba, dilihatnya dua satpam yang kebetulan bertugas jaga tampak memasang wajah tegang saat berdiri di dekat seseorang yang kehadirannya tampak membuat keduanya terganggu.

Luna memarkir mobilnya disebelah sedan Volvo yang terparkir di dekat pos jaga.

Tangan Luna gemetar. Tubuh tinggi atletis dalam balutan blazer santai warna kelabu gelap itu dikenalinya dengan baik meski saat itu dirinya tidak sedang berhadapan wajah secara langsung dengan lelaki itu.

Luna melangkah tenang menghampiri tiga orang itu, salah satu satpam yang melihatnya langsung menyapa dengan sikap santun yang biasa ditujukan oleh orang-orang yang mengenal siapa Luna.

“Biar saya yang urus ini,” katanya pada dua petugas itu yang dengan lega menarik diri meski tetap memasang sikap waspada pada orang asing yang kini sudah berbalik menghadap kearah pewaris tunggal TIV itu.

“Apa maumu El?” Tanya Luna setelah dua satpam itu menjauh hingga tidak bisa mendengar pembicaraan mereka secara langsung. “Ini area pribadi yang tidak dibuka untuk umum.”

“Kurasa aku punya cukup hubungan pribadi dengan Ayahmu untuk dapat diterima di makamnya, bukan?” El menyahuti datar sambil tersenyum tipis. "Biar bagaimanapun kami pernah berbagi perempuan yang sama, bukan?" 

Bahu Luna langsung kaku mendengar sindiran itu.

“Kita cari tempat lain saja untuk berbicara,” pinta Luna pada lelaki dihadapannya seraya berbalik langkah hendak menuju ke mobilnya lagi. Namun baru beberapa langkah, Luna menyadari jika El tidak melakukan apa yang dimintanya. Alih-alih mengikutinya, El justru memilih bertahan ditempatnya.

“Aku serius El … kamu tidak diterima di sini.”

“Kamu yang minta bertemu denganku kan? Kenapa sekarang justru menolak.”

“Di sini sama sekali bukan tempat yang  tepat.”

“Di sini. Sekarang. Atau tidak akan pernah ada pembicaraan sama sekali.”

“Apa itu perintah!?”

“Anggap saja itu permintaan,” sahut pria itu angkuh.

Luna menghentikan langkah kemudian berbalik menghadapi lelaki itu, menatap lurus ke manik mata El yang kelam dengan penuh spekulasi.

Seakan memahami apa yang ada di pikiran Luna, El mengulurkan tangan untuk menggamit pergelangan tangan kiri gadis itu, “Aku tidak akan berbuat kurang ajar pada yang sudah tiada. Bisakah kamu percaya itu?”

Nada suara El yang berubah lebih lembut membuat Luna akhirnya memberikan persetujuan lewat anggukan pelan sebelum meminta dua petugas jaga membukakan pintu gerbang makam.

Mereka mendaki tangga menuju makam yang didirikan dipuncak bukit. Dari kejauhan yang pertama-tama dilihat oleh El adalah kubah dan tiang-tiang bangunan yang rupa-rupanya dibuat menyerupai mauloseum bergaya artdeco.
Semakin mendekati puncak El bisa melihat bangunan itu dibuat dari pualam import dan dihias oleh patung-patung malaikat ala Yunani.

Luna melewati pintu masuk bangunan itu dengan hati-hati, tatapannya tertuju pada batu marmer yang difungsikan sebagai prasasti tempat dimana nama-nama anggota keluarganya yang dimakamkan diukir. Sementara El berdiri di belakangnya menatap objek yang sama.

“Aku tidak melihat altar untuk menaruh bunga di sini?” tanya El keheranan.

“Ada di bawah, kita bisa turun lewat tangga putar itu ke depan pintu bunker penyimpanan jenazah berada.” Luna menoleh kebelakang sekilas untuk memberi tanda agar lelaki itu mengikutinya.

Mereka meniti turun ke bagian muka bunker yang pada kenyataannya lebih mirip dengan balkoni hanya saja jika di balkoni biasanya terdapat pintu yang mengarah ke ruangan dalam, di sana terdapat pintu bunker tempat peti-peti jenazah anggota keluarga Tejakusuma disimpan.

Di depan pintu bunker sebuah meja dan vas pualam di sisi kiri dan kanan diletakkan secara permanen. Setiap tiga hari sekali orang yang merawat makam mengganti bunga di vas dengan bunga segar yang baru, tapi hari ini Luna mengganti bunga di Vas dengan bunga sedap malam yang dipetiknya pagi tadi dari kebun bunga di belakang rumah.

“Bunga kesukaan Ibumu?” El tampak ingin tahu dengan pilihan bunga yang Luna bawa.

“Bukan,” lirihnya pelan. “Mami meninggal saat aku masih kecil, dan aku tidak sempat bertanya apa bunga kesukaannya, jadi aku selalu membawa bunga apapun yang menurutku menarik setiap kali aku ke sini.”

El tersenyum mendengarnya, melarang saat Luna ingin mengisi vas di sisi lain dengan bunga yang sama. “Karena yang dimakamkan di sini bukan hanya keluargamu yang perempuan bagaimana kalau aku memberikan sesuatu yang berbeda untuk kerabat laki-lakimu.”

“Apa?”

El tidak menjawab tapi mengeluarkan sesuatu yang dia simpan di balik saku bagian dalam blazer yang dikenakannya. Sebuah silinder keemasan terlihat. Luna langsung tahu kalau itu cerutu. Salah satu yang diproduksi secara terbatas oleh TIV untuk pasar Eropa.

Dengan hati-hati El membuka segelnya, kemudian mengeluarkan gulungan tembakau kering dengan aroma khas yang kuat. Untuk beberapa saat Luna hanya memandangi saat lelaki itu mengendus aroma itu layaknya penikmat cerutu professional. Kemudian tanpa banyak bicara El menyalakan, menghisap ujungnya yang sudah terpotong hingga menyala dan asap mengepul sempurna sebelum menaruh cerutu itu ke vas yang satunya.

Hembusan angin mengisi udara sekitar dengan aroma khas tembakau dan cengkih padu dengan keharuman bunga sedap malam yang feminim. Untuk sesaat Luna bisa merasakan apa yang dirinya lakukan bersama El bagai sebuah ritual yang sakral.

Luna menoleh kearah El dan melihat lelaki itu tersenyum tipis dengan mata menerawang.

“Aroma ini mengingatkan aku pada hari-hari musim panas saat masih di Belanda.”

“Kamu…”

El balas menatap padanya, “Aku kuliah di sana, di Leiden tepatnya.”

Sungguh ironis. Jadi selama ini mereka cukup dekat satu sama lain, pikir Luna hampir tidak percaya.

“Ada sebuah cigarette cellar tak jauh dari kampusku,  setiap hari aku melewatinya dan mencium tembakau dari cerutu yang pengunjungnya nikmati. Kebanyakan aromanya hambar, cuma bikin sakit tenggorokan. Kalau sudah seperti itu aku kangen berat sama aroma kretek Tejan.”

“Seingatku kamu bukan perokok, El.”

“Memang. Tapi kadang bagi seseorang yang jauh dari tanah air, adakalanya homesick bikin kita merasa butuh sesuatu untuk mengobati rasa kangen kita pada rumah.”

Luna tersenyum tipis, ekspresi di wajahnya terlihat seperti sedang melamun. “Aku pernah sangat rindu makan bakso … bukan, bukan baksonya yang bikin rindu. Tapi suara denting khas mangkuk yang diketuk oleh  Abang penjualnya yang bikin aku kangen.”

“Saat kita jauh dari tanah air, hal sesederhana denting mangkuk bakso akan jadi sesuatu yang mahal, kan! Dan kamu tahu, bagiku, obat kangen itu adalah cerutu Tejan yang harganya menguras kantong dan hanya bisa di dapat di sedikit toko kelontong di Den Haag atau Amsterdam.”

“Jadi, hanya cerutu Tejan yang tidak termasuk dalam hal-hal yang kamu benci dari keluargaku, kan El?”

“Aku tidak bisa membenci aspek yang paling rentan dalam keluargamu.”

Luna menatap El tidak mengerti. El berdiri melangkah ke tepian balkoni yang menghadap pemandangan kota Kediri di kejauhan. “Itulah yang ingin kamu bahas denganku bukan?”

Luna ikut berdiri dan melangkah menghampiri El, “Jika yang kamu pikirkan adalah tentang aku yang ingin menjual saham Tejan, lupakan saja. Karena bukan itu yang aku ingin bicarakan denganmu.”

Pengakuan Luna memberikan efek kejutan tersendiri untuk El. Membuat lelaki itu menoleh dan berbalik sepenuhnya menghadapi Luna.

“Kamu masih tidak ingin menjual saham Tejan?”

Luna mengangguk mantap. Sedetik setelahnya El tertawa lepas. “Hebat!” serunya datar. “Jadi apa yang kamu inginkan dari pertemuan ini?”

“Sebuah penawaran untukmu.”

“Kalau itu berarti aku harus kembali jadi budakmu maka jangan pernah dibahas.”

“Bagaimana kalau tawaran untuk memiliki Tejan?”

El tersenyum sinis “Kamu tidak ingin menjual sahammu tapi justru memberikan penawaran padaku untuk memiliki Tejan. Luv … permainan macam apa yang sedang kamu mainkan sekarang?”

“Ini sederhana El.”

“Oh ya?”

“Kamu cukup bilang sama aku kalau kamu setuju untuk menjadi pewaris TIV, dan aku akan segera mengabulkan keinginanmu.”

Ejekan juga cemooh terlihat dari senyum dan cara El saat menatap Luna. “Dengan cara apa Princess?”

“Menikahlah denganku, Ciel Alfero.”

TBC

Ganteng, pinter, idola sekolah taunya jambret 🤣🤣🤣
Udah mulai ngerti kan alasan El benci Luna!

Si Luna juga jadi cewek cool banget, seenaknya aja lamar2 anak orang. Cowok tipe kanebo kering sih masih bisa ditolerir, nah kalo cewek!?

Continue Reading

You'll Also Like

16.3M 592K 34
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
6.1M 316K 73
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
603K 96.2K 38
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
1.2M 41.2K 55
Sial bagi Sava Orlin setelah melihat lembar penetapan pembimbing skripsinya. Di sana tertulis nama sang mantan calon suaminya, membuat gadis itu akan...