KAMELA

By fitrimeydha13

81 13 4

Seperti sepertiga garis kata, langkahnya berat medekati garis hidupnya yang pada kenyataannya ia sudah melang... More

Part I - Langit
Part II - Ruang
Part III - Dulu
Part IV - Dunia Baru untu Kamuflase

KULMINASI I

43 4 2
By fitrimeydha13

Pagi itu ruam diwajahnya sudah tak nampak lagi membekas. Lebam dilengan dan kakinya pun sudah sedikit memudar. Beda dengan hari-hari biasanya. Ia kala itu duduk diteras rumah dengan cat putih, dan beberapa gantungan pot bunga sana sini. Sapaan embun dan kabut menyekah kulitnya yang pucat, semuanya tak bermakna sekalipun itu dingin yang menusuk tulangnya. Ia hanya duduk dikursi rotan dengan berpangku tangan dan tatapannya yang kosong. Baju piama yang kusut, dan rambut panjang yang terurai lembut. Bibir tipisya kering, mengikuti suasana hatinya yang tidak lagi seperti hidup yang biasa orang-orang rasakan.

Semuanya terlihat diawang-awang. Seperti benda yang tak memiliki massa. Terpaku pada gravitasi, hanya tidak melawannya. Keburaman itu, ia kecap tanpa tau sisi jiwanya seperti apa. Jangan sebut dia gila, hanya saja ia sudah kehilangan sebagian dari jiwanya yang agung pada dirinya sendiri. Ia lemah oleh waktu yang diam-diam menganiayanya. Ada banyak delusi yang mengejarnya dan diam mencabik-cabik pikirannya pelan. Ia terkadang merasakan ketakamanannya ia berada disuatu tempat baru, terlebih dia suka menarik dirinya dari lingkungan yang ada disekitarnya.

Senja..

Tulisan-tulisan itu masih tersimpan rapi di rak buku ini. 3 tahun ini aku hanya bisa mengurung diriku dalam kamar yang sangat pengap ini, dan kerianganku hanya terbatas pada obat-obatan yang selama ini aku rajin meminumnya. Tak ada lagi tawa yang menghias di ruang dan waktuku. Begitu juga malam-malam yang selalu menjadi teman disaat-saat sepiku kini menjadi suram. Dan seakan galaksi menjadi tak seindah dahulu.

Ketika semua meniti langkah menuju masa depan, sedangkan aku bergerak satu langkah tak ada daya sama sekali. Keterpurukan dan rasa takut yang sangat menggetarkan saraf motorik dan otak kananku terhenti dan tak pernah terbesit keindahan yang akan menjemputku.

Bayang-bayang itu selalu hadir ditiap tidurku. Sebuah kehidupan yang tak selayaknya manusia laknat seperti aku hidup didalamnya. Sementara aku yang tak pernah akan tahu kenapa aku terlahir dengan keadaan yang mengenaskan seperti ini. Dan aku yang tak pernah tahu, akan takdir yang tercatat ketika aku menjadi segumpal darah yang hanya menunggu cahaya.

Sekat-sekat waktu seakan memisahkan aku dan masa lalu yang amat penuh dengan tawa. Tak lama lagi tak ada sekat yang memisahkan aku dan antara ruang dan waktu yang terus berjalan. Akankah penuh dengan renungan untuk pencarian pendefinisian ruang dan waktu untuk aku dan pencarian sejatinya cinta yang tak kunjung aku temukan. Tak jauh dari angan, aku belum tahu siapa diri ini dan apa tujuan aku terlahir didunia yang sangat merepotkan ini.

Tak ada lagi cahaya bulan yang bersinar ditengah pekatnya awan, dan bintang yang tak lagi menari dengan desiran dan hembusan angin di antariksa pemilik-Nya. Tak lagi aku merasakan angin yang sangat mengigit sampai ketulang dan berakhir benggigil. Selaya kemuraman menyelimuti dilini ruang dan waktu.

Tak ada kabut tipis yang selalu menyapa pipiku ditiap malam yang hampa. Kosong, dan tak berpenghuni lagi. Hanya maut yang seakan mengintaiku dari belakang atau mungkin mendekapku dari depan. Itu saat yang paling aku takutkan, karena aku tak mampu lagi melihat bintang menari dan bulan yang tak begitu purnama ini. Serta kabut yang selalu jadi hiasan ditengah pekatnya awan.

Semuanya begitu rancuh, serancuh gumpalan electron yang tidak lagi berpotensial mengejar dirinya menuju potensial rendah ataupun potensial tinggi. Berhamburan. Bukan partikel yang bersembunyi dibalik langit hitam, bukan pula gelombang yang sedang bergerak lamban. Sama sekali tidak menjelaskan jatidirinya apa. Akan menjadi cahayakah? Atau pekat ditengah kegelapan yang benar-benar buta.

Aku hanya singkat cerita menyimpulkan kenapa kupu-kupu hari kehilangan sayapnya ketika ia terbang hanya untuk menikmati harinya yang hanya dua minggu saja. Aku hanya singkat cerita menyimpulkan kenapa kosmos harus teratur sementara ada beberapa sekte yang akan mengancurkan beberapa galaksi.

Ada banyak hal yang membuat aku harus nyengir dan tertawa lucu, kenapa harus ada paradox di dalam hidup yang ambigu ini. Kenapa pula, banyak hal kecil yang dipermasalahkan dan dibesar-besarkan, namun sungguh tidak penting. Lalu, kenapa pula semua orang selalu ikut campur dengan urusan orang lain? Sementara aku tidak ambil pusing dengan apa yang terjadi pada mereka semua.

Bukan dengan berhenti disitu saja, proses penciptaan nasib baik dan buruk itu sendiri yang ingin aku tanyakan itu kepada semua para pemuka agama. Ada banyak buku yang sudah aku baca, tentang semua agama yang ternyata hanya memuja agama ini yang lebih baik. Lalu kenapa harus ada agama? Sementara aku hanya tahu, bahwa yang menciptakan agama adalah manusia sendiri. Lalu siapa Tuhan yang pencipta takdir itu? Seperti apa bentuk dan sosoknya? Setidaknya aku ingin berbincang sedikit dengannya, mungkin dibawah pohon So, tempatku bermain seperti biasanya, iya.. disana kita kemudian berbicara mengenai takdir yang sudah Ia buat mainan ini.

Seperti sepertiga garis kata, langkahnya berat medekati garis hidupnya yang pada kenyataannya ia sudah melangkahkah kakinya sesuai dengan nalarnya yang sedikit cacat. Selaksa bunga tak lagi merekah, terlampau tidak bisa lagi berfotosintesis. Sementara alam seolah menelannya mentah-mentah. Ia hanya berlogika singkat saja, hanya mengandalkan intingnya. Semua itu tidak berkembang dengan baik sejak ia kecil. Gambaran tentang ilusi dan delusinya ia injak dan terkadang membawanya menjadikan sosok yang tak terkendali. Ia merontah kesakitan pada jiwanya. Ia gila hanya pada dirinya sendiri. Jiwanya sedang bersolasi dan terkadang beterbangan kesana kemari. Kasihan, masa indahnya ia isi dengan warna yang sedikit buram dan pudar. Ia seperti seorang yang tertutup matanya dengan kain hitam. Memutar tubuhnya dan berjalan sepoyongan di jalan garis hidupnya. Ia tidak dapat sedikitpun menikmati cerah warna langit, yang ia rasakan gundah dan jiwa yang tidak pasti adanya. Berimajinasi sejadi-jadinya. Ia hanya memiliki dirinya sendiri dan jiwanya saja.

Kamela adalah seorang gadis kecil yang memiliki cara pandang yang beda dari manusia kebanyakan dan menganggap bahwa pikiran dan angan-angan yang satu-satunya benar, menurutnya semua orang yang hampir mengenalnya pasti tau, tapi hanya beberapa saja dan akan menilainya seperti itu. Ia berambut hitam, lurus dan panjang. Berwajah melankolis dan sangat lugu. Siapapun yang memandang wajahnya pasti akan mengeluarkan senyum damai, ada kedamaian dalam matanya dan karena wajah Kamela bak peri kecil dibawah sinar bulan. Sangat cantik dan menggemaskan. Bibirnya yang kecil dan merah, sempurna. Tapi tak sesempurna jiwa yang ada dirinya. Seperti bertolak melihat telapak tangan yang terbolak balik.

Senyum pada binar matanya berkata lain. Awam menilainya adalah kedamaian. Kebahagiaan yang terpancar indah dimatanya. Melengkungnya kisah yang sangat menyenangkan. Akan tetapi semua berbanding terbalik dari semua itu. Ia adalah gadis kecil dengan simpulan yang banyak arti. Bukan satu simpul dengan garis lurus, melainkan garis samar terputus-putus dan sejuta makna. Dan sedikit menakutkan. Ia dibesarkan dari apa yang sudah ia lihat, ia dengarkan sehari-hari. Lingkungannya sangat jauh dari kata normal. Sementara akalnya yang cacat, selalu mengelabuhi dirinya sendiri untuk menarik diri dari lingkungan sosialnya. Ia sudah diperbudak cerita seperti ini selama puluhan tahun. Cerita-ceritanya ia mulai dari tumpukkan kisah tentang dirinya dan dirinya sendiri.

Kaki Kecil...

Suara gaduh terdengar dibelakang. Priang....!!! Pecahan piring dan gelas sudah berhamburan dimana-mana. Kali ini ada cekcok apalagi didalam rumah itu. Kamela kecil mengintip dilubang kecil pintu kamarnya, ia mengendap-endap berjalan dengan kaki kecilnya hingga tak bersuara. Hanya ingin tau apa yang terjadi. Disana, ia melihat ibunya yang menangis seorang diri dengan lantai yang berantakan. Kamela hanya bisa melihatnya dari jauh. Melihat punggung ibunya dengan isak tangisnya yang sesak. Ia tidak ada nyali untuk mendekati ibunya. Kaki kecil itu kembali menuju kamarnya dengan pelan-pelan dan sangat pelan. Ia sangat takut jika ibunya tau Kamela sedang mengamatinya. Kamela penuh rasa takut dengan apa yang sudah terjadi pada ibunya. Bukan penyebabnya melainkan akibatnya. Kamela satu-satunya siang itu yang berada dirumah. Ia duduk dibalik pintu dalam kamarnya. Ia mendengarkan dan memasang telinga, suara rintih tangis ibunya tidak seperti biasanya. Kamela semakin ketakutan. Ia terus dan terus menyudutkan dirinya disudut tembok belakang pintu kamarnya. Kali ini ia mendengar langkah kaki yang mendekat, semakin mendekati kamar Kamela.

Daun pintu itu terbuka, Kamela melihat bayangan ibunya dari balik pintu. Kamela semakin erat memeluk kakinya yang melipat, dengan erat dan meringkup. Ibunya mendekatinya dengan matanya yang memerah dan basah oleh airmata.

"Kamela sayang..." suara parau itu memanggil Kamela mencoba menjadi lembut. Ia mendekati tubuh Kamela yang sudah seolah menjadi batu disudut kamarnya itu. Ia mencoba menyentuh rambut Kamela dan membelainya dengan lembut. Ia tersenyum datar. Hanya saja Kamela masih tetap menyembunyikan mukanya yang basah dimatanya. Kamela menangis tanpa ada suara, ia menahannya dan menahan rasa takut kepada ibunya sendiri.

"Kamela, ayo lihat ibu nak..." Kamela tetap pada posisinya tanpa ada gerak sedikitpun ditubuhnya. Tak lama belaian lembutnya, menjadi petaka yang sudah Kamela duga sebelumnya. Ibunya menarik rambut Kamela dengan keras, ia menyeret Kamela dan memaksa Kamela untuk berdiri. Ia tarik lengan dan rambutnya. Kamela tetap tak mengeluarkan suara sedikitpun. Ia menahan rasa perih yang ada pada pori-pori rambut kepalanya. Ia menarik Kamela dengan posisi tubuh Kamela tengkurap diatas lantai, air kencing Kamela berceceran dilantai dan kakinya yang kumal dan basah. Bauh pesing mulai menyebar begitu saja. Sementara rok putih kusam yang Kamela kenakan basah. Ibunya masih asyik menyeretnya. Dengan senyum tipis dibibirnya ia melirik wajah Kamela yang sudah memerah.

Ia menerima pukulan keras dilengan dan punggungnya. Kaki kecilnya, kembali lebam biru. Ia menahan rasa sakit yang ia terima. Pukulan dan tamparanpun melayang diwajah kecil Kamela. Kamela tetap diam, Kamela tak teriak kesakitan. Ia tahan dan terus ia tahan.

Dengan melampiaskan rasa kesal ibunya, Kamela menjadi satu-satunya korban yang dapat memuaskan emosinya. Amarah yang meluap dihatinya. Ibunya meninggalkan tubuh lebam Kamela begitu saja. Sementara Kamela, terus menangis tanpa suara. Ia merangkak keatas ranjangnya. Dengan memegang tubuhnya yang sangat nyeri. Ia merangkak pelan-pelan, menuju ranjangnya. Setelah itu ia menghantamkan wajahnya ke tumpukan bantal. Disana ia teriak kencang, sekencang-kencangnya. Ia berusaha suaranya tidak lagi terdengar dari luar. Teriakannya penuh dengan rasa sedih, rasa sakit dihatinya yang sangat dalam. Rasa sakit didalam hatinya, melebih rasa sakit dan perih disekujur tubuh kecilnya. Ia menangis sekencang-kencangnya tangisan. Ia terus menangis hingga berjam-jam. Tidak ada yang menengkan dirinya, tidak ada yang memperhatikannya.

Kumal, Kamela gadis kecil cantik dengan tubuh kumal. Ranjang yang terus-terusan ia kencingi, basah hingga kering. Ia tetap berada diatas ranjang itu. Dengan selimut dakron yang sudah banyak tungau disana-sini. Semua barang-barang dan baju Kamela berceceran dilantai. Tumpukan pakaian kotornya sudah berbau menyengat. Sudah beberapa bulan ini ia tidak menyempatkan dirinya untuk menyuci semua itu. Karena, apabila ia melangkahkan kakinya meninggalkan kamar. Ia mendapatkan hantaman berat dikepalanya. Pukulan bertubi-tubi disekujur tubuhnya. Ia memilih mengunci tubuhnya dalam kamar, demi melindungi diri dari kerasnya ibunya dan gangguan mental ibunya yang semakin hari semakin menakutkan. Kamela harus menahan perutnya dari rasa lapar yang selalu menyerangnya. Terkadang malam hari saat ia tahu ibunya sudah tertidur ia keluar kamar untuk mengambil makanan yang ada di lemari makan di dapur. Lagi, ia berjalan mengendap-endap. Dengan mata awas ia mulai mengambil makanannya. Disana ia melihat persediaan makanan kaleng dan tumpukan roti yang masih terbungkus. Ia membawa lebih banyak daripada malam kemarin. Dengan tujuan, agar ia tidak lagi keluar dari kamarnya. Ia melihat sekitar dan kembali masuk kedalam kamar dan menguncinya.

Ia makan dengan lahap makanan yang ada didepannya. Ia menyisakan sebagian makanannya untuk esok harinya. Kamela sedikit menggunakan akalnya, mengatur sisa makanannya untuk waktu yang sekiranya panjang. Karena terburu-buru ia tak melihat apa yang ia ambil daging sapi mentah yang ada dalam bungkusan plastik. Ia menggaruk kepala dan memukul kepalanya sendiri.

"Goblok... buat apa daging sapi mentah ini? Bagaimana cara memasaknya. Goblok..!!" Kamela melempar daging sapi itu, dan terlempar sampai dibawah ranjang.

Kamela kembali melihat dan memilah makananya. Makanan kaleng, daging olahan dan buah-buah kaleng ia masukkan dalam lemarinya. Roti-roti ia masukkan dalam tas plastik, ia rapikan ikatannya agar tidak dimakan semut. Kemudian ia masukkan semua makanan sisanya dalam lemarinya.

Ia duduk dilatai dan bersandar di kaki ranjang, ia merasa perutnya masih lapar. "Perutku....!!' Kemudian ia mengelus perutnya dan medengar suara dalam pertunya.

"Ah.. sial" Kamela memukul perutnya, dengan pandangan mencari, ia berfikir cara agar perutnya tak lapar terus-terusan. Ia mengacak-acak tumpukkan pakaian kotornya dan mencari kain panjang. Matanya jeli dan menemukan kain panjang, kemudian ia mengikat perutnya, membalut melingkari punggungnya dan mengikatnya dengan rapat. Meskipun sedikit sesak ia harus menahannya.

Ia kembali bersandar di kaki ranjang, memeluk kedua lututnya dan meringkupkan tubuhnya yang semakin kurus. Kakinya semakin mengecil. Kuku di jari kaki dan tangannya hitam kotor. Kulitnya kusam, rambut panjangnya harus sekusut itu. Ia tidak menyempatkan dirinya untuk keluar kamar, apalagi untuk mengurus tubuhnya untuk mandi. Ia masih dalam posisinya yang sama, hingga sinar matahari masuk dari lubang jendela kamarnya. Hangat seolah menyentuh punggunnya. Kamela terbangun dari tidurnya. Mata Kamela silau dengan satu sinar yang mengganggu tiduranya. Ia berdiri dan melihat lingkungan sekitar. Tidak ada orang disana, masih sama. Orang-orang masih takut untuk mendekati rumahnya. Jarak rumahnya dan pedesaan agak jauh, berjarak 1 Kilometer dibelakang pedesaan. Rumah Kamela ada dibelakang dekat dengan pintu masuk hutan pinus. Dibelakang rumah Kamela adalah semak, dan dibalik semak-semak dengan sekitar 50 meter dari rumah Kamela disana ada danau kecil buatan. Listrik di pedesaan Kamela susah didapatkan. Desanya berada dikaki gunung Semeru. Jawa Timur. Sebuah desa kecil di bagian selatan Lumajang. Jarak ke kota butuh waktu setengah hari untuk sampai. Desa masih memakai kincir air sebagai tenaga listrik disana, Danau kecil dibelakang rumah Kamela menjadi salah satu sumber mata air penduduk pedesaan setempat.

Mata Kamela mengamati sekitar, desa masih penuh dengan kabut tebal waktu itu. Ia melihat burung berlompatan diatas tanah dan mengais mencari biji-biji berjatuhan disana. Kamela terus mengamati sekitar, untuk mencari tahu, apakah ada penduduk yang mencari kayu kering disekitar rumahnya. Serpertinya hari ini tidak ada seorangpun yang akan berlalu-lalang di sekitar rumahnya. Ia melihat terus kearah lain, disana ia melihat kabut tebal yang berjatuhan hingga membentuk binntik-bintik air basah diudara. Kamela ingin sekali mengeluarkan tangannya dan menyentuhnya. Namun, trails beli yang ada dijendela kamarnya sangat rapat. Jendela kayu yang tertutup dari luar juga, yang membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa.

Dulu, jendela itu terbuat dari kaca biasa. Dan hanya tertutup kelambu dari dalam. Hanya saja, ayah Kamela menggantinya setelah tahu isu yang menyebar di desa mengenai kesehatan mental istrinya. Ayah Kamela mengganti jendela kaca yang ada dengan jendela kayu, dan memakunya dari luar. Jendela tanpa daun jendela, hanya disisakan sedikit lubang untuk fentilasi cahaya saja, agar tidak pengap. Akan tetapi, masyarakat semakin beropini lain, rumah Kamela menjadi salah satu rumah yang paling ditakuti oleh warga.

Ayah Kamela satu-satunya yang bebas keluar masuk rumah. Terkadang ia ke kota dengan mobil Jeep beroda besar, ia harus berbelanja bekal persediaan makanan untuk anak istrinya. Warga tahu, siapa ayah Kamela. Dia adalah dokter hewan di kota, Djoko Pratomo, drh. Namanya terpampang diplakat depan pagar rumahnya. Keluarganya dikenal, satu-satunya keluarga berada dan kaya. Akan tetapi, pintu dan jendela yang selalu tertutup menjadikan keluarga itu dijauhi warga setempat.

Sementara.... Malam itu.

Diluar malam itu dengan hujannya yang deras, angin masih memaki hujan yang terus merajam tanah dengan kejam. Suara mobil mendekati rumah itu dan disana, lelaki dengan kacamata bulat dan setelan kemeja memasuki pintu rumahnya. Tas jinjing ditangan kanannya dan payung hitam yang ia letakkan disamping teras rumah. Ia membuka pintu rumah itu dengan kunci yang ada disaku kemeja dada kirinya.

Ayah Kamela hanya menyisakan waktu sebentar untuk mampir ke rumahnya, dan membutuhkan waktu yang lama untuk kembali berkunjung ke rumahnya. Di kota ayah Kamela memiliki rumah praktik dengan beberapa dokter muda. Dia banyak mengisi waktunya di kota dan mencari nafkah di kota. Dia dikenal dengan sebutan professor ditempat kerjanya. Banyak temuan-temuan vaksin yang ia jajal dan menunjukkan hasil positif. Dia sangat ahli dibidangnya. Waktu menurutnya hal terpenting, semakin tua hidupnya ia sisakan di ruangan laboratoriumnya. Jika ia melakukan riset rahasia dan fokus ia kembali ke rumahnya di desa dan melakukan sebuah eksperimen berhari-hari bahkan sampai berbulan-bulan di ruang pribadinya dirumahnya.

Sementara pintu terbuka, ia kembali ke dalam mobil dan membawa kantong belanjaan yang sangat benyak. Ia mondar mandir pintu rumah dan mobil untuk mengambil persediaan makanan yang sudah ia bawa dari kota satu persatu. Kamela mendengar dari dalam kamar suara mobilnya, ia bergegas membuka kunci kamarnya. Dan kembali keranjang menutup tubuhnya dengan selimut.

"Kamela, ayah pulang..." lelaki itu menuju kamar depan dibalik ruang tamu. Kali ini ia tidak mendengar suara Kamela, dengan penasaran ia langsung masuk ke kamar Kamela. Disana ia melihat Kamela tidur dengan pulas. Lampu kamar waktu itu sudah mati, Kamela pun tidur dengan selimut yang rapat menghangatkan tubuhnya dan menutup sebagian wajahnya. Ia hanya melihat sekilas dibalik pintu kamar Kamela. Ternyata Kamela hanya berpura-pura memejamkan matanya. Ia takut ayahnya melihat lebam pada tubuh dan wajahnya.

Kemudian lelaki itu memasuki kamarnya dan melihat istrinya yang waktu itu duduk disamping bibir ranjang, dengan tatapan yang kosong. Ia mendekati istrinya, dan memberikannya pelukan hangat.

"Sudah berapa lama duduk seperti ini..? kamu tidak menyiapkan makan malam buat suamimu ini?" masih dengan lembut suaminya mencoba untuk membujuk istrinya agar menyiapkan makan malam untuknya.

Tapi, dengan cepat ia beranjak dari duduknya dan menuju dapur. Ia menyiapkan makan malam, dan memasak ikan yang sudah ia siapkan sebelumnya. Lelaki itu, sedikit khawatir dengan kesehatan istrinya. Ia takut terjadi apa-apa dengan anaknya.

Ayah Kamela melepas kemejanya dan pergi ke kamar mandi dan membersihkan tubuhnya. ia keluar dengan pakaian bersih dan rapi lagi.

"Ma... Ayah harus kembali ke kota. Ayah setelah ini langsung ke tempat penampungan orangutan. Disana ada orangutan yang mau melanjutkan operasi karena adanya penyakit pada induk orangutan, sementara dalam perutnya ada bayi. Ayah harus harus bergegas kesana." Ia meminum kopi dicangkir, dan memakan sedikit makanan diatas meja makan itu. Ia mencium kening istrinya dan melanjutkan pergi.

Kamela mendengar langkah datang didepan kamarnya, ternyata langkah itu hanya lewat. Dan ia mendengar, suara mobil Ayahnya pergi.

"Itu artinya ayah pergi lagi..." ia bangun dari ranjangnya dan kembali mengunci pintunya. Ia mengintip dari lubang jendela, ia hanya melihat cahaya lampu mobil itu saja kemudian menghilang.

Kamela kembali keranjangnya dan kembali untuk tidur. Ia merasa bosan dalam hidupnya. Ia ingin minta tolong pada ayahnya, hanya saja ia tahu resiko yang akan terjadi jika ia lapor pada ayahnya. Ia terus berfikir dengan keras cara untuk bisa pergi meninggalkan rumah itu. Dan meninggalkan ibunya. Pergi sangat jauh... ia mengelah nafas panjang dengan matanya yang basah ia terus berangan-angan dan berimajinasi apa yang harus ia lakukan pada ibunya.

MAMA!

Sekat waktu...

Lumajang, 1995

Malam itu, musim kemarau di kota. Semua orang mengeluh gerahnya udara yang jauh lebih gerah dari biasanya. Daerah kota sendiri masih berada dekat dengan bukit dan gunung Semeru. Udara masih jauh lebih sejuk dari daerah pinggir pantai. Yang panasnya lebih menyengat daripada daerah sekitar sini. Hanya saja, masyarakat sini sudah terbiasa dengan udara sejuk angin dari gunung.

Suara telpon malam itu terus berdering. Saat semua orang dirumah tertidur pulas, dengan keringat yang membasahi tubuhnya. waktu itu juga, AC dirumahnya mati. Kabel terputus oleh gigitan tikus, dan tidak sempat untuk membenahi. Djoko bangun dari tidurnya, ia mengambil kacamata yang berada dibawah lampu meja samping ia tidur. Ia menghampiri telpon yang dari tadi berbunyi.

"Halo,. Ini siapa?"

"Pak Djoko ini dari penakaran hewan Lumajang. Sekarang bisa ke kantor pak. Ada beberapa hewan yang menunjukkan tinggah aneh, sepertinya ini akibat suntikan percobaan mahasiswa-mahasiswa muda tadi padi pagi pak" jawabnya dari telpon.

"Baik saya kesana." Pak Djoko bergegas kesana, dan meninggalkan istri dan anaknya yang tertidur pulas malam itu.

Djoko dan dokter muda lainnya memberikan biusan kepada anjing yang menjadi percobaan mahasiswa. Tubuh anjing itu tertidur diatas meja praktik dan disorot lampu yang sangat terang. Semua berfikir keras untuk kembali menetralkan obat yang sudah menyerangnya. Sementara bius terus bekerja, dokter lain masih meneliti beberapa zat yang terkandung dalam obat, ternyata ada satu zat yang sudah rusak terkena udara yang tidak stiril. Mereka semua berdebat satu sama lain. Tak lama, perut anjing itu membesar sedikit demi sedikit dengan perlahan. Semua tercengang melihat perubahan fisik pada anjing itu. Awalnya anjing didiagnosis memiliki penyakit parvovirus. Penyakit langkah pada anjing yang berakibat pada kematian. Karena anjing mengalami dehidrasi tinggi akibat muntah dan diare yang terlalu sering.

Pencegahan awal yang dilakukan oleh mahasiswa muda tanpa kontrol, pencegahan infeksi sekunder, dengan menyuntikkan beberapa vaksin ketubuh anjing. Mereka melakukan penemuan sebelumnya selama beberapa bulan. Hanya saja, sepertinya vaksin yang disuntikkan tesebut memberikan efek yang lebih buruk kepada anjing. 1994, vaksin mahasiswa itu dinyatakan gagal total. Anjing tersebut mengalami gagal jantung.

"Anjing ini sudah memasuki tahap serangan jantung dimana radang otot jantung membawa cairan kedalam paru-paru anjing hingga menyebabkan anjing gagal jantung, kita tidak punya harapan lagi. Kita harus menyuntik mati dia, agar dia mati dengan tenang." Djoko menambahkan ditengah-tengah percakapannya dengan dokter muda, ia dikenal orang yang bisa mengambil keputusan dengan bijaksana.

Dan beberapa dokter sedang menyiapan alat suntik dan euthanasia untuk mempercepat proses kematian pada anjing, obat bekerja dengan cepat. Dihembusan terakhir anjing tersebut mati dengan damai. Semua dokter tertunduk dan mengucapkan selamat tinggal pada anjing tersebut.

3 jam berlalu, Djoko kembali menyiapkan bajunya untuk kembali ke rumah. Beberapa dokter sangat menghormati dan menghargainya. Ia memiliki riwayat kerja yang bagus dan professional. Dia sering mendapatkan penghargaan atas gelarnya yang sering melakukan observasi tentang perkembangbiakan orangutan. Dia adalah salah satu wakil pemerhati binatang primata di tingkat Nasional.

Kamela 5 tahun, ia menjalankan pendidikan PAUD di dekat rumahnya. Orang-orang mulai curiga dengan perilaku ibu Kamela, terkadang mereka melihat ia senyum sendiri dan berbicara sendiri. Tanpa ada yang ia ajak bicara.

"Coba lihat bu Djoko, dia sedang bicara sama siapa?" ibu-ibu yang menjaga anak-anaknya ditaman bermain hampir semua memperhatikannya.

Hal ini sering terjadi pada dirinya, yang tanpa diketahui apa penyebabnya. Sedari dulu dia tidak menunjukkan sikap yang demikian, hanya saja ketika Kamela lahir ia menunjukkan sikap yang menyimpang. Gerakan-gerakan pada tubuhnya yang aneh, suaminya sudah mencurigainya. Perilaku hewan gila dan manusia gila memang dilihat dari neurologis sangat berbeda, hanya saja firasat suaminya berisyarat sama. Dan ia hanya bisa memperhatikan dari jauh dan mengawasinya. Selama anaknya baik-baik saja, ia tidak menyerahkan istrinya ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Akan tetapi, jika semua masih dalam pengawasannya dan masih dapat terkontrol dengan baik, masalah kejiwaan istrinya masih bisa ia atasi sendiri.

"Lama kelamaan dia seperti orang yang tidak waras ya? dia tertawa sendiri seperti itu, bagaimana dengan anaknya?" dari kejauhan sangat jelas tingkah ibu Kamela tidak wajar.

Tapi, setelah itu ia tiba-tiba saja tersadar. Ia menutup mukanya dan pergi berlari. Sementara sekolah masih belum pulang, dan Kamela ditinggal sendiri disekolah. Ibu-ibu yang lain memperhatikan Kamela yang mulai mencari ibunya. Mereka pura-pura tidak melihat kearah Kamela, hanya beberapa saja yang memperhatikan Kamela. Tapi, tanggapan mereka hanya cuek dan penuh rasa kasihan hanya saja mereka tidak berani ikut campur. Kamela pun menangis mencari ibunya, dia berjalan sendirian dan mengingat jalan pulang. Sedikit ingat sedikit lupa. Ia berjalan dengan rasa ragu, anak usia 5 tahun mencari jalan pulang dengan jalan kaki sendirian. Akan tetapi, seorang guru melihatnya dari jauh, dengan cepat ia menghampiri Kamela yang saat itu berjalan sambil menangis dan mengusap airmata di pipinya.

"Kamela pulang sendiri? Mana mama nya?" ia mengusap air matanya dan melihat sekitar.

"Kamela tau rumahnya? Biar ibu guru yang antar Kamela pulang?" tapi Kamela menggelengkan kepalanya.

"Aku lupa jalan pulangnya bu, tiap pagi ayah yang antar Kamela berangkat sekolah. Kamela tidak tahu jalan pulangnya." Kamela kembali menangis, dengan isaknya ia takut dan panik tidak bisa menemukan ibunya.

"Kamela ikut ibu guru sebentar ya ke sekolah, biar ibu cari alamat rumah Kamela." Kamela mengangguk dan mereka kembali ke sekolah. Guru itu berencana mencari alamat rumah Kamela diarsip data siswa. Ia mencatat alamat rumahnya, dan menutup kembali kantor. Ia menuntun Kamela dan mengantarnya pulang.

"Ini rumah Kamela, sudah masuk sana. Kalau nanti ditanya, bilang saja bu guru yang antar Kamela pulang." Kamela memasuki rumahnya dan memanggil mamanya.

"Mama.. mama..." ia melepas sepatunya dan berlari masuk ke dalam rumah. Ternyata mamanya ada didalam rumah dan menonton tv.

"Mama kenapa Kamela ditinggal sendirian disekolah." Kamela bertanya sambil menangis, merengek dan memegang tangan mama nya. Tapi, ia hanya mendapati mamanya yang hanya diam saja tanpa bicara sepatah kata. Kamela memukul mamanya, karena diam saja. Kamela terus memikuli mamanya, tapi lama ia memukul ia mendapat pukulan keras dari mamanya. Mamanya melempar Kamela hingga ia terpental ke lantai. Waktu masih berpihak di Kamela, untung saja waktu itu kepala Kamela tidak terbentur ke lantai. Hanya kakinya saja yang terbentuk dan tubuhnya masih baik-baik saja. Dari kejadian itu, Kamela mulai takut dengan mamanya.

Semakin hari, keadaan psikologi Brida semakin tidak baik. Selama satu minggu Brida tidak mengeluarkan suara dan berkata apapun, baik dihadapan suami sekalipun. Djoko terus memperhatikannya, saat itu minggu pagi. Saat bersantai dirumah dengan kelarga. Djoko terus mengamati tingkah istriya yang sedang duduk di depan kamarnya, dilantai dengan kaki berselonjor santai. Djoko meminum kopinya, terus dan terus memperhatikan Brida.

"Ma...." Djoko mencoba memanggilnya. Tapi Brida tidak merespon panggilan itu, ia terus menggenggam tangannya yang sedang memegang kain bajunya.

"Mama..." kali ini suara Djoko lebih keras dari panggilan pertama, tapi kali ini mata Brida mengarah ke suaminya, hanya gerak matanya saja. saraf motorik lainnya masih tetap sama. Posisi tubuhnya masih tetap sama. Cara pandangnya pun terasa kosong. Hanya menangkan bunyi saja, tapi tidak ada respon lainnya. Dan kali ini Djoko mulai beraksi dengan teori yang ia pakai. Ia berdiri menghampiri Brida.

"Mama.. lihat ayah." Mata Brida melihat kearah suaminya, hanya saja ia tanpa ekspresi. Brida hanya datar dengan pandangan yang tanpa arti apapun. Djoko memperhatikan benar-benar mata istrinya. Djoko mencoba membuatnya tertawa, hasilnya pun nihil. Brida tetap tidak menunjukkan respon. Kali ini Djoko mencoba untuk menampar wajahnya, dengan keras. Sengaja ia lakukan, ia ingin tau seberapa peka istrinya dengan gerak refleknya. Akan tetapi ia tetap masih sama tidak mendapatkan hasil. Djoko tidak berhenti disana, Djoko terus menampar istrinya, kali ini Kamela yang sedang asyik menonton tv keluar dan mengintipa dari balik pintu kamarnya. Ia mengintip dan melihat ayahnya sedang memukul mamanya.

Lama Brida merespon, Brida berdiri dan menggila. Ia marah dan berteriak kencang, mencekik suaminya dan mendoronganya sampai ke tembok belakang, dekat dengan meja kerja suaminya. Djoko mencoba mengambil suntiknya didalam laci, ia terjatuh di meja kerjanya. Brida terus mengejar, memburuh lehernya. Ia kembali mencekik suaminya. Tangan Djoko terus merayap dan mencari alat suntiknya. Ia menemukan alat suntik yang terbungkus plastik. Ia merobeknya, dengan wajah yang memerah dan tangan yang semakin lemas, Djoko berusaha menyuntikan ke tubuh Brida. Dengan penuh tenaga, ia berhasil melepas tutup jarum dan menusukkan suntikan itu ke tubuh Brida. Suntikan vaksin untuk anjing gila. Djoko melihat reaksi tubuh Brida yang melemas, ia sadar telah mengambil suntik itu dilaci meja kerjanya. Brida melepaskan leher suaminya, dan pergi meninggalkannya. Ia berjalan kekamarnya, masih dengan tatapannya yang kosong. Sementara, Kamela menutup mulut dengan kedua tangannya, agar tak terdengar ayah dan mamanya, ia hanya mengintip dengan mata sebelah dibalik dinding depan kamarnya. Ia kembali masuk kamar dengan tubuh yang gemetar dan rasa takut. Usia 5 tahun, Kamela harus melihat semua kejadian yang menakutkan diusianya yang masih balita. Kamela masih berada dibalik daun pintu kamarnya, ia ingin pergi ke ayah dan mamanya. tapi rasa takut yang ia miliki jauh lebih besar. Ia memilih diam dan menangis dalam kamarnya.

Malam hari, Djoko masih ada dimeja kerjanya. Sorotan lampu itu masih terang menyinari tumpukan buku dan dokumen. Disana, Djoko sedang melakukan penilaian terhadap kinerja beberapa mahasiswa yang magang dikantornya. Suasana masih hening, ia terus menulis dan menulis. Yang terdengar jelas saat itu detak jam kotak kecil dihadapannya, diatas meja kerja yang menunjukkan pukul 12.05 tengah malam. Dibelakang meja kerja itu, tampak etalase berjajar dalam gelas kimia, organ dari beberapa hewan. Jantung kucing hutan, dan patung model kerangka dari ular dan kelelawar dalam sebuah pigura kotak. Masih banyak lagi beberapa organ lainnya yang tersimpan dalam botol jam dan cairan formalin dan alkohol 70%.

Djoko kembali teringat dengan keadaan istrinya, ia melepas kacamatanya dan memijat bagian pelipis tengah diantara kedua matanya. Ia memejamkan matanya, langkah bijak apa yang harus ia ambil agar semuanya kembali berjalan normal. Sementara ia teringat putri kecilnya Kamela, yang masih membutuhkan kasih sayang ibu. Waktunya yang padat membuatnya kehilangan waktu untuk memperhatikan putri kecilnya itu. Ia memijat perlahan leher belakangnya dan kembali menyandarkan kepalanya dikursi kerjanya.

"Keputusan apa yang harus aku ambil?" ia menutup buku dan merapikan mejanya. Mematikan lampu dan berjalan mendekati kamar Kamela. Djoko perlahan membuka pintu kamar putrinya, ia mendekati Kamela yang waktu itu tertidur pulas. Djoko mengusap kening yang tertutup poni.

"Anakku Kamela...." Timbul rasa kasihan dalam hati Djoko. Ia harus memisahkan anak dan ibu untuk sementara waktu demi kebaikan Kamela dan hubungan keluarga. Sebagai seorang dokter, Djoko mengambil keputusan untuk menyerahkan Brida istrinya ke rumah sakit, agar mendapatkan perawatan yang intensif terkait kejiwaan istrinya. Sementara Djoko merebahkan badannya disamping Kamela. Ia memilih untuk tidur menemani Kamela, dan mendiamkan Brida sendiri dikamarnya.

Pagi hari, kali ini Brida menunjukkan beberapa sikapnya yang biasa. Ia menyiapkan kopi dan sarapan untuk anak dan suaminya. Kali ini, Brida seperti manusia pada umumnya. Djoko terbangung dari tidurnya, karena suara gorengan yang terdengar sampai dalam kamar Kamela. Ia melihat sekitar dan memperhatikan betul-betul keadaan dan kondisi istrinya. Djoko melempar senyum legah untuk Brida. Hanya saja Brida masih diam tanpa mengeluarkan kata sedikitpun. ia hanya bekerja dan fokus pada masakan dan air yang ia didihkan. Ia menyiapkan cangkir yang sudah terisi bubuk kopi dan gula. Ia menyeduh dengan air yang sudah ia siapkan, ia mengaduknya perlahan. Sementara Djoko masih duduk dikursi meja makan dan memandangi istrinya. Brida meletakkan kopi hitam di depan Djoko, sementara itu Djoko menarik tangannya dengan lembut. Djoko menyentuh pinggul istrinya dan memeluknya perlahan.

"Apakah kau baik-baik saja istriku?" pelukan pagi hari yang biasa ia lakukan dulu, ketika Kamela masih belum ada. Djoko berniat memperlakukan istrinya lebih baik lagi, ia merasa bersalah atas gangguan yang terjadi pada jiwa Brida.

"Maafkan aku, karena tidak sempat menjagamu. Waktuku yang terlalu sibuk dengan pekerjaanku sendiri." Rasa bersalah ini terus menggerogotinya semalaman. Djoko merasa tanggung jawabnya sebagai seorang suami sedikit demi sedikit berkurang karena padatnya jadwal kerja.

"Tolong bicaralah kepadaku Ma... Jangan diam seperti ini." Ia menatap wajah pucat istrinya, yang masih diam tanpa sepatah katapun. Brida hanya mengangguk saja. Djoko berusaha untuk tidak membuatnya marah, karena emosi yang keluar mendadak akan membuat Brida liar.

"Coba panggil aku ma..." Djoko mencoba memancing pembicaraan diantara mereka berdua. Dia seolah berkomunikasi satu arah saja, tidak ada balasan apapun. Hanya saja, kali ini Djoko mencoba membuat Brida berbicara.

"Ayo panggil aku..." ia menggoyang tubuh Brida.

"Yah..." suara parau Brida keluar begitu saja. Djoko mengeluarkan senyumnya yang sumrigah, melihat istrinya memberikan respon atas tanggapannya.

"Mama..." Djoko kembali memancing Brida, dengan senyum cerah diwajahnya. Dan menganggukan kepalanya berisyarat untuk membalas panggilan itu.

"Ayah..." Brida mengeluarkan senyum tipis dibibirnya. Setidaknya Djoko memiliki harapan bahwa istrinya tidaklah hilang dan terlampau hilang terlalu jauh. Akan tetapi, ia sudah membuat keputusan untuk menyerahkan Brida ke rumah sakit, agar Brida mendapatkan perawatan yang baik dan kembali normal. Djoko memeluk istrinya. Dan Kamela keluar dari kamarnya, ia terbangun karena alarm sudah berbunyi cukup keras disampingnya. Kamela melihat mama dan ayahnya sedang berpelukan dan ia lari menghampiri mereka. Kamela melihatnya dengan riang. Iapun turut berpelukan meski hanya memeluk kaki dan perut mamanya. Brida menarik Kamela dan memeluknya.

Kamela dan ayahnya bersiap diri untuk berangkat ke sekolah dan ayahnya berangkat ke kantor. Brida pun mengganti pakaiannya dan bersiap diri pula untuk mengantar dan menjaga Kamela di sekolah. Djoko agak sedikit sedih dengan keputusannya.

"Maafkan ayah ma..." ia berbicara dengan dirinya sendiri, terus dan terus meyakinkan hatinya agar teguh dengan keputusannya. Sebelum ia kehilangan istrinya. Ia harus menyembuhkan sakit yang diderita Brida itu.

Mereka menaiki mobil, dalam perjalanan menuju sekolah Kamela. Djoko terus memegang tangan istrinya yang duduk disamping kirinya. Sementara Kamela berada dikursi belakang. Ia ragu untuk mengatakan sebenaranya, Djoko khawatir jika ia harus memberitahunya. Kekhawatiran yang beralasan, karena jiwa Brida sendiri tidak bisa berfikir secara normal. Akan tetapi ia memutar otak dan menyusun kalimat sebaik-baiknya kalimat agar Brida bisa menerimanya dengan lapang dada.

"Sayang, sepertinya hari ini aku mau mengantarmu ke dokter. Terkait sakit yang kamu derita. Biarkan Kamela disekolah dulu. Nanti aku berpesan ke guru Kamela, agar sementara menemaninya sepulang sekolah." Respon baik diterima oleh Djoko. Brida menganggukkan kepalanya.

"Iya yah.." Brida menuruti apa yang dikatakan suaminya kepadanya.

"Kamela, nanti pulang sekolah, Kamela bermain dulu ya sama Bu Prapti. Nanti ayah yang jemput Kamela." Kamela pun menganggukkan kepala. Ternyata apa yang Djoko khawatirkan tidak benar terjadi, dan semua berjalan dengan lancar.

Djoko menurunkan Kamela dan mengantar Kamela ke dalam sekolah. Dan berbicara sebentar dengan guru Kamela.

"Ibu Prapti, saya mau minta tolong. Karena nanti saya dan mama Kamela ada acara, jadi kami terlambat menjemput Kamela. Kami minta ibu Prapti menjaga anak kami sebentar." Djoko meminta dengan sungguh-sungguh. Bu Praptipun mengiyakan permintaan ayah Kamela. Dan bergegas meninggalkan Kamela yang sedang asyik bermain dengan teman-temannya di dalam kelas.

Sementara itu, dimobil Djoko kembali memperhatikan wajah Brida yang berubah menjadi lesuh.

"Mama kenapa lagi?" Djoko memegang kembali tangan istrinya. Ia tidak ingin reset dokter terhadap istrinya membawa berita yang kurang baik Djoko dengarkan. Perkembangan otak pada manusia sangat berbeda dengan binatang yang sudah 10 tahun ia tekun mempelajari. Bagaimanapun manusia menggabungkan otak dengan jiwa dan hati/kalbu nya. Itu yang paling signifikasi perbedaan manusia dan hewan. Ada beberapa ketimpangan-ketimpangan diserabut otaknya yang menyebabkan terganggunya dan tergoncangnya saraf yang mengakibatkan istrinya tidak dapat merespon dengan cepat. Jika dilihat kebelakang, Brida sendiri tidak pernah mengalami cerita yang bisa menyebabkan jiwanya tergoncang. Itu sepengetahuan dari Djoko. Selama 6 tahun mengenal Brida, dan 2 tahun berpacaran dengan Brida, Brida selalu menunjukkan sikapnya yang normal. Dari garis keturunan yang ia ketahui, semuanya baik-baik saja. Hanya saja waktu mengenal Brida memang, Brida dalam kondisi tanpa ayah dan ibu. Keluarganya hidup individual. Brida adalah perempuan mandiri yang ia temui dan pekerja keras. Tidak ada riwayat aneh dalam hidupnya. Entah, apa yang menyebabkan Brida memiliki gangguan pada jiwanya.

Djoko harus menghabiskan 1 jam perjalanan menuju rumah sakit jiwa. Untuk dapat bertemu langsung dengan dokter spesialis dibidang kejiwaan. Suara dalam hening bukan hanya mesin waktu itu, Djoko menyalakan musik sebagai salah satu cara menengkan istrinya. Radio ia nyalakan, nada mellow Shape For My Heart dari Sting mengisi perjalanan itu. Tanpa kata apapun, sesekali Djoko memperhatikan pandangan kosong istrinya yang sangat tidak memiliki arti apapun. Djoko mengusap lembut pipi Brida dengan lembut, dalam hati "Tolong jangan hilang, kali ini temani aku". Selama ini mereka berdua mengalami kisah roman yang sangat beda dari kisah roman kebanyakan. Cara Djoko menunjukkan rasa cintanya kepada Brida dan begitu pula sebaliknya sangat berbeda dari orang awam lainnya.

Mata Djoko basah, ia kembali teringat masa lalu muda yang ia lalui dengan istrinya. Ia hanya merasa bersalah dengan dirinya sendiri kepada istrinya, saat itu musik membawa suasana mereka ke dalam dan lebih dalam lagi rasa mereka berdua, Cry dari westlife. Semua musik seperti sudah ada yang mengaturnya, berputar begitu saja di radio mobilnya. Sementara Brida masih dengan keadaannya yang sama. Tatapan mata yang masih kosongs.

Sesampainya di Rumah Sakit. Ia menuntun istrinya, kedua telapak tangan Brida dingin dan basah. Tampaknya ia sedikit tegang. Tapi Djoko sudah pasrah dengan kabar yang nantinya membawa berita kurang mengenakkan dari dokter. Kali ini, nafas Brida lebih cepat dari biasanya. Ia terus menggenggam erat dan rapat tangan suaminya dengan kedua tangannya, matanya awas melihat sekeliling. Ia membaca tulisan-tulisan dipapan sekilas namun jelas sambil berjalan menuju ruang resepsionis.

"Bisa hubungkan saya dengan Dokter Nanang." Tampaknya Djoko sudah menyiapkan semuanya, bahkan nama dokter yang nantinya mengurus Brida, ia sudah siapkan dari rumah. Pastinya Djoko mencari dokter yang benar-benar berkwalitas baik. Yang memang ahli dibidangnya.

"Bisa, bapak sudah ada janji dengan dokter Nanang?" jawab perempuan dibagian resepsionis.

"Saya belum membuat janji dengan beliau." Sementara tangan kanan Djoko masih dipegang erat oleh Brida.

"Dengan bapak siapa? Bapak bisa catat dahulu identitas dibuku ini." Ia menunjukkan buku dan bolpoin yang ia siapkan.

"Baik, bapak silahkkan masuk ke jalan sini, bapak belok kanan. Nanti ada lorong pertama sebelah kiri, ada papan nama dokter Nanang. Sementara dokter nanag saya telfon. Bapak bisa langsung ke sana dan menunggu didepan ruang beliau."

"Baik, terimakasih..." Djoko dan Brida menuju ruangan dokter Nanang sesuai arahan dari resepsionis.

"Iya bapak, sama-sama" jawab resepsionis itu dengan suara lembut dan sopan.

Djoko berjalan dengan tangan kanan yang masih digenggam erat oleh istrinya. Ia melihat wajah Brida menjadi pucat, ada rasa cemas yang mulai berlebihan. Hanya saja, Djoko selalu menenangkannya dengan sabar.

"Mama... tidak apa-apa. Tidak perlu takut. Ayah ada disamping mama." Datang mereka dihadapan ruangan dokter Nanang. Mereka menunggu pintu itu terbuka dan nama mereka dipanggil kedalam. Tak lama mereka menunggu, nama mereka terpanggil oleh asisten dari dalam ruangan itu.

"Djoko Pratomo dan Nyonya Djoko. Silahkan masuk." Asisten dokter Nanang memanggil mereka berdua.

Djoko menarik tangan istrinya agar segera memasuki ruangan, tiba-tiba istrinya melepas tangan suaminya. Ia menggelengkan kepala, dan tidak mau untuk diperiksa. Brida takut akan hasil dari pemeriksaannya. Brida memainkan kukunya, kedua tangannya berkumpul dan gemetar. Ia terus memainkan kukunya, ia menggerakkan kakinya dengan gelisah dan cemas yang berlebihan. Djoko berusaha membujukknya. Akan tetapi, perkataan Djoko kembali tidak diperdengarkan oleh istrinya. Djoko menarik dan berusahan membangunkan istrinya yang waktu itu masih duduk dikursi besi. Ia menarik badan Brida, hingga terjatuh. Brida kembali melawan suaminya. Karena gaduh, asisten dan suster keluar untuk melihat pasien yang sedang mereka tunggu di dalam. Mereka menjemput paksa Brida yang ketika itu duduk dilantai dan masih memainkan kukunya, ia sama sekali tidak memandang apa yang ada disekitarnya. Ia hanya melihat kedua tangannya. Suster dan perawat menarik dan membopongnya ke ruangan dokter Nanang. Brida semakin liar, ia berteriak keras dan sekencang-kencangnya. Jauh lebih kencang dari sebelumnya. Matanya memerah, bibirnya kering dan wajahnya terlihat pucat memerah. Ia mencoba melawan pegangan perawat dan suster, ia mencoba menggunakan kakinya untuk mendorong dan menendang siapapun yang sudah berani menyentuhnya.

"Lepas....." teriak Brida. Sementara suaminya berusaha untuk menyentuhnya, tapi tenaganya jauh lebih kuat perawat-perawat dari dokter Nanang di rumah sakit itu.

Dokter Nanang berada disamping Brida. Mereka mengikat Brida dengan sabuk yang sudah disiapkan disamping tangan kanan kiri Brida. Dan juga kaki Brida yang sudah terikat oleh sabuk kulit itu. Djoko tidak tega melihat istrinya, matanya memerah menahan airmata yang menggenang dipelupuk matanya.

Dokter menyuntikkan obat bius dilengan Brida. Beberapa perawat mendorong mesin kotak. Mereka sigap memasang beberapa kabel dan tali yang mengikat kepalanya. Terapi electronconvulsive (ECT). Peralatan psikiatris dengan kerja menginduksi tegangan elektronik, terapi sederhana yang akan menstabilkan zat dalam otak yang sedang mengalami setress.

Djoko terus melihat istrinya yang disengat aliran listrik dikepalanya. Selama ini ia tidak pernah melakukan penelitian pada hewan dengan menggunakan sengatan listrik. Ia terus memejamkan mata, ia tidak tega dengan keadaan istri yang dicintainya. Dalam hitungan menit, Brida terkulai lemas. Tubuhnya Nampak tenang. Dokter menyilahkan Djoko untuk berbincang sebentar dengannya.

"Pak Djoko, bisa bicara sebentar." Ia menyilahkan Djoko untuk duduk dikursi yang sudah ada.

"Iya dokter.." Djoko duduk dan siap mendengarkan penjelasan dokter.

"Sebelumnya pasien sudah berapa lama menderita seperti ini?" dokter menanyai Djoko wali pasien yang tau persis keadaan pasien.

"Sebelumnya istri saya baik-baik saja dok, hanya saja 1 minggu terakhir kemarin, saya perhatikan ada sikap yang aneh pada dirinya. Pertama, saya mendiamkannya. Kadang dia berbicara dan tertawa sendiri. Tapi, saya sengaja mendiamkannya. Saya kira dia hanya teringat suatu hal. Namun, tingkah lakunya semakin hari semakin parah. Ia tidak berbicara selama satu minggu. Memang saya tidak begitu memperhatikannya, karena saya terlalu fokus dengan pekerjaan saya kemarin. Saya lalai. Kemarin malam, saya melihatnya dan mencoba menyadarkannya dari lamunannya yang sangat panjang. Akhirnya saya harus beradu otot dengannya. Ia mencoba mencekik saya. Sepertinya, ia mengalami sakit yang parah dok." Djoko memberikan penjelasan sesuai dengan kejadian, ia tahu karena itu akan membantu dokter dalam melakukan pemeriksaan.

bersambung...

Continue Reading

You'll Also Like

105K 18.7K 32
COMING SOON...
317K 803 4
bocil diharap menjauh
148K 6.9K 29
π™π™Šπ™‡π™‡π™Šπ™’ π™Žπ™€π˜½π™€π™‡π™π™ˆ 𝘽𝘼𝘾𝘼~ ____________πŸ•³οΈ____________ Jika ditanya apakah perpindahan jiwa keraga lain, kalian percaya? Menurut saya perc...
602K 41K 48
Lyla tidak berminat menikah. Namun, siapa sangka ia harus terjebak dalam pernikahan dengan sahabatnya sendiri? "You're a jerk, Hanan." "And you're tr...