My Brondong Mistake - TERBIT

By titisanaria

1M 76K 4.1K

Aku memang kebelet pengin cepat menemukan pasangan karena umur tidak bisa menunggu, tapi belum sampai mode pu... More

Satu
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Vote Kover
Open PO

Dua

44.3K 8.3K 470
By titisanaria

Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss...

**

Ketukan di pintu membuatku mengangkat kepala dari layar komputer. Digda masuk sambil memamerkan senyum lebar. Dia duduk di depan mejaku tanpa menunggu aku persilakan.

"Sudah saya revisi sesuai hasil rapat kemarin, Mbak," katanya sambil mengulurkan map plastik. Kami kemarin mengevaluasi penjualan produk yang menurun dua bulan terakhir, dan memutuskan untuk melakukan penyesuaian pada rencana kerja yang sudah kami tetapkan di awal tahun. Kami butuh promosi yang lebih gencar untuk menaikkan penjualan. Digda yang aku minta menyusun rencana baru sesuai kesepakatan rapat.

Aku kembali menatap monitor. "Taruh di situ saja, nanti saya periksa," jawabku malas. Entah mengapa, kehadiran Digda membuatku teringat percakapan iseng saat makan siang tadi. Pacaran dengan bocah ini? Ya Tuhan, yang benar saja!

Anak ingusan di depanku ini sama sekali tidak menyerempet, apalagi sampai masuk dalam kriteria laki-laki yang kuinginkan sebagai pasangan. Aku suka laki-laki berkulit cokelat karena kesannya sangat lelaki, jantan, sedangkan digda berkulit putih bersih. Teramat sangat bersih, terutama wajahnya, sehingga aku curiga dia melakukan laser untuk menghilangkan bulu-bulu yang sejatinya tumbuh di situ. Aku memang bukan pencinta lelaki dengan kumis dan jenggot selebat hutan rimba, yang akan membuat jari-jari yang mengusap rahang dan dagunya tersesat dan tidak bisa menemukan jalan pulang, tetapi laki-laki yang sesekali terlihat berantakan dan tidak bercukur 2-3 hari akan terlihat seksi. Melihat wajah mulus Digda membuatku merasa sedikit terintimidasi dan gagal sebagai perempuan. Untuk terlihat kinclong seperti sekarang, aku butuh perawatan rutin yang biayanya tidak murah.

Tidak, aku tidak akan mencari pasangan yang warna kulitnya lebih pucat daripada aku yang sudah termasuk kategori putih. Aku butuh laki-laki dengan produksi melanin lebih. Tentu saja banyak yang tidak akan sependapat denganku. Tidak masalah, selera itu sifatnya pribadi, bukan sesuatu yang bisa dipaksakan.

Dari segi penampilan fisik saja, Digda akan langsung tereliminasi dari kemungkinan menjadi pasanganku. Apalagi dari soal umur. Dan itu ada dalam daftar teratas persyaratanku untuk pasangan. Harus yang lebih tua, titik. Tidak ada kompromi sama sekali tentang umur. Aku konsisten soal itu. Pacar-pacarku sebelumnya semuanya lebih tua. Ada yang hanya setahun di atasku, tetapi tetap saja dia lahir lebih dulu.

Aku tidak tahu berapa umur Digda. Aku juga kayak kurang kerjaan kalau sampai menanyakannya, tetapi aku bisa mengira-mengira dengan memperhitungkan, karena dia langsung bekerja sebagai stafku setelah selesai kuliah.

"Keponakan saya nih, Kenzie," bosku, Pak Badhra memperkenalkan saat pertama kali membawa Digda di ruanganku, hampir setahun lalu. "Baru banget pulang main kangguru. Dia beneran harus mulai dari bawah, jadi dia akan belajar di divisi kamu dulu. Jangan segan-segan diomelin kalau dia bikin kesalahan. Dia paling cocok jadi staf kamu, biar dia tahu rasanya digalakin. Tipe anak mama banget dia. Tolong perkenalkan sama dia gimana kerasnya dunia kerja, supaya dia tahu ada kehidupan yang nggak senyaman hidup dia di dalam rumah."

Jadi, kalau Digda benar-benar baru tamat tahun lalu, umurnya paling tua, ini paling tua, ya, sekitar 25 tahun. Masalahnya, bocah itu terlihat jauh lebih muda daripada seorang laki-laki yang berumur 25 tahun. Mungkin karena pengaruh kulit putih dan wajah mulusnya. Dia kalau mengaku mahasiswa semester awal pun, orang akan percaya dengan mudah.

Dan aku pacaran dengan orang seperti itu? Maaf saja, tapi terlihat seperti Tante Girang saat menggandeng dia di mal sama sekali tidak ada dalam rencana masa depanku. Aku butuh laki-laki yang terlihat matang, untuk umurku yang juga sudah matang ini.

"Ada yang lain lagi?" Aku masih mempertahankan intonasi malasku yang datar saat menyadari Digda masih duduk tenang di depanku.

"Nggak diperiksa dulu, Mbak?" Senyum bocah itu spontan mengembang lagi saat melihat lirikan engganku. "Biar bisa langsung didiskusikan?"

"Nanti saja. Masih ada kerjaan lain yang harus saya selesaikan. Kamu boleh keluar sekarang."

"Mbak...." Bocah itu sama sekali tidak bergerak dari kursinya.

"Hmm...?" Aku terus mengamati monitor. Aku tidak bodoh. Seperti kata Dini, aku tahu Digda punya perhatian lebih kepadaku. Dia memang tidak pernah mengatakan tertarik atau suka, tetapi sikapnya untuk sekadar seorang staf cukup berlebihan. Dia juga tidak tolol, dan bisa membaca sikapku. Dia pasti sudah memperhitungkan akan aku damprat habis-habisan kalau berani bicara macam-macam soal perasaan. Hubungan kami saat pertama dia masuk cukup cair, tetapi aku mulai menjaga jarak dan memberi batas profesional saat gelagat bocah ini mulai aneh.

Aku sudah cukup makan asam-garam urusan asmara. Segala macam emosi yang melibatkan cinta sudah kualami. Senang, bahagia, sedih, kecewa, merana, sebut saja semuanya. Tertawa dan menangis karena cinta, I've been there, done that. Aku sudah veteran untuk urusan itu. Jadi aku tahu persis kalau Digda memang menaruh perhatian lebih kepadaku.

"Ini kan, hari Jumat...."

"Iya tahu," aku langsung memotong kalimatnya. "Kalau kemarin kamis, sekarang pasti jumat. Saya sudah belajar itu waktu play group, nggak usah diingatkan lagi sekarang."

"Maksud saya bukan gitu, Mbak." Digda meletakkan sesuatu di mejaku, tepat di depanku. "Hari ini grand opening restoran kakak saya. Mulai tadi siang sih, tapi saya pengin ngajak Mbak Kenzie ke sana selesai kantor saja, biar nggak buru-buru dan nggak terlalu ramai lagi."

Kepercayaan diri bocah ini lumayan besar. Siang saja belum tentu aku mau pergi, apalagi malam. Bersama dia pula! Di tempat yang keluarganya mungkin saja berkumpul. Ho...ho... ho, maaf saja. Aku akan memilih restoran lain untuk berburu laki-laki yang sudah menitipkan tulang rusuknya kepadaku, tetapi lupa jalan untuk menemukanku kembali.

Aku meraih undangan itu dan tersenyum. Digda sontak ikut tersenyum. "Saya pengin banget ikut kamu sih, sayangnya saya sudah punya rencana lain," tolakku halus. Bagaimanapun, dia keponakan bos.

"Acaranya penting banget ya, Mbak?"

Aku tidak punya rencana apa-apa selain tidur. "Gitu deh. Menyangkut hidup mati."

"Memangnya acara Mbak Kenzie itu jam berapa?"

"Maksud kamu?" Aku tidak menduga Digda akan menanyakannya.

"Kalau acaranya pas pulang kantor, kita ke restoran kakak saya setelah dari acara Mbak Kenzie aja. Atau kalau acaranya lebih malam, kita ke restoran dulu baru...."

Tunggu dulu. "Kita?" Mungkin saja aku salah mendengar, kan?

"Saya nggak keberatan kok menemani Mbak Kenzie. Apalagi kalau soal hidup mati Mbak Kenzie, saya jelas harus ikut. Saya bisa diandalkan untuk membantu mempertahankan nyawa."

Enak saja, aku yang keberatan pergi sama dia! "Saya beneran nggak bisa ikut kamu, Digda." Kali ini nadaku lebih tegas. "Maaf banget, ya. Tapi makasih kamu sudah ngajakin." Tumben bocah terdengar lebih agresif. Biasanya dia langsung ngeloyor pergi saat kutolak ketika dia mengajak makan bersama.

"Tapi saya sudah janji sama Mama mau ngajak teman dan ngenalin, Mbak," Digda terus mendesak.

Seketika punggungku tegak. "Ya sudah, kamu ajak saja teman-teman kamu yang lain," sambutku cepat, pura-pura bodoh. Kenalan sama keluarga bocah ini? Memangnya aku kurang pekerjaan? "Mereka pasti senang diajak makan gratis jumat malam gini."

"Tapi saya kan maunya mengajak Mbak Kenzie."

"Maaf, tapi saya nggak bisa." Senyumku yang sudah raib dari tadi berganti tampang masam. Bocah ini minta dilempar. "Kamu keluar deh. Saya masih punya kerjaan yang harus diselesaikan."

"Mbak...."

"Keluar!" Aku menunjuk pintu. Seharusnya dia mencari gadis seumurnya untuk diajak bermain. Aku tidak akan menanggapi PDKT Anak Mama yang sedang bosan. Aku sekarang dalam posisi mencari calon suami, bukan sekadar pacar untuk senang-senang. Menghabisnya waktu berpelukan dengan bocah seperti Digda sambil menunggu kerut pertamaku di bawah mata bukan rencana pintar.

Aku menghabiskan waktu memeriksa berkas-berkas di ruanganku setelah Digda keluar, mencoba tidak memikirkan perasaan bocah itu yang mungkin terluka karena sudah kubentak. Salahnya sendiri. Itu tidak perlu terjadi kalau dia tidak bertingkah aneh.

Aku mengalihkan perhatian dari tumpukan berkas itu saat ponselku berdering. Pak Badhra. "Ya, Pak?" tanyaku sigap. Sebenarnya aku tidak suka menerima telepon dari bos di hari Jumat, menjelang jam kantor berakhir, karena biasanya itu berisi perintah yang bisa saja merusak akhir pekanku.

"Kamu ada acara sepulang kantor, Kenzie?"

Jangan bilang ada meeting mendadak. Seandainya saja aku bisa berbohong. "Tidak, Pak. Ada apa, ya?"

"Bagus kalau gitu. Nanti kita sama-sama ke restoran keponakan saya, ya. Grand opening hari ini. Ajak Helen dan Dini sekalian kalau kamu nggak mau pergi sendiri." Telepon ditutup begitu saja.

Aku menatap ponselku syok. Bocah kurang ajar, dia benar-benar minta dibunuh! Ini pasti pekerjaannya.

**

Mau tahu, kira-kira butuh berapa lama buat nyampe 1K bintangnya, ya? Hehehehe... 

Oh ya, Jejak Masa Lalu akan tetap update, hanya saja waktunya nggak menentu, tergantung mood untuk ngerjain, supaya berat badanku nggak makin turun selama ramadan. Butuh energi ekstra untuk nulis yang sellow mellow. Jangan lupa follow instagram @titisanaria  ya, untuk info tulisan dan novel yang coming soon.

Continue Reading

You'll Also Like

429K 39K 53
[COMPLETED] Beleaguered : Terkepung Meisya seorang jomlo menaun yang sedang dilanda kebingungan dengan perubahan hidupnya akhir-akhir ini. Dia mendap...
551K 37.7K 46
Lyla tidak berminat menikah. Namun, siapa sangka ia harus terjebak dalam pernikahan dengan sahabatnya sendiri? "You're a jerk, Hanan." "And you're tr...
610K 46K 51
Irish ragu dengan apa yang ia lihat kali ini. Ia tidak minus. Seratus persen ia yakin pandangannya tidak bermasalah. Dia juga tidak punya kemampuan u...
133K 9.6K 55
Naksir bapak kos sendiri boleh gak sih? boleh dong ya, kan lumayan kalau aku dijadikan istri plus dapet satu set usaha kosan dia