Mantan Rasa Pacar [END]

By Arinann_

1.3M 85.6K 1.3K

[NEW COVER] Kisah antara Arkano Alfarezi Prasaja, si anak badung yang menjadi juara Olimpiade Matematika deng... More

Arkano Alfarezi Prasaja
Naura Salsabila Azzahra
Chapter 1: Mantan
Chapter 2: Mie Ayam
Chapter 3: Wawancara
Chapter 4: Pacar Baru Arka?
Chapter 5: Kesialan dan Kesalahpahaman
Chapter 6: Toko Buku
Chapter 7: Razia Dadakan
Chapter 8: Arka yang Sebenarnya
Chapter 10: Kejutan
Chapter 11: Minta Bantuan
Chapter 12: Tragedi Foto
Chapter 13: Bertemu di Taman
Chapter 14: Keputusan
Chapter 15: Toko Buku 2
Chapter 16: Arka-Naura-Fiko
Chapter 17: Kerja Bakti
Chapter 18: Fakta yang Belum Terungkap
Chapter 19: Kejujuran
Chapter 20: Before-After UAS
Chapter 21: Class Meeting
Chapter 22: Keributan
Chapter 23: Flashback
Chapter 24: Membaik
Chapter 25: Kepastian
Chapter 26: Papa
Chapter 27: Gramedia Date
Chapter 28: Rapot
END: Jawaban Pertidaksamaan
Extra Chapter
APA KATA WATTPADERS?

Chapter 9: Berantem

28.8K 2.7K 24
By Arinann_

Pukul delapan malam, Naura dan Mas Nara sampai di rumah setelah menjemput Naura dari rumah Galuh dalam rangka mengerjakan tugas kelompok bersama.

Setelah memarkirkan sepeda motornya ke dalam garasi, Naura dan Mas Nara masuk ke dalam rumah. Mas Nara mendudukkan dirinya di sofa ruang keluarga sedangkan Naura langsung menuju kamarnya. Tubuhnya lengket. Ia ingin segera mandi dan setelah itu beristirahat.

"Habis mandi jangan langsung tidur. Makan dulu, Ra. Itu masih ada tumis kangkung sama tempe goreng di meja," ucap Mas Nara kembali melanjutkan aktifitasnya mengerjakan tugas kuliahnya.

Naura hanya mengangguk. "Iya." Sampai di kamar, Naura lantas merebahkan diri di kasur. "Hah." Naura mendesah lega. Akhirnya, ia bisa mengistirahatkan tubuhnya. Naura memejamkan kedua matanya. Tangannya tergerak, meraba-raba, mencari boneka beruangnya. Setelah dapat, ia dekap boneka itu.

"Ra, gue cuma mau minta tolong. Selama gue enggak di sekolah, jangan dekat-dekat sama cowok lain, ya? Apalagi Fiko."

Naura membuka matanya. Entah mengapa, tiba-tiba saja ia teringat ucapan Arka sore tadi.

Sepulang sekolah, saat ia dan teman-teman anggota lain mengerjakan tugas di rumah Galuh tiba-tiba saja Arka datang. Laki-laki itu datang dengan kondisi yang kacau. Masih sama seperti saat di sekolah. Wajahnya babak belur, banyak plester yang menempel untuk menutupi luka-lukanya. Seragamnya kusut berantakan, terdapat noda darah dan tanah pada kemejanya. Walau begitu, Arka tetap menunjukkkan sisi keceriaannya. Ia tetap tertawa terbahak-bahak saat bercanda dengan Galuh dan Fajar. Bercerita hal-hal konyol, dan beberapa kali menjahili Naura dan Vera.

Naura awalnya merasa ada yang aneh dalam diri Arka. Ia merasa seperti ada yang janggal. Apalagi saat Arka berbicara itu pada dirinya.

Saat itu, Galuh dan Fajar tengah berada di dapur untuk mengambil makanan. Vera tengah berada di toilet. Tersisa ia dan Arka di ruang tamu. Arka duduk persis di sampingnya.

Berada di ruangan yang sama berdua dengan Arka membuat Naura merasa canggung. Apalagi setelah dirinya tau perihal hubungan Arka dengan papanya selama ini. Naura bingung. Merasakan suasana seperti itu, ia tdak tau ingin berbuat apa. Ingin memulai obrolan pun Naura masih berpikir topik apa yang bisa dibahas.

"Ra, gue diskors," ucap Arka tiba-tiba.

Naura yang saat itu tengah fokus menyalin materi pada laptop Galuh hanya diam. Sedangkan cowok itu terlihat memainkan penghapus di tangannya.

Naura sudah tidak terkejut mendengar Arka diskors. Ia sudah diberi tahu oleh Galuh. Laki-laki itu bilang Arka diskors selama satu minggu.

"Ra, mulai besok gue udah enggak boleh sekolah. Lo jaga hati, ya?" ucap Arka lagi.

Naura mengerutkan dahinya. Tidak mengerti apa maksud dari kata-kata Arka.

"Lo jangan sampai kepincut sama cowok lain. Jaga jarak sama mereka-mereka semua. Termasuk Galuh juga. Lo juga jangan kangen sama gue. Gue tau seminggu enggak ketemu gue itu bagai seribu tahun bagi lo."

Naura menoleh. "Enggak usah berlebihan, deh, Ka."

"Gue serius." Arka menatap intens wajah Naura.

Naura yang ditatap seperti itu malah semakin merasa canggung. Naura segera mengalihkan pandangannya.

"Ra, gue boleh minta tolong sama lo, enggak?"

"Minta tolong apa?" tanya Naura.

"Gue cuma mau minta tolong. Selama gue enggak di sekolah, jangan dekat-dekat sama cowok lain, ya? Apalagi Fiko."

***

"Dek, buruan sarapan! Udah hampir jam jam tujuh, loh," teriak Mas Nara dari ruang makan.

Naura berdecak. Setelah selesai memakai kedua kaos kakinya dan merapikan kembali seragam olahraga yang ia kenakan, Naura lantas beranjak dari duduknya. Naura bercermin sebentar pada kaca yang ada di dinding kamar kemudian melangkah menuju ruang makan. "Enggak usah lebay, deh, mas. Orang masih jam setengah tujuh."

Mas Nara mengambil piring lalu mengambil dua centong nasi dan satu telur mata sapi. Tak ketinggalan sayur sop yang telah dimasak oleh Mbok Inah.

"Mas hari ini harus pergi ke kampus pagi-pagi, Dek. Ada urusan sama dosen Mas. Habis itu, Mas pergi ke tempat anak yang mau les privat sama Mas. Jadi, kamu juga harus berangkat pagi-pagi kalau mau diantar ke sekolah."

Naura duduk di seberang Mas Nara. Gadis itu meletakkkan tas abu-abunya di kursi samping. Ia pun mengambil sarapan sesuai porsinya.

"Kenapa Mas Nara enggak bilang dari kemarin, sih? Kan kalau bilang duluan akunya bisa siap-siap," ucap Naura menguapkan kekesalannya.

Mas Nara memang sering dipanggil oleh orang-orang untuk mengajar. Di sisi lain karena Mas Nara itu pintar, Mas Nara memang mendirikan sebuah les privat. Hampir semua mata pelajaran bisa Mas Nara ajarkan kecuali pendidikan agama, seni budaya, dan bahasa Inggris. Namun, itu dulu. Untuk sekarang, Mas Nara hanya mengambil dua sampai tiga anak yang melakukan les privat dengannya. Hal itu dikarenakan waktu yang dimiliki Mas Nara tidak banyak.

"Maaf. Kemarin Mas enggak sempat. Lagian, dosen Mas bilangnya juga dadakan. Oh, iya. Mas pinjam catatan kamu, ya? Soalnya anak yang mau les sama mas kelas sepuluh juga."

Naura mengangguk. "Ambil aja di rak samping meja belajar."

"Oke."

"Mbok Inah, ayo sarapan," ajak Naura saat melihat Mbok Inah keluar dari kamar mandi yang ada di dekat dapur.

Mbok Inah tersenyum. "Makasih, Mbak. Saya nanti aja sarapannya. Lagi nanggung itu depan rumah belum selesai disapu. Mas Nara sama Mbak Naura sarapan dulu. Mbok permisi ke depan, ya."

Naura tersenyum dan mengangguk. Naura menyuapkan satu sedok nasi ke dalam mulutnya.

"Dek, Mas mau tanya sesuatu sama kamu," ucap Mas Nara.

Naura mendongak. Ia menaikkan alisnya seolah mengatakan 'tanya apa?'

"Kamu masih pacaran enggak, sih, sama Arka?"

Naura tersedak. Ia terkejut saat tiba-tiba Mas Nara menanyakan hal itu. Buru-buru Naura mengambil air putih yang ada di meja lalu meminumnya. Mas Nara menyerngitkan dahinya. "Kamu kenapa? Kok kaget gitu Mas tanya?"

Naura menggeleng. Ia menelan makanannya terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Mas Nara. "Enggak." Naura berdehem. "Kenapa? Tumben Mas Nara tanya itu."

Mas Nara mengendikkan bahunya. "Ya enggak apa-apa. Tanya aja. Memangnya enggak boleh?"

Naura tak menyahut. Ia kembali makan.

"Akhir-akhir ini mas jarang lihat Arka. Dulu aja tuh anak sering banget main ke sini, tapi sekarang udah enggak. Kalian juga udah jarang banget jalan berdua. Mas ngerasa aneh, deh. Kalian lagi ada masalah, ya? Tapi kalau kalian berdua lagi berantem, enggak mungkin, kan, sampai berminggu-minggu kaya gini?" jelas Mas Nara.

"Enggak ada masalah apa-apa, kok. Mas aneh-aneh aja, deh. Lagian kalau pacaran, Arka harus main ke sini terus gitu?"

"Ya enggak gitu juga. Maksud Mas itu-,"

"Udahlah, mas. Kenapa jadi ngobrolin Arka, sih?" sangkal Naura.

"Tuh kan... kamu kaya kesal gitu. Jadi aneh tau. Mas jadi yakin kamu lagi ada masalah sama Arka. Ada apa? Kamu disakitin sama Arka? Cerita sama Mas. Nanti Mas kasih pelajaran ke dia."

Naura memutar bola matanya malas. "Mas Nara lebay, deh. Kaya Lala. Aku enggak kesal. Cuma malas aja."

Mas Nara menatap intens wajah Naura. Mencoba mencari kebohongan dari raut wajah adik kesayangannya itu. "Yakin? Kalian baik-baik aja, kan?"

Naura dengan semangat mengangguk. "Aku baik-baik aja."

"Mas tanya kalian bukan kamu."

"Mas‒"

"Mbak Naura." Ucapan Naura terhenti karena kedatangan Mbok Inah.

Naura menoleh. "Ada apa, Mbok?"

"Itu di depan ada teman Mbak. Katanya jemput Mbak Naura ke sekolah."

"Siapa, Mbok?" tanya Naura penasaran. Tumben sekali ada yang menjemputnya. Biasanya tidak ada.

"Aduh, anaknya enggak bilang namanya siapa. Cuma bilang kalau temannya Mbak Naura, gitu. Ganteng, Mbak," ucap Mbok Inah sembari tersenyum-senyum. Tangannya menggenggam erat sapu yang tadi digunakannya.

"Siapa, Dek?" tanya Mas Nara.

"Mungkin Galuh, sahabatnya Arka. Ya udah, Naura berangkat dulu, Mas. Udah ditunggu" Naura mengambil tasnya sembari berpamitan.

"Loh, belum selesai sarapan udah mau berangkat aja. Habisin dulu, Dek."

Naura menggeleng. Ia mengambil sepatunya di ruang tengah dan segera memakainya. "Enggak. Nanti lanjut sarapan di kantin."

"Jangan boros. Mas aduin ke Ayah kalau kamu boros."

"Aku enggak pernah boros. Udah, ya, Naura berangkat dulu. Assalamualaikum." Naura berlalu keluar rumah.

"Waalaikumsalam. Hati-hati, Dek. Belajar yang benar!"

***

Naura melangkahkan kakinya ringan menuju gerbang rumah. Namun, saat hampir sampai, ia dengan refleks berhenti. Naura menyerngitkan dahi saat melihat motor berwarna merah yang terlihat asing di matanya. Sosok yang duduk di atas sana pun terlihat bukan seperti Galuh. Ketika sosok itu menoleh dan memperlihatkan wajahnya, Naura seketika terkejut.

"Fiko?"

Fiko tersenyum. Naura segera mendekat. "Kamu ngapain di sini? Kok tau rumahku?" tanya Naura.

Fiko terkekeh. "Kaget banget lihat gue di sini. Emangnya kenapa kalau gue di sini? Enggak boleh? Gue mau ajak lo berangkat bareng."

"Kenapa tiba-tiba ngajak aku?" Naura menggaruk pelipisnya. "Maksudnya, aku bisa berangkat sendiri. Kamu enggak perlu repot-repot ke sini."

"Enggak repot, kok."

Naura menggigit bibir bawahnya. Ia bingung ingin berkata apa. Sangat aneh rasanya tiba-tiba dihampiri oleh Fiko, seseorang yang sejatinya tidak terlalu dekat dengannya. Mungkin bagi Lala atau murid-murid lain di sekolahnya, hal seperti ini rasanya menyenangkan. Tapi, tidak bagi Naura.

"Jadi lo mau berangkat sama gue enggak?" tanya Fiko.

Naura bingung. Sesungguhnya ia ingin menolak, tetapi ia merasa tidak enak hati terhadap Fiko. Namun, jika ia menerima, ia semakin merasa aneh. Dirinya kan bukan siapa-siapa Fiko. Pacar bukan, sahabat bukan, bahkan untuk menjadi teman pun masih perlu dipertanyakan.

Jangan dekat-dekat sama cowok lain. Apalagi Fiko

Naura menggelengkan kepalanya. Astaga, ucapan Arka terdengar seperti peringatan, bukan permintaan.

"Lo enggak mau?"

"Hah?"

Fiko mengerutkan dahinya. "Jadi lo mau berangkat sama gue enggak?" ulangnya.

Naura mengangguk. "Ya udah, ayo."

Tidak apa. Toh, hanya berangkat ke sekolah. Biarkan saja ucapan Arka. Jika laki-laki itu serius, ia juga tidak akan tau karena ia sedang diskors. Untuk urusan lain, bisa diselesaikan nanti.

***

"Jadi, bocah ganteng itu siapanya Mbak Naura, Mas?"

Mbok Inah dan Mas Nara masih menatap kaca jendela walaupun objek yang mereka amati sudah pergi. Mas Nara menghela napasnya. Ia dan Mbok Inah kompak menolehkan kepala.

"Mungkin temennya. Percaya aja sama Naura, Mbok."

***

Sungguh sial. Seharusnya Naura tolak saja tumpangan dari Fiko. Ia tidak menyangka Arka tetap hadir ke sekolah meski sedang diskors. Kini, ia merasa bersalah dan bingung ketika laki-laki itu menatapnya dari atas motor yang terparkir di parkiran sekolah. Naura berdiri tepat di hadapan Arka. Sedangkan Fiko langsung menuju parkiran sekolah.

Anak-anak yang berjalan di sekitar tempat parkir memusatkan perhatian mereka kepada Naura dan Arka. Terlebih ke arah Arka karena cowok itu memakai seragam sekolah. Padahal, hampir semua anak SMA Nuri mengetahui bahwa laki-laki itu sedang menjalani masa skors.

"Tadinya mau jemput, tapi ternyata udah berangkat sama cowok lain."

Arka ngambek. Naura bisa menebak dari nada bicara laki-laki itu. Apalagi sorot mata malas Arka yang membuatnya semakin terlihat jelas.

"Udah dibilangin jangan dekat-dekat sama cowok lain juga," ucap Arka lagi.

Naura memainkan tali tasnya. "Tadi terpaksa. Fiko datang ke rumah dan ajak berangkat bareng. Kan enggak enak kalau mau nolak, Ka."

Arka mengernyit. "Enggak enak gimana? Tinggal bilang 'enggak mau' kan bisa?"

"Masa to the point bilang gitu, sih. Kalau dia sakit hati gimana? Kasihan, Ka. Dia pagi-pagi udah datang ke rumah terus waktu diajak berangkat masa aku tolak. Coba bayangin kalau itu kamu. Kamu pasti kesal, kan?"

Arka berdecak. "Jadi lo enggak kasihan sama gue? Pagi-pagi ke rumah lo tapi pas sampai di sana tiba-tiba kakak lo bilang udah berangkat sama cowok lain. Lebih kesal mana coba?"

Naura menghela napasnya. "Ya maaf. Lagian cuma berangkat bareng doang. Kenapa dipermasalahin gitu, sih?"

"Ya lo, sih, kenapa mau-mau aja berangkat sama dia."

Naura tiba-tiba merasa sebal. Berbagai pertanyaan muncul di benak dan pikiran Naura. Alasan apa yang membuat ia tidak boleh berhubungan dengan cowok lain selain Arka. Hubungan mereka sudah berakhir. Apa yang salah jika ia dekat dengan Fiko? Kenapa Arka terlihat tidak suka dengan laki-laki itu? Naura jadi penasaran, sebenarnya ada masalah apa antara Arka dengan Fiko.

"Kalian ada masalah apa sih, Ka? Segitu enggak sukanya kamu kalau aku dekat sama Fiko," ucap Naura.

Arka memasukkan kedua tangannya pada saku jaket. "Lo enggak perlu tau masalah gue sama dia apa. Yang penting, lo enggak boleh dekat sama tuh cowok. Fiko itu kaya kuman. Jadi lo harus hati-hati sama dia. Jangan dekat-dekat sama dia. Satu lagi, lo harus jauh-jauh dari dia. Ngerti, kan, lo?"

"Enggak."

"Ra‒"

"Udah lah, Ka. Aku malas. Mending kamu pulang. Udah mau bel juga, aku mau masuk dulu." Naura segera berbalik dan melangkahkan kakinya menuju lobi sekolah.

"Tunggu, Ra. Gue belum selesai ngomong," ucap Arka namun tak digubris oleh Naura. Gadis itu tetap berjalan masuk ke sekolah. Arka berdecak kesal. Ia pun memutuskan untuk menghidupkan motornya dan pergi dari sana.

***

"Ra, lagi marahan sama Arka, ya?" ucap Galuh mensejajarkan langkahnya di samping Naura yang berjalan di koridor sekolah. Pasalnya, Galuh sempat melihat perdebatan Naura dan Arka.

"Enggak. Cuma lagi kesal aja sama Arka." Naura berdecak.

"Kesal gimana?" tanya Galuh.

"Ya kesal aja. Aneh tau enggak, Luh. Dia itu sok-sok ngelarang aku buat enggak dekat-dekat sama cowok lain selain dia. Enggak boleh dekat kamu lah, Fiko lah. Memangnya dia siapa? Masa tadi dia marah-marah gara-gara aku berangkat bareng Fiko."

Galuh terkekeh pelan. "Arka cemburu itu, Ra," ucapnya.

Naura menoleh. "Cemburu?" Naura tertawa pelan sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. "Enggak mungkin. Masa cemburu sama mantan, sih? Aneh banget tau enggak."

"Asal lo tau, ya, Ra. Dia itu sebenarnya masih sayang sama lo."

Sesaat Naura tertegun mendengar apa yang dikatakan Galuh. Namun, setelahnya Naura menggelengkan kepala. Rasanya tidak mungkin.

"Sok tau kamu, Luh. Kamu enggak ingat apa dulu gimana? Jelas-jelas Arka yang minta putus duluan dari aku. Itu tandanya dia udah enggak ada rasa ke aku."

"Ya elah, dibilangin juga malah enggak percaya."

Naura hanya diam.

"Ya udah, gue duluan, Ra. Jangan lupa tugas kemarin lo print sama Vera. Sekalian dibikin makalah. Pokoknya sampai di tangan gue udah jadi. Oke!" ucap Galuh sebelum ia mendahului Naura.

Naura hanya bisa menggerutu pelan. "Dasar. Mentang-mentang jadi ketua."

***

Di depan kelas, terlihat ada Natasya dan kawan-kawannya. Natasya melirik sinis ke arah Naura. Namun, sebisa mungkin tak dihiraukan oleh Naura. Naura tetap melangkah yakin menuju pintu kelas.

"Jadi orang tuh yang punya pendirian, dong, Ra. Dasar play girl, lo," ucap Natasya saat Naura berjalan melewatinya.

Ucapan menohok itu sontak membuat Naura menghentikan langkahnya. Dahi Naura mengerut. Naura menoleh. "Sorry. Maksudnya apa, ya?"

Natasya berdecih melihat wajah sok polos Naura. "Enggak usah pura-pura bego, deh, lo. Lo itu emang enggak tau diri. Sebentar-sebentar sama Arka. Kadang-kadang dekatin Fiko. Giliran enggak ada Arka, lo pepetin sahabatnya. Dasar play girl," ucap Natasya pada Naura.

Naura yang masih merasa kesal karena kejadian bersama Arka tadi, kini bertambah kesal setelah mendengar ucapan Natasya.

"Tolong kalau ngomog itu dijaga. Situ kalau enggak tau kejadian sebenarnya lebih baik diam. Jangan ambil kesimpulan sendiri gitu," ucap Naura.

"Loh, emang kenyataannya begitu, kan? Kalau enggak disebut play girl terus apa? Enggak usah munafik, deh, Ra."

Natasya menatap tajam Naura. "Jangan mentang-mentang lo itu cantik terus bisa godain semua cowok di sekolah. Jadi cewek jangan maruk, deh."

Naura mengernyit samar. Ia lalu tersenyum. "Oh, jadi aku cantik? Makasih loh, Sya, pujiannya."

Anak-anak yang ada di sekitar Naura dan Natasya terkikik pelan menyadari Natasya termakan oleh perkataannya sendiri. Wajah Natasya memerah. Tangannya lantas terangkat menjambak rambut panjang Naura.

"Akh!" Naura memekik ketika rambutnya semakin ditarik oleh Natasya. "Apa-apaan sih, Sya. Lepasin!"

Natasya tersenyum sinis. "Enggak akan gue lepas!"

Naura benar-benar tidak terima diperlakukan seperti itu. Kedua tangannya pun terangkat ikut menjambak rambut Natasya membuat gadis di hadapanya itu berteriak karena kesakitan.

"Berani lo, Ra, jambak rambut gue!"

"Emangnya kamu itu siapa? Aku enggak takut sama kamu!"

Naura dan Natasya semakin kuat menjambak rambut mereka. Anak-anak yang tadinya menonton dan mengira Naura dan Natasya hanya cekcok mulut saja lantas segera mendekat. Beberapa mencoba melerai kedua gadis itu. Sebagian lagi malah mengeluarkan ponsel mereka dan merekam kejadian tersebut.

"Woy! Udah-udah. Nanti ketahuan Bu Hesty!" ucap Galuh datang bersama Farih dan Putra melerai.

Putra, sebagai ketua kelas ikut membantu Galuh. Namun, tidak dipedulikan oleh Naura dan Natasya. Natasya malah semakin kuat menjambak rambut Naura membuat Naura ikut membalas dengan hal serupa.

Lala yang baru saja sampai, terkejut melihat pertengkaran sahabatnya. "Naura!"

Galuh dan Farih sangat kelimpungan. "Ra, udah, Ra. Lepasin tangan lo," ucap Galuh lagi

"Akh!" pekik Natsya.

"Dia yang harus ngelepasin tangannya duluan!" ucap Naura.

Farih memegang tangan Natasya. "Lepas, Sya," ucapnya.

"Enggak usah ikut campur lo. Jangan pegang-pegang tangan gue!" ucap Natasya.

Farih segera melepasnya. Laki-laki itu jadi serba salah.

Lala tidak tinggal diam. Sebagai sahabat, tentu ia segera membantu Galuh menarik Naura. Bukannya tenang, keadaan malah semakin ricuh. Anak-anak kelas sebelah ikut keluar dan menonton pertengkaran itu.

Putra yang melihat Naura dan Natasya tak mau berhenti bertengkar menjadi naik pitam. Laki-laki berperawakan tinggi itu mengambil vas bunga yang ada di meja guru. Lalu tanpa basa-basi Putra membanting vas bunga itu dengan keras hingga pecah.

Semuanya terkejut. Mereka memusatkan perhatian mereka pada Putra. Melihat situasi agak tenang, Galuh dan Farih segera memisahkan Naura dan Natasya.

"Ada apa ini?" Terdengar suara Bu Hesty dari dekat.

Pandangan Bu Hesty tertuju pada Naura dan Natasya yang terlihat berantakan dengan keadaan rambut yang berantakan kemudian pecahan-pecahan kaca vas bunga yang ada di lantai.

"Siapa yang memecahkan ini?" tanyanya dengan sorot mata tajam. Berani-beraninya ada yang merusak salah satu fasilitas atau barang milik sekolah.

"Saya minta maaf, Bu. Kalau saya enggak melakukan ini, mereka enggak akan berhenti," ucap Putra mengaku.

"Kamu harus tanggung jawab, Putra."

"Saya janji bu akan ganti rugi." Bu Hesty mengangguk. "Baik, ibu pegang omongan kamu."

Bu Hesty melihat pada Naura dan Natasya. "Sekarang, Naura dan Natasya ikut ibu ke ruang BK!"

***

Continue Reading

You'll Also Like

89.3K 11.2K 116
This is just fanfiction, don't hate me! This is short story! Happy reading๐Ÿ’œ
909K 67K 31
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
13.7K 815 64
"๐™ถ๐šž๐šŠ ๐šœ๐šž๐š๐šŠ๐š‘ ๐š‹๐šŽ๐š›๐šž๐šœ๐šŠ๐š‘๐šŠ ๐š–๐šŽ๐š•๐šž๐š™๐šŠ๐š”๐šŠ๐š— ๐š๐šŠ๐š—๐š™๐šŠ ๐š‘๐šŠ๐š›๐šž๐šœ ๐š–๐šŽ๐š–๐š‹๐šŽ๐š—๐šŒ๐š’,๐š๐šŠ๐š™๐š’ ๐š”๐šŽ๐š—๐šŠ๐š™๐šŠ ๐š‘๐šŠ๐š๐š’ ๐š’๐š—๐š’ ๐šœ๐šŽ๐š•๐šŠ๐š•๐šž ๐š–๐šŽ...
23.3K 3K 49
[FOLLOW TERLEBIH DAHULU SEBELUM MEMBACA] PART LENGKAP DAN SUDAH ENDING Bagaimana perasaanmu kalau pacarmu sendiri lebih mementingkan sahabat perempua...