Rotasi dan Revolusi

Door Crowdstroia

2.6M 326K 35.7K

[TELAH TERBIT] Arraf Abizard Rauf adalah raja tanpa mahkota Universitas Sapta Husada. Semua orang sering meny... Meer

prakata
playlist + characters' aesthetics
1 || Skripsi
2 || Maskulin
3 || Jazz
4 || Byssus
5 || Chat
6 || Balasan
7 || Amnesia
8 || Analisis
9 || Standar
10 || Kesempatan
11 || Kencan
12 || Selingkuh
13 || Ambisi
14 || Pengertian
15 || Baper
16 || Arogan
17 || Keluarga
18 || Nafsu
19 || Lengkap
20 || Bintang
21 || Raja
22 || Cemburu
23 || Brutus
24 || Degup
25 || Tes
26 || Cheesy
27 || Danau
29 || Eternity
30 || Publikasi
31 || Toleransi
32 || Magis
Rencana Penerbitan
Pre-Order
URAIAN SEMUA SERI CERITA CROWDSTROIA

28 || Matahari

59K 8K 1.1K
Door Crowdstroia



========

28

m a t a h a r i

========




Karena sedang musim penghujan, siang ini langit menurunkan rintik ketika Arraf dan Riv masih makan di tempat makan dekat danau.

Rintik gerimis itu cuma datang sebentar. Arraf dna Riv hanya menunggu lima belas menit hingga gerimis reda sebelum berjalan-jalan mengitari danau. Tak lupa Arraf menyelipkan tangannya di sela-sela jemari Riv.

"Tiga bulan, Raf," Riv mengingatkan sambil mereka berjalan. "Tiga bulan lagi kita kembali waras."

Arraf bergumam. "Kalau udah lewat tiga bulan, kira-kira kita masih bisa gemes-gemesan kayak gini nggak, ya?"

"Masih, kok," jawab Riv, menatap ke Arraf. "Tapi, harus usaha lebih keras gitu sih, Raf. Kalau pas fase tiga bulan ini kita nggak usah banyak kerja keras karena udah alamiah happy karena hormon, kalau setelah itu, kita harus melakukan usaha lebih biar hormon-hormon itu tetap aktif. Hormon-hormon yang bikin manusia jatuh cinta sampai tergila-gila ini aktif banget karena segalanya baru buat kita. Baru pertama ngobrol, baru pertama gandengan tangan, baru pertama kencan, dan semacamnya. Lama-lama ini ada titik jenuhnya."

"Cara ngilangin jenuhnya, gimana?"

"Cara kamu ngilangin rasa bosan sama pacarmu dulu, gimana, Raf?"

Arraf terdiam. Mengingat-ingat. "Aku jarang pacaran lebih dari tiga bulan, sih. Paling lama lima bulan."

"Putus karena bosan?"

"Iya. Dan nggak ada yang tahu gimana buat menanggulangi itu. Sama putus karena pada akhirnya mereka sadar aku terlalu ambisius sampai jadi cuek ke mereka." Arraf mendengus. "Padahal aku kan juga punya target pencapaian. Harusnya mereka menyibukkan diri sendiri alih-alih cuma menuntut aku buat kasih perhatian. Mereka kayak nganggep, aku wajib membahagiakan mereka tiap saat gitu, Riv. Aku jelas nggak bisa. Walau aku memang mau membahagiakan pacarku, aku nggak akan bisa melakukannya tiap saat."

"Masuk akal. Kebahagiaan itu tanggung jawab kita, bukan tanggung jawab orang lain," ujar Riv. Menarik oksigen. "Tapi, menurutku kita tetap harus berusaha meluangkan waktu buat pasangan. Biar mereka merasa dihargai. Kamu kan bilang sendiri, kamu butuh quality time. Kalau kamu udah berusaha meluangkan waktu, tapi pasanganmu nggak turut meluangkan waktu, gimana?"

Arraf manggut-manggut. "Ya. Tapi, kalau aku memang lagi sibuk kejar karier, gimana? Kan, ini buat pengembanganku juga."

"Kalau gitu bilang kalau kamu memang lagi sibuk kerja. Tapi, juga jangan lupa usaha buat luangkan waktu. Soalnya salah satu cara biar hubungan awet kan, kita harus membuat pasangan kita merasa dihargai."

"Benar juga." Arraf lalu melirik Riv yang berjalan di sampingnya. "Kamu merasa dihargai kalau aku luangin waktu buat kamu?"

"Iya dong. Emangnya kamu enggak?"

"Aku merasa dihargai. Karena itulah aku juga mau kamu tahu bahwa dengan aku selalu meluangkan waktu buatmu, walau itu cuma seminggu sekali, walau chat kamu nggak langsung dibalas saat itu juga, intinya aku udah meluangkan waktuku buat kamu. And if I do that, it means you're really worth that much for me."

"Iya, hamba tahu, Paduka Raja Arraf yang sibuknya bukan main."

Arraf terkekeh. "I'm serious, though."

"I know." Riv mengelus tangan Arraf yang bergandengan dengannya. "Sebenarnya cara biar awet berhubungan sama aku itu tinggal ikutin apa yang kutulis di buku catatanku tadi, kok. Sama komunikasi harus dijaga biar tetap terbuka. Supaya nggak ada salah paham."

"Hm," Arraf bergumam, melepas genggamannya untuk melingkarkan tangannya di pinggang Riv. Seperti biasa, Arraf menunggu hingga tubuh Riv tak terlalu tegang setelah disentuh, baru relaks untuk merapatkan tubuh mereka. "Aku baca-baca catatanmu tadi, kamu minta buat belajar bahasa Latin? Binomial nomenklatur termasuk?"

Tawa Riv pecah. "Nggak. Kamu nggak muak apa sepanjang kuliah kita belajar itu terus?"

"Biasa aja. Kalau aku muak, aku nggak akan lulus cum laude."

"Astaga, sombongnya Cum Laude satu ini." Riv menarik napas sambil mengelus dada. "Memang fakta, sih. Tapi, arogansimu itu kadang bikin aku merasa songongnya aku nggak ada apa-apanya dibanding songongnya kamu."

"Udah, nggak usah memperlombakan kesongongan kita gitu," ujar Arraf. "Karena pasti aku yang menang."

"Iya, Paduka. Apalah daya hamba yang tidak ada apa-apanya dalam hal arogansi jika dibanding Paduka."

Arraf terkekeh. "Let's get back the main topic. Bahasa Latin. Apa aku perlu nulis surat buat kamu full pakai bahasa Latin?"

"Nggak perlu, sih. Repot. Google translate-nya nanti harus ketik satu-satu dulu. Kecuali kalau kamu kirim email bisa langsung aku copy-paste."

"Terus? Bahasa Latin buat apa? Panggilan kesayangan?"

"Boleh aja."

"Apa panggilan kesayanganku ke kamu harus pakai bahasa Latin kayak — " Arraf terhenti sejenak, mengedarkan pandangan untuk mencari inspirasi, lalu menemukan tanaman dan berkata, "uhm... Capsicum annuum?"

Riv melotot. Lalu memukul lengan Arraf. "Enak aja manggil aku cabe. Aku bukan cabe-cabean."

Arraf terkejut, baru sadar. "Eh, sori, sori! Serius nggak maksud." Dia spontan tertawa "Tadi kebetulan lihat tanaman langsung keingat nama Latin tanaman cabai."

"Kenapa?"

"Dulu kan pernah ada praktikum isolasi antibakteri dari cabai. Apa sih nama antibakterinya? Lupa. Ya pokoknya namanya mirip sama si Capsicum annuum itu. Makanya masih ingat sampai sekarang."

"Capsaicin."

"Nah! Iya, itu. Pinternya pacarku." Arraf terkekeh, mengacak rambut Riv.

Riv mengernyit. "Kamu mau manggil aku pakai nama Latin cabai? Kalau gitu, aku panggil kamu Solanum melongena."

Arraf menyipitkan mata. "Terong banget?"

"Iyalah. Lawan cabe-cabean kan terong-terongan."

"Tapi, ribet kali ya manggil orang 'Capsaicum annuum' sama 'Solanum melongena'. Lebih simpel manggil 'Sayang' gitu." Arraf membuka ponselnya. Terinspirasi sesuatu. Dia menulis catatan di ponsel sebagai pengingat untuk mencari panggilan-panggilan endearment kepada kekasih dalam bahasa Latin di waktu luang nanti. Setelah itu, dia kembali mengingat isi catatan Riv. "Oh, iya. Sama astronomi. Kamu suka astronomi?"

"Suka," jawab Riv, menatap danau. Matanya lalu berlabuh di wajah Arraf. "Sejak kenal sama kamu, aku jadi kepikiran buat ngarang dongeng. Kapan-kapan, aku bakal kasih kamu dongeng tentang benda-benda langit deh, Raf."

Arraf mengangkat alis. Menyengir. "Terinspirasinya dari aku?"

"Iya."

"Woah." Cengiran Arraf melebar. Dia berhenti berjalan sejenak. "Oh, jadi ini romantis versi kamu, ya. Dibikinin dongeng benda-benda langit?"

Riv tertawa. "Semacam itu."

"Aku ceritanya jadi apa?" tanya Arraf penasaran. Kembali berjalan santai dengan tangan melingkari pinggang Riv. "Kamu bakal bikin aku pakai analogi seandainya aku benda langit apa, gitu?"

"Iya, pakai," jawab Riv. Merasa senang karena Arraf terlihat antusias menanggapi ini. "Kamu dianalogikan sebagai matahari."

"Karena aku selalu jadi pusat perhatian?"

"Iya. Dan, karena kamu suka tatanan yang teratur dan terencana," terang Riv dengan mata berbinar antusias. "Matahari yang pertama terbentuk sebelum planet-planet kayak Merkurius dan lain-lain. Lalu, matahari membentuk tatanan bernama 'Tata Surya' agar planet-planet bisa berrevolusi terhadapnya dengan teratur. That's what you always do. Dunia ini memang kacau, dan kamu mau membuat keteraturan dalam kacaunya dunia ini."

Lagi-lagi, hati Arraf berdesir. Muncul rasa hangat merambat pipinya hingga dia spontan mengalihkan wajah dari Riv. Arraf pun berdeham, ingin menormalkan detak jantungnya. "Thanks," ujar Arraf, berdeham lagi. "Aku nggak nyangka kamu mikir sampai segitunya."

Riv terkekeh. "Kamu kan, emang begitu. Mau jadi pemimpin untuk menciptakan keteraturan."

Arraf mengerjap. Masih merasa pipinya menghangat. Dia hanya tak menyangka bahwa dari semua orang, justru Riv-lah yang paling bisa mendeskripsikan apa yang sebenarnya ingin dia lakukan. Memimpin untuk menciptakan keteraturan. Itu adalah masterplan Arraf untuk memenuhi tujuan hidupnya yang ingin membuat orang-orang menjadi lebih baik.

Kendati demikian... "Sebenarnya, aku nggak mau jadi matahari, Riv," ujar Arraf. "Matahari cuma bintang kecil yang sinarnya kalah terang dibanding bintang-bintang besar. Kalau bisa shine brighter ya, why not?"

Riv berhenti melangkah secara perlahan. "Dan berakhir jadi lubang hitam?"

Membisu, Arraf pun menatap Riv. Ikut berhenti melangkah. "Mungkin memang itu konsekuensinya. Buat jadi lebih baik, risikonya memang besar."

Riv tersenyum tipis. Dia berjalan ke arah dan teralis yang membatasi danau dengan jalan setapak untuk pejalan kaki. Arraf mengikuti apa yang dilakukan pacarnya.

Riv meletakkan kedua tangannya di atas teralis itu. Pandangannya menyapu danau yang jernih beberapa saat. "Arraf," panggil Riv tanpa menoleh. "Hanya karena sebuah bintang bersinar lebih cerah, belum tentu dia lebih baik dibanding bintang kecil. Sebab yang memberi kehidupan untuk manusia itu bintang kecil kayak matahari, bukan bintang besar kayak bintang Sirius atau Proxima Centauri."

Pandangan Arraf menyapu sekeliling danau. Dia tak terlalu paham dunia astronomi, sebenarnya. Hanya paham sedikit saja dari apa yang dia pelajari semasa SMA. "Kamu juga bintang, kan, Riv," ujar Arraf, mengerling ke arah pacarnya. "Kita sama-sama bintang. Kita berdua sama-sama bisa bersinar." Arraf tersenyum. "And I can make you shine brighter."

Senyum tipis Riv terulas. Dia menatap Arraf. "Aku bukan bintang dan nggak mau jadi bintang, Raf."

Kedutan di tengah alis Arraf muncul. "Kenapa?"

"Karena aku nggak terlalu suka jadi pusat perhatian kayak kamu."

Arraf mendengus. "Terus, kalau bukan bintang, kamu jadi apa? Masa iya kamu cuma mau jadi meteor?"

"Menurutmu?"

Arraf membisu. Dia tak bisa berpikir selain entitas bintang untuk Riv. "Aku nggak jago analogi dan nggak belajar astronomi, Riv. Aku cuma yakin kalau kita setara, sebanding. Makanya aku bayangin kamu ya sesama bintang kayak aku. Dan kalau bersama, we can shine brighter."

Riv bergumam dan tersenyum. Dia memandangi riak air danau yang hijau dan jernih. "Ada pepatah bilang kalau semakin tinggi sebuah pohon, maka angin yang menerpa semakin kencang. Aku percaya selayaknya bintang yang makin bersinar, maka kehancuran yang terjadi karena bintang itu juga bisa makin besar." Gadis itu menatap pacarnya dari sudut mata. "Aku juga yakin bahwa semua benda langit di semesta ini punya fungsinya masing-masing. Hanya karena bintang mampu menciptakan sinarnya sendiri, bukan berarti cuma bintang entitas paling penting di alam raya ini. Bintang dan semua benda-benda langit membutuhkan satu sama lain."

Arraf tak membantah. Ucapan Riv memang benar adanya. Tak perlu menjadi bintang untuk memiliki peran dalam alam semesta ini. Namun, bintang adalah benda langit yang esensial dan paling mudah ditemukan. Untuk apa jadi benda langit lainnya di saat kita bisa jadi bintang? pikir Arraf. Lagi pula, dia yakin dengan bersama Riv, dia pasti bisa bersinar lebih terang.

Lengan jaket Arraf tak lama ditarik oleh gadis di sampingnya. Arraf menoleh kepada Riv, kemudian mengikuti arah pandang gadis itu. Riv mengarah pada sosok anak kecil yang Arraf perkirakan masih SD sedang menelepon seseorang di ponselnya. Melihat Riv sesaat, dia mengernyit, tak tahu apa yang dimaksud Riv.

Riv tersenyum ke Arraf, lalu berbisik, "Coba dengerin dia ngomong, deh. Lucu banget, dia kangen mamanya gitu."

Alis Arraf terangkat. Dia memang belum terlalu kenal Riv. Namun awalnya, dia kira Riv adalah tipe orang yang tak suka anak-anak. Ternyata tidak juga. Arraf pun mempertajam pendengaran untuk mendengarkan celotehan anak yang tadi ditunjuk Riv.

"Mama nggak usah khawatir," ujar anak SD itu. "Iya, aku jaga diri baik-baik, kok. Ini aku lagi sama teman — iya, cowok semua, Ma. Santai aja — Hah? Iya. Mereka lagi pada jajan. Aku juga kangen sama Mama."

Riv tertawa kecil melihat anak kecil itu. Sementara Arraf masih mengamati dengan kernyitan dan mata menyipit skeptis. "Apanya yang lucu, sih?"

"Ih, itu lagi kangen mamanya," balas Riv. "Lucu tauk. Anaknya juga lucu pipinya tembam gitu."

"Ah, biasa aja," balas Arraf sambil melengos.

Riv mengabaikan Arraf, masih mengamati anak itu sementara Arraf menguap dan hanya memberi perhatian sedikit kepada anak tadi. Sampai akhirnya, di akhir kalimat teleponnya, anak kecil itu berkata, "Iya, Ma. Papa sayang Mama selalu. I love you, Ma. Papa juga kangen sama Mama."

Jeda tiga detik.

Riv membuka mulut, syok, segera berbalik menatap danau. Sementara Arraf mengalihkan wajah dan mengeraskan rahang.

Setelah beberapa saat mencerna, Riv menarik napas panjang, lantas berkata, "Aku merasa habis kena zonk masa, Raf." Riv menopang dagu, meletakkan siku di atas teralis pembatas danau. "Asli, kupikir tadi anak itu lagi ngobrol sama ibunya. Ternyata...."

"Mikir apaan sih itu anak-anak. Baru pacaran aja udah Papa-Mama manggilnya," timpa Arraf. "Kalau udah nikah, manggilnya apa?"

Riv terkekeh. "Kakek-Nenek?"

Arraf geleng-geleng, heran. "Terus kalau udah Kakek-Nenek, manggilnya apa? Almarhum-Almarhummah?"

Tawa Riv meledak. Dia tertawa sambil memegangi perut. Arraf yang melihatnya pun ikut tertawa. Dia senang bisa membuat Riv tertawa lepas seperti ini. Suara tawa Riv terdengar agak serak-serak basah dan Arraf suka mendengarnya. It sounds hella sexy, pikir Arraf sambil memandangi Riv.

"Mereka selangkah lebih maju daripada kita," ujar Riv, terkekeh. "Bahkan sebelum mereka sama-sama meninggal, mereka udah ngerasain gimana rasanya manggil satu sama lain pakai panggilan Almarhum dan Almarhummah. Kita mah apa atuh."

Senyum Arraf muncul. Dia melingkarkan tangannya di pinggang Riv dan merapatkan tubuh mereka. "Nggak usah merendah gitu, Sayang. Kita kan sama-sama udah songong dari dulu. Of course we are better than them."

Riv tertawa lagi sembari menatap Arraf. Dalam tatapannya, masih tersisa tawa yang terlihat dari binar mata. Senyumnya juga masih belum luntur. Gadis itu berkata, "Aku nggak tahu harus ngomong apa. Semoga anakku nanti nggak kayak gitu."

Arraf tertegun. Dia jadi mendadak terpikirkan ucapan Riv. Kemudian, dia berusaha mengoreksi, "Semoga anak kita nanti nggak kayak gitu. Bukan cuma anakmu, Riv."

Riv tersenyum. Menggeleng. "Nggak, Raf. Anakku dan anakmu belum tentu anak kita." Sesaat kemudian, Riv menambahi. "Wah, yang itu tadi kayaknya bisa jadi judul sinetron. Judulnya 'Anakku Bukan Anakmu Belum Tentu Anak Kita'." Seketika, Riv tertawa disusul tawa Arraf.

Meski tertawa, Arraf tetap tak melupakan topik utama pembicaraan tadi. Dia paham maksud Riv. Intinya adalah: mereka belum tentu menikah, dan belum tentu memiliki anak bersama.

Kendati demikian, Arraf tetap tak bisa tak berpikir ingin membangun keluarga bersama Riv. Tentu, dia tak harus mewujudkannya dalam waktu dekat. Barangkali dua atau tiga tahun lagi. Arraf tak ingin menikah buru-buru meski baik dia dan Riv sama-sama sudah memiliki penghasilan. Butuh waktu baginya untuk adaptasi dengan Riv dan keluarganya. Dua bulan dari sekarang, Arraf sudah menargetkan bahwa dia harus mulai kenal dengan keluarga Riv. Minimal agar orangtua Riv tahu bahwa pria yang memacari Riv adalah lelaki baik-baik yang mapan dan jelas asal-usulnya.

Bersama Riv, Arraf yakin perhitungannya sudah tepat. Dia ingin membuat dunia menjadi lebih baik, Riv pun juga demikian. Tujuan mereka juga sama-sama ingin jadi berkembang lebih dalam hubungan ini. Riv adalah perempuan yang tepat untuk Arraf, dan karenanya Arraf tak mau melepaskan gadis itu.

Riv pasti mau bersinar juga dengan caranya sendiri. Kayak bintang. And I swear I'm gonna make her shine brighter, batin Arraf, membulatkan tekad.

Namun, meski Riv sudah jelas berkata bahwa dia bukan bintang, Arraf tak ingin menerima hal itu sebab di mata Arraf, Riv adalah pasangannya yang setara dan seimbang. Dan entitas seimbang bagi seorang bintang adalah bintang lainnya.

Tetapi, Riv bukanlah bintang.

Riv adalah bintang jatuh.

Dan bintang jatuh bukanlah bintang sungguhan.

[ ].



A/N

Mau dispoiler endingnya gimana?

Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

638K 25K 36
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
300K 13.8K 18
Level tertinggi dalam cinta adalah ketika kamu melihat seseorang dengan keadaan terburuknya dan tetap memutuskan untuk mencintainya. -𝓽𝓾𝓡𝓲𝓼π“ͺ𝓷�...
4.2M 319K 52
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’ "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
10.6M 675K 44
Otw terbit di Penerbit LovRinz, silahkan ditunggu. Part sudah tidak lengkap. ~Don't copy my story if you have brain~ CERITA INI HANYA FIKSI! JANGAN D...