Kami Sama Tapi Berbeda {END}

By Raraa_TA

549K 2.4K 273

[WARNING!] [Penuh DRAMA, BELUM revisi, dan mengandung BAWANG!] Fani dan Fina, anak kembar yang mendapat curah... More

01. Gagal pergi
02. Rumah Kakek-Nenek
03. Cerita Fani
04. Pingsan
Mengungsi ke Dreame

05. Hantu?

8.9K 418 40
By Raraa_TA

Tok.... Tok....

Suara ketukan pintu menginsterupsi Rian yang tengah berkutat dengan berkas-berkas di depannya.

"Masuk," dengan tidak mengalihkan pandangannya dari berkas-berkas di depannya Rian menjawab.

"Papa!" teriakan yang sudah sangat familiar terdengar saat pintu telah terbuka.

Rian baru mengalihkan tatapannya dari berkas ke depan pintu ruangannya. Di sana sudah terlihat kedua anak kembarnya dan istri yang sangat disayanginya.

"Udah pulang sekolah?" tanya Rian melepas kacamata bacanya.

"Udah, Pa." Fina berlari mendekati Rian, memeluk laki-laki itu dengan erat.

Lain halnya dengan Fani yang hanya diam. Lalu berjalan ke sofa yang ada di pojok ruangan dekat pendingin. Fani mejatuhkan dirinya ke atas sofa.

Matanya terpejam, dia terlihat sangat lemas. Dina yang melihat itu, ikut duduk di sebelah Fani yang memejamkan mata, mengelus rambutnya dengan sayang.

"Mama," ucapan tak bersemangat itu keluar dari bibirnya diikuti dengan matanya yang terbuka.

Fani menjatuhkan kepalanya kepangkuan Dina. Kembali memejamkan mata, tubuhnya terasa sangat lemas dan letih.

"Kamu kenapa? Kok kelihatan lemas banget gini?" Dina memegang dahi Fani, yang langsung membuatnya tersentak.

Badan Fani begitu panas, hingga kelopak matanya terlihat sangat merah. Bibirnya juga terlihat pucat.

Fani tidak menjawab, dia hanya diam. Kepalanya terasa sangat sakit, perutnya juga masih terasa sakit. Semua badannyapun ikut menjadi sakit.

"Ma, tadi Fani pingsan waktu upacara," ucapan Fina sontak membuat Dina dan Rian terkejut.

"Kenapa kamu bilang sama Mama, sih?" Fani dibuat kesal karna kembarannya itu memberitahu mamanya.

"Kenapa bisa pingsan?" Rian menyuarakan kebingungannya dari tadi.

"Kata Ibu dokter, gara-gara Fani nggak sarapan, Pa."

Fina terlihat semakin menjengkelkan di mata Fani. Tapi dia tidak bisa berbuat lebih, tubuhnya benar-benar terasa lemas dan letih.

"Salah sendiri tadi pagi nggak sarapan. Masih syukur bisa makan, malah nggak mau makan." Rian berucap malas.

Fani yang telah duduk hanya bisa menundukkan kepalanya dalam. Bukan perhatian yang ia dapatkan tapi malah kemarahan papanya.

Sungguh, dia merasa sangat sedih. Hingga tanpa sadar, air mata mulai menetes dari kedua matanya. Fani mengusap air matanya dengan cepat, meski kembali turun.

Dina melihat anak pertamanya hanya menunduk dan tangan anaknya mengusap matanya berulang kali. Dina sadar, Fani menangis. Dia mendekap Fani dengan erat, berusaha membuat Fani tenang.

"Udahlah, Pa. Fani lagi sakit ini. Badannya panas banget. Jangan dimarahi." Dina mengelus rambut Fani.

Dalam dekapan mamanya, Fani tersenyum. Setidaknya, saat papanya marah masih ada sosok mama yang memeluknya dengan sayang.

Perlahan, mata Fani terpejam. Dia tertidur karena tubuhnya yang lemas dan lelah. Dina menyadari Fani telah tertidur, membaringkan Fani ke sofa. Mereka keluar dari ruangan Rian untuk makan siang. Meninggalkan Fani yang tertidur dengan nyenyak.

Melupakan anak kecil itu yang tertidur sendirian. AC yang memang dinyalakan dengan suhu yang begitu rendah dan tanpa selimut yang menyelimuti tubuh kedinginannya.

Ya, dia kedinginan tanpa ada yang tahu. Bahkan tubuhnya sudah sangat dingin dan menggigil hingga terdengar gemerletuk giginya yang beradu.

🐰🐰🐰

Malam sudah semakin larut, di luar juga sedang hujan deras. Dan suhu di ruangan itu sangatlah dingin. Bagaimana tidak? AC di dalamnya dinyalakan dengan suhu terendahnya.

Fani meringkuk di atas sofa, memeluk tubuhnya yang kedinginan. Masih dengan menggunakan seragam sekolah merah putih yang tipis.

Ya, Fani belum keluar dari ruangan Rian dari siang sepulang sekolah. Jadi, terbayang sudah, kan bagaimana kedinginannya Fani berada dalam ruangan bersuhu sangat rendah selama 10 jam tanpa selimut, tanpa pakaian tebal, ditambah malam sudah larut dan angin bertiup kencang serta hujan deras di luar?

Memang, Rian, Dina dan Fina setelah makan siang mengantar Fina pulang ke rumah. Rian dan Dina sendiri mengadakan meeting dengan client. Hingga tersisalah Fani yang kedinginan dan kelaparan.

Bagaimana tidak lapar? Dia belum makan siang dan malam. Untunglah ketika Fani pingsan, Bunda Nana memberi makan nasi goreng. Tapi, itukan tadi pagi dan sekarang sudah larut malam.

"Ma-ma, Pa-pa," suara terbata-bata keluar dari bibir Fani yang sudah pucat.

"Di-dingin, a-ku ma-u pu-lang." Air mata mulai keluar dari mata Fani yang memerah.

Ingatlah, dia tengah demam, belum makan, dalam ruangan bersuhu rendah pula. Fani terisak, ditemani rasa sakit di kepalanya, perutnya, dan dalam keadaan kedinginan.

Masih dengan menangis, Fani duduk. Dia haus. Mengambil botol minumnya, namun isinya sudah kosong. Fani mangalihkan pandangannya. Dia melihat ada dispenser air.

Dengan tertatih, Fani berjalan ke arah dispenser air itu dan mulai menekan kerannya. Namun, airnya tak kunjung keluar yang ternyata airnya telah habis. Fani terduduk, tenggorokannya terasa kering. Tidak ada air.

Fani berdiri dan mulai berjalan lagi meski dengan tertatih ke arah pendingin. Membukanya, membuat tubuh yang telah menggigil kedinginan itu bertambah menggigil. Di dalam kulkas hanya ada coca cola satu botol besar dan fanta dengan botol kecil.

Karena Fani haus, dia terpaksa mengambil fanta dingin itu lalu segera menutup kulkas dan meminumnya. Baru satu tegukan botolnya sudah terjatuh bersama dirinya yang terduduk. Menimbulkan bunyi nyaring di tengah malam yang hujan.

Rok merah yang dikenakan Fani telah basah karena dia duduk digenangan air dari botol fanta yang tadi terjatuh dan bergelinding ke arah bawah sofa. Baju putihnya juga sudah berubah warna menjadi merah.

Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka secara paksa dari luar. Menimbulkan bunyi kuat yang membuat Fani mendongakkan wajahnya dengan tatapan kosong.

🐰🐰🐰

Malam ini Didi lembur, karena pekerjaannya ada yang belum selesai. Sebagai OB yang bertanggung jawab, Didi menyelesaikan pekerjaannya malam ini juga.

Padahal, jika Didi mau, beliau bisa mengerjakannya besok pagi. Namun, dia ingin menjadi OB yang bertanggung jawab.

Saat pekerjaannya telah usai, Didi segera pulang, melewati ruangan bossnya, Friansyah Alfarizi.

Entah gerangan apa yang membuat Didi lewat jalan itu. Karena biasanya Didi tidak pernah lewat jalan itu, dia biasanya lewat depan ruangan keuangan.

Namun, saat berjalan di depan ruangan Rian, Didi seperti mendengar suara isak tangis seseorang. Suara tangis perempuan. Mendengar itu, bulu kuduk Didi berdiri.

Dia merinding, karena memang ini sudah jam pulang kantor. Jadi, tidak ada orang yang masih berkeliaran di lantai atas. Bilapun ada yang lembur, paling itu di lantai satu.

Suara tangis yang semula membuat Didi merinding berubah menjadi tangisan pilu. Didi ikut merasa sedih mendengar suara tangis itu.

Sampai tak lama kemudian terdengar suara benda jatuh yang sangat nyaring di dalam ruangan Rian.

Tanpa pikir panjang lagi, Didi masuk ke dalam ruangan itu dan mematung setelahnya. Dia melihat seorang gadis kecil menggunakan seragam merah putih, sudah tidak bisa dibilang putih karena baju anak gadis itu telah berwarna merah. Wajahnya juga sangat pucat dan tatapan matanya kosong.

Bulu kuduk Didi kembali berdiri. Dia jalan mendekati gadis yang terduduk di lantai dengan warna merah seperti darah. Bulu kuduk Didi semakin meremang manakala Didi merasakan ruangan Rian yang dinginnya bukan main. Ditambah angin kencang dan hujan deras di luar. Dia heran bercampur takut. Dalam benaknya timbul pertanyaan yang sangat mengganggu.

"Mengapa anak perempuan ini tahan berada di dalam sini? Jika dia memang manusia, seharusnya mana tahan. Apa jangan-jangan dia bukan manusia?" Didi bergidik ngeri memikirkan pemikirannya.

Hingga tiba-tiba dia merasa ada yang menyentuh tangannya dan itu sangatlah dingin. Sontak Didi melihat ke arah tangannya dan dia terkejut bukan main saat tangan anak perempuan itu belum menyentuh kulitnya, masih di atas kulit tangan Didi.

Didi melihat ke arah anak perempuan itu yang sudah berdiri di depannya. Didi sadar, wajahnya sangatlah pucat.

"Aura dingin di tubuhnya sudah terasa di kulitku. Tadi saja, tangannya belum menyentuh kulitku, tapi aku sudah merasa dia menyentuhku," batin Didi.

Sadar akan pemikirannya yang terakhir, Didi sontak lompat ke belakang hingga terjengkang dengan wajah pucat. Keringat dingin mulai mungucur dari dahinya yang sudah mulai bergaris-garis.

Terlebih lagi saat mendengar suara tawanya yang mengerikan. Wajah Didi mulai pucat pasi menyaingi anak perempuan dengan baju yang berwarna merah darah di tengahnya. Persis seperti hantu, atau memang hantu? Apalagi, saat anak perempuan itu tertawa, dia membuka mulutnya yang berwarna merah.

Anak perempuan itu berjalan mendekati Didi, dengan tangan terulur. Didi sudah berpikir anak perempuan itu akan mencekiknya.

🐰🐰🐰

Pintu itu terbuka dengan kasar, membuat Fani mendongakkan kepala. Karena terkejut dan berpikir itu hantu. Fani jadi menatap kosong kearah pintu. Dia terkejut melihat seorang bapak-bapak. Bahkan, Fani sampai menatapnya tanpa berkedip.

Bapak itu, Didi, berjalan masuk ke ruangan Rian. Namun, beberapa langkah lagi mendekati Fani dia berhenti dan tampak melamun. Fani berdiri mendekati Didi, berdiri di depannya dan menyentuh tangan Didi sebentar.

Namun, saat tangan Fani akan bergerak menjauhi dari atas tangan Didi, Fani heran. Dia melihat wajah bapak itu tiba-tiba memutih.

Didi menatap ke arah Fani yang memang sedang menatapnya dan seketika melompat ke belakang hingga terjatuh. Fani tertawa melihat itu, tetapi ketika dia tertawa tenggorokannya yang sakit membuat suara tawa berbeda dan lagi dia tengah memikirkan sesuatu.

Dia takut papanya akan marah saat dia menertawakan orang yang sedang dalam kesusuhan.

Fani berjalan mendekat sambil mengulurkan tangannya. Ingin membantu Didi yang terjatuh untuk berdiri. Karena Didi tak kunjung menyambut uluran tangannya Fani memegang tangan Didi.

Mata Didi melotot ke arah Fani, membuat dia sedikit takut. Namun, mulutnya yang terbuka tidak membuat Fani takut.

"Ayo, Pak. Berdiri." Fani akhirnya berucap setalah lama terdiam.

Mendengar suara Fani, Didi berdiri meski dengan bantuan tenaga Fani yang tidak seberapa. Dia menatap Fani dengan kening mengkerut. Fani sadar, Didi yang berdiri di depannya ini sudah tua seperti kakek dan neneknya.

Fani ingat perkataan nenek dan kakeknya yang mengatakan bahwa orang yang di wajahnya memiliki garis-garis artinya orang itu sudah tua.

"Kakek." Fani tersenyum

"Eh? Kakek?" Didi mengernyitkan dahinya heran saat Fani memanggilnya kakek.

"Iya, Kakek."

"Kenapa manggilnya Kakek?"

"Kata Nenek sama Kakek aku, kalau orang yang udah punya garis-garis yang ngebuat wajah jadi jelek, itu tandanya udah tua." Fani menjawab dengan polos.

"Haha," Didi tertawa mendengar jawaban polos anak perempuan di depannya, yang tadi dikiranya hantu.

"Kakek kenapa ketawa?" Dia mengerjapkan matanya polos.

"Nggak, Kakek nggak kenapa-kenapa. Nama kamu siapa?"

"Nama aku Rara Fanisha Alfarizi, Kek. Nama Kakek siapa?" Fani mengulurkan tangannya.

Didi sempat tertegun beberapa saat, menyadari bahwa anak perempuan di depannya ini adalah anak dari Rian, bossnya.

"Cantik ya namanya Shasha. Nama Kakek, Kakek Didi." Didi menyambut uluran tangan Fani.

"Fani Kek, bukan Shasha." Fani mengembungkan pipinya.

"Kakek maunya panggil Shasha, boleh?" Didi tersenyum lembut kearah Fani.

"Boleh, Kek. Tapi, kenapa Kakek panggil aku Shasha?" Fani menatap Didi bingung.

"Shasha itu, panggilan sayang Kakek buat kamu."

"Berarti, Papa, Mama, Opa, Oma, Kakek, Nenek, Om Heru, Tante Disa, Fina, temen-temen aku, nggak sayang sama aku, ya Kek?" Fani menatap Didi dengan sedih.

"Eh? Bukan gitu sayang, semua orang yang panggil kamu Fani sayang kok sama kamu. Kakek cuma mau panggil kamu Shasha aja, biar beda dari yang lain." Didi jadi kikuk sendiri dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Oh," Fani hanya mengangguk padahal dirinya tidak mengerti. Yang Fani tau, bahwa orang-orang yang memanggilnya Fani juga sayang sama dia.

"Oh iya, kamu ngapain di sini? Nggak dingin?" Didi baru ingat bahwa di sini sangatlah dingin.

"Tadi siang aku sama Fina ketemu Papa dulu sebelum pulang ke rumah, tapi badan aku panas. Kata Mama aku sakit. Trus aku ketiduran di sini. Waktu bangun, Papa, Mama, Fina udah pulang. Aku ditinggal sendirian di sini." Fani jadi teringat bahwa dia ditinggal sendirian di ruangan papanya.

Air mata sudah menggenang di pelupuk mata Fani. Didi yang melihat itu, menarik Fani ke dalam dekapannya. Didi merasakan badan Fani sangatlah dingin.

"Kita keluar, yuk? Di sini dingin, nanti kamu tambah sakit." Didi menarik Fani keluar, tapi baru tiga langkah dari depan pintu Fani berhenti.

"Shasha kenapa? Kok berhenti?" Didi bersimpuh didepan Fani, bertumpu dengan lututnya.

"Kalau Papa datang ke sini gimana, Kek? Nanti Papa nggak ketemu aku dong. Trus Papa sama Mama marahin aku, bentak aku. Kalau udah gitu, Papa bakal pukulin aku, Kek." Fani menatap Didi dengan air matanya yang mengalir deras.

"Jadi, kamu mau gimana? Di sini dingin, kamu bisa tambah sakit. Badan kamu juga udah dingin banget gini," diusapnya air mata yang keluar dari mata Fani.

Fani hanya menggeleng lemah. Dia nggak mau di sini, karena dinginnya membuat tubuhnya seperti beku. Namun, jika dia pergi dan papanya datang dia tidak ada. Papanya pasti akan memarahinya lagi.

"Ya udah, kita tunggu sepuluh menit ya. Kalau Papa kamu nggak datang, kita keluar."

Akhirnya, mereka berdua masuk kembali ke dalam ruangan Rian. Namun, dengan AC yang dimatikan. Kemudian Pak Didi kepantri membuatkan susu cokelat hangat untuk Fani dan teh hangat untuknya sendiri.

"Kek, tadi aku pingsan lho di sekolah." Fani menampilkan cengiran kudanya.

"Haa? Kenapa bisa pingsan?" Didi memasang wajah terkejutnya.

"Aku tadi pagi nggak makan, Kek. Makanya pingsan." Fani menyesap susu cokelat hangatnya.

"Kenapa nggak makan?"

"Aku nggak suka sama sarapannya, Kek," Fani menunjukkan wajah tidak sukanya, "Mama nggak masak jadinya cuma makan roti pakai selai blueberry sama susu doang, Kek."

"Masalahnya apa? Kan enak itu."

Fani merubah tatapannya menjadi sendu dan Didi menyadari itu. Dia heran ada apa dengan Fani?

"Aku nggak suka selai blueberry," ucapan lirih itu masih dapat didengar Didi.

"Emangnya salah ya Kek, aku nggak suka sama selai blueberry? Kata Ibu guru, semua orang punya rasa suka dan ketidaksukaannya masing-masing, Kek. Berarti selai blueberry itu, yang nggak aku suka dan selai strawberry sama cokelat yang aku suka, Kek."

Meski terdengar polos, tapi itu memang benar adanya bukan? Bahwa setiap individu memiliki pilihannya masing-masing untuk memilih apa yang disukai dan tidak disukai.

Fani bercerita tentang banyak hal. Sampai tanpa mereka berdua sadari, waktu yang tadi disepakati telah melenceng jauh.

Sekarang sudah satu jam dari waktu yang disepakati. Fani juga sudah mengantuk dan tertidur tanpa mengganti pakaiannya. Didi pulang ke rumahnya saat jam sudah menunjukkan pukul 12:00 p.m.

Terpaksa meninggalkan Fani yang tertidur sendiri di ruangan bossnya.

🐰🐰🐰

Pagi itu, Fina terbangun dengan perasaan gelisah. Tadi malam dia tidak tidur dengan nyenyak karena memikirkan kembaranya. Begitu pagi menjelang, Fina berlari ke kamar Fani yang berada di lantai dua.

Fina terkejut melihat kamar Fani yang kosong. Namun, saat melihat jendela yang sudah terbuka membuat Fina sedikit lega. Meski perasaan khawatir dan gelisah itu masih melekat di dirinya.

Memutuskan untuk mandi, setelah itu Fina akan kembali ke kamar Fani atau memberitau papa dan mamanya. Selesai mandi, Fina kembali ke kamar Fani dan masih sama dengan keadaan sebelumnya, kosong.

Ketika akan ke meja makan, Fina bertemu papanya yang baru keluar dari kamar dengan kemeja navy polos dan dasi putih bergaris hitam.

"Papa."

"Iya, Fina. Kenapa?" Papanya menggendong Fani kemeja makan. Di sana sudah ada Dina yang sedang menyiapkan nasi goreng.

"Fani mana? Kok gak sekalian diajak turun?" Dina menatap kedua orang di depannya.

"Mama, kamar Fani kosong. Aku pikir Fani udah ada di meja makan," Fina berucap dengan suara bergetar menahan tangis.

"Fani ke mana?" pertanyaan itu yang ada di benak Rian dan Dina.

"Bu Siti, Fani ke mana ya? Ibu ada lihat Fani?" Dina bertanya pada ART-nya yang kebetulan lewat ingin menjemur pakaian.

"Saya belum ada lihat Fani dari kemarin, Bu. Awalnya saya pikir waktu Fina diantar kang Deni, Fani bareng Ibu sama Bapak. Eh? Ibu sama Bapak pulang nggak bareng sama Fani." Siti menjawab sopan.

"ASTAGFIRULLAH!" pekikan kaget dari Dina dan Rian membuat Siti ikut terkaget.

"Ada apa, Bu, Pak?"

"Fani, masih di ruangan kantor saya." Secepat kilat Rian dan Dina pergi ke kantor.

Fina tidak ikut, dia harus sarapan. Setelah sarapan akan diantar Deni, supir mereka ke sekolah. Fani nanti akan menyusul atau malah tidak berangkat sekolah.

Sampai di kantor yang masih sangat sepi Rian berlari duluan dan Dina di belakangnya. Masuk ke ruangan dan melihat anaknya tidur di sofa tanpa selimut dan baju kotor, kening dikompres. Eh tunggu dikompres? Siapa yang mengompres? Pertanyaan itu yang ada dibenak Rian. Dia juga heran, seingatnya semalam AC di ruangannya dalam keadaan suhu yang begitu rendah dan ini sudah mati.

Rian menggendong Fani yang masih tertidur dengan nyenyaknya. Wajah anaknya itu juga masih pucat. Rian membawa Fani pulang ke rumah dan mengirimkan surat sakit ke sekolah anak-anaknya.

🐰🐰🐰

Tbc.

Kasian ya jadi Fani. Kenapa sih kamu punya emak bapak yang begitu, nak? Kasian dirimu, sama daku saja sini😂😂.

Ya udah, see you latter guys, sampai ketemu dipart berikutnya😣.

Jangan bosen buat terus ngikuti cerita ini ya guys, sayang kalian😘

Kalau suka cerita ini boleh kok kasih vote, coment dan masukkan ke reading list kalian😪😪

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 77.2K 28
Kirana dan kirani. Mereka kembar namun berbeda nasib. Rani dengan kehidupan bahagianya, sedangkan rana dengan kemalangannya. Bagaimana Kirana menja...
42.9K 4.5K 54
aku tidak mengisahkan banyaknya kisah cinta yang bertebaran di kalangan remaja saat ini, tidak. Ini tentang masalah bagaimana menerima diri sendiri...
3.9K 972 31
Judul awal: BUKAN LEMAH HANYA LELAH "Dia, hujan. Yang selalu mengerti isi getaran kalbu. Membelenggu atma disaat lara menguasai rongga dada. Menyimpa...
RETAK By Rintihujan_

Teen Fiction

27.9K 1.4K 41
Aku harap ini dongeng dan ku harap ini hanya penghantar tidur saja. Tidak apa-apa jika aku sudah terlanjur luka Tapi tolong jangan lanjutkan cerita i...