Rotasi dan Revolusi

By Crowdstroia

2.6M 326K 35.7K

[TELAH TERBIT] Arraf Abizard Rauf adalah raja tanpa mahkota Universitas Sapta Husada. Semua orang sering meny... More

prakata
playlist + characters' aesthetics
1 || Skripsi
2 || Maskulin
3 || Jazz
4 || Byssus
5 || Chat
6 || Balasan
7 || Amnesia
8 || Analisis
9 || Standar
10 || Kesempatan
11 || Kencan
12 || Selingkuh
13 || Ambisi
14 || Pengertian
15 || Baper
16 || Arogan
17 || Keluarga
18 || Nafsu
19 || Lengkap
20 || Bintang
21 || Raja
22 || Cemburu
23 || Brutus
25 || Tes
26 || Cheesy
27 || Danau
28 || Matahari
29 || Eternity
30 || Publikasi
31 || Toleransi
32 || Magis
Rencana Penerbitan
Pre-Order
URAIAN SEMUA SERI CERITA CROWDSTROIA

24 || Degup

52K 8.1K 650
By Crowdstroia

========

24

d e g u p

========



"Trivia, ingat pas lo ketemu gue di resto Jepang dua minggu lalu?"

Riv tengah menyendok es podengnya ketika Arraf bertanya. Dia menelan es yang meleleh dalam mulutnya itu sebelum menjawab, "Ingat. Kenapa?"

"Gue waktu itu lihat ada cowok gandeng tangan lo," ujar Arraf, berusaha terlihat sambil lalu saat mengatakannya. Mereka kini duduk di bangku dekat gerobak es podeng. "Cowok itu siapa? Teman kencan lo?"

"Iya," jawab Riv, dan Arraf berusaha santai menanggapinya. "Itu teman Abang gue. Lo sendiri juga nge-date sama cewek lain, kan, walau lo juga lagi PDKT sama gue?"

"Iya." Arraf menyuap es podengnya ke mulut. "Lo bukan nge-date sama cowok lain buat bikin gue cemburu, kan?"

"Hah?" Riv mengernyit, heran bukan main. "Buat apa gue bikin lo cemburu?"

"Ya nggak tahu. Makanya gue nanya iya apa enggak."

"Enggaklah." Riv menyuap potongan alpukat es podengnya. "Buat apa juga bikin lo cemburu? Aneh. Gue nge-date ya buat have fun, buat kenalan sama orang baru. Kalau gue nge-date sama cowok lain buat bikin lo cemburu, itu berarti gue kekanakan."

"Baguslah kalau lo mikir kayak gitu." Arraf mengambil ketan dari gelas esnya. "Biasanya ada orang yang suka nggak tahu diri, Riv. Belum ada ikatan apa-apa, eh dianya marah-marah ke gue karena gue flirting atau nge-date sama cewek lain. Masih gebetan aja malah menuntut gue untuk memperlakukan dia sebagai satu-satunya perempuan yang spesial. Otaknya nggak dipakai mikir apa, ya."

Riv tertawa karena keblak-blakan Arraf. "Menurut gue itu emang aneh sih. Orang emang belum ada ikatan apa-apa kok, malah marah-marah nggak terima kalau kitanya nge-date sama orang lain?" Kemudian, Riv menambahkan. "Yah, kalau cemburu dikit okelah, asal nggak perlu ditunjukkin sampai marah-marah nggak terima gitu. Tapi harusnya sadar sih bahwa dia juga bisa flirting sama gebetan dia yang lain kalau dia mau."

"Setuju." Arraf manggut-manggut. Sebab, memang itulah yang dia lakukan setelah melihat Riv berkencan dengan lelaki lain. Arraf juga bisa berkencan dengan perempuan lain yang dia inginkan.

Meskipun pada akhirnya, Arraf harus sedikit kecewa karena tak ada dari mereka yang bisa memahaminya sedalam Riv mengerti dirinya.

Selesai memakan es podeng, Arraf dan Riv berjalan keliling taman. Di tengah jalan, Arraf masih teringat dengan kejadian di resto Jepang dulu. "Riv, pas gue ngelihat lo sama cowok di resto Jepang itu kan, lo gandengan tangan sama dia," ujar Arraf, berusaha santai. "Lo nggak masalah digandeng tangannya pas masih kencan sama gebetan?"

"Nggak masalah," ujar Riv, santai. "Lo mau gandengan, Raf?"

Arraf seketika menyengir. Dia tak perlu mengucapkan kata iya. Langsung saja tangannya menyelinap ke sela-sela jemari Riv, mengaitkannya dengan jemarinya sendiri. Rasanya hangat. Tangan Riv terasa lebih kecil darinya. Arraf mengelus tulang-tulang yang menonjol di ujung buku jari Riv. "This is better."

Mereka menapaki jalan sambil bergandengan tangan, menikmati pagi dengan udara yang masih terasa segar. Ketika bertemu beberapa gerobak jajanan lagi, mereka membeli batagor lalu berlajan ke arah tempat duduk dekat air mancur.

"Gue mau dievaluasi dong, Riv," ujar Arraf sambil memotong batagornya dengan sendok plastik. Dia menyiapkan hati saat lanjut bertanya, "Menurut lo, kira-kira apa sisi dari gue yang perlu diperbaiki?"

Riv mengetukkan telunjuknya ke dagu sembari berpikir. "Empati kali ya, Raf. Biar lo lebih bisa merasa relate ke orang lain yang berbeda dari lo. Tapi, pasti agak susah soalnya gue juga struggle di hal empati ini."

"Kalau yang lain?" tanya Arraf, menelan ludah mengingat-ingat apa yang pernah Riv katakan kepadanya. "Control-freak? Konformitas ke standar masyarakat?"

"Menurut gue konformitas lo nggak masalah selama lo nggak memaksakannya ke orang lain — walau ini pasti susah buat lo, berhubung lo selalu berhubungan dengan banyak manusia. Kalau control-freak kan, selama dikasih penjelasan yang masuk akal ya lo nggak maksa. Yang jadi masalah adalah kalau orang itu nggak bisa memberi penjelasan yang bisa diterima akal atau logika lo." Riv menarik napas. "Tapi, gue lihat niat lo emang baik, kok. Cara lo nggak salah, tapi mungkin susah diterima sama sebagian orang karena terkesan memaksa. Ya nggak apa-apa. Lo nggak bertanggung jawab untuk menyenangkan semua pihak, kok.

"Hm." Arraf tersenyum sambil mengunyah batagornya. Dia senang Riv memahami perasaan dan pikirannya.

"Eh, Raf, gue mau tahu," ujar Riv, menelan batagornya. "Dari gebetan lo yang terdahulu, ada nggak sih, yang udah males sama lo duluan setelah tahu busuk-busuknya elo?"

"Jarang." Arraf melumuri batagornya dengan saus kacang. "Palingan mereka saat itu lagi dekat sama cowok lain, dan mungkin merasa lebih sreg ke cowok itu. Tapi, ada juga yang menganggap gue pemaksa jadinya mereka melipir." Arraf mengangkat bahu. "Ya nggak apa-apa. Mungkin emang mereka nggak kompatibel sama gue."

"Sebenarnya lo pemaksa karena gatel kan, kalau lihat orang malas-malasan nggak tahu hidup harus ngapain?" tanya Riv, lalu dibalas anggukan oleh Arraf. "Padahal tinggal dikasih penjelasan aja, sih. Buktinya gue kasih lo penjelasan, lo terima-terima aja dan nggak maksa gue harus jadi kayak lo."

Satu sudut bibir Arraf tertarik. "Mungkin mereka malas kasih penjelasan, Riv. Takut pikiran mereka beda dari gue dan gue nggak akan bisa memahami jalan pikir mereka." Arraf mengedikkan bahu. "Ya ada benarnya juga, sih."

"Benar, karena lo nggak paham jalan pikir mereka?"

"Iya. Bisa jadi gue emang nggak paham jalan pikir mereka, terus malah menatap mereka kayak alien karena penjelasan mereka nggak masuk di akal gue. Berabe urusannya."

"Loh, kalau cewek yang udah cocok sama lo, gimana?" tanya Riv. "Misal nih, lo sama cewek ini udah sama-sama saling suka, atau mungkin udah pacaran. Pernah nggak sih, penjelasan mereka itu nggak lo pahami?"

"Seringlah. Dan gue biasanya cuma iya-iya aja biar cepat. Sebenarnya gue juga nggak terlalu paham mereka ngomong apaan." Arraf menggelengkan kepala. "That's a wrong move. Yang kayak gitu justru memicu miskomunikasi. Putus dah."

"Emangnya lo nggak berusaha memahami penjelasan mereka?"

"Nggak. Soalnya gue pikir yang mereka omongin itu hal-hal remeh, Riv." Arraf menggaruk pipinya. "Tapi, ternyata hal itu penting bagi mereka. Makanya pas gue kelupaan ya mereka bisa marah. Contoh paling sederhana, deh. Tanggal ulang tahun atau anniversary jadian. Astaga, gue bahkan suka lupa tanggal ulang tahun gue sendiri. Ini lagi gue kudu nginget-nginget ultah orang."

Riv tertawa. "Gue juga suka lupa ulang tahun gue sendiri. Udah lama nggak ngerayain soalnya. Kalau ada teman gue yang cewek ultah terus gue nggak ngucapin, mereka biasanya bakal chat gue sambil nanya 'Lo lupa kemarin itu hari apa?', terus gue jawab harinya entah Kamis, Jumat, atau apa. Terus teman gue tambah ngambek, dan setelah gue bujuk, baru dia bilang itu ultah dia."

Arraf terbahak keras. "Kok, kayak gue, sih? Gue juga sering ada di posisi itu."

"Jadi yah, setelah itu gue pasang alarm buat kasih ucapan ultah ke teman-teman gue." Riv terkekeh mengingat kejadian-kejadian masa lampau. "Cuma, makin dewasa kayaknya teman-teman gue jadi makin malas diingetin udah tambah umur."

"Nggak mau kelihatan tua, biasa." Arraf ikut terkekeh. "Sulit memahami cewek."

"Sulit memahami manusia. Lo jangan stereotipe gitu."

"Iya juga. Soalnya lo mengalami hal yang sama dengan gue." Arraf menatap Riv. Lalu meminum air mineral yang dia beli dari pedagang sekitar. "Gue kadang penasaran," lanjut Arraf lagi. "Karena lo punya banyak kesamaan jalan pikir sama gue, kira-kira masalah apa yang bakal kita hadapi kalau jadi pacaran?"

"Banyak, sih," Riv membuang bungkus batagornya di tong sampah yang dekat dari tempat duduk mereka. "Kayak, konformitas lo ke standar masyarakat, guenya yang mageran buat ngikut. Lo yang menuntut semua orang untuk melakukan sesuatu, sementara gue lebih suka melamun sambil analisis sesuatu. Lo yang mau bangga-banggain pacar lo di depan orang-orang, sementara gue nggak suka di-show off seolah gue ini piala. Banyak yang akan jadi masalah."

Mereka lalu kembali berjalan ke sisi lain taman, ke bagian yang lebih sepi. Menelan ludah, Arraf kembali membuka topik tadi. "But, I'm ready to adapt, Trivia," ujar Arraf, sungguh-sungguh. Dan Riv memelankan langkah untuk menatap lelaki itu. "Yah, gue tetap bakal banggain lo, sih. Tapi nggak all the time, paling cuma di momen-momen tertentu misal lo habis dapat suatu achievement apa gitu. Gue tetap conform ke standar, tapi gue nggak akan maksa lo buat ngikut kecuali buat ikut acara-acara tertentu yang krusial. Kalau masalah melamun, yah, lamunan lo berfaedah jadi gue bakal tekan tendensi gue buat menyuruh lo mengerjakan sesuatu." Arraf lalu menambahi, "Tapi jangan marah kalau gue gregetan nyuruh lo mengerjakan sesuatu. Because we all need to do something in order to achieve things."

Riv tertawa. "Oke, gue memang perlu digituin kok kadangkala. So, I don't mind."

Muncul senyum penuh arti dari wajah Arraf. "Ini kode, ya?"

"Kode gimana?"

"Kode kalau lo butuhin gue buat jadi pacar lo."

Riv mengangkat alis. Berwajah datar. "Narsisme lo memang sesuatu yang menakjubkan buat disimak ya, Raf."

Senyum Arraf pun luntur. "Ya... kan, katanya lo butuh didorong. Ya udah gue bisa bantuin ngedorong lo mengerjakan sesuatu."

"Iya, gue butuh, kok," aku Riv. "Gue butuh pasangan yang bisa bikin gue jadi lebih baik. Maksudnya, bukan berarti tanpa dia gue nggak bisa lebih baik. Tapi dengan dia, proses buat be a better person itu jadi lebih cepat. Nggak akan pernah ketemu garis finnish sih kalau udah ngomongin self-improvement. Jadi pasti selalu ingin jadi lebih baik terus-terusan."

"Hm." Arraf merasa hatinya berdesir mendengar keinginan Riv sama persis dengan apa yang dia cari dari sebuah hubungan romansa. Kecocokan di antara dirinya dan Riv terasa kentara meski memang karakter mereka juga bertolak belakang di saat yang sama. "Lo masih ingat surat gue yang di kotak Beng-Beng buat lo, kan?" tanya Arraf, dibalas anggukan oleh Riv. "Gue juga mau cewek gue bisa bikin gue jadi lebih baik. Yang sama-sama mau make the world a better place sama gue."

Riv mengalihkan wajah ke jalan di depannya. Entah mengapa, pipinya terasa hangat. "Hm. I see."

Arraf menelan ludah. Suasana sisi taman yang agak sepi ini membuat jantungnya mulai berdegup kencang. Lelaki itu menarik napas meski wajahnya mulai panas. Padahal dia sudah berkali-kali menyatakan bahwa dia memang ingin Riv menjadi pacarnya, tapi tetap saja rasanya berbeda ketika Arraf sudah semakin yakin dengan gadis itu. "Riv, do you wanna make the world a better place?"

"Of course," jawab Riv sambil tersenyum memandangi pohon-pohon yang berdiri di sepanjang jalan setapak yang mereka lewati. "Itulah kenapa gue bantuin orang-orang dalam karier mereka. Itulah kenapa gue jadi konsultan karier. Karena kayak yang lo bilang. Semua nggak perlu dimulai langsung ke hal besar, tapi bisa dimulai dari langkah-langkah kecil."

Arraf berdeham. Jantungnya makin berisik berpacu sebelum dia bertanya, "Lo mau?"

"Mau apa?"

"Do you wanna make the world a better place... together with me?"

Riv terdiam. Merasa pipinya memanas. Jantungnya tiba-tiba jadi berisik. Sumpah, Riv tahu Arraf sedang mengajaknya berpacaran. Namun, dia juga merasa bahwa kali ini, Arraf sedang menawarkan untuk berpacaran dengan lebih rendah hati. Tak ada arogansi. Riv tahu Arraf sungguh-sungguh. Dia pun menarik napas, berusaha menormalkan jantungnya yang mulai berdegup lebih kencang dari biasa. Otaknya berusaha mencari keganjilan yang ada sebelum membuat keputusan. Begitu ketemu, dia langsung menghadap Arraf dan bertanya, "Emangnya lo mau, Raf? Kalau ada hal-hal dari diri gue, entah itu latar belakang atau pilihan gue yang nggak sesuai standar lo, gimana?"

"Lo sesuai," ujar Arraf, yakin. Wajahnya serius. "So far, lo sesuai. Hell. I don't think I can ask for a better person than you."

"Of course you can."

"I don't think so." Arraf serius menatapnya. Keseriusan itu membuat Riv ingin mengalihkan mata tetapi tak mampu. Matanya telanjur terkunci di mata Arraf. "Gue maunya elo, Trivia. Apa gue perlu mengulanginya ratusan kali buat lo?"

Mata Riv mengerjap. Dia tahu Arraf sungguh-sungguh ketika mengatakannya. Manusia seperti Arraf takkan suka bercanda untuk hal seperti ini. Main-main adalah hal yang terlalu berisiko untuk penyusunan rencananya yang selalu berjangka panjang.

Menelan ludah, Riv berkata, "Kalau gue punya keluarga yang nggak sesuai standar lo, gimana?"

"Nggak sesuai standar gimana?"

Riv bergeming. Dia mengerjap, menarik oksigen banyak ke paru-paru. Arraf akan menjadi orang keempat setelah Virga, Nirvana dan Jazz yang tahu tentang masa lalu keluarganya. Riv tak ingin menyembunyikan, tetapi dia merasa orang-orang tak perlu tahu banyak tentang ayahnya. Arraf akan jadi salah satu dari pengecualian karena Riv hanya mau bersama lelaki yang bisa menerima dirinya dan keluarganya. "Raf, my dad is a gay."

[ ].


Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 132K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
4.2M 319K 52
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
2.7M 136K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
638K 24.9K 36
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...