JARAK [complete]

By A_Cinderakasih

324K 15.8K 3.5K

"Lalu, seperti halnya perjalanan mengelilingi bola bulat dunia, kita akan kembali ke sebuah titik akhir yang... More

PRELUDE
SEBUAH PROLOG
AMBANG
Chapter 1
01.1 | Before the Podium
01.2 | Start Jongkok
01.3 | Pasukan Kasukabe
01.4 | Para Wanita
01.5 | Matahari
01.6 | Langit
01.7 | Trio
01.8 | Jenjam
Jeda - Garis Start
Chapter 2
02.1 | Bidadari Jatuh
02.2 | Firasat
02.3 | Arus
02.4 | Telecommunication
02.6 | The Melancholic Generation
02.7 | Surat Sewarna Darah
02.8 | Orthochromatic
Jeda - Wessel Zone
Chapter 3
03.1 | Sky, Sunlight and Clouds
03.2 | Sasmita Awang-awang
03.3 | Asmaradahana
03.4 | Endracapa
03.5 | Duta Panglawung
03.6 | Cata Kantaka
03.6 | Jajabang Mawinga-winga
03.7 | The Direction to the Day after Tomorrow
Jeda - Wessel Zone Kedua
JARAK
Chapter 4
04.1 | Pertemuan
04.2 | Tulisan-tulisan
04.3 | Tatap Muka
04.4 | Dewata
04.5 | Tiga Ratus Sekian Kilometer
04.6 | Sebuah Percakapan di Pinggir Danau
04.7 | Perempuan di Depan Mata
04.8 | Raseksa Ragana
Jeda - Sinta Obong
Chapter 5
05.1 | le Garçon et la Fille
05.2 | Kopi dan Cokelat
05.3 | Dan Bagiku Bandung Lebih daripada itu
05.4 | Wibrama
05.5 | Janglar
05.6 | Langit Berawan Badai yang Kau Lihat di Kejauhan dari Muka Pantai
05.7 | Kucari Kamu
05.8 | Andakara Liyan
Jeda - Rahasia dan Cerita-cerita Lainnya
Chapter 6
06.1 | Samudra dan Angkasa itu Dipertemukan Badai
06.2 | Bandu Kulita
06.3 | Granggam Monga-mangu
06.4 | Tempat dimana Semua Hal itu Berawal
06.5 | Percakapan Laut
06.6 | Jaul Panamaya
06.7 | Balada Seorang Buronan
06.8 | Srenggi, Srimala, & Srengenge
Jeda - Gagat Rahina
07 | Menuju Akhir
08 | Garis Finish
Epilog

02.5 | Round

3.2K 187 24
By A_Cinderakasih

02.5
Round



Jogja.
Di suatu pertengahan Februari 2008


Waktu berjalan. Hari-hari terlewati, minggu-minggu berlalu, hingga sebulan. Semua masih sama, masing-masing masih bergolak dengan masalah di masa muda. Yang satu masih saja tak akur dengan ayahnya, yang satu masih terobsesi pada satu pencapaian, yang satu membenci yang satunya – meski diam-diam ada hal lain yang tumbuh di sana, yang satu bertepuk sebelah tangan terhadap seseorang yang ia dambakan, yang satu mungkin tak akan sanggup membuat sebuah pengakuan terhadap perasaannya –ah, dia terlalu perasa dan penjaga-, yang satu selalu memperhatikan yang satunya, yang diperhatikan malah memikirkan sosok lain di masa lalu, dan yang terakhir, ia terlalu khawatir dengan rahasia yang ia sembunyikan. Masing-masing menyimpan hal-hal itu jauh dari jangkauan tiap individu. Tapi yang ebberapa yang mengetahuinya, hanya tinggal diam tak berani mengusik usaha yang satunya untuk tak bercerita.

*

Diantara semua olahraga yang paling mereka sukai adalah bola basket. Alasannya hanya satu, karena permainan basket sangat menyenangkan. Dan beberapa diantaranya, memiliki kenangan tersendiri dengan permainan basket.

Sebut saja Tama. Ia begitu sangat menggemari basket sejak teman berkelahi teman kecilnya itu mengajari mereka permainan mini basket di lapangan belakang rumah teman kecilnya di kompleks rumah Eyangnya. Tama, jadi sedikit terobsesi permainan itu sejak saat itu. Obsesinya itu terbawa sampai ke SMP. Selain bermain street basket bersama teman-teman SMPnya, ia juga sempat masuk tim basket. Beberapa kali ia ikut kejuaraan daerah. Tapi pada suatu titik, ia berhenti dari tim basket karena merasa tidak nyaman dengan semua aturan tetek bengek yang ada dalam tim. Ah, iya, lagipula, basket mengingatkannya pada sesosok orang yang telah mengenalkannya basket untuk pertama kali.

Pasukan Kasukabe mulai menghentikan latihan basket di belakang rumah Janu karena Jay dan Surya yang harus mengikuti latihan intensif untuk turnamen basket se DIY. Alhasil memang hanya kadang-kadang Janu, Anggit, dan Tama saja yang sesekali bermain shooting di lapangan basket. Pram ikut sesekali kalau ia sempat, ia sibuk kegiatan di Gereja kahir-akhir ini.

Hari itu adalah hari dimana tim SMA 1 Wonosari akan melakukan pertandingan semifinal yang akan menentukan tim mana yang akan melaju ke pertandingan final. Pertandingan basket ini dilakukan di Gedung Olahraga milik Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Tim SMA 1 bermain sangat baik di babak-babak sebelumnya hingga mengejutkan tim lain. Karena selama ini tim basket SMA 1 belum pernah melaju ke babak semifinal. Semua siswa larut dalam euphoria ini, sekaligus merasa berdebar-debar menantikan pertandingan semifinal.

Tama datang ke kelasnya seperti biasa, 15 menit sebelum bel berbunyi, masih setia menaiki sepedanya meski telah memiliki motor. Ketika masuk ke kelasnya, ia berbarengan dengan Surya yang juga baru datang.

"Hei." Sapa Tama.

Surya mengangguk sambil tersenyum. Sejak saat Tama punya handphone dan tak mengabari Surya padahal yang lain dikabari oleh Tama, Surya masih agak ngambek. Dan Tama yang kurang peka itu sepertinya tak menyadari hal itu. Keduanya menuju kursi mereka yang berjauhan karena duduk yang diacak. Setelah meletakkan tasnya, ia menghampiri temen-temannya yang duduk di dekat bangku Surya. Teman-temannya itu sedang asyik membicarakan sesuatu. Tama mendekat ke Kikan.

"Lagi ngomongin apa?"

"Pertandingan basket ntar."

Tama mengangguk-angguk sambil mencoba mengikuti alur pembicaraan teman-temannya itu.

"Kalian nanti berangkat jam berapa Jay?" tanya Lintang kepada Jay yang duduk di atas meja.

"Pelatih bilang habis istirahat kedua di suruh kumpul ke ruang olahraga sih. Paling juga jam satu. Soalnya pemain harus setengah jam sampai di lapangan sebelum pertandingan di mulai. Kita kan dapat pertandingan pertama. Jadi ya memang harus cepet-cepet." Jawab Jay.

"Nanti kami langsung berangkat habis jam terakhir. Semoga nyampainya nggak ketinggalan banyak ya."

"Enggak sih. Kan mulainya tanding jam setengah tiga. Dapet lah kalau kalian berangkat dari sini langsungan habis jam terakhir."

"Kamu nanti ikut, kan, tang?" tanya Janu bertanya kepada Lintang.

"Iya, ikut kok. Kikan juga katanya nggak ada les dan mau ikut nonton."

Janu mengangguk sambil memandang Kikan dan Lintang bergantian.

"Baguslah. Kalian ikut bis rombongan SMA 1 aja. Nanti aku, Anggit, dan Pram rencananya mau naik motor aja yang cepet."

Lintang mengangguk.

"Kamu ikut juga kan tam?" tanya Pram kepada Tama yang sedari tadi diam saja.

"Oh, enggak." Jawab Tama ringan seolah tak merasa bersalah.

"Kenapa?" tanya Lintang menoleh menatapnya. Heran.

"Ya, karena males aja sih, jauh." Ujar Tama lalu tertawa terkekeh.

"Dasar!" ujar Jay pura-pura sebal. Ia memang tahu kalau She is not into this kind of occasion.

Tama tertawa. Sekilas ia menangkap tatapan suya yang terarahkan kepadanya, tapi ia tak mengindahkannya.

"Berarti nanti kalian bolos dong?" tanya Tama kepada Jay.

"Ya begitulah."

Bel masuk berbunyi dan para siswa mulai kembali ke tempatnya. Termasuk Tama, Lintang, Kikan, Jay, Pram, Anggit, Janu dan Surya. Tak lama kemudian guru mereka masuk dan pelajaran dimulai. Waktu berjalan lambat. Satu persatu jam pelajaran berlalu dengan materi yang membosankan. Tapi akhirnya bel istirakat berbunyi. Jay dan Surya buru-buru membereskan tas mereka. Teman-teman mereka mendekati keduanya.

"Kamu beneran nggak mau nonton, tam?" tanya Jay penuh harap Tama berubah pikiran.

"Enggak ah, palingan juga kalian kalah." Tama lalu tertawa.

"Sialan kau! Tim kita kuat kali! Apalagi ada aku." Kata Jay nyengir lebar.

Tama tertawa sambil memukul pundak Jay.

"Ih, pede banget sih!"

Seorang anak tim basket dari kelas sebelah tiba-tiba muncul di ambang pintu.

"Jay! Surya! Ayo cepet, kita udah ditunggu ni!" teriaknya.

Jay dan Surya mengangguk menjawab teriakan itu. Jay buru-buru menyandang tas sekolah dan tas olahraganya.

"Berangkat dulu ya semuanya!" kata Jay kepada teman-teman karibnya itu juga kepada teman-teman sekelas yang tersisa di dalam kelas.

Beberapa teman sekelas menyahut memberi semangat. Para cewek-cewek memberikan semangat kepada Surya yang disahuti dengan anggukan dan tawa malu-malu. Keduanya pergi tanpa berpaling lagi. Semau orang kembali sibuk dengan rutinitas istirahat keduanya. Janu, Pram dan Anggit berdiskusi mengenai teknis mereka akan berangkat menonton di GOR UNY. Lintang dan Kikan sudah bergabung ngobrol dengan beberapa anak perempuan sekelas yang berniat untuk ikut rombongan sporter SMA 1.

Jam terakhir hari itu terasa tidak kondusif. Masing-masing anak gelisah karena takut akan ketinggalan pertandingan basket SMA mereka. Untungnya guru pelajaran terakhir itu cukup kooperatif dan tahu mengenai antusiasme anak-anak didiknya yang ingin menyaksikan pertandingan tim SMA 1 di babak semifinal hari ini. Kelas mereka dibubarkan 20 menit sebelum bel pelajaran berbunyi.

"Tam, kamu yakin nggak mau ikut nonton?" tanya Kikan yang menghampiri tempat duduk Tama. sejak tempat duduk yang diacak, Kikan sudah tak pernah lagi duduk bareng Tama.

"Aku nggak ikut. Aku mau mengerjakan hal lain." Kata Tama sambil nyengir.

"Kikan, yuk kita kumpul di aula." Kata Lintang. Ajak Lintang kepada Kikan.

"Hati-hati ya kalian. Salam buat Jay dan Surya." Kata Tama.

Mereka bertiga berpisah di depan pintu kelas. Tama berjalan menuju ke parkiran dan Kikan serta Lintang berjalan menuju aula. Di sepanjang perjalanan pulang, Tama sama sekali tak kepikiran untuk mengubah keputusannya untuk menonton tim basket

Sampai di rumah, Tama langsung ganti baju lalu makan siang.

"Kok tumben  udah pulang, Tama?" tanya eyang putri yang sedang membuat kue kering di dapur.

Tama menyelesaikan kunyahan makan siangnya itu baru menjawab. "Iya eyang, soalnya tim basket SMA 1 mau tanding untuk menentukan siapa yang maju ke final. Dan guru pelajaran terakhir memulangkan kami lebih cepat agar anak-anak yang hendak ikut nonton memberi semangat bisa siap-siap."

"Kamu nggak ikut nonton?" tanya eyang putri.

"Ah, kayaknya enggak deh eyang. Pertandingannya di Jogja dan aku males ikut-ikutan naik bis. Naik motor juga perjalanan lama."

HP Tama tiba-tiba berbunyi. Tama mengeluarkan HPnya dari kantong celana. Di layar tertera nama teman SMPnya. Ia mengernyit sambil berpikir kenapa ini orang tiba-tiba menelepon. Tapi ia kemudian mengangkatnya.

"Ya, hallo. Kenapa nelepon?" tanya Tama langsung.

"Tam, lagi dimana?" tanya temannya itu dengan suara cempreng.

"Di rumah. Kenapa?" tanya Tama balik.

"Loh, kamu nggak liat apa pertandingan basket SMAmu lawan SMA 8?"

"Enggak. Males sih." Kata Tama sambil terkekeh.

"Heh! Nonton lah. Ni bocah-bocah SMP pada kumpul nonton loh! Si Bima main jadi starting member SMA 8. Rencananya habis pertandingan kita mau reunian sekelas. Kamu dateng lah nonton."

Tama tertawa. Begitulah teman-temannya SMP, bicara seenaknya, bertindak seenaknya terhadap teman mereka sendiri. Ngomong-ngomong, orang yang menelepon Tama adalah salah satu sahabat karib teman main street basketnya dulu ketika Tama masih SMP. Termasuk orang yang bernama Bima itu.

"Duh, Radit, kamu kira Wonosari-Jogja nggak jauh apa!"

"Ayolah, tam. Kita kan lama nggak kumpul. Kamu juga sih, jarang main ke jogja. Ni anak-anak pada kangen loh." di belakang si penelepon itu terdengar suara teriakan anak-anak cewek dan cowok yang memaksa Tama untuk datang.

Tama tertawa.

"Heh, malah ketawa doang. Buruan! Kalau kamu sekarang ini langsung berangkat, kamu bisa lihat pertandingannya di mulai lho."

Tama kembali tertawa.

"Iya, iya, bawel. Aku dateng deh. Demi kalian."

"Nah gitu, udah ya. Nanti kabarin kalau udah sampai di GOR UNY. Kita udah stay di tribun nih buat nyari tempat yang oke."

Tanpa mendengar persetujuan Tama, telepon itu langsung ditutup. Tama hanya mendengus geli melihat kelakuan temannya itu. Tama menoleh ke arah eyang putrinya yang menatapnya sambil tersenyum.

"Eyang, aku mau ke jogja nih. Habis temen-tmen SMP memaksa buat ikut nonton." Kata Tama.

"Yaa, hati-hati ya." Kata eyang putri.

Tama pun langsung lari ke kamarnya untuk berganti pakaian. Celana kargo motif army sepanjang ¾, kaos putih bertuliskan Crazy Kouzu Basketball Club replica dari kaos tim basket tokoh utama di komik basket berjudul I'll, dipadu dengan jaket model tentara berwarna hijau tentara, tas selempang kecil dengan bahan yang sama dengan jaketnya, sepatu kets converse abu-abu, serta topi berwarna abu-abu gelap. Ia turun dari kamarnya menuju ruang makan dan dapur lalu menyalami eyang putrinya, berpamitan.

"Eyang, berangkat dulu ya."

"Ya, hati-hati. jangan pulang terlalu malam."

"Okeee."

Tama melenggang menuju garasi dan mengeluarkan motornya. Ia melepas topinya dan memasukkannya ke dalam tasnya, agak sembarangan. Ia memakai helm dan lalu mulai memacu motornya sekencang mungkin agar sampai di Jogja secepatnya.

Di perjalanan menuju Jogja, jalur lintas kabupaten itu lenggang. Hanya beberapa bis yang Tama salip, dan beberapa kendaraan pribadi. Maklum lah, masih siang dan bukan jam pulang kantoran. Di minimarket terdekat, Tama membeli sebotol air mineral dingin dan sebuah minuman isotonic kesukaannya, pocary. Setelah itu ia melanjutkan perjalanannya menuju Jogja. Siang itu Tama hanya membutuhkan waktu 40 menit untuk sampai ke GOR UNY dari rumahnya.

Setelah parkir, ia berjalan menuju GOR sambil mengenakan topinya sembarangan. Ia celingukan mencari pintu masuk. Tapi dari kejauhan, Lintang dan Kikan melihat keberadaan Tama dan langsung menghampirinya.

"Heh, katanya nggak mau ikutan nonton!" sapa Lintang menepuk pundak Tama dan mengagetkannya.

Tama berbalik dan mendapati Kikan bersedekap dan Lintang yang berkacak pinggang. Ia langsung tersenyum merasa bersalah seolah tertangkap basah melakukan sebuah kesalahan.

"Iya nih. Ternyata SMA kita itu tanding lawan SMA 8 ya? Temen-temen SMPku pada dateng nonton buat member semangat temenku yang jadi starting member buat pertandingan hari ini." kata Tama sambil menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal.

"Ya udah, ayo masuk." Kata Lintang.

Lintang dan Kikan langsung menggapit Tama dan menggiringnya masuk ke GOR UNY. Tama hanya bisa pasrah ketika dua temannya itu membawanya menuju tribun penonton tempat anak SMA 1 berkumpul untuk memberikan dukungan. Ketika masuk, suasana sudah ramai. Di sisi selatan rombongan anak SMA 1 memenuhi tribun penonton. Sedang, di sisi utara sporter SMA 8 lebih banyak, mungkin 2 atau 3 kali lipat lebih banyak dari anak SMA 1. Lintang membawa Tama menuju tribun paling bawah, yang paling dekat dengan sisi pemain SMA 1 yang sedang berjejer mendengarkan koordinasi dari pelatih mereka.

Kedatangan Tama di GOR UNY mengejutkan Pram.

"Hei, katanya tadi males nonton. Tapi kok sekarang malah datang?" kata Pram sambil menjejeri Tama lalu menopangkan sebelah tangannya di pundak kiri Tama.

Tama hanya bisa nyengir.

"Naik motor kamu ke sini?" tanya Janu agak kawatir. Meski tahu Tama sudah bisa naik motor sejak lama tapi ia agak kawatir juga melepas Tama untuk mengendarai motor dari Wonosari-Jogja.

"Iya lah, emang naik bis apa. Kapan nyampenya kalau gitu?!" jawab Tama ketus.

Mereka bercanda seru sekali hingga tak sengaja Tama mengerling ke arah Jay yang juga menatapnya. Jay menatapnya mendelik minta penjelasan mengapa Tama ada di tempat ini, ia tak bisa menanyai langsun karena masih di briefing oleh pelatih mereka. Tama melambai sambil menjulurkan lidahnya ke arah Jay. Jay mendelik semakin gusar. Tama tertawa saja melihat ekspresi Jay yang menggemaskan itu.

Sementara itu, selisih beberapa orang, Surya juga ikut mengarahkan pandangannya kepada Tama yang ada di tribun bersama Janu, Pram, Anggit, Lintang dan Kikan. Ada perasaan aneh ketika ia mendapati Tama di tempat ini. Antara senang, nervous, cemas, semuanya menjadi satu. Lalu tatapannya yang tertahan terlalu lama pada Tama pun bertemu pada satu titik. Tatapan itu sebenarnya hanay sepersekian detik saja, karen Tama tak sengaja bertemu pandangn dengannya sebelum kembali mengobrol bersama Janu dan Pram lagi. Tapi tatapan itu mampu membuat jantung Surya berdebar lebih kencang, rasa-rasanya adrenalinnya terpacu begitu cepat. Di dalam hatinya, kalut berkecamuk. Dan diperutnya, lagi-lagi ombak serasa menghentak-hentak bibir pantai. Ia mulai agak pening, tak tahu lagi entah semua perasaan kalut ini disebabkan oleh pertandingan yang sebentar lagi dimulai, atau karena hal lain.

Briefing selesai. Starting member bersiap-siap. Jay malah mlipir untuk mendekati tribun tempat Janu dan kawan-kawan berada.

"Tama! Katanya nggak mau datang, tapi kok akhirnya datang!" sembur Jay.

"Hahaha iya nih." Kata Tama sambil menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal.

"Oke! Kamu lihat ya kehebatanku di pertandingan ini." kata Jay kepada Tama sambil mengacungkan tinjunya di udara.

Tama bertopang dagu di atas pagar pembatas tribun sambil tertawa-tawa melihat Jay yang kemudian mendekati Surya. Surya menatap ke arah teman-temannya. Lintang dan Kikan memberikannya semangat, bersama anak-anak perempuan lainnya. Sesaat tatapan mata mareka bertemu. Kali ini Tama tak membuang muka. Surya tersenyum sekilas lalu mengangguk ke arahnya.

Tiba-tiba handphone Tama berbunyi.

"Hallo, Tama! Kamu udah nyampe belum sih? Kok lama banget dari tadi aku telepon. Ini udah mau di mulai kamu buruan ke tribun sporter anak SMA 8 ya." Kata temannya.

"Aku udah sampai kok. Tadi ketemu temen-temenku dan digelandang menuju sporter SMA 1." Kata Tama sambil beringsut dari depan pagar pembatas tribun. Ia membetulkan topinya sambil beringsut kebelakang lagi.

"Ya udah buruan ke sini, udah ditungguin temen-temen lho ya."

"Oke-oke. Aku jalan ke situ deh." kata Tama lalu menutup teleponnya.

Tama pamit kepada teman-temannya dan berjalan menuju teman-teman SMP yang telah menunggunya dari tadi. Tanpa diketahui Tama, tatapan Surya mengekor mengikutinya yang sedang bercanda dengan teman-teman SMPnya. Perhatian Surya terhadap pertandingan sedikit terpecah melihat Tama yang bercanda dengan teman-teman SMP yang mayoritas adalah laki-laki. Tama terlihat akrab sekali dengan salah satu diantaranya. Mereka berdua asyik ngobrol lalu menujuk ke sisi lapangan yang lain, tempat pemain SMA 8 berada. Sepertinya mereka menyapa seseorang karena salah satu pemain dengan nomor punggung 11 melambai kepada keduanya. Surya membuang muka dari pemandangan itu.

"Hei Tam! Kamu datang!" kata Bima yang mendekati tribun mereka. ia terliaht berbinar-binar karena senang melihat teman baiknya yang beberapa tahun terakhir ini tak ia temui.

Tama tertawa. Ia sedikit pangling dengan temannya itu karena warna kulit yang menggelap dan suaranya yang lebih rendah.

"Kalau nggak kutelepon, dia nggak bakalan datang." Komentar Radit pedas.

Bima ikut tertawa.

"Jadi, kamu mendukung siapa nih?" tanya Bima usil.

"Aku mendukungmu dan teman-temanku." Jawab Tama lalu menjulurkan lidahmu. Bima kembali tertawa.

"Kau bilang tadi ada temanmu yang juga jadi starting member."

Tama mengangguk sambil melemparkan tatapannya ke arah tim SMAnya.

"Itu lho yang nomor punggung 17 sama 10. Yang 17 namanya Surya posisinya kaya kamu Bim, jadi PG, yang nomor 10 itu namanya Jay dia main dipososo PF." Kata Tama. Radit dan Bima melemparkan pandangan ke arah Surya dan Jay yang sedang berdiri bersisihan entah sedang merencanakan apa.

"Mereka yang salah berdua sering main three on three bareng aku dan Janu temen kecilku, Pram dan Anggit. Kaya dulu kita bertiga dulu pas jaman SMP." Tambah Tama.

Percakapan mereka bertiga terputus karena pertandingan yang akan dimulai. Bima harus berkumpul dengan timnya, mereka tengah berdoa bersama.

"Kamu sekarang nggak main basket lagi, Radit?" tanya Tama kepada teman karibnya itu, setelah jeda yang cukup lama.

Radit tertawa. "Enggak, males sih di SMA banyak orang yang ambisius. Tau tuh kenapa Bima bertahan di klub basket padahal senior kami parah banget sikapnya."

Tama tetawa. Ia kembali teringat masa-masa ia, Radit dan Bima sering menghabiskan waktu bersama saat SMP untuk main basket.

"Tapi Bima hebat banget deh, jadi starting member kan berarti kemungkinan besar bakalan dipasang terus." Komentar Tama sambil melihat wasit yang berjalan menuju tengah lapangan. Rombongan pemain dari kedua tim mulai berjalan masuk ke lapangan. Gedung itu penuh sorak sorai dari tiap sporter yang datang.

Radit terkekeh dengan komentar Tama.

"Wah, dia udah berubah banget loh tam. Sekarang dia dipasang di posisi PG lho."

Tama menoleh kaget menatap temannya tak percaya.

"Point Guard? Seriusan? Dulu kan dia main jadi Small Forward."

Radit tertawa melihat reaksi Tama.

"Yah, di SMA banyak yang bersaing menempati SF. Sepertinya pelatih menemukan kualitas sebagai seorang PG yang belum terasah dari permainan Bima. Dia baru jadi PG sekitar 6 bulan ini lho tam. Dan kamu akan terkejut nanti ketika melihat permainannya."

Tama hanya terdiam sambil melihat pertandingan yang akan dimulai dengan sebuah jump ball. Ditengah sana, yang akan berebut bola sambil meloncat adalah Bima dan Jay.

"Ngomong-ngomong, Bima juga jadian lho sama Mila." Kata Radit sambil ikutan melihat pertandingan yang dimulai. Wasit melambungkan bola ke atas. Jay dan Bima melompat. Tapi lompatan Jay lebih tinggi. Jay merengkuh bola dan melemparkannya kepada Surya.

Tepat saat itu Tama menoleh terkejut.

"Serius? Mila anak kelas B dulu itu? Yang kata Bima temen seles-lesan pas SD?"

Radit mengangguk sambil tersenyum menyeringai.

SMA 1 melakukan fast break dan Jay berhasil memasukkan bola sambil lay up. Tama dan Radit kembali memperhatikan permainan yang dari awal sudah panas.

"Wow, so many thing changes since I was not here." Kata Tama sambil melihat Bima dioperi bola oleh temannya dan memulai serangan dengan penuh ketenangan. Tama cukup kaget juga.

"Kamu sih, nggak sering main lagi bareng kita-kita di sini." Canda Radit membuat Tama cukup kesal.

Sementara itu di lapangan, Bima yang sedang mendrible bola langsung berhadapan dengan Surya. Sejak awal tim basket SMA 1 memang berniat menggunakan strategi defense man-to-man untuk mengepres pergerakan lawan.

"Namamu Surya ya? Temennya Tama." kata Bima kepada Surya. Surya sedikit kaget dengan kalimat Bima itu. Surya menatap Bima dengan tatapan yang tegas. Bima tersenyum sambil mendengus geli melihat tatapan Surya kepadanya.

"Aku Bima, teman baiknya Tama sejak SMP. Barusan sebelum pertandingan Tama cerita kalau temannya main basket di Wonosari ikutan jadi starting member."

Surya masih diam sambil melakukan defense. Sementara Bima masuk mendrible bola. Wasit di sisi lapangan sudah melakukan hitungan mundur 30 detik karena Bima yang tak kunjung mengoper bola. Surya bergeming dalam diam. Bima kemudian tersenyum menyeringai lalu melakukan operan tanpa melepaskan kontak mata dengan Surya. Bola itu Bima oper kepada temannya yang ada di luar garis setengah lingkaran dan langsung diterima. Tembakan three point itu begitu cepat. Tim SMA 1 sampai tak bisa melakukan tindakan apapun. Tim SMA 8 berlari-lari kecil kembali ke posisi defense mereka. Di tengah jalan Bima menoleh kepada Surya.

"Bikin pertandingan yang sportif ya, Surya." Kata Bima lalu tersenyum menyeringai lalu kembali berlalu menuju tempatnya defense.

Entah apa yang membebani pikiran Surya, tapi permainan SMA 1 semakin memburuk. Selisih angka di akhir babak kedua pertandingan semi final itu cukup banyak, 10 bola, yang berarti selisih 20 poin. Di saat break, pelatih SMA 1 memberikan nasehat kepada timnya dan teguran keras terhadap permainan Surya yang buruk hari itu. Posisinya sebagai Point Guard membuatnya menjadi sosok playmaker di dalam tim, yang mengatur ritme serangan dan ritme bertahan. Ia yang seharusnya menjadi orang yang paling berkepala dingin dalam sebuah pertandingan. Ia juga yang harus menentukan apakah menyerang dalam tempo yang cepat atau lambat. Ia juga yang bertugas memberikan operan yang bagus kepada setiap teman setimnya.

Peluit dibunyikan lagi dan pemain berjalan kembali di lapangan. Bola mati berada di tim lawan. Jay menghampiri Surya yang ada di posisinya bertahan. Ia lalu menepuk pundak Surya.

"Aku nggak tahu apa yang membebani pikiranmu, Ya. Tapi kita harus melakukan yang terbaik. Aku menantikan operan-operan yang cantik darimu seperti yang biasa kita lakukan saat latihan." Kata Jay menyemangati Surya. Surya mengangguk.

Pertandingan kembali dimulai. SMA 1 berhasil memperkecil selisih angka mereka, hanya 2 bola saja. Karena setiap mereka memasukkan satu bola, tim lawan pasti kembali mencetak angka. Selisih yang diperkecil itu juga diperoleh karena SMA 1 yang melakukan defense mati-matian dan juga usaha Jay yang sekuat tenaga mendekati ring meski dibayangi 2 orang lawan.

Di pertengahan babak ke tiga, Surya kembali berhadapan dengan Bima. Kali ini SMA 1 melakukan press yang benar-benar ketat. Bima sendiri kesusahan untuk mencari celah operan. Surya bergeming menghalangi setiap usaha Bima untuk merangsek maju. Bima tertahan di luar setengah garis lingkaran. Ia tahu betul, Bima tak akan bisa mengoper ke siapapun. Dan bola yang dibawa Bima akan mati karena selama 30 detik tak juga di passing ke temannya.

Tapi perhitungan Surya salah. Dalam dua detik, Bima melakukan lompatan sambil melakukan shoot dari garis luar setengah lingkaran. Surya kembali telat bereaksi. Semua orang melihat shoot itu meluncur menuju ring basket. Dan bola itu masuk pas sekali ke dalam ring, meninggalkan suara udara yang tertarik masuk ke dalam keranjang. Semua sporter SMA 8 bersorak gembira. Termasuk Tama yang takjub melihat permainan Bima yang luar biasa keren.

"Bimaaa! Gilak! Kamu keren banget sih!" teriak Tama tanpa sadar.

Bima yang seperti mendengar pujian Tama yang keras sekali dari tribun hanya bisa tertawa nyengir lebar ke arah Tama sambil melambai.

"Gilak banget sih permainan Bima hari ini! Emang selama ini mainnya bagus banget ya! Padahal dulu kalau tanding shoot sama aku aja, dia paling payah." Kata Tama.

Radit tetawa geli.

"Tam, tam, Bima mana mungkin bisa menang darimu sih."

"Duh, kalau sekarang aku tanding sama dia, aku nggak yakin aku bakalan menang nih! Jadi minder banget lihat three point shootnya yang keren banget itu. Nggak mantul lhoh dit, langsung masuk begitu aja! Gila tu anak!"

Radit tersenyum.

"Kamu pasti menang kok dari dia. Karena dia nggak bakalan pernah bisa mengalahkanmu."

Tama menolah ke arah Radit sambil menatapnya tak mengerti.

"Maksudmu?" tanya Tama.

"Yah, begitulah." Kata Radit lalu kembali tertawa.

Tapi Tama tak ambil pusing dan kembali melihat pertandingan yang kembali di mulai.

Pertandingan masih timpang dengan selisih point yang agak mengecil, selisih 6 bola saja. Permainan Surya masih belum membaik. Beberapa kali ia melakukan kesalahan. Pelatih di samping lapangan berteriak teriak memberikan instruksi karena merasa tak sabaran dengan permainan Surya. Jay dan yang lainnya benar-benar berusaha keras untuk memperbaiki ritme tim yang sedikit banyak telah dikuasai oleh tim lawan. Apalagi defense man-to-man sungguh menguras tenaga dan mereka mulai kelelahan.

Sementara itu di tribun SMA 1, Janu dan Pram menggerutu melihat permainan Surya yang jelek sekali.

"Tu anak kenapa sih, mainnya jelek banget! Jadi geregetan kan lihatnya." Kata Janu sedikit kesal.

Di lapangan tim SMA 1 kembali menyerang, tapi kembali terpatahkan dengan mudah.

Pram mulai menggerutu lagi. Anggit hanya terdiam menatap permainan Surya. Ia merasakan bahwa ada sesuatu yang begitu membebani pikiran Surya, sesuatu yang terasa berat. Anggit melemparkan pandangannya ke arah tempat Tama menonton bersama temannya. Diam sejenak lalu ia kembali menatap ke lapangan.

"Duh, kok Surya mainnya jelek banget ya!" kata Tama agak ngeh juga sama permainan Surya yang dari tadi nggak konsisten.

"Digertak Bima kali tadi pas di awal." Canda Radit lalu tertawa terbahak-bahak.

"Tumben lhoh. Biasanya, senggak-niatnya Surya itu masih bisa main bagus kalau pas lagi three on three."

"Main three on three itu nggak sesulit main full team lhoh tam." Kata radit mengingatkan sambil tersenyum.

"Iya sih. Tapi  tumben betul dia mainnya parah banget. Kaya bukan dia aja."

SMA 1 kembali menyerang. Surya kembali dihadang oleh Bima. Jay yang dihadang oleh dua orang kini keluar dari area bawah ring dan berlari beringsut menuju ke arah Surya. Surya yang melihat pergerakan Jay yang tiba-tiba itu lalu mengoper kepada Jay yang telah sampai ke luar batas garis setengah lingkaran. Operan itu langsung di terima oleh Jay. Telat sedikit saja Jay menangkap nola itu pasti akan meluncur bebas keluar lapangan. Tepat saat itu juga Jay melakukan three point shoot dan masuk. Sporter SMA 1 bersorak gembira. Point mereka kini selisih 5 setengah bola. Tapi permainan tidak juga membaik hingga akhir babak ketiga. Selisih poin kembali menjadi 6 karena SMA 8 yang kembali memasukkan bola hasil pelanggaran di bawah ring.

Tama yang gemas terhadap permain Surya tak kuasa membendung hal yang mengganjal hatinya.

"Surya! Main yang bener dong! Yang serius! Parah banget sih permainanmu hari ini!" teriak Tama dari tribun penonton kepada Surya ketika mereka pertandingan babak ke empat segera dimulai.

Beberapa orang kaget mendengar teriakan Tama. Surya yang diteriaki oleh Tama menoleh kaget atas apa yang dilakukan Tama. Jay ikut menatap Tama di atas tribun, termasuk Bima yang mendengus geli atas perbuatan Tama yang tak berubah dari waktu SMP. Bima dulu juga seirng kena semprot kalau main ogah-ogahan bareng Tama.

Surya yang mendengar teriakan Tama merasa sedikit tertampar. Ia kembali ingat ketika awal-awal ia bermain three on three dan Tama yang tiba-tiba marah karena Surya main tidak bersemangat sebab Tama ikut main. Ia bergeming dalam memorinya itu. Diam-diam ada perasaan tenang mengalir di dalam benaknya. Sesuatu yang hangat menjalari perutnya, membuatnya senang sekaligus tenang. Surya lalu tersenyum lalu melambai kepada Tama dan berbalik kembali menuju posisinya untuk melakukan defense.

Entah mengapa, dibabak kuarter keempat ini aura yang dikeluarkan Surya berubah. Ia sekarang lebih rileks, permainannya lebih tenang, temponya teratur. Teman-teman setimnya pun jadi terbawa tempo yang sekarang Surya mainkan. Beberapa kali mereka melakukan fast break dan berhasil mencetak poin. Permainan pasangan Surya dan Jay terlihat begitu cantik. Ebberapa kali Surya memberikan operan kepada Jay lewat belakang tubuhnya dan Jay yang langsung menangkapnya melakukan shoot dengan form yang indah. Meski demikian, anak-anak SMA 8 pun juga gencar melakukan serangan balik. Selisih point yang awalnya 6 bola itu dapat diperkecil SMA 1 hingga hanya menjadi selisih 1 bola.

Dua menit terakhir perlawanan antar tim sangat kuat. Tim SMA 8 berulang kali harus melakukan defense yang ketat agar SMA 1 tidak dapat menerobos pertahanan mereka. Sedang tim SMA 1 berusaha untuk tidak melakukan serangan di detin-detik terakhir ini. Tama bersama Radit terdiam di tribun mereka. Dalam hati masing-masing jantung mereka berdetak sangat kencang. Lintang dan Kikan berteriak memberikan semangat bersama sporter yang lain. Janu, Pram, dan Anggit diam sambil mencengkeram pinggiran tribun.

Waktu tinggal beberapa detik lagi. SMA 1 masih membawa bola. Tapi pertahanan SMA 8 sungguh sangat ketat. Jay terhimpit oleh 2 orang yang membayanginya. Bima memasang posisi bertahan yang tak dapat ditembus. Surya kehabisan akal. Ia melirik ke arah wasit yang memegangi stopwatch yang terkalung di lehernya sambil mengamati benar-benar para pemain di lapangan. Surya kembali melirik Bima yang kelelahan tetapi masih tetap mampu bertahan mati-matian. Ia melihat waktu yang terus berkurang. Tinggal beberapa detik lagi, ya, tinggal beberapa detik lagi. Surya memejamkan matanya, berkonsentrasi. Waktunya tinggal 3 detik lagi untuk mengoper sebelum ia mendapat technical fault. Ketika membuka matanya, tatapannya bertemu dengan Jay yang memandangnya dengan serius. Surya mengangguk ke arah Jay lalu kembali menatap ring yang ada di belakang Bima.

Dalam hitungan ke dua, Surya melakukan allay up, menembakkan bola sambil mendorong tubuhnya ke belakang. Bima terkejut dengan kenekatan Surya. Ia mendongak menatap bola yang meluncur menuju ring. Tapi Bima tahu, dari cara bola itu melambung, bola itu tidak akan masuk. Semua orang dalam stadion itu bersorak. Tama dan Radit melongo diam. Pram, Janu, dan Anggit terdiam. Lintang dan Kikan memekik kaget sambil berdoa semoga bola itu masuk.

Tapi bola itu memantul di ring. Bima mendengus senang, tapi ia terkejut. Jay melompat. Kedua pemain yang membayanginya telat bereaksi. Bima ikut melompat untuk mendapatkan bola rebound itu. Tapi Jay yang memang lebih dulu melompat mendapatkan bola itu dan langsung mengapitnya dan mendarat selamat ke lapangan. Ketika ia hendak bersiap melompat untuk memasukkan bola, peluit tanda pertandingan selesai dibunyikan.

Sesaat seluruh stadion terdiam. Dalam hitungan kedua sporter dari SMA 8 bersorak. Semua pendukung SMA 8 bersorak. Semua pemain di lapangan berlari menuju bangku mereka dan saling berpelukan satu sama lain, bergembira karena masuk ke babak final. Besok mereka akan melawan SMA yang menang di pertandingan setelah mereka.

Sementara itu, Janu, Anggit dan Pram saling diam. Perasaan kecewa, sedih, kalut, dan kalah bercampur menjadi satu. Lintang dan Kikan terisak menahan tangir. Air mata mengambang di pelupuk mata mereka berdua. Tama terdiam hingga Radit menepuknya sambil tersenyum. Tama sebenarnya agak kecewa dan membuatnya terhenyak tak tahu harus berkata apa. Tapi jiwa Tama memang sportif. Ia memberikan selamat kepada Radit tanpa terlalu memikirkan perasaan sedih yang ia rasakan ketika melihat Surya dan Jay yang masih bergeming di lapangan sementara teman se-tim mereka berjalan gontai menuju bangku tim mereka.

Jay masih terdiam sambil membawa bola di bawah ring. Sepertinya ia begitu shock karena kehilangan kesempatan untuk menyamakan kedudukan. Ia terdiam tenggelam dalam pikirannya sendiri. Sementara itu Surya menengadah menatap langit-langit GOR sambil memejamkan mata berusaha menstabilkan emosinya. Ia lalu berjalan menuju Jay.

Sebenarnya, waktu pertandingan telah habis ketika bola masih melayang menuju ring. Pada dasarnya, pertandingan tidak bisa dihentikan ketika ada tim yang sedang melakukan offense. Wasit akan membiarkan bola itu masuk atau tidak. Bila masuk, maka akan dianggap point dan pertandingan baru akan diselesaikan tepat setelah bola kembali dimainkan. Bila bola itu tidak masuk dan menjadi rebound, wasit akan melihat apakah rebound itu diambil oleh tim siapa. Jika rebound itu kemudian langsung dijadikan dunk dan masuk, maka akan dianggap point. Jika rebound itu kemudian diperebutkan oleh pemain lain dan akhirnya diambil oleh salah seorang pemain, maka permainan akan diselesaikan ketika si pemain yang mendapatkan bola itu kembali menyentuh lapangan.

Surya menepuk pundah Jay.

"Jay, ayok kumpul ke pelatih." Kata Surya dengan tentang.

Jay hanya menatap Surya, bergeming.

"Ayok buruan, ini lapangannya mau disiapin buat pertandingan selanjutnya." Kata Surya sambil tersenyum.

Jay pun menurut. Ia sedih, sungguh sangat sedih, andai saja ia tak mengambil bola rebound itu, andai saja ia langsung memasukkan bola itu, andai saja ia lebih memperhatikan waktu pertandingan, andai saja andai saja andai saja. Jay berjalan menuju ke bangku tim mereka sambil dirangkul Surya. Sporter SMA 1 mengelu-elukan nama mereka berdua. Tim SMA 1 berjejer di pinggir lapangan dan memberikan hormat kepada para sporter yang telah memberikan dukungan kepada mereka.

Tama terdiam melihat anak-anak SMA 1 yang sudah mulai bubar dari tribun penonton.

"Tam, kita habis ini mau makan di Spesial Sambal 'SS' sebarang jalan nih. Kamu ikut kan?" tanay Radit mengagetkan Tama. Tama menoleh agak tak ngeh pertanyaan Radit. Radit mendengus geli.

"Kita mau makan di SS sebrang jalan. Kamu nyusul aja. You want to talk to then, right?" kata Radit lalu tersenyum simpul

Tama tersenyum dan mengangguk lalu bergegas menuju rombongan anak SMA 1.

Tibun ramai oleh para sporter kedua tim yang bubar dan munculnya sporter dua tim yang akan main selanjutnya, SMA 3 Yogyakarta v.s SMA de Brito.

"Kalian udah mau pulang?" tanya Tama ketika ia sampai kepada teman-temannya yang menuruni tangga untuk sampai ke lantai bawah. Tama mengikuti mereka.

"Iya. Kamu mau bareng kita nggak tam?" tanya Pram.

"Enggak sih, aku masih ada acara sama bocah-bocah SMP-ku. Eh, Jay ma Surya mana?" tanya Tama.

"Mereka lagi di ruang ganti. Lagi mau evaluasi tim dulu katanya."

Tanpa berkata apa-apa lagi Tama langsung berjalan meninggalkan teman-temannya itu yang heran dengan sikap Tama.

Ketika hendak menuju ruang yang biasanya sering digunakan tim untuk bersiap-siap, Tama menangkap bayangan Surya yang sedang duduk di luar pintu yang ia lewati. Tama berhenti dan memastikan kalau itu memang Surya. Tama hafal betur postur tubuh Surya dari belakang.

Surya sendiri sedang duduk sambil menghabiskan dua botol kecil minuman isotonic. Botol terakhirnya habis tetapi ia masih merasa haus. Ia telah berganti mengenakan kaos putih polos lengan pendek. Surya tak sadar Tama sedang berdiri di belakangnya. Tama mengulurkan minumannya – yang sebenarnya ia simpan untuk dirinya sendiri tadi – di hadapan Surya. Surya agak kaget tiba-tiba melihat sebotol minuman isotonic muncul di hadapannya. Surya mendongak dan kaget mendapati Tama di sampingnya. Tama yang gemas melihat Surya tak segera mengambil minuman yang ia tawarkan segera menyodorkan lagi minumannya itu. Surya menerima botol minumannya itu ragu-ragu, tapi karena memang haus, ia akhirnya meminumnya.

Tama ikut duduk di samping Surya. Keduanya sejenak diam. Sebenarnya, Surya sendiri sedang kalut karena merasa salah tingkah akan keberadaan Tama. Tapi sepertinya Tama terlalu bebal untuk menyadarinya.

"Sayang ya, kalian nggak masuk final." Kata Tama membuka obrolan itu.

"Iya." Jawab Surya kembali teringat pertandingan tadi. Ia menyesal betul mengapa di awal-awal permainannya begitu buruk.

"Tapi lawannya SMA 8 sih! Mereka kan langganan masuk final bareng de Britto."

"Yah, kau benar." Kata Surya sambil menatap menerawang ke langit. Tapi ia agak bangga karena pencapaian SMA 1 hingga semifinal.

"Kamu tadi kenapa sih, di awal-awal pertandingan mainnya jelek?" tanya Tama tiba-tiba menoleh menatap Surya, Surya yang ditatap seperti itu gelagapan sendiri lalu membuang muka.

"Yah, habisnya mereka kan kuat." Jawab Surya sambil menundukkan wajahnya. Tama cemberut karena Surya yang menyalahkan tim lawan padahal dirinya sendiri yang mainnya buruk. Tapi Tama kemudian sadar, bahwa Surya sebenarnya sedang berduka karena tak berhasil masuk final.

Surya menoleh dan mendapati Tama terlihat sedang berpikir keras untuk mengubah topic pembicaraan. Muka Tama terlihat lucu sekali di mata Surya. Tama yang terlihat sedang berusaha keras itu terlihat sangat manis sekali di mata Surya.

"Kamu kenapa akhirnya jadi nonton? Kan tadi pagi di kelas bilang males nonton." Tanya Surya mengalihkan pembicaraan.

Tama menoleh, agak lega Surya membuka topic pembicaraan yang lain. Tama embenarkan duduknya jadi duduk bersila sambil memegangi sepaku ketsnya. Surya bertumpu pada tangan kirinya dan sedang menyeka wajahnya dengan handuk sambil menunggu jawaban Tama.

"Soalnya, pas nyampai rumah, temenku SMP telepon katanya pada mau nonton pertandingan basket hari ini. Tadi yang jadi PG itu kan temen akrabku sejak SMP." Kata Tama lalu terkekeh dan menatap langit. Ia membalik topinya hingga bagian depan menjadi di belakang.

"Oh, gitu. Si Bima itu ya?" kata Surya mengangguk-angguk mengerti.

"Loh kok tahu?" tanya Tama antusias, ia penasaran sebenarnya.

"Yah, tadi di lapangan Bima bilang kalau dia temanmu sih." Kata Surya dengan nada dingin. Ia mengingat-ingat kembali kejadian ketika di lapangan itu. Ia rasa, dari kata-kata Bima, ada sesuatu yang disembunyikan. Tama cuma mengangguk-angguk tanda mengerti. Surya hendak bertanya lagi tapi tiba-tiba handphone Tama berbunyi.

"Hallo, kenapa Bim?" tanya Tama sambil melirik ke arah Surya. Tapi Surya hanya terdiam sambil menunduk menatap grassblock di bawah kakinya. Ia mendengerkan percakapan Tama diam-diam. Tama mengalihkan pandangannya lagi.

"Kamu mau nitip pesan dulu nggak? Nanti kalau kamu telat pesannya bakalan lama lho datengnya."

"Oh iya, boleh dong! Eh, tapi aku udah makan tadi ding."

Bima tertawa di seberang telepon. Tama mengkerutkan keningnya sambil berpikir.

"Ya udah, aku pesen jamur goreng sambel mangga muda sama buah dong. Minumnya air es."

"Oke, komandan. Laksanakan." Kata Bima jenaka lalu menutup teleponnya.

Kembali hening karena Tama yang sedang sms Bima karena lupa tadi bilang buanya buah apa.

"Jadii, kamu nggak langsung pulang, tam?" tanya Surya tiba-tiba. Ia terlihat tak peduli padahal dalam hati mengutuki Bima, padahal ia sendiri tak pernah sms-am sama Tama, tapi ini satu anak ini, si Bima ini, bahkan bisa-bisanya mengobrol dengan Tama di telepon.

"Oh, enggak, mau makan bareng anak-anak SMP dulu nih." Kata Tama riang, tak menyadari nada bicara Surya yang sedikit sengit.

"Oh." Jawab Surya lalu menunduk ladi. Kali ini memainkan kerikil di ujung kakinya.

Tama lalu bangkit dan melipat kembali handphone-nya.

"Cabut dulu ya, Surya! Salam buat Jay deh. udah ditungguin soalnya. Sampai jumpa besok di sekolah. Kamu jangan patah semangat ya. Besok kan tanding lagi." Kata Tama lalu nyengir dan tertawa renyah. Surya mau tak mau ikut tersenyum melihat tawa Tama. Entah mengapa senyum Tama gampang sekali menular kepadanya. Surya mengangguk untuk yang terakhir kalinya sebelum Tama bergegas menuju parkiran, dan menghilang dari hadapannya.

Surya menghela napas panjang. Ia tersenyum senyum sendiri mengingat ekspresi Tama saat menyemangatinya tadi.

Sementara itu Tama menaiki motornya menyeberangi ruas jalan Colombo untuk sampai ke SS yang ada di depan GOR UNY. Ia segera meninggalkan motornya biar saja diurus oleh tukang parkir dan berlari-lari kecil masuk ke SS. Teman-teman-nya SMP telah berkumpul ramai sekali di bagian lesehan. Tama langsung mengambil duduk diantara Bima dan Radit. Bima telah berganti baju menggunakan kaos oblong dan celana khaki pendek setulut.

"Lama banget?" tanya Radit.

Tama tertawa. "Iya. Sorry deh." jawab Tama langsung menyantap jamur goreng yang tadi ia pesan. Mereka bercengkerama lama sekali, ngobrol ngalor ngidul. Karena kesusahan ngobrol ber-15 anak setelah puas nanggap Tama yang tak pernah lagi main bareng mereka kini obrolan pecah dalam grup-grup kecil.

"Eh, gila tadi kamu main bagus banget sih, Bim! Nggak ngerti lagi deh, kalau sekarang tanding shoot sama kamu kayaknya aku nggak bakalan pernah menang deh."

Bima tertawa.

"Apaan sih tam. Lebai deh. Aku sama kamu masih jagoan kamu kali." Kata Bima merendah.

"Kamu merendah untuk meninggi ya? Sial banget sih!" kata Tama lalu menyodok pinggang Bima membuat Bima agak batuk-batuk karena sakit. Bima hanya bisa tertawa.

"Lagian ya, tam, mau main apapun juga Bima nggak bakalan menang sama kamu, percaya deh sama aku." Kata Radit menimpali sambil melirik jahil ke arah Bima. "Iya nggak bim?"

Bima melengos pura-pura kesal dan membuat Radit tertawa. Tama hanya bisa nyengir karena tak mengerti arah pembicaraan mereka.

"Kalian ngomong apa sih? Aku nggak ngerti deh." kata Tama membuat Radit makin tertawa dan Bima yang makin cemberut.

"Udah ah, dit. Basi tau lelucon itu tuh. Dasar jomblo gagal move on!" ejek Bima balik ke Radit.

"Eh, sialan banget sih!" kata Radit pura-pura tersinggung. Dan kemudian Radit serta Bima gojeg asyik sendiri lalu Tama yang tak sabaran itu melesai mereka dan membaut kedua teman cowoknya itu tertawa bersama-sama karena melihat kepolosan Tama.

Mereka semua terus mengobwol sampai sekitar jam setengah 6 malam. Meski belum puas, mereka harus pulang karena sebentar lagi malam. Tama bertukar nomor dengan teman—temannya yang lain karena teman-teman SMP yang tahu nomornya hanya Radit dan Bima.

Radit berpamitan dengan mobilnya karena beberapa teman-teman perempuan mereka nebeng di mobil Radit. Tinggal beberapa orang saja yang tersisa dan meninggalkan Bima yang kebagian tugas membayar bersama Tama karena tadi datang belakangan. Setelah membayar, Bima dan Tama berjalan bersama menuju ke parkiran.

"Tam, berani nggak balik ke Wonosari?" tanya Bima agak cemas. Setahu dia, Tama itu kalau naik motor serampangan banget. Ia sedikit khawatir dibuatnya, apalagi sebentar lagi malam dan jalan menuju Wonosari itu penuh dengan tikungan tajam.

"Berani lah! Meremehkan banget sih!" jawab Tama merasa terhina. Tapi ia tahu pertanyaan Bima itu wujud kepeduliannya terhadap teman karibnya.

"Kalau nggak berani, ya kuanterin, kan udah mau malam gini. Jalan ke Wonosari kan agak ngeri." Kata Bima enteng.

"Ya kali, Bim. Kamu besok kan tanding final. Kamu balik aja deh, aku bisa pulang sendirian."

"Oke." Jawab Bima singkat.

Tama bergegas menuju motornya. Di samping motornya Bima menghentikan Tama.

"Tam?"

Tama menoleh ke belakang dan Bima berdiri di hadapannya dalam jarak satu meter. Di jarak itu, ia sadar kalau teman sepermainanya ketika SMP itu telah berubah banyak sekali. Bima jadi lebih tinggi besar, seperti postur tubuh Jay tetapi lebih ramping lagi. Tama harus agak mendongak agar dapat menatap mata Bima.

"Aku mau ngomong kalau dulu aku pernah suka sama kamu." Kata Bima dengan muka serius dan kalimat yang diucapkan dengan sangat cepat.

Tama hanya terdiam sambil melongo tak percaya, seolah ia baru saja salah dengar.

"Hah?" respon Tama hanya itu.

Bima lalu tersenyum.

"Duh, apa aku harus mengejanya satu-satu buatmu tam, biar kamu paham?"

Tama menggelengkan kepalanya untuk menyadarkan dirinya sekaligus menajwab pertanyaa Bima.

"Kamu suka aku? Dulu?"

Bima mengangguk sambil tersenyum lembut.

Tama menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Duh, kamu nembak cewek nggak romantis banget sih, di parkiran SS di pinggir jalan pula!" komentar Tama lalu membuat Bima tertawa. Jawaban yang barusan memang khas Tama banget. Tama pun ikut tertawa dibuatnya.

"Sorry deh. Habis kan sebenernya aku cuman mau bilang kalau dulu aku pernah suka sama kamu, tam."

Tama garuk—garuk tengkuk karena merasa agak salting. "Sejak kapan?"

"All the time."

Tama terperangah merasa kaget.

"Serius? Kok bisa? Kita kan udah Bro banget gini, Bim!"

Bimo tertawa nyengir. Ia lalu bersedekap lalu menatap Tama dari atas ke bawah.

"Iya ya, aku sendiri juga heran sih, padahal kamu itu nggak ada daya tarik wanita sedikitpun. Kok dulu aku bisa suka sama kamu ya?" Bima memincingkan matanya sambil melihat penampilan Tama yang tomboy abis.

Tama tertawa lepas. "Sialan banget sih. Tapi, aku keren kan?" tanya Tama sambil membentuk huruf v dengan ibu jadi dan jari telunjuknya dan ia posekan di bawah janggut. Bima kembali tertawa. Tama juga ikut tertawa. Lalu tawa mereka berdua reda.

"Tapi kamu beneran pernah suka sama aku, Bim?" tanya Tama serasa tak percaya dengan kalimat sahabatnya itu.

Bima mengangguk. Lalu berbalik dan bersandar pada motor Tama.

"Ya, tapi dulu aku rasa kamu kaya nggak tertarik dengan masalah percintaan. Disaat teman-teman cewek sekelas heboh naksir si ini naksir si itu, kamu sendiri yang terlihat cool banget nggak ada gossip apapun dan malah jadi tempat curhat cewek-cewek. Mungkin itu juga yang bikin aku tertarik sama kamu."

Tama terdiam sambil mengingat-ingat masa SMP-nya.

"Lama-lama setelah kita selalu bersama, aku rasa, kamu bukanny tidak tertarik pada percintaan. Tapi kamu seolah sedang menanti sesuatu, entah itu apa. Apakah sesuatu itu adalah waktu yang tepat untuk jatuh cinta pada seseorang, atau apakah seseorang yang tepat? Aku tak tahu itu. Hanya saja kurasa, ada sesuatu yang telah mengikatmu, dan hal itu yang membuatmu menjadi sosok yang cool, yang paling dewasa dan bisa memberikan nasehat yang bijak. Lama-lama ku menyerah karena sepertinya kamu hanya menganggapku sebagai seorang sahabat. Dan aku tak berani juga merusak persahabatan kita."

Tama menyentuh pundak kanan Bima dan membuat Bima menoleh.

"Maaf ya, Bim, aku nggak sadar kalau selama ini kamu memendam semua perasaanmu sendirian." Kata Tama agak sedih.

Bima malah tiba-tiba nyengir lalu menepuk balik pundak Tama.

"Ya ampun tam, mukamu gitu banget! Santai kali, lagian sekarang aku juga udah bareng Mila. Omonganku yang tadi nggak udah dipikir banget-banget ya?" pinta Bima.

Tama menghela napas.

"Iya deh, iya. Cuman kaget aja gitu, padahal kita temenan udah bro banget dan kamu tahu sendiri aku luar dalem kaya apa. Heran aja." Kata Tama menjelaskan keheranannya.

Bima tertawa. "Kamu dari dulu emang bebal sih kalau masalah beginian. Entah kamu pura-pura atau emang pada dasarnya kamu bebal dari lahir, nggak ngerti lagi deh."

"Sialan banget sih!" kata Tama sambil memukul pundak Bima keras sekali.

"Udah lah, kamu sana pulang! Makin malam jalannya makin ngeri kan!" kata Bima sambil mendorong Tama mendekati motornya.

"Ye, siapa tadi yang ngajakin ngobrol pas sini mau pulang!" kata Tama sewot.

Bima kembali tertawa. "Sorry deh."

Tama pura-pura manyun lalu melepas topinya dan memasukkannya ke dalam tas. Ia mengenakan helm, mestarter motornya lalu bersiap masuk ke jalan raya tapi berhenti di samping bimo.

"Hati-hati ya! Jangan ngebut-ngebut! Kalau nyalip dari arah kanan ya? Jangan lupa lampu sign-nya dihidupin dan cek dulu belakang ada kendaraan lain atau nggak dari spion kanan." kata Bima.

"Duh, kamu ma Radit sama aja deh kalau aku naik motor rewelnya kaya apa."

Bima kembali tertawa. Tama mengerling ke kanan dan kiri lagi, tapi lalu lintas masih ramai.

"Ngomong-ngomong.." kata Bima menggantung.

"Hm?"

"Kayaknya kamu harus lebuh peka lagi terhadap lingkunganmu deh tam, karena mungkin, waktu yang tepat itu sebentar lagi akan tiba." Kata Bima sambi tersenyum misterius.

Alis Tama yang sebalah kiri terangkat.

"Udah sana buruan pulang! Hati-hati ya!" kata Bima menepuk-nepul helm Tama.

Tama hanya mengangguk dan tak mengindahkan kalimat Bima. Ia masuk ke jalan raya dan berkendara ngebut sambil menyalip ke kanan dan ke kiri membuat Bima berjengit ngeri.

[ ]

Continue Reading

You'll Also Like

1M 47.3K 66
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
672K 84.9K 43
Setelah hidupnya dipermainkan nasib--di mana ayahnya kabur dan kekasihnya menghamili gadis lain--, Alean kembali digoda oleh suratan takdir. Ia yang...
24.1K 3.8K 24
Leana membulatkan keputusannya, ia akan putus dengan Kallan. Di saat semua gadis sedang antusias-antusiasnya merencanakan pesta anniversary pertama m...
1.8M 137K 51
"Kamu melepaskanku dan aku melupakanmu. Itu wajar." Mana berhak Nala menyebutnya 'mantan'? Kata Jess, bertemu mantan adalah salah satu hal tersulit y...